TAU B A T
“Bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”
(Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas
bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M) dari suku Khazraj golongan Anshar.
Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan
meninggal di Bashrah), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertaubat
dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba,
niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan
Hakim).
Selanjutnya,
membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya
: “Waha Rasulullah, apa pertanda bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali
kesalahan.”
Anas bin Malik
meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Tiada sesuatu yang dicintai
oleh Allah selain pemuda yang bertaubat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah
as-Shaghir, Jilid II, hlm. 8050, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan Abul
Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy, hadis tersebut hadis
dha’if).
Oleh karena itu,
taubat merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat yang dialami oleh
para Sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh
penempuh jalan Allah (salik).
Makna taubat dalama
Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia bertaubat” beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat
adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji
olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali kesalahan merupakan sutu taubat.”
(H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di
kalangan Ahli Sunnah mengatakan : “Terdapat tiga syarat taubat yang musti
dipenuhi agar taubat itu sah : Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan;
meninggalkan secara langsung penyelewengan; dan dengan mantap seseorang
memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang sama.”
Hadis di atas
menunjukkan betapa agungnya taubat itu, sebagaimana ketika Rasulullah saw.
bersabda : “Haji adalah Arafah”, maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa
bukannya tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di Arafah,
melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya adalah wukuf di Arafah. Demikian
pulalah maksud dari pesan yang disampaikan Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali
kesalahan merupakan suatu taubat.” – bahwa bagian utama taubat adalah menyesali
keselahan.”
“Menyesali kesalahan
adalah cukup untuk memenuhi persyaratan taubat.” Demikian kata mereka yang
telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua
persyaratan yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu
tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya.
Inilah makna taubat secara global.
Sebagai penjelasan
lebih lanjut, kami katakan bahwa taubat mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan
dan bagian-bagian. Sebab langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati
dari kealpaan, menyadari bahwa hamba tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia
mencapai ini dengan batuan Allah swt. terhadap pikirannya. Ini berlangsung
dengan cara mendengarkan kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah
mengingatkan pada kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging
di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad akan bagus, dan
apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu adalah
hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang
merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya, niscaya ia akan memahami
tindakan-tindakan tercela yang dilakukannya, dan keinginan untuk bertaubat akan
datang ke lubuk hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari
tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah swt. akan membantunya dalam
melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam menempuh jalan kembali menuju
kebaikan.
Cara bertaubat pertama
adalah, memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan
mendorong untuk mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang
telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam
bersyahadat, secara terus menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong
pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan
raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul kebandelan
dalam hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang
terlarang, dan kendali diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu.
Kemudian, ia harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk
tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apabila terus bertindak
sesuai dengan tujuan yang selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia
telah dianugerahi rasa aman yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu
meredup dan hasratnya mendorong untuk melakukan penyelewengan kembali, suatu
hal yang mungkin seringkali terjadi, kita harus tetap berharap orang seperti
itu akan bertaubat lagi karena : “Bagi tiap-tiap masa ada
ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany
mengtakan : “Aku seringkali mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia
kata-katanya membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu pun
lenyap. Aku menghadiri majelis untuk kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan
membekas di kalbu, lalu hingga di jalan aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir
di majelisnya untuk yang ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga
di rumah. Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa dan
aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan kepada Yahya bin Mu’adz,
sembari memberi komentar atas kisah ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor
burung gbangau : “Dengan burung pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah
itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad
mengatakan : “Aku meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali padanya.
Kemudain perbuatan itu meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi
padanya.”
Abu Amr bin Nujayd
pada awal perjalanan spiritualnya, seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman.
Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya
bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan
mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan
dengannya, Abu Amr segera berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman
mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku, jangan
menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia seorang yang bersih
dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membantumu dalam keadaanmu seperti
sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr bertaubat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang murid bertaubat, kemudian menerima
cobaan. Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas
diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat
kepada kami, lalu Kami terima syukurmu, kemudian engkau tinggalkan Kami, maka
Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.”
Akhirnya si pemuda itu pun bertaubat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia
meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri dari ikatan kebandelan dalam hati,
lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan odsa, maka pada saat itulah
taubat sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala sesuatu
seperti telah dilakukannya, menjauhi tindakan-tindakan tercela, sehingga
taubatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan diganti dengan upaya uzlah. Ia
menghindari sekawanan orang-orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag
siang dan malam dalam keadaan sengsara, dan bertaubat dalam situasi
bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air mata, dan
mengobati hati dengan taubatnya. Ia dikenal di antara sejawatnya karena
kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan kesaksian kengenai
kewarasannya.
Tahap Tahap pertama
pertaubatana seseorang adalah menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin,
dengan harapan nahwa yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau
bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan klaim yang bekenaan dengan dirinya dan
bersedia menerimanya. Dan apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima
klaim-klaim mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran,
disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz
Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Taubat dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal
adalah taubat (tawbah), tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.”
Ia menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat
karena takut siksa, maka ia tergolong orang yang taubat. Siapa pun yang
bertaubat karena ingin mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah.
Siapa pun yang bertaubat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan karena ingin
mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat
adalah sifat kaum Mukminin.” Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat
para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat (kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata :
“Taubat itu mempunyai tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan; kedua,
berketatapan hati untuk tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah swt.;
dan ketiga adalah menyelesaikan/membela orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah
berkata : “Taubat adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung
kepada as=Sary pada suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan. Ia
bertanya : “Apa yang telah terjadi atas dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku
bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya tentang taubat kepadaku.
Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah bahwa engkau tidak melupakan dosa-dosamu.”
Lantas ia menyanggahnya dengan mengatakan, ‘Taubat adalah justru engkau
benar-benar melupakan dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada
dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke kondisi dingin, maka menyebut
masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu sendiri.” Dan akhirnya
as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj
dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang memberitahukan kondisi ruhani murid-murid
dan pendatang baru, yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya
orang-orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa
mereka lagi karena keagungan Allah Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan
senantiasa mengingat (dzikr) kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry
memberi komentar : “Taubat kalangan awam adalah taubat dari dosa, dan taubat
kaum kahwash adalah taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury
mengatakan : “Taubat adalah bahwa engkau berpaling dari segala sesuatu selain
Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin
Muhammad al-Tamimi mengatakan : “Betapa besar perbedaan antara orang yang
bertaubat dari dosa, orang yang bertaubat dari kealpaan, dan orang yang
bertaubat dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata :
“Taubat sejati adalah taubat yang tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara
batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz
berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku
tidak kembali kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah
kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak aka berbuat dosa lagi,
karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata :
“Permohonan ampun yang diajukan dengan tidak disertai pencabutan dosa adalah
taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy
ditanya soal taubat, ia menjawab : “Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak
engkau temui manisnya ketika mengingatnya, itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan :
“Esensi taubat adalah bahwa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas
sehinngga engkau tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau
merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan di dalam
Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam taubatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata:
“Terdapat dua jenis taubat : Inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau
memenuhi). Dalam inabah sang hamba bertaubat karena takut akan hukuman; dalam
istijabah ia bertaubat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya :
“Mengapa orang yang bertaubat membenci dunia?” Ia menjawab : “Karena ia
merupakan tempat di mana dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga
tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh Allah karena taubat.” Dikatakannya
pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa dengan amat yakin, tetapi mendapatkan
bahaya dari penerimaan atas taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi
mengatakan : “Taubat para pendusta berada di bibirnya, karena mereka hanya
membatasi ucapannya pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa
Allah swt. berfirman kepada Adam : “Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada
anak cucumu beban dan penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka,
yang berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku
menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari
kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya
kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin
tidak taat. Tetapi, apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab
oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan
bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah
swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang
membiarkan dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik dengan
menggelincirkan diri sendiri. Tetapi apabila ia bertaubat, niscaya penerimaan
taubatnya oleh Tuhan diragukan, terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya
adalah satu syarat bagi penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu
sebelum si pendosa sampai pada satu titik dimana ia menjumpai tanda-tanda
kecintaan Allah kepada dirinya dalam sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika
mengetahui bahwa dirinya telah melakukan suatu tindakan yang mengharuskan
taubat, ialah bertaubat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih
perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam ucapan mereka,
“Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt.
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi
saw. adalah beristighfar terus menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga,
oleh karena itu aku memohon ampunan Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr.
Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz
mengatakan : “Satu penyelewengan saja sesudah bertaubat lebih buruk ketimbang
tujuhpuluh penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata :
“Akan halnya firman-Nya : “Kepada-Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am
:36), maknanya jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy
berkata : “Ali bin Isa, seorang perdana Menteri, mengendari sebuah kendaraan
pada suatu prosesi, dan orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah
ia? Siapakah ia? Seorang wanita yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai
kapan Anda akan mengatakan , ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba
yang terlepas dari perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan
sebagaimana Anda lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut,
ia kembali ke rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan
perdana menteri, lalu pergi ke Mekkah, dan menetaplah ia dikota suci itu.
MUJAHADAH
“Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu
Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik bin Sanan al-Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74
H/613 -693 M), seorang sahabat Rasulullah saw. Ikut berperang duabelas kali,
dan meriwayatkan 1170 hadis. Meninggal di Madinah). Bhawa ketika Rasulullah
saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang
adil yang disampaikan kepada seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi,
Abu Dawud dan Ibnu Majah). Mka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id
ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali
ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa menghiasai lahiriahnya dengan mujahadah,
Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang
permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui
cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby
mengatakan : “Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya
akan mencapai sesuatu di jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan
tersingkap baginya, tanpa bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal
perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir
perjalanannya.” Dikatakannnya pula, “Gerak adalah suatu berkat.” Dan katanya
kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah-barakah batin.”
As- Sary berkata :
“Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti
diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku.” Padahal pada saat itu
tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary
dalam bidang ibadat.
Saya mendengar
al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur
kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham
mengatakan : “Seseorang akan baru mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan
enam hal : (1) Menutup pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan;
(2) Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati; (3) Menutup
pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan; (4) Menutup pintu tidur dan
membuka pintu jaga; (5) Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
(6). Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi
kematian.”
Abu Amr bin Nujayd
berkata : “Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan
pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary
mengatakan : “Apabila seorang Sufi – sesudah lima hari kelaparan – berkata :
“Aku lapar.” Kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada
dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebaisaan-kebiasaannya dan memaksanya
menentang hawa nafsunya sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua
sifat yang menghalangi dalam mencapai kebaikan; keberlarutan dalam memuja hawa
nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka
Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh
menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya
agar menolak hawa nafsunya. Manakala Jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus
mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain
sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan
dan yang nyalanya telah ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan
kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila
tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasai perbuatan-perbuatannya
kepada siapapun yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan
seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala
diingatkan akan hargadirinya yang rendah, asal-usulnya yang hina dan
amal-amalnya yang emnijikan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan
tindakan-tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual
mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat
padanya, sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat
jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada
pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit
dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti
ini adalah apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi
pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu
Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku berangkat haji berkali-kali seorang diri.
Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh
kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikan
sguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat
itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah
swt. dalam hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang
datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak
akan mendapati tugas kewajibanku sebagai suatu yang memberatkan dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika
seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. Ia menjawab :
“Semasa Muda, aku berpikir bahwa keadaan-keadaan ruhani itu berasal dari
kekuatan dan semangat yang tak kujumpai saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna
sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry
berkata : “Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba,
maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya, penghinaan yang Allah berkenan
menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunyikan kehinaan dirinya
dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas
menegaskan : “Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung
menghadapinya dengan menungganginya.”
Muhammad bin Fadhl
mengatakan : “Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali
ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal :
Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang
merusak.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah kelemahan watak itu?” Ia menjawab.
“Mengkonsumsi hal-hal-yang haram.” Lalu saya tanyakan : “Apakah keterpakuan
pada kebiasaan itu?” Ia berkata : “Memandang dan mendengarkan segala sesuatu
yang haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya bertanya : “Apakah mempertahankan
teman yang merusak itu? Dijawabnya : “Itu terjadi ketika Anda
menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy
mengatakan : “Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya,
niscaya akan sampai pada kedamaian.” Ia juga berkata : “Aku mendengar Muhammad
al-Farra’ berkisah bahwa Abul Husain al-Warraq mengatakan : “Ketika kami
memulai menempuh jalan-Nya lewat Tasawuf di Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek
terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami mempriorotaskan kemudahan bagi
orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa
disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang
menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaffkan tindakannya dan bersikap
rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami,
maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang
hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata :
“Nafsu, seluruhnya gelap gulita, peliatanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini
adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan
akan menyelimutinya.” Ketika mengatakan, “Pelita adalah batinnya.” Dimaksudkan
adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt. yakni tempat keikhlasannya.
Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya
Tuhan; peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal
darinya. Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas dalam setiap keadaannya, dari
kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang
yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan
tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh
mengatakan “Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa
nafsunya.”
Abu Utsman berkata :
“Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, ia tidak akan mampu
melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terus
menerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan :
“Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang
tidak mengetahui kekurangan dirinya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah
jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata :
“Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu
perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar :
“Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya,
pembaca-pembaca Al-Qur’an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang
mendekati penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry
mengatakan : Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal (1) Mereka
memiliki niat yang lemah dalam melaksanakan amal untuk akhirat; (2) Tubuh
mereka diperbudak oleh nafsu; (3) Mereka tidak henti-hentinya mengharapkan
perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal; (4) Mereka lebih suka menyenangkan
makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta; (5) Mereka memperturutkan hawa
nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi saw. (6)
Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan
mengubur prestasi pendahulunya.
KHALWAT DAN ‘UZLAH
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
(Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy (21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak
ia yatim. Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta
meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara
terbaik bagi manusia dalam mencari penghidupan adalah seseorang mengendarai
kuda di jalan Allah, dan apa bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik
atau ketakutan dalam peperangan, ia memacu kudanya mencari mati syahid atau
kemenangan di medan jihad; atau seseorang menggembalakan biri-biri dan
kambing-kambingnya di puncak gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap
mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai datang
suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia kecuali didasarkan pada
kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari
pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat orang-orang suci. Sedangkan
mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang ber-wushul kepada-Nya.
Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi
ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi ruhani, karena
telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap seorang yang layak ketika
memutuskan untuk memisahkan diri dari manusia adalah meyakini bahwa masyarakat
akan terhindar dari kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari
mereka), bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap pertama
adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri; sikap kedua
adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang
yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan orang yang
menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain adalah takabur.
Seseorang melihat
seorang rahib dan berkata kepadanya : “Anda seorang rahib.” Ia menjawab :
“Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang
ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di
hadapan syeikh yang shaleh. Sementara syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya
supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya
: “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh
menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh
pakaian Anda karena jubah saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori
pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak
kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah
dengan tepat, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan
tauhidnya, agar setan tidak menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga
harus mempunyai pengetahuan yang dapat diperolehnya dari syariat – tentang
kewajibannya, sgar segala urusannya berada di atas dasar yang kokoh.
Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat
hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya
mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang
yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh dari
mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai pakaian sebagaimana orang banyak
memakaianya, makan makanan yang seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari
mereka dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata : “Ada orang yang datang
kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang jauh?” saya menjawabnya,
‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa bepergian dengan jarak dan ukuran
perjalanan.Berpisahlah dari diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda
pasti mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan :
“Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti
menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby
berkomentar : “Adalah wajar bagi seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari
kesertaan bersama sesamanya supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali
pengingatan kepada Tuhan, terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan
mencari ridha Tuhan, dan terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi.
Apabila tidak demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya
ke dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa
sendiri dalam khalwat sangat dekat pada ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi
Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan
yang terbaik dari dunia dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya
telah menemukan yang terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan
dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang
‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab : “’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam
kumpulan orang banyak sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh
mereka. Anda menjauhkan diri dari dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan
al-Haq.”
Ada yagn mengatakan :
“Siapa pun memlih ‘Uzlah akan mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan :
“Khalwat tidak sah, kecuali dengan memakan makanan haalal, dan memakan makanan
halal tidak sempurna kecuali menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry
mengatakan : “Aku tidak menemukan sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat
melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly
bekata : “Gantilah sahabat Anda dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan
ucapan Anda menjadi munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry
mengatakan : “Orang yang menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui
khalwat tidaklah seperti orang yang menyembunyikan dirinya dari sesamanya
melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata :
“Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah diatasi ketimbang kesenangan berada bersama
orang lain.” Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama
manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz
berkata : “Keheningan adalah sahabat orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly
selalu mengatakan : “Rusak ... rusak, wahai sahabt!” Seseorang bertanya
kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari
sekian kerusakan adalah berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir
berkata : “Barangsiapa bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati
mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak
munafik.”
