Menurut Imam Al-Ghazali, mengenal diri adalah kunci utama untuk mengenal Allah. Tanpa mengenal dan merenung tentang diri kita---dengan kedalaman rahasia batin yang ada pada diri kita sendiri-- maka mustahil dapat memahami makrifatullah.
Hal ini sesuai dengan Hadis Qudsi "Man 'arafa nafsahu 'arafa rabbahu' (Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Rabbnya). Allah SWT juga pernah berfirman, "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi mereka."(QS 41: 53)
Dalam kitab Kimiya As-Sa'adah, Imam Al-Ghazali mengatakan:
"Sungguh, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana dapat mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri, dari sisi lahir seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak mengantarmu mengenal Rabb.
Begitu juga pengetahuanmu tentang karakter fisik, seperti pengetahuanmu; jika kau lapar, kau makan, jika sedih kau menangis, dan jika kau marah kau menyerang. Itu bukanlah kunci mengenal Rabb. Sebab, bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan batin jika kau mengandalkan insting hewani seperti itu?
Jadi, pengetahuan yang benar tentang diri meliputi hal berikut ini:
Siapa aku dan dari mana aku.datang? Kemana aku pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini? Dimanakah kebahagiaan sejati dapat kutemukan?
Maka, ketahuilah, ada 3 sifat yang bersemayam dalam dirimu: sifat hewan, sifat setan dan sifat malaikat. Kau harus temukan, mana di antara ketiganya aksidental dan mana yang esensial? Tanpa mengungkap rahasia ini tak akan kau temukan kebahagiaan sejati.
Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut kalbu atau ruh. Kalbu yang saya maksud bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri, serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya.
Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib. Ia muncul ke dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang, dan kelak akan kembali ke negeri asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Allah.
Sebagai pemahaman mengenai hakikat kalbu atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan menutup matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu ia akan mengetahui keterbatasan sifat dirinya itu."
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah---
Jumat, 13 Juli 2018
Senin, 09 Juli 2018
SELALU MENJAGA LISAN
Imam al-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Perlu diketahui, setiap muslim harus menjaga lisannya dari semua ucapan, kecuali ucapan yang maslahat. Ketika berbicara dan diam mendatangkan maslahat yang setara, dianjurkan untuk diam karena ucapan mubah bisa mengarah kepada yang haram atau makruh. Bahkan, inilah yang sering terjadi. Sementara, keselamatan tidak bisa digantikan dengan apa pun."
Dalam Shahih al-Bukhari dan Abu Hurairah r.a.meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam."(H.R. Bukhari dan Muslim)
Sahl ibn Sa'ad r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang menjamin untukku apa yang terdapat antara jenggot dan kumisnya serta apa yang terdapat antara dua kakinya, kujaminkan untuknya surga." (H.R. Bukhari)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Seorang hamba mengucapkan satu kata yang mendatangkan ridha Allah, niscaya Dia akan mengangkat derajatnya tanpa ia sadari. Sementara seorang hamba yang mengucapkan satu kata yang mengundang murka Allah, tanpa ia sadari ucapannya itu akan mengantarnya ke neraka Jahannam."
Diriwayatkan pula bahwa Quss ibn Saidah dan Aktsam ibn Shayfi sedang berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, "Berapa aib yang kau temukan pada manusia?" "Tidak terhitung. Yang bisa kuhitung hanya delapan ribu aib. Namun, ada satu perbuatan yang jika kau pelihara, niscaya akan menutupi semua aib yang ada." "Apakah itu?" "Menjaga lisan," ujarnya.
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-Arus, syarah Syekh Muhammad Najdat.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Abu Hurairah r.a.meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam."(H.R. Bukhari dan Muslim)
Sahl ibn Sa'ad r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang menjamin untukku apa yang terdapat antara jenggot dan kumisnya serta apa yang terdapat antara dua kakinya, kujaminkan untuknya surga." (H.R. Bukhari)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Seorang hamba mengucapkan satu kata yang mendatangkan ridha Allah, niscaya Dia akan mengangkat derajatnya tanpa ia sadari. Sementara seorang hamba yang mengucapkan satu kata yang mengundang murka Allah, tanpa ia sadari ucapannya itu akan mengantarnya ke neraka Jahannam."
Diriwayatkan pula bahwa Quss ibn Saidah dan Aktsam ibn Shayfi sedang berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, "Berapa aib yang kau temukan pada manusia?" "Tidak terhitung. Yang bisa kuhitung hanya delapan ribu aib. Namun, ada satu perbuatan yang jika kau pelihara, niscaya akan menutupi semua aib yang ada." "Apakah itu?" "Menjaga lisan," ujarnya.
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-Arus, syarah Syekh Muhammad Najdat.
ALLAH DI ANTARA LISAN DAN HATI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Jika ada seseorang bertanya: “Bagaimanakah aku harus mengeluarkan cinta dunia dari hatiku?” Maka jawabannya adalah: “Hendaklah memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya.”
Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukim atau seorang munafik? Apakah engkau seorang yang bertauhid atau seorang musyrik?
Dunia adalah fitnah yang menyibukkan, kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata untuk bagian akhirat. Jika seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, maka jadilah akhirat untuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.
Setidaknya ada dua cara untuk bersyukur: 1) Memohon pertolongan dengan nikmat itu agar kita dapat berbuat taat dan menjadi pelipur lara bagi orang yang fakir di dunia; 2) Mengakui karena nikmat itu, mengakui kepada Maha Pemberi dan bersyukur kepada Dzat yang Menurunkannya, yakni Allah Azza wa Jalla.
Seorang ulama pernah berkata: “Segala sesuatu yang dapat menyibukkanmu dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukkan yang dapat melupakanmu untuk berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Jika shalat, puasa, haji dan seluruh amal baik telah memalingkanmu dari Allah, maka itu juga akan menjadi bencana. Maka perbaikilah ibadahmu. Jika nikmat yang diberikan Allah telah menyibukkanmu untuk mengingat Allah, maka nikmat itu juga akan mencelakakanmu.
Engkau boleh jadi sedang berdusta, bahkan saat engkau sedang mengerjakan shalat. Engkau mengucapkan, “Allahu Akbar!” tetapi engkau berdusta, karena dalam hatimu masih ada tuhan lain selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu maka berarti ia adalah tuhan.
Segala yang kau takuti dan harapkan bisa jadi "tuhan" bagimu. Hatimu tidak selaras dengan lisanmu. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Maka, hendaklah engkau mengucapkan “Allahu Akbar” seribu kali dalam hati dan mengucapkan sekali dengan lisan. Maka, tidakkah engkau merasa malu ketika engkau mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah dalam hatimu?”
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani---
Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukim atau seorang munafik? Apakah engkau seorang yang bertauhid atau seorang musyrik?
Dunia adalah fitnah yang menyibukkan, kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata untuk bagian akhirat. Jika seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, maka jadilah akhirat untuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.
Setidaknya ada dua cara untuk bersyukur: 1) Memohon pertolongan dengan nikmat itu agar kita dapat berbuat taat dan menjadi pelipur lara bagi orang yang fakir di dunia; 2) Mengakui karena nikmat itu, mengakui kepada Maha Pemberi dan bersyukur kepada Dzat yang Menurunkannya, yakni Allah Azza wa Jalla.
Seorang ulama pernah berkata: “Segala sesuatu yang dapat menyibukkanmu dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukkan yang dapat melupakanmu untuk berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Jika shalat, puasa, haji dan seluruh amal baik telah memalingkanmu dari Allah, maka itu juga akan menjadi bencana. Maka perbaikilah ibadahmu. Jika nikmat yang diberikan Allah telah menyibukkanmu untuk mengingat Allah, maka nikmat itu juga akan mencelakakanmu.
Engkau boleh jadi sedang berdusta, bahkan saat engkau sedang mengerjakan shalat. Engkau mengucapkan, “Allahu Akbar!” tetapi engkau berdusta, karena dalam hatimu masih ada tuhan lain selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu maka berarti ia adalah tuhan.
Segala yang kau takuti dan harapkan bisa jadi "tuhan" bagimu. Hatimu tidak selaras dengan lisanmu. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Maka, hendaklah engkau mengucapkan “Allahu Akbar” seribu kali dalam hati dan mengucapkan sekali dengan lisan. Maka, tidakkah engkau merasa malu ketika engkau mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah dalam hatimu?”
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani---
MUHASABAH UNTUK PAGIMU, SAHABATKU
"Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu"
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam
Sahabatku, contoh kekurangan yang biasa bersemayam dalam diri adalah sifat riya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Jadi, engkau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus dibawah bimbingan seorang guru.
Langkah ruhani semacam ini lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Sebab, biasanya, dorongan-dorongan seperti itu semua ditunjukkan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Allah.
Maka, janganlah engkau mencari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut, karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.
Sahabatku, ketahuilah olehmu:"Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah!" Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Rabbmu menuntutmu untuk istiqamah. Karena itu, tunaikanlah hak Allah lebih dahulu daripada baik kau tunaikan keinginanmu sendiri.
Pikir-pikirkanlah...Renung-renungkanlah
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam
Sahabatku, contoh kekurangan yang biasa bersemayam dalam diri adalah sifat riya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Jadi, engkau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus dibawah bimbingan seorang guru.
Langkah ruhani semacam ini lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Sebab, biasanya, dorongan-dorongan seperti itu semua ditunjukkan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Allah.
Maka, janganlah engkau mencari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut, karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.
Sahabatku, ketahuilah olehmu:"Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah!" Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Rabbmu menuntutmu untuk istiqamah. Karena itu, tunaikanlah hak Allah lebih dahulu daripada baik kau tunaikan keinginanmu sendiri.
Pikir-pikirkanlah...Renung-renungkanlah
Langganan:
Postingan (Atom)