Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan;
"Makna sampai (wushul) kepada Allah SWT adalah terputusnya hubunganmu
dengan sesama makhluk, hawa nafsu, keinginan, dan setiap cita-cita, serta tetap
istiqamah dengan apa yang ia lakukan, tanpa adanya gejolak sedikit pun dalam
dirimu tentang mereka dan dalam diri mereka tentang dirimu.
Tetapi, semuanya itu menurut kehendak hukum Allah, perintah, dan
ketentuan-Nya. Keadaan ini adalah suatu keadaan fana yang diungkapkan dengan
kata wushul (sampai). Wushul kepada Allah SWT itu tidak sama dengan wushul
kepada salah seorang makhluk yang dapat diterima akal dan dapat diketahui.
Allah SWT berfirman,
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
dan Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11).
Sungguh terlalu agung Dzat Pencipta untuk dapat diserupakan
dengan makhluk-Nya atau dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Orang yang sudah
sampai kepada Allah SWT itu diketahui oleh para ahli wushul dengan
pemberitahuan dari Allah SWT. Masing-masing berada dalam batas yang tidak sama
dengan orang lain.
Allah SWT mempunyai rahasia beserta salah seorang dari Rasul dan
Nabi-Nya serta para kekasih-Nya, tidak ada orang yang tahu selain Dzat-Nya
sendiri. Sampai terkadang seseorang yang sedang mengharap sampai kepada Allah
SWT itu mempunyai rahasia yang tidak dapat diketahui oleh syaikhnya. Begitu
juga seorang syaikh mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh muridnya.
Jika seorang murid itu sudah mencapai keadaan (hal) syaikhnya,
dia dipisah dan diasingkan dari syaikh tersebut. Maka, Allah SWT yang
menguasainya dan yang menghapus hubungannya dari semua makhluk secara
keseluruhan. Syaikh itu ibarat seorang wanita yang menyusu atau yang baru
melahirkan. Dia bertugas untuk menyusuinya selama dua tahun. Tidak ada lagi
makhluk yang lain setelah hilangnya hawa nafsu dan setiap keinginan. Seorang
syaikh itu dibutuhkan selagi dalam diri seorang murid itu masih terdapat hawa
nafsu dan keinginan-keinginan, yang kemudian menjadi tugasnya untuk
menghancurkan kedua hal itu. Adapun setelah keduanya hilang maka tidak
dibutuhkan lagi—karena memang sudah tidak ada lagi sifat kotor dan sifat yang
kurang. Apabila kamu telah sampai kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah saya
jelaskan, jadilah kamu seorang yang aman dari selain Allah SWT selamanya. Kamu
tidak akan melihat wujud selain Allah SWT sama sekali, baik dalam kemadharatan
maupun kemanfaatan. Tidak dalam keadaan diberi ataupun tidak diberi. Tidak
dalam keadaan khauf ataupun raja’.
Allah SWT adalah ahli takwa dan ahli maghfirah (ampunan). Maka,
jadilah kamu selamanya sebagai seorang yang selalu melihat setiap ketentuan
Allah SWT, menanti dan mengamati setiap perintah-Nya, tersibukkan dengan
menaati-Nya, berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain, baik di dunia maupun
di akhirat. Jangan gantungkan hatimu dengan suatu apa pun dari mereka.
Jadikanlah mereka seperti seorang laki-laki yang disiksa oleh seorang raja yang
sangat besar kekuasaannya, keras perintahnya, sangat pedih cambukannya.
Kemudian, raja itu mengikatkan belenggu di leher dan kedua kakinya, dan
menyalibnya di pohon kurma di pinggir sebuah pantai yang luas membentang, dalam
dasarnya, dan kuat arusnya. Kemudian sang raja duduk di atas singgasananya yang
sangat agung kekuasaannya, menjulang wibawanya, sangat jauh cita-cita dan
impiannya. Dia meletakkan di sampingnya senjata yang berupa anak panah, tombak,
pisau kecil, dan senjata lainnya. Kemudian, dia melemparkan senjata tersebut ke
arah lelaki yang disalib tadi semau dia.
Apakah baik bagi seseorang yang melihat hal tersebut untuk tidak
melihat sang raja, tidak mempunyai rasa takut kepadanya, dan mengharapkan
pengampunannya? Serta melihat lelaki yang disalib dan merasa kasihan kepadanya.
Bukankah orang yang demikian itu, menurut ukuran akal, adalah orang yang tidak
mempunyai akal dan perasaan? Tidakkah ia seorang manusia yang berhati binatang?
Kita berlindung kepada Allah SWT dari kebutaan setelah adanya
penglihatan. Dari terputusnya hubungan setelah sampai kepada-Nya. Dari jauhnya
jarak setelah adanya kedekatan dan keeratan. Dari kesesatan setelah adanya
hidayah. Dan dari kufur setelah adanya keimanan. Dunia bagaikan sebuah aliran
sungai yang besar, setiap hari airnya terus bertambah dan mengalir. Itulah
syahwat seluruh anak manusia (bani Adam) dan kenikmatan yang ada di dalam dunia
tersebut. Adapun berbagai macam senjata tadi, seperti cobaan dan musibah yang
datang bersama qadar kepada manusia.
Maka, yang lumrah bagi seorang bani Adam adalah adanya cobaan,
kemanfaatan, rasa sakit, dan segala macam bentuk ujian di dunia ini. Semua
bentuk kenikmatan yang mereka dapatkan itu sebenarnya telah bercampur dengan
berbagai macam malapetaka.
Jika seseorang yang mempunyai akal merenungkan dan mengambil
pelajaran darinya, orang tersebut tidak akan mempunyai kehidupan, mata
pencaharian, dan masa istirahat, kecuali di akhirat apabila dia seorang mukmin.
Karena hal tersebut hanya khusus bagi diri seorang mukmin. Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan di akhirat.” Beliau juga
bersabda, “Tidak ada kata kenikmatan dan istirahat bagi seorang mukmin, kecuali
bertemu dengan Tuhannya.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Dunia adalah penjara
bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Beliau SAW bersabda, "Takwa itu seperti tali kekang.”
Dengan keterangan hadits-hadits dan peristiwa ini, bagaimana bisa seseorang itu
mengaku sebagai orang yang baik kehidupannya di dunia ini? Keadaan lega dan
tenang itu ketika tawajjuh hanya kepada Allah SWT, menyesuaikan diri
dengan-Nya, serta bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan demikian, seorang hamba akan
dapat keluar dari dunia ini. Pada saat itulah, kehinaan menjadi rahmat,
kelembutan, sedekah, dan anugerah. Wallahu a’lam."
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab
Futuhul-Ghayb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar