15. PERGUNJINGAN
Allah
swt. berfirman :
“Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (qs, Al-Hujurat :12).
Abu
Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang ikut duduk bersama
Rasulullah saw. kemudian ia bangkit berdiri dan pergi. Salah seorang yang hadir
berkata : “Alangkah lemahnya orang itu.” Rasulullah saw. bersabda : “Engkau
telah memakan daging saudaramu ketika engkau menggunjingnya.”
Allah
swt. mewahyukan kepada Musa, as. : “Barangsiapa meninggal dengan berTaubat dari
menggunnjing, akan menjadi orang terakhir yang masuk surga, dan barangsiapa
meninggal dengan berterus-terusan melakukan gunjingan itu, akan menjadi orang
yang pertama masuk neraka.”
Auf
menuturkan : “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku aku menggunjing Al-Hallaj. Ibnu
Sirin berkata :”Sesungghnya Allah swt. adalah hakim yang paling adil, maka
sebanyak yag diambilnya dari al-Hallaj, sebanyak itu pula yang diberikan-Nya
kepadanya. Ketika engkau berjupa dengan Allah awt. Di akhirat nanti, dosa
sekecil apapun yang telah dilakukan al-Hallaj akan menjadi lebih besar bagimu
daripada dosa terbesar yang teah dilakuka al-Hallaj.”
Diriwaytkan
bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta, dan ia pun bersedia
menghadirinya. Ketika orang-orang membicarakan seseorang yang tidak hadir,
mereka mengatakan : “Seorang yang kurus kering dan tidak meenarik.” Ibrahim
berkata : “Inilah yang dilakukan nafsuku terhadap diriku.” Kutemukan diriku
dalam perkumpulan dimana pergunjingan dilakukan.” Ia lalu pergi begitu saja,
setelah itu ia tidak makan selama tiga hari.
Dikaakan
: “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah seperti orang yang menyiapkan
ketapil. Ia menembak amal-amal baiknya sendiri dengan perbuatannya itu ke Barat
dan ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari Khurasan, seorang lagi dari Hijaz,
seorang lagi dari Turki, ia mencerai-beraikan amal-amal baiknya sendiri, dan
ketika berdiri, tak satu pun amal baiknya.”
Dikatakan,
: “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya pada hari Kiamat, tetapi ia tidak
melihat satu pun amal baiknya di dalamnya. Ia akan bertanya : “Di mana shalat,
puasa dan amal-amal ibadatku yang lain?” Dikatakan kepadanya : “Semua amalmu
telah hilang karena engkau terlibat dalam pergunjingan.”
Dikatakan
: “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separo dosanya.”
Sufyan
ibnul Husain mengatakan : “Aku sedang duduk-duduk dengan Iyas bin Mu’awiyah,
dan menggunjing seseorang. Iyas bertanya kepadaku : “Apakah engkau telah
menyerang orang-orang Romawi atau Turki tahun ini?” Aku menjawab : “Tidak”
Ilyas berkata : Orang-orang Turki dan Romawi telah selmat dari seranganmu,
sementara saudaramu sendiri yang Muslim tidak!” Dikatakan : “Seorang manusia
akan diberi catatan amalnya di hari Kiamat, dan ia menemukan di dalamnya
amal-amal baik yag tidak pernah diperbuatnya. Dikatakan kepadanya : “Ini adalah
imbalan bagi gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui.”
Sufyan
ats-Tsauri ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Alalh membenci
keluarga pemakan daging manusia.” (H.r. Baihaqi). Sufyan mengomentari : “Yang
dimaksud di sini adalah orang-orang yang menggunjing, mereka memakan daging
manusia.”
Ketika
menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah ibnul Mubarak, ia berkata : “Jika
aku menggunjing seseorang niscaya aku akan menggunjing kedua orang tuaku, sebab
mereka yang paling berhak atas amal-amal baiku.”
Yahya
bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah keuntungan seorang Muslim terhadap dirimu
berupa tiga hal ini : Jika engkau tidak bisa membantunya, maka janganlah engkau
mengganggunya; Jika engkau tidak bisa memberinya kegembiraan, maka janganlah
engkau membuatnya sedih; Jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah
engkau mencari-cari kesalahannya.
Dikatakan
kepada Hasan al-Bashry : “ Si Fulan telah menggunjing Anda”, maka al-Hasan lalu
mengirimkan kue-kue kepada orang yang menggunjingnya, dengan pesan : “Aku mendengar
bahwa engkau telah melimpahkan amal baimu kepadaku. Aku ingin membalas
kebaikanmu.”
Diriwayatkan
oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Jika orang
melepaskan tabir rasa malu dari wajahnya, niscaya tidak akan ada masalah pergunjingan
bagimu.” (H.r. Ibnu Abdi dan Abu Asy-Syeikh).
Al-Junay
menuturkan : “Aku sedang dudukduduk di masjid asy-Syuniziyah, menunggu jenazah
agar aku bisa ikut melaksanakan shalat jenazah. Orag-orang Baghdad dengan
berbagai kelasny duduk menunggu iringan tersebut. Lalu aku melihat seorang
miskin yang kelihatan bekas ibadatnya mengemis dari orang banyak. Aku berkata
kepada diriku sendiri : “Jika orang ini mau bekerja untuk memperoleh rezekinya,
itu akan lebih baginya.” Ketika aku kembali ke rumah, maka seperti biasanya,
aku mulai melakukan wirid di malam hari, menangis dan shalat, serta
amalan-amalan lainnya. Tetapi semua wiridku itu terasa memberatkan
jiwaku, aka aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk-duduk saja. Ketika aku
terjaga, kantuk datang kepadaku, aku melihat si pengemis itu. Kulihat
orang-orang sedang meletakkan tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan
mereka memerintahkan kepadaku : “Makanlah daging orang ini, karena engkau telah
menggunjingnya.” Keadan orang itu diungkapkan kepadaku, dan aku memprotes, “Aku
tiak menggunjingya.” Aku hanya mengatakan sesuatu kepada diriku sendiri.” Lalu
dikatakan keapdaku : “Perbuatan seperti itu pun tidak layak. Pergilah kepada
orang itu dan meminta maaflah!” Paginya aku terus mencari orang itu sampai aku
menemukannya sedang mengumpulkan dedaunan yang tersisa dalam air yag digunakan
untuk mencuci sayur mayur. Ketika aku memberi salam kepadanya, ia bertanya :
“Wahai abul Qasim, apakah engkau atang ke sini lagi?” Aku menjawab : “Tidak” Ia
berkata : “Semoga Allah mengampuni dosa kami dan dosamu.”
Abu
Ja’far al-Baklhy berkata : “Seorang pemuda dari kalngan warga Balkh sedang
berada di antara kami, ia bermujahadah dan mengabdikan dirinya untuk melayani
Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat dalam gunjingan. Ia suka mengatakan
: “Si Fulan dan si Fulan itu demikian.” Pada suatu hari aku melihatnya sedang
mengunjungi beberapa tukang memandikan jenazah yang disebut orang sebagai
“orang-orang banci”. Ketika pemuda itu meninggalkan mereka, aku bertanya kepadanya
: “Wahai Fuan, apa yang telah terjadi padamu?” Ia menjawab : “Begiliha
akibatnya atas perbuatanku mengunjing. Hal itu telah emncampakkanku dalam
kehinaan ini. Aku telah tergila-gila kepada salah seorang banci dan aku
melayani mereka atas namanya. Semua amal ibadatku sebelumnya telah musnah. Maka
doakan agar Allah swt.mengasihiku!.”
16. QANA’AH
Allah
swt. berfirman :
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki- maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(Qs. An-Nahl : 97).
Diriwayatkan
oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Qana’ah (menerima
pemberian Allah) adalah harta yng tidak pernah sirna.” (Hr. Thabrani).
Diriwayatkan
oleh Abu Hrairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Jadilah
orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling berbakti kepada
Allah swt. Jadilah engkau orang yang menerima (pemberian-Nya), engkau akan
menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana (kamu
mencinta0 dirimu sendiri, maka engkau menjadi orang yang beriman. Perbaikilah
dalam hidup bertetangga dengan tetanggamu, engkau akan menjadi orang Muslim.
Dan sedikitlah tertaa, sebab banyak tertawa mematikan hati.” (H.r. Baihaqi).
Dikatakan
: “rang-orang miskin itu mati, kecuali mereka yang dihidupkan Allah dengan
kebesaran qana’ah.”
Bisyr
al-Hafi berkata : “Qana’ah adalah seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati
yang beriman.”
Abu
Sulaiman ad-Darany berkomentar : “Hubungan Qana’ah dengan ridha adalah seperti
hubungan antara maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal ridha, dan wara’
adalah awal zuhud.”
Dikatakan
: “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa
ada.”
Abu
Bakr al-Maraghy menjelaskan : “Orang yang cerdas adalah orang yang menagani
dunianya, dengan qana’ah dan tidak bergegas-gegas, tapi mengurusi urusan
akhiratnya dengan penuh kerakusan dan ketergesaan, menangani urusan agamanya
denga ilmu dan ijtihad.”
Abu
Abdullah bin Khafif berkata : “Qana’ah adalah meningkatkan keinginan terhadap
apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan
keapda apa yang dimiliki.”
Dikaakan
mengenai firman Allah swt. “Allah akan menganugerahi mereka rezeki yang
berlimpah)>” (Qs. Al-Hajj : 88), bahwa yang dimaksud di sini adalah qana’ah.
Muhammad
bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki
yang diberikan.”
Dikatakan
: “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak
menginginkan apa yang tiada.”
Wahb
menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana mencari teman. Mereka berjumpa
dengan qaba’ah dan mereka hinggap menetap apdanya.”
Dikatakan
: “Orang yang merasa qana’ah akan menemukan bubur yang lezat.” Dikatakan juga,
“Orang yag selalu kembali kepada Allah swt. dalam segala hal, akan dianugerahi
qana’ah.”
Dalam
sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim melewati seorang penjual daging yang
mempunyai sejumlah daging berlemak, si penjual berkata kepadanya : “Ambillah
sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini berlemak!.” Abu Hazim menjawab,
“Aku tidak membawa uang.” Si pedagang berkata : “Aku beri engkau waktu untuk
mebayarnya.” Abu Hazim menjawab : “Jiwaku masih lebih baik menunggu
daripadamu.”
Salah
seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling qana’ah di antara ummat
manusia>” Ia menjawab : “Yaitu orang yang paling berguna bagi ummat manusia
dan paling sedikit upahnya.”
Dikatakan
dalam kiab Zabur : “Orang yang Qana’ah adalah orang yang kaya, sekalipun ia
dalam keadaan lapar.”
Dikatakan
: “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam lima tempat : Keagungan dalam
ibadat, kehinaan dalam dosa, kehidmatan dalam bangun malam, kebijaksanaan dalam
perut kosong, dan kekayaan/cukup dalam qana’ah.”
Ibrahim
al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan terhadap kerakusanmu dengan
qana’ah sebagaimana engkau membalas dendam kepada musuhmu dengan qisas.”
Dzun
Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah selamat dari orang-orang semasanya
dan berjasa atas semua orang.”
Dikatakan,
Orang yang qana’ah akan menemukan istirah dari kecemsan dan berjaya atas segala
sesuatu.”
Al-Kattany
mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan demi qana’ah berarti telah
memperoleh keagungan dan kebesaran.”
Dikatakan
: “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang bagi orang yang matanya mengejar
apa yang dimiliki orang lain”
Kaum
Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa
indahnya pemuda.
Dari
hari-hari yang lapar
Lebih
terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam
suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki melihat seorang yang bijaksana
sedang mengunyah potongan-potongan sayur yang dibuang di tempat air, dan berka
kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi kepada Sultan, niscaya Anda tidak
perlu makan-makanan begini. Orang bijak itu menjawab : “Dan Anda, seandainya
saja Anda mau berqana’ah dengan makanan begini, niscaya Anda tidak pelu
mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai
firman Allah swt. :
“Sesungguhnya
orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh
kenikmatan.” (Qs. Al-Infithar :13).
Dikatakan
bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia. Dalam Ayat berikutnya :
“Dan
sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Qs.
Al-Infithar :14).
Kata
Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai
firman Alalh swt. :
“Tahukah
kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari
perbudakan.” (Qs. Al-Balad :12-3).
Dikatakan
bahwa ayat ini berarti : Membebaskan orang dari kerendahan sifat tamak.”
Dikatakan
bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait.” (Qs. Al-Ahza :33), berarti, “menghilangkan
sifat kikir dan iri.”
Dan
firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Hazab
:33)) berarti : Melalui sifat murah hati dan tidak pelit dalam memberi.”
Mengenai
firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah
kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” (Qs.
Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku derajat qana’ah yang dapat
membuatku sendiri, dibanding sibuk dengan pesoalanku, yang dengannya aku akan
merasa ridha dengan ketentuan-Mu.”
Dikatakan
mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman) pasti akan menghukum (burung
hud-hud) dengan hukuman yang pedih.” (Qs. An-Naml :21), bahwa ayat ini berarti
: “Aku akan menaggalkan darinya sifat qana’ah dan memberinya cobaan dengan
sifat rakus.” Yakni : “Aku akan memohon kepada Allah swt. agar melakukan hal
ini terhadapnya.”
Abu Yazid
Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa sampai pada
kedudukan sekarang ini?” Ia menjawab : “Aku mengumpulkan harta benda
dunia ini lalu mengikatnya dengan tali qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka
dalam ketepil keikhlasan dan melontarkannya ka lautan putus asa. Maka aku pun
bisa istirahat.”
Abdul
Wahahb, paman Muhammad bin Farhan, menuturkan, : “Aku sedang duduk-duduk
bersama al-Junayd di sat musim haji, dan disekelilingnya ada sekelompok besar
orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah dibesarkan di lingkungan
rang Arab. Seseorang datang kepadanya dengan membawa uang limaratus dinar, yang
diletakkannya di hadapan al-Junayd, lalu Junayd berkata, : “Sebarkan pada
orang-orang fakir.” Sambil bertanya kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang
selain ini?” Ia menjawab : “Ya, aku masih punya banyak.” Al-Junayd bertanya
kepadanya : “Apakah kamu ingin memperoleh lebih banyak dari yang kamu miliki
sekarang?” Ia menjawab : “Ya”. Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya :
“Ambillah kembali uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada kami.”
Junayd tidak menerimanya.”
17. TAWAKKAL
Firman
Allah swt. berfirman :
“Dan
barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena
itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali
Imran:160).
“Dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” (Qs. Al-Maidah:23).
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Telah
diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat berkumpul haji. Kulihat bahwa
ummatku mememnuhi lembah dan gunung-gunung. Jumlah dan penampilan mereka
mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah engkau ridha?” Aku menjawab : “Ya”.
Bersama dengan mereka akan ada tujuh puluh ribu orang yang masuk
surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan
besi panas, tidak pernah mencari ramalan dengan burung, dan idak penah pula
mencuri; dan mereka hanya bertawakkal kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi
itu, Ukasyah bin Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai
Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah seorang di
antara mereka.” Rasulullah lalu berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia salah
seorang dari mereka.” Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan juga saya,
wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului akasyah.” (H.r.
Ahmad).
Abu Ali
ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkata kepada ‘Amar bin Sinan : “Ceritakan
kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka ia pun berkata kepadaku : “Ia berkata
bahwa ada tiga tanda orag gyang bertawakkal kepada Allah swt. Tidak
meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan tidak pula menahan
sesuatu.”
Abu
Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-Bisthamy ditanya : “Apakah tawwakl
itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana apendapatmu?” Aku menjawab :
“Para murid kami mengatakan : “Bahkan jika seekor binatang buas dan ular berada
di kiri dan kananmu, jiwamu tidak akan bergetar karenanya.” Abu Yazid
mengatakan : “Ya” itu mendekati. Tetapi jika penghuni surga hidup
dengan penuh kenyamanan dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan,
kemudian terrlintas dalam pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu
daripada kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari golongan
tawakkal!.”
Sahla
bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam tawakkal adalah bahwa si hamba
berada di tangan Allah swt. seperti mayit di tangan orang yang memandikannya,
yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa ia bergerak dan berangan-angan.”
Hamdun
al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah berpaut erat pada Allah swt.”
Seorang
laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham : “Siapa yang memberrimu makanan?” Ia
menjawab : “Milik Allah-lah harta kekayaan dalngit dan bumi, tetapi orang
munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-Munafiqun :7).
Ketahuilah
bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan gerakan lahiriah tidak menaggalkan
tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang ari Allah
swt, di dalamnya, dan jika sesuatu dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan
dari Alalh swt. di dalamnya.
Diriwayatkan
oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw.
dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan
saja unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku bertawakal saja kepada Allah?”
Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah.” (H.r.
Tirmidzi).
