KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (1)
Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan:
"Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara
tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan
tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat
demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan,
kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang
berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan
dzikir secara sempurna."
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (2)
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun
kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana
Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa
la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji
bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh
lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw
akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang
akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir
yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa
dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan
menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (3)
Setiap dzikir memiliki pengaruh tertentu. Jika kita sibuk dengan dzikir, pasti akan diberi yang lebih tinggi darinya. Dzikir yang disertai kesiapan akan bisa membuka tirai, tapi hal itu disesuaikan dengan kondisi orang yang melakukannya.
Menurut Imam Ghazali, hakikat dzikir adalah berkuasanya Allah di
dalam kalbu disertai kesirnaan dzikir itu sendiri. Tapi, dalam pandangannya,
dzikir memiliki tiga kulit atau lapisan yang salah satunya lebih dekat kepada inti (lubb) daripada yang lainnya.
Inti (lubb) tersebut berada di balik tiga kulit tadi. Kulit-kulit itu adalah
sebagai jalan menuju inti (lubb). Kulit yang paling luar adalah dzikir lisan
semata.
Seorang pedzikir selalu mengaplikasikan dzikir lewat gerakan
lisan disertai usaha menghadirkan kalbu. Karena, kalbu perlu penyesuaian dengan
lisan agar sanggup hadir dalam dzikir. Jika dibiarkan, ia akan sibuk dengan
berbagai imajinasi yang melintas.
Kondisi ini baru berakhir ketika kalbu mengikuti lisan serta cahayanya membakar syahwat dan setan. Saat itulah dzikir kalbu menguat, sementara dzikir lisan mulai melemah. Seluruh organ dan semua sisi tubuhdipenuhi cahaya, kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan, terputus dari berbagai bisikan, dan setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya. Dengan begitu, kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah, serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah. Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu dan menyebar di seluruh organ tubuh, maka semua organ itu pun berdzikir sesuai dengan kondisinya.
Kondisi ini baru berakhir ketika kalbu mengikuti lisan serta cahayanya membakar syahwat dan setan. Saat itulah dzikir kalbu menguat, sementara dzikir lisan mulai melemah. Seluruh organ dan semua sisi tubuhdipenuhi cahaya, kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan, terputus dari berbagai bisikan, dan setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya. Dengan begitu, kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah, serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah. Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu dan menyebar di seluruh organ tubuh, maka semua organ itu pun berdzikir sesuai dengan kondisinya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (4)
Al-Jurairi menuturkan, “Salah seorang sahabat kami selalu mengucap Allah, Allah. Lalu pada suatu hari, kepalanya terkena batang pohon hingga pecah dan mengucurkan darah. Dari darah itu kemudian tertulis di atas tanah lafal Allah, Allah.”
Dzikir laksana api yang bekerja secara aktif dan memberikan pengaruh. Ketika masuk ke dalam sebuah rumah, dzikir itu akan berucap, “Aku, tidak ada lagi selainku.” Itulah makna ungkapan la ilaha illa Allah. Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, dzikir tersebut akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang.
Jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.
Dzikir berfungsi menghilangkan endapan berlebih dalam tubuh yang
diakibatkan oleh makan berlebihan dan mengkonsumsi barang haram. Saat endapan
kotor itu terbakar sehingga hanya yang baiklah yang bertahan, barulah ia bisa
mendengar senandung dzikir dari semua organ tubuhnya. Suara dzikir itu seperti tiupan
terompet. Pertama-tama, ia jatuh di sekitar kepala sehingga kau akan mendengar
suara seperti terompet.
Dzikir adalah penguasa, jika singgah di suatu tempat, ia akan
singgah dengan membawa terompet itu. Sebab, dzikir menghadang apa saja selain
al-Haq. Ketika menempati suatu tempat, ia akan sibuk melenyapkan segala sesuatu
yang menjadi lawannya laksana air bertemu api. Lalu, akan terdengar berbagai
macam suara seperti desir air, deru angin, golakan api, derap kuda, dan suara
dedaunan tertiup angin. Sebab, struktur tubuh manusia terdiri dari unsur mulia
dan hina. Unsur yang hina meliputi tanah, air, api, udara, bumi dan langit,
serta segala yang berada di antara keduanya. Jadi, semua suara itu berasal dari
seluruh unsur asli di atas. Ketika suara itu terdengar, berarti ia sedang
bertasbih dan mensucikan Allah dengan lisannya. Itulah hasil dari dzikir lisan
yang optimal.
---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (5)
Boleh jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah).
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, berarti masih ada hijab.
Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya.
---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (6)
Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahut tampak jelas di hadapannya.
Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang
cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung
secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah
sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia
dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga,
perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy)
tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat
pencatat amal.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (7)
Sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk
menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada
kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik
kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai.
Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup.
Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada
di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud
dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum.
Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang
mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar
oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di
dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau
sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (8)
Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah
terwujuddengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud
dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga
seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan
makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi
konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui
segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram
dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir
beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu,
kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan
setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.
Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.
Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (9)
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka
mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang
memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan,
menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang
rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan
tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan
merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu
yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada
kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun
mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur
kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan
tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia
akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu
Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan
Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah
dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering
mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (10)
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah
(memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut
Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah
menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan
segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia
berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka
oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera
melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan
mengeluarkan mereka.
Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai
perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah
tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir
bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun
kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan
cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju
surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs
muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama
Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru
kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi
ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam
surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah