Imam Al-Ghazali mengatakan:
"Dunia cenderung menipu dan memperdaya manusia, yang
mewujud dalam beragam rupa. Misalnya, dunia berpura-pura seakan-akan ia akan
selalu tinggal bersamamu, padahal kenyataannya, secara perlahan ia bakal pergi
menjauhimu dan berpisah darimu, layaknya suatu bayangan yang tampaknya tetap,
tetapi kenyataannya selalu bergerak.
Atau, dunia menampilkan dirinya dalam rupa penyihir yang
berseri-seri, tetapi tak bermoral, ia berpura-pura mencintai dan menyayangimu,
namun kemudian membelot kepada musuhmu, meninggalkanmu mati merana dilanda rasa
kecewa dan putus asa. Nabi Isa a.s. melihat dunia melihat dunia dalam bentuk
seorang wanita tua yang buruk rupa.
Ketika Isa a.s. bertanya kepadanya tentang berapa banyak
suaminya, ia menjawab bahwa jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, apakah
mereka telah mati ataukah dicerai. Si wanita itu bilang bahwa ia telah
memenggal mereka semua. “Aku heran,” ujar Isa a.s. kepada wanita tua itu,
“Betapa banyak orang bodoh yang masih menginginkanmu setelah apa yang kau
lakukan atas banyak orang.”
Wanita tua ini menghiasi dirinya dengan busana yang indah sarat
permata, menutupi mukanya dengan cadar, lalu merayu manusia. Sangat banyak dari
mereka yang mengikutinya menuju kehancuran.
Rasulullah saw. menyatakan bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini
akan tampak dalam bentuk seorang nenek tua yang seram, bermata hijau gelap, dan
gigi yang bertonjolan. Orang yang melihatnya akan berkata, “Ampun! Siapakah
ini?” Malaikat menjawab, “Inilah dunia yang deminya kalian bertengkar dan
berkelahi serta saling merusak kehidupan.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan
ke neraka seraya menjerit keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku
dahulu?” Tuhan pun kemudian memerintahkan para pecinta dunia juga dilemparkan
mengikuti kekasih mereka itu.
Siapa saja yang mau merenungkan secara serius keabadian di masa
lalu, ketika dunia ini belum ada, dan keabadian di masa datang, ketika dunia
tak lagi ada, akan mengetahui bahwa kehidupan ini bagaikan sebuah perjalanan
yang tahapan-tahapannya dicerminkan oleh tahun, liga-liganya (ukuran jarak, + 3
mil) oleh bulan, mil-milnya oleh hari, dan langkah-langkahnya oleh detik. Jadi,
betapa bodoh orang yang berupaya menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya
yang abadi dan menyusun rencana sepuluh tahun ke depan untuk meraih apa-apa
yang bisa jadi tak pernah dibutuhkannya, padahal sepuluh hari ke depan mungkin
ia telah terkubur dalam tanah.
Saat kematian datang, orang yang mengumbar nafsu tanpa batas dan
tenggelam dalam kenikmatan dunia tak ubahnya seperti orang yang memenuhi
perutnya dengan panganan lezat, kemudian memuntahkannya.
Kelezatannya telah hilang, tetapi mualnya tetap terasa. Makin
banyak harta yang dinikmati – berupa taman-taman yang indah, budak, emas,
perak, dan lain-lain – semakin berat penderitaan yang dirasakan ketika mereka
dipisahkan oleh kematian. Beratnya penderitaan itu melebihi derita kematian,
karena jiwa yang telah dilekati sifat tamak akan menderita di akhirat akibat
nafsu yang tak terpuaskan.
Dunia menipu manusia dengan cara-cara lainnya, seperti
menampakkan diri sebagai sesuatu yang remeh dan sepele, tetapi setelah dikejar ternyata
ia punya cabang yang begitu banyak dan panjang sehingga seluruh waktu dan
energi manusia dihabiskan untuk mengejarnya. Nabi Isa a.s. berkata, “Pecinta
dunia ini seperti orang yang minum air laut; semakin banyak minum, semakin haus
ia sampai akhirnya mati akibat dahaga yang tak terpuaskan.” Dan Rasulullah saw.
bersabda, “Kau tak bisa bergelut dengan dunia tanpa terkotori olehnya,
sebagaimana kau tak bisa menyelam tanpa menjadi basah.”
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang
datang dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan
perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai
kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu
pergi. Sebaliknya, tamu yang tolol mencoba membawa beberapa piring emas dan
perak hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia akhinya
dicampakkan dalam keadaan hina dan malu.
Gambaran tentang sifat dunia yang penuh tipu daya ini akan kita
tutup dengan sebuah tamsil pendek berikut ini. Katakanlah ada sebuah kapal yang
hendak berlabuh di sebuah pulau berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada
para penumpang bahwa ia akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh
berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama. Akhirnya, para penumpang
turun dan berjalan ke berbagai arah.
Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah
berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat
memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan
lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan
nyanyian burung. Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman
telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman.
Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih
lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke
kapal. Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu.
Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin
membuat mereka merasa tidak nyaman.
Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara
kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal
itu terpaksa berlayar tanpa mereka. Mereka terlunta-lunta di pulau itu tanpa
harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.
Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan
diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi
dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya
adalah orang beriman, tetapi masih disibukkan oleh dunia yang sesungguhnya
tidak berharga.
Meskipun kita telah banyak bicara tentang bahaya dunia, mesti
diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak dicela, seperti ilmu
dan amal baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan
memengaruhi nasib dan keadaannya di sana. Terlebih lagi amal yang dibawa adalah
amal ibadah yang membuatnya selalu mengingat dan mencintai Allah.
Semua itu, sebagaimana ungkapan Alquran, termasuk “segala yang
baik akan abadi”.
Juga ada beberapa hal baik lainnya di dunia ini, seperti
perkawinan, makanan, pakaian, dan lain-lain, yang dipergunakan secara bijak
oleh kaum beriman sebagai sarana untuk mencapai dunia yang akan datang. Selain
semua hal tersebut, terutama yang memikat pikiran dan memaksa manusia untuk
bersetia kepadanya dan mengabaikan akhirat, sungguh merupakan kejahatan yang
layak dikutuk, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Dunia ini terkutuk dan
segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada
Allah dan segala sesuatu yang mendukungnya.”
---Imam Al-Ghazali, kitab Kimiya As-Sa'adah---