Ibrahim
al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-benar bertawakkal kepada Allah di
dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam
urusan dengan orang lain.”
Bisyr
al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku telah bertawakkal
kepada Allah swt. padahal aku berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia
bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang diberikan Allah
kepadanya.”
Yahya
bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan bertawakkal?” Ia menjawab :
“Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya.”
Brahim
al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan perjalanan ke pedalaman,
sebuah suara memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia berkata
kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada yang bertawakkal kepada Allah.
Tinggallah bersama kami sampai keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah
engkau tahu bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei memperoleh
citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah mengharapkan kota-kota dan
bertawakkalh kepada Allah.”
Ketika
Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah bahwa
hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam
dirimu, meskipunengkau sangat membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau
senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan
duniawi itu.”
Abu
Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal kepada Allah adalah seperti
yang dikatakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby : “Mengabdikan jasad untuk
beribadat, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari
kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap bersabar.”
Seperti
dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada Allah swt. berarti
meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu bertawakkal kepada-Nya jika
ia mengetahui bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu
Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat seorang dari kalangan jahat
dikenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku
bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa sakitmu akibat cambukkan menjadi
reda?” Ia menjawab : “Manakala orang yang menyebabkan kami dicambuk melihat
kami.”
Al-Husain
bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas : “Apa yag telah engkau capai
dalam perjalananmu menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas menjawab :
“Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal kepada Allah dan menyembuhkan diriku
dengannya.” Al-Husain lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah menghabiskan
usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana pendapatmu tentang
pemusnahan jiwa demi keesaan Allah.?”
Abu
Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh sebagaimana dikatakan oleh Abu
Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulain mencari rezeki sehari saja, dan tidak
berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia
menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan oleh Sahlbin Abdullah :
“Menyerahkan diri kepada Allah swt. dalam apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Abu
Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada Allah, pada hakikatnya adalah
keadaan yang dicerminkan oleh Ibrahim as. Ketika menaggapi tawaran Jibril as.
Untuk menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab : “Darimu, aku tiak perlu
bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan bersama-ya, dan karenanya
tidak melihat bersama Allah selain Allah swt.
Seorang
laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry : “Apakah tawakkal itu?” dan ia
menjawab : “Tawakkal adalah menyingkirkan semua yang dipertuan (selain Alalh
swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang itu meminta : “Apa lagi?”
Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah menghambakan diri kepada Allah dan
mengeluarkan diri dari rububiyah.”
Ketika
Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah
jika engkau punya sepuluhribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham,
engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati sementara hutangmu itu belum
terbayar. Dan jika engkau punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu
mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu, engkau tidak putus asa
bahwa Allah swt. niscaya akan menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika
ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi berkomentar : “Tawakkal
berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap keadaan.” Si penanya minta
penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan ketergantungan
kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain, hingga Allah sendiri
yang menguasai semua itu.”
Sahl
bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan
Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap keadaannya, berarti
janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu
Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah kecemasan tanpa perasaan
puas dan kepuasan tanpa kecemasan.”
Dikatakan
: “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan tidak ada bedanya bagi
diri sendiri.”
Ibnu
Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada alur qadha’entuan
Allah.”
Abu
Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap cukup bersama Allah swt.
dengan menggantungkan diri kepada-Nya.”
Al
Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-benar tawakkal kepada Allh
swt. tidak akan memakan sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih
berhak akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar
bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas berjalan melewati kami, dan kami
berkata kepadanya : “Katakan kepada kami hal paling aenh yang Anda lihat dalam
perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr as. Menemuiku dan minta
diperbolehkan menyertaiku, tapi aku takut jika tawakkalku kepada Allah swt.
menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan
diri darinya.”
Ketika
Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia menjelaskan : “Kalbu yang hidup
bersama Allah swt.dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Syeikh
Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan bagi orang yang bertawakkal :
(1) Tawakkal (2). Taslim dan (3), Tafwidh.” Orang yang tawakkal akan merasa
tenteram denan janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan
pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan merasa puas dengan
kebijaksanaan-Nya.”
Saya
mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah awal; Taslim adalah
tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq
ditanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar : “Tawakkal adalah makan tanpa
tamak.”
Yahya
bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol adalah sebuah toko; berbicara
tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan menyertai sebuah kaffilah adalah
nafsu. Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang
laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan tanggungan keluarganya yang
banyak. Asy-Syibly mengatakan : “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah siapa-siapa
yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl
bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa menghantam dalam aktivitas geraknya,
berarti menghantan Sunnah, dan abrangsiapa menghantam dalam tawakkal berarti
menghantam dalam iman.”
Ibrahim
al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang dalam perjalanan
menuju ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat seorang yang beringas. Aku
bertanya kepadanya : “Engkau seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku
Jin.” Aku bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab tegas :
“ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa pun?” Ia menjawab tegas :
“Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan
tawakkal kepada Allah.” Aku bertanya kepadanya : “Dan apakah tawakkal itu?” Ia
menjawab : “ Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim
al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya dalam hal tawakkal kepaa Allah. Ia
belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah
timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang bertanya kepadanya :
“Wahai Abu Ishaq, mengapa anda membawa barng-barang ini, sementara Anda
mencegah diri dari segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak merusak
tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah menjadikan
kewajiban-kewajiban mengikat kita semua. Seorang fakir tak memiliki kecuali
hanya sepotong jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab
benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka kesuciannya akan
ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa timba, jarum dan
benang, maka patutu engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang beriman, taslim sifata para
wali, dan menyerahkan segenap urusan kepaa Allah (tafwidh) adalah sifat ahli
tauhid. Tawakkal adalah sifat kaum awam, taslim adalah sifat manusia-manusia
khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash.” Saya juga mendengar
beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah sifat para Nabi, taslim adalah
sifat Nabi Ibrahim as. Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira sepuluh tahun tetap berada
dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap
hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya untuk membeli
seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum, aku membawa upah hasil jerih
payahku kepada para fakir di Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti
semula.”
