Menurut Imam Al-Ghazali, perjalanan manusia di dunia bisa dibagi menjadi empat tahap, yakni: indrawi, eskperimental, instingtif dan rasional. Tahap pertama, ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing, bila sudah sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul.
Tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba, dengan instingnya ia segera kabur saat melihat macan atau srigala, musuh alaminya. Tapi, mereka tak akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran badan keduanya lebih besar.
Tahap keempat, ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu sehingga mampu—hingga batas tertentu—meramalkan dan mempersiapkan masa depannya. Tahapannya ditempuh seperti seorang yang berjalan di atas tanah, lalu seperti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, lalu ia mulai terbiasa dengan hakikat perjalanan, hingga tahapan akhir ia seperti orang yang mampu berjalan di atas air.
Kemudian, ketika keempat tahapan ini berhasil dilalui, ada tahapan kelima yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang terbang melintasi udara.
Imam Al-Ghazali mau mengatakan bahwa manusia bisa berada bermacam tahapan, mulai dari tahapan hewan hingga tahapan malakut (sifat kemalaikatan). Atau sebaliknya, ia tak mampu menempuh keempat tahapan normal, tetap terjatuh pada tahapan yang lebih rendah dari hewan. Hanya manusia yang bisa mengubah tingkatannya dari tahapan pertama hingga keempat atau mungkin sampai kelima. Ini yang tidak bisa ditempuh oleh kekuatan malaikat dan hewan.
Bila menggunakan rumusan Imam Al-Ghazali, tahapan kita bisa jadi pada tahapan pertama dan kedua. Di tahap ini arus bolak-balik, bimbang, ragu, coba-coba dan pikiran nyeleneh sering terjadi. Iman mereka kadang terombang-ambing oleh ombak, kadang pasang, kadang surut. Mereka tak punya keyakinan yang kokoh terhadap Hari Akhir, karena itu sewaktu-waktu bisa menolak akhirat sama sekali ketika nafsu indrawi menguasainya.
Fenomena ini bisa kita jumpai dengan cara mereka memahami masalah akhirat. Mereka menganggap neraka hanya sebagai akal-akalan para teolog atau rekayasa ulama. Mereka mungkin percaya sedikit, tapi kepercayaannya tertutupi oleh pandangan yang selalu melihat sesuatu secara empirik hingga ia sering terkelabui. Orang jenis ini sangat sombong dan angkuh.
Menurut Imam Ghazali, jika menghadapi orang jenis ini, cobalah tanyakan padanya, “Apakah Anda benar-benar yakin bahwa 124.000 nabi dan wali memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah, apakah hanya Anda yang benar?”
Jika jawabannya, “Ya, aku yakin,” berarti tidak perlu diteruskan lagi. Itu berarti pikiran dan hatinya telah membatu. Dia tidak akan percaya hisab, pengadilan akhirat, pahala-siksa dan surga-neraka. Tetapi, bia ia menjawab bahwa kehidupan akhirat itu mungkin ada mungkin tidak ada atau ia masih ragu untuk memutuskan karena masih mengandung misteri, maka sebaiknya, katakan padanya, “Selesaikan saja keraguan Anda!”
---Disarikan dari Kimiya As-Sa’adah, Imam Al-Ghazali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar