Di zaman Rasulullah, ada seorang lelaki yang tertimpa musibah dan sakit hingga
matanya mengalami kebutaan. Karena tak kuasa dengan penderitaan yang
dialaminya, dia pergi menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia memohon agar kepada Nabi untuk mendoakan dirinya agar bisa
sembuh dari penyakitnya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Pergilah ambil wudhu dan shalatlah dua rakaat, lalu bacalah bacalah doa ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّيْ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ
أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ وَيَقْضِيْ حَاجَتِيْ
Allâhumma innî as-aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyi
muhammadin nabiyyir rahmah ya muhammad innî atawajjahu bika ilâ rabbî wa yaqdhî
hâjatî
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan aku menghadap
pada-Mu perantara Nabi Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau terkait dengan hajatku
agar dikabulkan.” (HR. An-Nasa’i)
Maka, seketika orang itu sembuh dari penyakit yang dialaminya.
Matanya tak lagi buta, dia kembali sehat berkat doa yang diajarkan Nabi.
Doa yang memuat contoh penyebutan dan tawajjuh ini sangat
populer di zaman Nabi dan masa sahabat. Meski doa ini menjadi sebab
kemunculannya adalah untuk menyembuhkan kebutaan, tapi dalam praktiknya dia
merupakan doa segala hal, terutama saat ditimpa cobaan berat.
Bahkan, dahulu pernah ada seseorang yang menghadap khalifah
Utsman ibn Affan untuk memohon bantuan dengan segera. Tapi sayang, sang
Khalifah tak menggubrisnya ia bahkan tak menoleh ke arah orang itu sama sekali.
Maka dia pulang dengan tangan kosong tanpa hasil apa pun. Lelaki itu lantas
mengadu pada Utsman ibn Hanif. Mendengar pengaduannya, Utsman ibn Hanif lalu menyuruhnya
wudhu dan menuju masjid untuk shalat dua rakaat. Utsman ibn Hanif berpesan agar
usai shalat, lelaki itu mengucapkan doa di atas.
Akhirnya, lelaki itu melaksanakan saran Utsman ibn Hanif dan
kembali menghadap sang Khalifah. Sesampainya di rumah sang Khalifah, tiba-tiba
ia disambut dengan hangat dan langsung ditanya sang Khalifah, “Apa yang bisa
saya bantu?” Maka lelaki itu pun mengadukan segala hal yang mungkin bisa
dibantu sang Khalifah. Kisah itu diabadikan dalam kitab, At-Targhîb fi Ad-Du’â’
karya Abdul Wahid Al-Maqdisi.
Sahabatku, lihatlah redaksi hadis ini, "Aku menghadap
kepada-Mu perantara Nabi Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau terkait dengan hajatku
agar dikabulkan.”
Sebuah permohonan doa yang menggunakan perantara Rasulullah
untuk menguatkan agar doa terkabul. Di zaman Khalifah Usman, Nabi telah wafat,
namun redaksi tawajuh dan perantaranya masih terus digunakan, sebagaimana kita
berselawat saat tahiyyat. Dari pelajaran ini kita juga bisa memahami bahwa pada
setiap kita berdoa kita harus mendahuluinya dengan shalawat Nabi. Doa bisa
tertolak tanpa shalawat. Rangkaian doa dari awal hingga akhir adalah satu
kesatuan munajat, dimana tanpa perantara Rasul doa menjadi kurang sah.
Maka, tak heran sahabat, tabiin, tabi tabiin, seringkali
melakukan tawassul dengan model doa seperti itu tapi dengan redaksi berbeda.
Shalawat menjadi doa dan munajat yang melekat di hati mereka. Mereka menulis
syair, pujian, burdah, dan sejenisnya untuk memuliakan dan mengagungkan
Nabinya.
Shalawat Fatih, shalawat Nariyah, shalawat Badar, shalawat
Arzaqiyah dan ratusan selawat lain yang pernah dibuat oleh ulama terdahulu dan
diabadikan dengan tradisi pewarisan shalawat secara turun temurun adalah hal
yang bisa terjadi. Pujian pasti bersifat hiperbolik, maka sepanjang tidak
bertentangan dengan nash dan akal sehat, jangan pernah menganggapnya sebagai
musyrik. Munajat adalah bahasa jiwa, sangat pribadi, personal, dan refleksi
dari pikiran dan hati yang diajukan kepada Allah. Jadi wajar, jika bahasa
permintaan yang indah dari segi sastra, mendalam dari segi makna itu tersusun
dalam kalimat shalawat yang memesona.
Sayangnya, muatan bahasa yang memuliakan Nabi selalu dianggap
berlebihan, dianggap bidah, dan bahkan ada yang menyebut musyrik. Ini terjadi
karena miskin ilmu dan miskin adab. Mereka lupa atau tidak menyadarinya bahwa
Allah sendiri adalah Dzat yang paling dahsyat dalam memuji Rasulullah. Bahkan,
kadang Dia menggunakan simbol khusus untuk memuliakan Nabi, seperti Ya Siin,
Alif Lam Mim dan sebagainya. Dan, bukankah seluruh isi Al-Quran adalah
pemuliaan khusus untuk Muhammad, manusia paling sempurna, tajalli Allah yang
paling sempurna.
Pujian kita dalam shalawat Nariyah atau shalawat Fatih belum
sebanding dengan pujian Allah dalam Al-Quran. Bukan hanya wajah Nabi yang bisa
menyebabkan turunnya hujan, tapi bulan pun bisa terbelah, bahkan dunia ini
diciptakan Allah untuknya dan karenanya. Seperti yang termuat dalam Hadis
Qudsi, lawlaka, lawlaka, ma khalaqtul-aflaka.
Setelah memahami hadis Qudsi ini, maka kita akan dengan mudah
memahami hadis Qudsi yang lain: "Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an
'urafa fa khalaqtul khalqa likay 'uraf" (Aku adalah Perbendaharaan yang
Tersembunyi, Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali).
Ruh dan Nur Muhammad adalah ciptaan Allah pertama, mazhar paling sempurna, dia
adalah cermin Tuhan.
Dari Ruh Muhammad yang termurni inilah makhluk pertama dan asal
seluruh makhluk. Rasulullah SAW bersabda, "Ana minallah wal-Mukminun
minni." (Aku dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku).
Konsep kosmologi Islam ini tertuang dalam Al-Quran, hadis,
tafsir, dan kitab-kitab ulama. Mereka yang mengenali khazanah keilmuan Islam
ini tak akan berani menafikan dalil ini.
Tak ada satu doa dan selawat pun yang ditujukan untuk meminta
kepada Nabi. Tapi, meminta kepada Allah dengan perantara, kesaksian, bantuan,
dan kemuliaan yang pernah diberikan Allah kepada Nabinya. Karena itu, dalam
shalawat selalu diawali dengan "Allahumma" itu adalah kalimat
panggilan langsung kepada Allah, "Ya Allah."
Semoga Allah membimbing ruh kita ke jalan yang diridhai-Nya,
membuka pintu-pintu makrifat dan mahabbah-Nya.
Allahumma shalli wa sallim 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali
sayyidina Muhammad.
Qobiltu
BalasHapus