Al-Husain,
saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat haji empatbelas kali dengan kaki
telanjang dan penuh tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku tercocok duri,
kuingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk bertawakkal kepada
Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah dan kuteruskan perjalananku.”
Abu
Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah swt. memasuki padang pasir dalam
ekadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir
jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri merupakan bekal yang
kusiapkan begi dirimu.”
Etika
Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl kepada Allah, ia menjawab :
“Tawakkal adalah derajat yang belum kucapai, dan bagaimana seseorang yang belum
menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang tawwakal?”
Dikatakan
: “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt. seperti seorang gbayi. IA tidak
tahu tempat lain di mana harus berlindug, kecuali payudara ibunya. Seperti
itulah keadaan orang gyang bertawakkal kepada Allah swt. Ia dibimbing hanya
kepada Allah swt.”
Salah
seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di padang pasir dan berjalan di
depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas
menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang memegang tongkat dan
berjalan cukup pelan. Karena kupikir ia seorang yang lemah, maka aku merogoh
saku dan mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan kukatakan kepadanya, “Ambillah
ini. Tunggulah sam[ai kafilah di belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta
dengan uang ini!.”
Tetapi
wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara, dan tiba-tiba di tangannya
sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya : “Engkau mengambil dirham dari
kantung bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib.”
Abu
Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di Mekkah – semoga Allah
memuliakan tempat ini --- yang tidak mengonsumsi apa pun selain air Zam-zam.
Setelah beberrapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya.” Bagaimana pendapat Anda,
jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda minum?” Orang itu berdiri,
mencium kening Sulaiman, dan berkata : “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena
engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh aku telah menyembah
Zam-zam selama beberpa hari ini.” Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang
menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah
Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.” Ia
berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda.” Maka
kami pun berrjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan
orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ia
berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima apa pun melalui seorang
perantara.” Maka aku lalu berkata : “Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau
berlaku atas dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai Ibrahim, janganlah Anda
memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan melihat kita.” Apa yang engkau
ketahui tentang tawakkal?” Lalu ia menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa
jika Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda tidak
menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki segala kecukupan.”
Dikatakan
: “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan keraguan dan menyerahkan segala
urusan kepada Sang Maha Diraja.”
Dikatakan
juga : “Sekelompok orang datang kepada al-Junayd dan bertanya : Ke manakah kita
harus mencari rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian semua tahu, pergi dan carilah
di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang meminta kepada Allah swt.”
Al-Junayd mengajarkan : “Jika kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian,
maka ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya : “haruskah kita pulang dan bertawakkal
kepada Allah?” Al-Junayd menjawab : “Menguji berarti meragukan.” Mereka
bertanya : “Lantas, apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu
meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
Abu
Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary : “Wahai Ahmad,
sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak
diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab aku belum pernah
mencium baunya.”
Dikatakan
: “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada di tanagn Allah swt. dan
berputus-asa apa yang ada di tangan manusia.”
Dikatakan
juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin dari pikiran untuk menuntut
terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki.”
Al-Harits
al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang orang yang
beratawakkal : “Apakah nafsu mempengaruhinya?”
Ia menjawab
: “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak yag mempengaruhi, tetapi hal itu tidak
membahayakan dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di
tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi tamak.”
Dikatakan
bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir dalam keadaan lapar ketika sebuah
suara membisikan kepadanya : “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab
kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury menjawab : “Kecukupan. Sebab
tidak ada lagi selain itu.” Maka ia pun selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali
ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari seorang fakir mengatakan : “Aku
lapar,” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh
sesuatu untuk dimakan.”
Dikatakan
bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu melihat seorang Sufi memungut kulit
semangka untuk dimakan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu
berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar
(Untuk kerja)!.
Abu
Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika aku kelaparan selama
sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku
pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku
melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang seseorang, lalu aku
memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan yang menakutkan dalam hati karena
perbuatanku itu, seolah-olah ada suara yang mengatakan kepadaku :
“Engkau telah lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya sebuah
saljamat yang busuk!” Maka saljamat itu pun kubuang. Aku masuk ke Masjid,
kemudian duduk. Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan
sebuah bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya :
“Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?” Ia berkata
kepadaku : “Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan
ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-masing dari kami
bernadzar bahwa jika Allah swt. menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu
sedekah. Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya
akan memberikan bingkisan ini kepada orang pertama yang saya temui di antara
mereka yang tinggal di dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya
temui.” Aku lalu meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Ia pun membukanya
dan kudapati di dalamnya ada kue-kue samid Mesir, buah kenari
berbalut tepung, dan daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil
sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata : “Bawalah sisa
makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya untuk Anda, karena
saya telah menerima hadiah Anda.” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri :
“Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju ke tempatmu, tapi
engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu
Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada bersma Mumsyad ad-Dinawary ketika
mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata : “Suatu ketika aku punya
hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku bermimpi bertemu
seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai orang yang kikir, engkau merampas hak
kami sebesar jumlah itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang
memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi berurusan dengan tukang
sayur, tukang daging, ataupun pedagang lainnya.”
