Allah swt. berfirman :
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu)>” (Qs. Al-Hasyr :9).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah
saw. bersabda :
“Orang-orang yang dermawan
dekat dengan Allah swt, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari
nerka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh adari manusia,
jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-orang bodoh yang pemurah lebih
disukai Allah swt. ketimbang orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.” (Hr.
Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani.).
Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu
pengetahuan antara kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan sifat
sakah’ hanya karena tidak adanya ketentuan pasti dari-Nya. Hakikat murah hati
(juud), manakala seseorang tidak merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya
kepada orang lain.
Sementara sebagian kalangan Sufi, derma
(sakha’) adalah tahap pertama, disusul oleh Juud, kemudian memprioritaskan
orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan
menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakah’. Sedangkan orang
yang menyerahkan lebih banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya,
ia adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat
membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan
miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.
Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq, bahwa asma’ binti Kharijah al-Fazzary mengatakan : “Aku tidak mau
menolak seseorang yang datang meminta kepadaku. Jika ia seorang yang terhormat,
aku memberinya untuk menjaga kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia
membuatku mempu menjaga kehormatanku sendiri.”
Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu
pintar sekali dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada
sahabat-sahabat dekatnya. Ia biasa meninggalkan uang seribu dirham kepada
mereka dan berkata : “Tolong jaga uang ini sampai aku kembali!” Kemudian, ia
menulis surat kepada mereka : “Uang itu boleh kalian ambil.”
Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu
dengan seseorang dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang orang tersebut.
“Ia dari mana?” Dikatakan kepadanya bahwa orang itu dari Madinah. “Seseorang
dari kota Anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang gkepada kami dan
membuat kami kaya.” Orang Madinah itu bertanya : “Bagaimana mungkin?” Ia tidak
datang kepada Anda, kecuali sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij
itu menjawab : “Ia tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia mengajarkan
kepadakami kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama
lain hingga kami menjadi kaya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Suatu ketika Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah. Sang
Khalifah lalu menyuruh agar mereka dipenggal lehernya. Sementara al-Junyad
terlindung oleh kedudukannya yang terhormat di lapangan fiqih. IA dapat
memberikan fatwa sesuai dengan mazhab Abu Tsur.
Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury
dan lain-lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk pemenggalan
kepala mereka. An-Nury melangkah ke depan dan si Algojo bertanya kepadanya :
“Apakah engkau sadar apa yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab : “Ya” Si
Algojo bertanya lagi : “Lantas apa yang membuatmu begitu bersemangat tampil ke
depan?” Ia menjawab : “Aku ingin agar kawan-kawanku dapat menikmati hidup
beberapa saat lagi.”
Si Algojo merasa bingung bercampur heran
atas jawaban An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang kemudian
diteruskan oleh para Sufi itu kepada seorang hakim untuk diperiksa perkaranya.
Sang Hakim mengajukan beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain
an-Nury, dan dijawabnya semua, lantas ia mengatakan : “Di samping itu,
sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang jika mereka berdiri, berdiri
bersama Allah, dan apabila bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus
berbicara dan kata-katanya membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu mengirim
pesan kepada Khalifah : “Jika orang-orang ini dianggap zindiq, maka tidak ada
lagi seorang Muslim pun di muka bumi ini.”
Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli
barang-barang dari penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata : “Anda akan
menghemat uang jika mau pergi ke pasar.” Ia menjawab :
“Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita denegan harapan dapat
menyediaka jasa kepada kita.”
Dikatakan : “Seorang laki-laki mengirimkan
seorang budak wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama
murid-muridnya. Ia berkata : “Betapa buruknya bila aku menerima budak ini
sementara Anda semua ada di sini. Aku tidak ingin
mengisitimewakan salah seorang dari Anda dengan memberikan budak
ini, sedangkan Anda semuanya mempunyai hak atas budak itu dan juga atas
penghormatanku. Budak ini tidak dapat dibagi-bagi di antara Anda sekalian.”
Jumlah mereka sebanyak delapanpuluh orang. Akhirnya Jabalah memerintahkan agar
didtangkan seorang budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridndya
itu.”
Dikatakn : “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu
Bakrah kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah seorang
wanita. Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya dan berdiri di belakang
pintu, seraya berkata : “Menjauhlah dari pintu dan suruhlah salah seorang
budakmu untuk mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang wanita
Arab, dan budakku telah meninggal dua hari yang lalu!”
Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan
kepada budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.” Wanita itu
berseru : “Subhanallah, Anda menghinaku?” Mendengar tanggapan wanita itu,
Ubaydullah menyuruh budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu
wanita itu berkata : “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda dimaafkan.”
Ubaydullah berkata lagi, “ Ambilkan tigapuluh ribu untuknya!.” Saat itulah si
wanita membanting daun pintu rumahnya dan berteriak : “Anda benar-benar
memalukan!>” Tatepai Ubaydullah berhasil memberikan kepadanya uang tigapuluh
ribu dirham itu, yang juga diterimanya. Sorenya, jumlah pelamarnya telah
menjadi berlipat ganda.
Dikatakan : “Kedermawanan hati berarti bertindak
pada saat munculnya instik yang pertama.”
Saya mendengar salah seorang murid Abul
hasan al-Busyanjy – semoga Allah merahmatinya – menuturkan : “Abul Hasan
al-Busyanjy sedang berada di dalam toilet. Ia memanggil salah seorang muridndya
dan memerintahkan : “Ambillah baju ini dariku dan berikan kepaa si Fulan!”
Seseorang bertanya kepadanya : “Tidak dapatkah Anda menunggu sampai Anda keluar
dari toilet?” Ia menjawab : “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran
dan batal memberikan baju ini.”
Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya :
“Pernahkah Anda melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda sendiri?” Ia
menjawab tegas : “Ya.” Pernah kami berhenti di apdang pasir di rumah seorang
wanita. Suaminya pulang, dan ia berkata kepadanya : “Engkau punya banyak tamu.”
Maka suaminya itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya, dan
memberitahukan, “Ini untuk Anda semua.”. Keesokan hari ia mengambil seekor unta
lagi dan mengatakan : “Ini untuk Anda.” Kami berkeberatan : “Tapi unta yang
Anda sembelih kemarin itu baru kami makan sedikit saja. “Ia menjawab : “Saya
tidak pernah meninggalkan daging basi kepada tamu-tamu saya.”
Kami tinggal di rumah orang itu selam dua
atau tiga hari lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus
melakukan hal yang sama. Ketika hendak berangkat meneruskan pejalanan, kami
tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya dan berkata kepada isterinya :
“Mintakan maaf untuk kami kepada suami Anda!>” Lalu kami berangkat
meneruskan perjalanan. Pada tengah hari tiba-tiba ada teriakan seseorang di
belakang kami: “Berhenti wahai gerombolan orang jahat! Kalian semua mau
membayar keramah-tamahanku? Lalu ia memaksa kami kembali dan mengatakan : “Anda
mengambilnya kembali, atau saya tusuk Anda dengan tommbak saya ini!.” Uang itu
kami ambil kembali dan kami pun terus melanjutkan perjalanan. Kemudian orang
itu bersyair :
Jika kau ambil kembali pahala
Karena apa yang telah kuberikan,
Maka biarlah kehinaan
Bagi peraihnya.
Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke
rumah salah seorang sahabtnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu dan
pintu rumah dikunci. Ia berkata : “Orang ini seorang Sufi, tapi mengunci
rumahnya? Hancurkan saja kuncinya?” Maka meraka pun membongkar kunci rumah itu.
Diperintahkannya agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di rumah itu
untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami rumah itu.
Ketika si empunya rumah datang, ia tidak
mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk rumah itu, dan ia
masih mempunyai pakaian. Dilemparkannya pakaian itu sambil berucap : “Wahai
para sahabt, ini juga bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!”
Suaminya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau lebih suka menderita seperti
ini?” Si istri menjawab : “Diamah!” Bagi seorang syeikh seperti itu, yang
menghormati kita dengan memperlakukan kita penuh keakraban dan yang
melaksanakan urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita sesuatu yang dapat
kita hinakan.”
Bisyr ibnul Harits mengatakan : “Menaruh
perhatian kepada seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”
Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin
Ubadah jatuh sakit, sahabt-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia
bertanya tentang mereka. Dikatakan kepadanya : “Mereka malu karena hutang-hutangnya
kepada Anda. “Ia berteriak : “Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang
saudara mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu mengirim seorang utusan
untuk mempermaklumkan bahwa barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu
dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan orang-orang yang
datang mengunjunginya.
Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far,
“Anda memberi cukup banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika ditentang
meskipun sedikit.” Ia menjawab, “Aku memberikan hartaku, tapi aku menggerutu
dengan nalarku.”
Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far
pergi menengok salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan, ia
berhenti di sebuah kebun kurma suatu kaum dimana seorang budak hitam sedang
bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk
ke dalam kebun itu dan mendatanginya. Budak itu lalu meemparkan sepotong roti,
dan anjing itu memakannya. Ia melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti
pada anjing itu, yang terus lahap memakannya.
Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu,
bertanya kepada si budak : “Wahai budak, berapa banyak makanan yang engkau
terima tiap hari?” Ia menjawab : “Seperti yang anda saksikan adi.” Abdullah
bertanya, “Lantas mengapa engkau berikan makananmu pada anjing itu, bukannya
engkau makan sendiri.?” Si budak menjelaskan : “Di tempat ini tidak ada anjing.
Anjing itu telh datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau
mengusirnya.” Abdullah bertanya lagi : “Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak
menjawab : “Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku telah
dicela orang karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.”
Maka ia lalu membeli kebun kurma itu, sekaligus dengan budak itu dan alat-alat
kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu kepadanya.”
Diceritakan bahwa seorang laki-laki
mengunjungi seorang sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabtnya itu. Si
sahabat bertanya kepadanya : “Ada apa?” Laki-laki itu menjawab : “Aku punya
hutang sebanyak empat ratus dirham yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu
lalu mengambil uang empatratus dirham dan memberikannya kepada sahabatnya.
Setelah itu ia masuk ke dalam sambil menangis. Istrinya bertanya kepadanya :
“Mengapa engkau tidak mengjukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan
susah?” Suaminya menjawab : “Aku menangis karena kau tidak melihat kondisi yang
menimpanya sehingga terpaksa mengungkapkannya kepadaku.”
Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan :
“Apabila salah seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku, hendaklah
menyampaikannya melalui pesan tertulis, sebab aku tidak suka melihat hinanya
wajah seseoarng yang sangat membutuhkan.”
Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat
gara-gara terhadap Abdullah bin Abbas. IA membawa orang-orang tekemuka di kota
dan mengatakan kepada mereka bahwa Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya
untuk makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah Abdullah, dan
pekarangan rumahnya pun penuh dengan kehadiran mereka. Abdullah bertanya : “Ada
apa ini?” Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Dengan
segera Abdullah menyuruh orang untuk membeli buah-buahan dan roti serta memasak
makanan. Semunaya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua makanan
telah habis dimakan, ia bertanya kepada para wakilnya, : “Apakah mungkin bagiku
untuk menyediakan makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab :
“Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan : “Jika demikian, biarlah semua orang ini
menjadi tamuku setiap hari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy menuturkan : “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang berwudhu di
pekarangannya, seorang laki-laki datang meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa
sesuatu pun, karenanya ia lalu berkata : “Tunggu sampai aku selesai!” Orang itu
pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata kepada orang itu : “Ambillah
botol minyak wangi ini dan pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi.
Abu Sahl menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah pergi jauh;
kemudian ia berteriak : “Ada orang mencuri botol minyak wangi!” Orang-orang pun
mengejar “si pencuri” tetapi tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat
demikian hanya karena keluarganya sering mengecamnya atas
tindakannya yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.
Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada
seorang laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya jubah
milik beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika hendak pergi mengajar.
Suatu delegasi ulama-ulama terkenal yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap
bidang ilmu datang dari Persia. Delegasi tersebut mencakup pra
fuqaha tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan panglima tentara, yakni
Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk menyambut kedatangan mereka. Beliau
mengenakan pakaian perang di balik jubah wanita yang dipakainya, lalu menaiki
kendaraannya. Sang Panglima berkata : “Ia mengejekku di hdapan seluruh penduduk
kota, dengan berkendaraan memakai jubah wanita!” Tetapi Abu Sahl kemudian
berdebat dengan seluruh anggota delegasi terssebut, dan berhasil
memenangkannya.
Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy – semoga Allah merahmatinya – mengabarkan bahwa Syeikh Abu Sahl tidak
pernah memberikan sedekah kepada siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan
hartanya ia lempar ke tanah agar diambil orang yang membutuhkannya, dan berkata
: “Dunia ini bagiku kecil nilainya dibanding kau melihat ke arahnya, sementara
tanganku di atas tangan seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “ Tangan
yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Hr. Muslim dan Tirmidzi).
Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah
seorang yang murah hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya.
Beliau mengatakan : “Aku tidak punya sesuatu pun untuk kuberikan kepadamu.
Laporkan kepada Hakim, dengan tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu
dirham, untuk ku akui, sehingga hakim itu menahanku. Sebab keluargaku pasti
tidak membiarkan diriku ditahan.” Si penyair itu pun menuruti perintahnya dan
ia tidak dapat berbuat banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh
ribu dirham agar ia keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun keluar setelah
ditunaikan hutangnya.
Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah
kepada Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu
sebanyak lima puluh ribu dirham dan limaraus dinar. Beliau menyuruh
orang itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu. Orang itu pun lalu
mencari kuli. Kemudain al-Hasan memberikan kepadanya selendangnya, sambil
berkata :”Upah kuli itu, kutanggung juga.” Ketika seorng wanita meminta makok
madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang membawa sekantong kulit penuh
madu kepada wanita tersebut. Seseorang mengkritik atas tindakannya itu, dan
dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan kebutuhannya, dan aku memberi
sesuai dengan kesenanganku.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku
Shalat Subuh di masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah
seorang yang berhutang kepada kepadaku. Seusai menunaikan shalat, seseorang
meletakkan satu stel pakaian dan sepasang ssandal di hadapan setiap orang yang ada
di masjid itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya :Apa ini?” Orang-orang
menjawa :Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah, dan beliau menyruh hal ini
dilakukan kepada seluruh jamaah masjid.”. Aku berkata : “Akan tetapi aku orang
luar. Aku datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang berhutang
kepadaku.” Mereka berkata : “Hadiah ini untuk semua yang hadir.”
Diceritakan, bahwa menjelang wafat,
asy-Syafi’y r,a, memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan aku!”
Namun orang yang dimaksud tidak ada di sana. Ketika ia datang kepadanya
dikatakan tentang pesan asy-Syafi’y tersebut. Maka ia minta untuk melihat
pembukuan asy-Syafi’y, dan ia menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak
tujuh puluh ribu dirham. Orang itu kemudian menyelesesaikan huang itu dan
berkaa : “Inilah tugasku memandikan beliau.”
Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y
kembali ke Mekkah dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar. Seseorang
mengatakan kepada beliau : Anda harus membeli budak wanita dengan uang itu.” Mendengar
itu, beliau lalu memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan menumpahkan
dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang datang ke kemah, beliau
memberinya segenggam uang. Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan
mengibas-ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang
tertingggal.
Dikisahka, bahwa as-Sary pergi kelaut pada
hari raya, dan bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya melihat
sekilas saja kepadanya. Seseorang berkaa : “Itu orang penting.” Ia menjawab :
“Aku tahu siapa dia, tetapi telah dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim
berjumpa, maka seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua
:sembilan puluh persen untuk orang yang lebih bergembira di antara mereka
berdua. Aku ingin agar ia memperoleh bagian yang lebih banyak.
Diceritakan bahwa suatu hari Amirul
Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada
beliau : “Apa yang membuat Anda menangis?” Beliau menjawab : “Tidak seorang pun
tamu yang datang kepadaku selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah
menghinaku.”
Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a.
mengatakan : “Zakat atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di
dalamnya untuk tamu.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad)
cerita tentang tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs.
Adz-Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang
dimuliakan, karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga dikatakan
demikian, karena si tamu seorang mulia dengan sendirinya juga seorang yang
mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada
empat perbuatan yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia seorang
prnguasa : “Berdiri dari tempat duduknya untuk ayahnya, melayani tamunya,
melayani seorang ulama yang pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa
yang tidak diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman
Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan
bersama-sama mereka atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa
berdosa jika di antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan hal
itu bagi mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin
Kurayz sekali waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika orang
itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak membantunya. Ketika ditanya
tentang hal ini, Abdullah menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang
meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair
al-Muntanabby dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan
mereka
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan
jiwa dengan tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati
dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu
hari yang sangat dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan
sebagian dari pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku bertanya kepadanya :
“Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini.
Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku ingat kepada
orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa pun untuk
diberikan kepada mereka. Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka,
kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Kedermawanan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin.
Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”