Diceritakan
tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan : “Aku sedang berada di tengah
perjalanan menuju ke Mekkah --- semoga Allah menjaganya – datang dari Mesir,
dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita mendatangiku dan berkata :
“Wahai Bannan, engkau seorang kuli, engkau memikul perbeklan di atas
punggungmu, dengan membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki
kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku. Tapi kemudian tiga
kali melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku menemukan sebuah
gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang ini akan
terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan memberiku sesuatu
manakala aku mengembalikannya.” Kemudain muncullah wanita tadi, yang kemudian
berkata kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang! Engkau
mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan aku akan mempeoleh sesuatu
darinya!” Lalu dilemparkannya uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata :
“Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi kebutuhanku hingga aku
sampai ke Mekkah.”
Dalam
suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa ia memerlukan seorang budak
wanita untuk melayaninya. Maka ia lalu mengungkapkan keperluannya itu kepada
saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk membeli seorang budak,
dan memberitahu kepadanya : “Inilah uang untuk membeli budak itu! Sekelompok
budak sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang engkau sukai!” Ketika
rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju kepada salah seorang budak, dan
mereka berkata : “Itulah budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada
pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak dijual.” Mereka
meminta dengan sangat agar budak itu dijual kepada mereka, tapi pemiliknya
mengatakan : “Ia telah didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang wanita
dari Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan kemudian budak itu
pun dibawa kepada Bannan, dan si budak tersebut lalu menuturkan perihal dirinya
kepada Bannan.
Al-Hasan
al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada bersama Bisyir al-Hafi ketika
serombongan musyafir datang dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada
mereka : “Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab : “Kami dari Syam. Kami
datang untuk memberi salam kepada Anda dan sekaligus untuk menunaikan ibadah
haji.” Bisyr berkata : “Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.”
Mereka bertanya : “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr menjawab : “Dengan
tiga syarat : Kita tidak usah membawa (bekal) apa pun; kita tidak akan meminta
apa pun kepada sipa pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita,
kita tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai persyaratan pertama,
kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju. Tapi mengenai persyaratan
ketiga, kami tidak setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda semua telah datang
dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.” Kemudian ia menjelaskan :
“Wahai Hasan,a da tiga macam fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi
jika diberi ia tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu, ada
fakir yang tidak meminta-minta dan jika diberi sesuatu mau menerimanya, sebagai
tawadhu.” Baginya di hadirat Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta,
jika diberi menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan memeberikan
sedekah.”
Habib
al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah
mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah yang patut diandalkan.”
Diceritakan
bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan
membawa sepotong roti. Ia berkata : “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.”
Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat, dengan perintah : “Jika
ia memakan roti itu berilah ia rezeki. Jika ia tidak memakannya, maka janganlah
engkau beri apa pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia meninggal
(karena kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu
masih ada bersamanya.
Dikatakan
: “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka tujuannya akan datang kepadanya
sebagaimana pengantin wanita diiringkan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”) dengan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah (tafwidh) aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap
hak-hak Allah swt. dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan
dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah
ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa menerima uang satu sen dari sumber yang
tidak halal, beraarti ia tidak bertawakkal kepada Allah.”
Abu
Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku berjalan menelusuri padang
pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat.
Jauh di sana, kulihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena aku telah
sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah menjadi tenang, dan bertawakkal kepada
sesuatu selain Dia.” Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan
masuk ke suha tempat kecuali jika aku dibawa ke dalamnya. Aku menggali lubang
dan mengubur badanku hingga sebatas dada. Tengah malam, terdengar suara bergema
yang mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali Alalh telah
menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah ia!” Lalu jamaah datang
kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke Desa.”
Abu
Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika aku pergi menunaikan ibadat
haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku
mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku berkata : “Tidak, demi Allah,
aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian. Lewatlah dua orang
laki-laki. Salah seorang diantaranya berkata : “Mari kita tutup lobang sumur
ini agar tidak ada orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka membawakan
jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur itu dengan tanah. Aku ingin
berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri : “Aku hanya akan berteriak
kepada Dia yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku pun tetap diam.
Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu yang membuka tutup lubang itu
dan menjulurkan kakinya. Saat itulah kudengar suara raungan pelan yang
seolah-olah mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa yang
dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan makhluk itu lalu menarikku
ke luar dari lubang sumur. Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu
mneruskan perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai Abu
Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu dari
kebinasaan yang lain.” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair :
Aku
berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu
apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku
mengatakan apa yang dikatakan mataku kepadanya.
Maluku
terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu,
Dan Kau
buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat
kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu
Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang
kelembutan bertemu kelembutan
Engkau
hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan
Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa
Kau dalam genggaman.
Kini
kulihat Engkau, dan bagiku
Dari
gentarku kepada-Mu.
Lalu
Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan
kasih-sayang-Mu.
Dan Kau
hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu
berarti kematian baginya
Duhai
mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah
al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani Ibrahim bin Adam dan para
muridnya, ditanya : “Apakah kejadian paling aneh yang Anda saksikan
bersamanya?” Ia menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan menuju Mekkah
selama beberapa hari tanpa menemukan makanan. Kami datang ke kufah dan mencari
tempat berteduh di sebuah reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan
berkata : “Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku menjawab
: “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata kepadaku : “Bawalah kepadaku
tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan
apa yang yang dimintanya itu, dan ia menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang diinginkan dalam setiap
keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku
pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku
lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah
enam sifat, dan aku akan menjamin yang setengahnya.
Maka
Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.
Pujiku,
selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah
hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia
memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan memerintahkan : “Pergilah keluar
dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatu pun selain Allah swt. Berikan
kertas ini kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Aku pun pergi ke luar, dan
orang pertama yang kulihat adalah seorang laki-laki yang sedang mengendarai
seekor keledai. Kuberikan kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan
menangis. Ia bertanya : “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata pada
kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid Anu.” Ia memberikan
kepadaku sebuah kantong berisi uang enamratus dinar. Kemudian aku bertemu
dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang mengendari
keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang tersebut adalah seorang Nasrani. Aku
kembali kepada Ibahim dan kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan
kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.” Sejam kemudian orang
Nasrani itu pun muncul, mencium kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”
18. syukur
Allah
berfirman :
‘Jika
kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat pemberian-Ku) kepadamu.” (Qs.
Ibrahim : 7).
Diriwayatkan
oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari Atha’ yang berkata : “Aku bersama
Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata akepadanya : “Ceritakanlah
kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah
saw.” Beliau menangis dan bertanya : “Adakah yang beliau lakukan, yag tidak
mengagumkan?” Suatu malam, beliau datag kepadaku, dan kami tidur di tempat
tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat,
beliau berkata : “Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk beribadat
kepada Tuhanku!” Aku menjawab : “Saya senang berdekatan dengan Anda.”
Tapi aku mengijinkannya. Kemudan beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan
berwudhu dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis
hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis,
lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus
menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau
untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau : “Apakah yang menyebabkan Anda
menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda,
baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab : “Tidakkah
akumenjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis
sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku :
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa
yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran
angin dan awan yang dikenadlikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.! (Qs. Al-Baqarah :164).
Dengan
ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur. Artinya, memberi pahala hamba yang
bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu sendiri.
Sebagaimana difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan
yang serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan
bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang
sedikit, seperti kata pepatah : “Seekor binatang, dikatakan bersyukur, jika ia
mencari makanan melebihi jerami yang diberikan kepadanya.” Kita mungkin
dapat mengatakan bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan
dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi bersyukurnya
seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian kepada-Nya dengan mengingat-ingat
anugerah-Nya kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada hamba-Nya
adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah
kepatuhan kepada Allah swt. sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan
rakhmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur
kepada-Nya. Syukur seorang hamba, pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan
maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur
dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam
derajat kepasrahan, dan syukur denga tubuh, yang berarti mengambil sikap setia
dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram dalam latar musyahadah dengan
erus menerus melaksanakan pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan
bersyukur dengan lidah mereka, kaum pencinta bersyukur dengan perbuatan mereka,
dan kaum ‘arifin beryukur dengan istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua
perilaku mereka.
Abu
Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah memberikan musyahadah
terhadap anugerah tersebut dan menjaga penghormatan.”
Hamdun
al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas anugerah adalah bahwa engkau memandang
dirimu sebagai parasit dalam syukur.”
Al-Junayd
berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat
peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia sadar di sisi Allah swt.
lebih dari bagian dirinya sendiri.”
Abu
Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan
: “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada
bersyukur saja. Dengan cara memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena
Dia telah memberikan taufik-Nya, dna Taufiq-Nya itu termasuk nikmat yang
diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan
kemudian Anda bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak
terhingga.
Dikatakan
: “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan
sikap kepasrahan.”
Al-Junayd
mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak
menerima nikmat.”
Ruwayn
menegaskan : “Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu.”
Dikatakan
: “Orang yag bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang
yang sangat bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada.”
Dikatakan
: “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian tapi orang yang sangat
bersyukur (Syakur) berterima kasih karena tidak diberi>” Dikatakan juga :
“Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat
bersyukur berterima kasih atas lemelaratan.” Dikatakan : “Orang yang bersyukur
berterimakasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur
berterima kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd
menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang
bermain-main di hadapan as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di
hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya kepadaku : “Wahai anakku,
apakah ebrsyukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah jika orang tak menggunakan
nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia mengatakan : “Derajatmu di sisi
Allah akan segera engkau peroleh melalui lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan :
“Aku senantiasa menangis mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli
menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi Nikmat, bukan
memandang nikmat itu sendiri.”
Abu
Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur karena diberi makanan atau pakaian,
sedangkan kaum khawash bersyukur atas makna-makna yang datang di hati mereka.”
Dikatakan
bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu,
sedangkan kesyukuran itu sendiri adalah nikmat dari-Mu.” Allah mewahyukan
kepadanya : “Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.”
Dikatakan
bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa munajatnya, : “Ya Allah, Engkau telah
menciptakan Adam dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah begini dan begitu.
Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab : “Ia mengetahui bahwa semua
itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah
syukurnya kepada-Ku.”
Diriwayatkan
bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu
diminta supaya datang, dan sahabtnya itu mengatakan kepadanya; “Bersyukurlah
kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu didera, dan ia menulis surat kepada si
Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Kemudian seorang Majusi yang sedang
sakit perut didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol ranatainya dikenakan
pada kaki sahabt, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam
hari, si Majusi sering bangun, yang berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun
sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada
sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Sahabatnya ( si Sufi) bertanya,
“Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini “ Cobaan apa yang lebih berat dari
ini?” Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada
pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga
dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan engkau perbuat?”
Dikatakan
: “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang
engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau
menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya.”
Dikatakan
juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah
pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku : “Wahai Al Junayd, apakah
syukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari
nikmat Allah swt. digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi :
“Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan ini?” Aku menjawab : “Bersama
majelis-majelis Anda.”
Diceritakan
bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang dan
bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak Engkau
dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati aku
bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat karena aku tidak bersyukur, dan
tidak melanggengkan bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada
yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan
: “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan, maka engkau mesti lebih banyak
mengucap “SYUKUR” dengan lisanmu.”
Dikatakan
pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah : Mempercayakan rahasia kepada orang
yang bisu; memberi nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur; menebar benih
di tanah yang tandus; dan menyalakan lampu di bawah cahaya matahari...
Juga
dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar gembira pengampunan, beliau
memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau
menjawab : “Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah
berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.” Kemudian salah satu
malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan
bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah swt. melimpahkan salam kepadanya –
berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya
kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara kepadanya, katanya :
“Ketika aku mendengar Allah swt. berfirman : “Takutlah neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis karena
karena takut.” Nabi itu kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu iru
dari api neraka, dan Allah lalu mewahyukan kepadanya : “Aku telah
menyelamatkannya dari neraka.” Manak Nabi itu lalu meneruskan
perjalanannya. Ketika kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur
darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu
itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya : “Mengapa engkau masih mengis
sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, : “Sebelumnya adalah
tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira.”
Dikatakan
: “Orang yang bersyukur selalu meningkat karena ia berada di hadapan nikmat.”
Allah swt. berfirman : “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang sabar berada bersama
Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-Nya yang memberikan cobaan.
Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Qs.
Al-Nafal :46).
Diceritakan
bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka
ada seorang pemuda, yang memulai membuka pembicaraan!” Umar berkata kepadanya :
“Coba yang tua-tua dulu berbicara!” Mendengar itu si pemuda berkata : “Wahai
Amirul Mukminin, jika urusan diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka
banyak dikalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding
Anda.” Maka Umar berkta : “Bicaralah!” Pemuda itu menjelaskan : “Kami bukanlah
delegasi yang menyampaikan keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan
rasa takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah memenuhi kebutuhan
kami dari ketakutan.” Maka Umar pun bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian
ini?” Ia menjawab : “Kami adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang
untuk menyampaikan terima kasih kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.”
Dan mereka lalu bersenandung.” :
Alangkah
malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas
apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan
kebaikanmu berbicara
Aku
melihat anugerah darimu
Dan aku
menyembunyikan
Karenanya,
di tangan yang pemurah
Jadi
pencuri.
Diceritkan
bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada Musa as. : “Aku melimpahkan rakhmat
kepada hamba-hamba-Ku : Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang
terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa pula terhadap mereka yang terampuni>\?”
Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya
mereka dari penderitaan itu.”
Dikatakan
: “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas nikamat-nikmat anggota badan.”
Dikatakan
pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan syukur sebagai tebusan darimu.”
Dalam
hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di panggil ke surga adalah mereka yang
selalu memuji kepada Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan
: “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang diberikan-Nya, dan
syukur atas yang diperbuat oleh-Nya.
19. YAKIN
Allah
swt. berfirman :
“....
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu
dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah swt. telah bersabda :
Janganlah
engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah,
dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah
mencari kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt.
kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang
yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang
membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan
dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan
serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan
Baihaqi).
Abu
Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia
memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan
dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut
kepada Allah swt.”
Ja’far
al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di
pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya
tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab : “Aku terombang-ambing di
antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang agar aku dapat bertindak
sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan
yang akan menang, aku akan terus berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan
mendapatkan suatu derajat.”
Abu
Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap
hari esok.”
Sahl
bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari tambahan iman dan
realisasinya.” Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu
berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah
seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada
hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang
diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl
menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu salah seorang
kaum salaf mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan
menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian
(musyahadah).
Abu
Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah pemastian oleh rahasia hati
melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu
Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui penentangan terhadap
keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan
demikian ia mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha, dengan apa yang
diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat
usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya
mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi
mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu
pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) danya Tuhan,
lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah tersebut.”
Orang
yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan
adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi
persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala
bukti-bukti datang susul-menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut
terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk
merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin, Mengenai pembenran Al-Haq
(tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya
kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan
dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang mengenai af’al-Nya pada
tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki
akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap
si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan
tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus
menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr
bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan :
Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl
bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan
yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun
Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan
duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan,
dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya.” Ia
juga mengatakan : “Ada tiga tanda keyakianan : Mengurangi bergaul
dengan manusia; Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan
menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi
(hadiah). Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin),
Melihat kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap
persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd
mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik,
tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu
Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah
swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.” Tandasan takwa kepada
Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara
yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat
pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam
hal keyakinan.”
Salah
seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan
tiga cara : Mukasyafah yang bersifat informatif; mukasyafah penampilan qudrat,
dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah
bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam
hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan
sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang
mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali
mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam
Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby :
“Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia menjawab : “Aku melihat
orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.” Lalu aku bertanya : “Anda
melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?”
Ia menjawab : “Dengan mukasyafah.”
Amir
bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan,
nsicaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan
: “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman.”
Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan.”
Al
Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian
Yang Gaib.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai sabda Rasulullah saw.
tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan,
nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan
bahwa denga ucpannya itu Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam
Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan
: “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan.”
Al-Junayd
mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan, ia menjawab :
“Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika
pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan
apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun
menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin
Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih diutamakan
daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.”
Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal
kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini
seakan-akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan
hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury
berkata : “Keyakinan adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada
keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan
kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu
Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman
disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia
yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah
tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di
Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai
mata yang senantiasa menangis,
Wahai
jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau
engkau cintai seiapapun
Selain
Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan
ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang tua, apakah setelah ini
engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq
an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba menyempurnakan pengertian
batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan
kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu
Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan : Keyakinan informatif;
keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu
Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat seorang pemuda berjala di
apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati : “Jika ia tidak punya
keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya : “Wahai anak muda,
apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa peerbekalan?” Ia menjawab :
“Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain
Allah swt.?” Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana engkau
mau?”
Abu
Sa’id al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk
bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim
al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan
aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor
ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu meleparkan kembali
jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi
aKemudain terdengar sebuah suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa
mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada
Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan
berhenti mencari ikan.”