Sa’id bin Harb
mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian
di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia
menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa seseorang yang bersama Allah swt. adalah
ketakutan.”
Al-Junayd berkata :
“Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih
baik ia memisahkan diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh
ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy
mengatakan : “Hanya orang-orang yang sangat kuat sajalah yang harus menyendiri.
Akan halnya orang-orang seperti kita, bergaul dengan orang banyak lebih
menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah
Abu Abbas ad-Dimaghani demikian : “Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama
Anda dari khalayak, hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui
Syu’aib bin Harb, yang bertanya : “Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut
menjawab : “Wahai sahabatku! Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat
bergabung dengan yang lain. Seseorang yang belum menjalin kemesraan dengan
Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya :
“Hal mengagumkan apakah yang telah Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia
menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia
mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi
ditanya : “Adakah seseorang atau sesuatu di tempat ini yang dengannya
Anda merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an
di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya itu, para
Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di
sekitarku
Tidak meningglakan
tempat tidurku
Di dalamnya terdapat
obat pelipur
Bagi sakit yang
kusembunyikan.
Salah seorang Sufi
ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia
menjawab : “Ketika Anda sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.”
Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia
menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia sejarang mungkin.”
Dikatakan
: “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran
menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya
dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah
dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan
akhirat.”
T A Q W A
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”
(Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry,
bahwa seseorang menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah
saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada
Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus
melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau
harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu
Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya
kepada rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap
orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan,
dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan
ketundukan kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan
kejahatan, dan hal-hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan
hal-hal utama (yang menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a.
masing-masing bagian tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam
tafsir menganei firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
takwa kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia
harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita
harus bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong
sejati selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan
Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak satu pun
amal yang langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi
secara adil sesuai dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan
takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum
menjadikan taqwa dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak
akan memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa
adalah bahwa hamba waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt.
Barangsiapa menginginkan takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap
dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan pepisahan dengan dunia,
karena Allah swt berfirman : “Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am
:32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan
berpaling dari dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu
Abdullah ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala
sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang
yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya
dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat
keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa
mempunyai dimensi lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah,
dan aspek batinnya adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak
berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh
tiga sikap yang baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa
diri dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik
yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa
adalah bertindak sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya
Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap
seseorang membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya
itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan :
“Barangsiapa yang modal hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung
labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah
sikap seseorang menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan
taqwa. Contoh orang yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin
membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah seorang membantunya
menyingkirkan seekor tikus dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya
kepadanya, “Guci mana yang darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab :
“Saya tidak tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci
dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang saleh adalah Abu
Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli kunyit jingga di Hamadhan. Ia
menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga, dan ketika kembali ke Bistham,
ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan
dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di
bawah kerindangan pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan,
“sebuah hadits menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya
disertai kelebihan adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap
hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar
kota bersama seorang sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di
dinding pagar kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di
dinding orang.!” Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid
menjawab : “Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia
berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid menjawab :
“Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita menutupi dengan jubah
ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya hingga satu sisi jubahnya
mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid
memasuki masjid dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan
menimpa tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di
tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk,
lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan
minta maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu
disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat
di musim dingin. Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya,
ia memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat
kepada Allah swt.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia
mengatakan : “Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku
dapat membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih
dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu
malam aku menggisi waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul
Maqdis. Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya
kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab :
“Ibrahim bin Adham.” Malaikat pertama itu berkata : “Inilah orang yang
derajatnya telah diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua
bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli sedikit kurma di
Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu dengan kurma yang dibelinya, ia
tidak mengembalikan kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku
berangkat ke Bashrah, membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se
butir kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan
mengisi malam hariku di Masjid Kubah Batu Karang. Ketika sebagian
malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang
satu bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini?
Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata lagi
: “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh Allah
swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai
bermacam-macam aspek; bagi kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum
terpilih (khawash) adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah
menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari
menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya
dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a.
berkata : “Kaum termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling
mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi.
Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan
seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka
Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh
hati orang yang melakukannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama
Ruwaym, Al-Jurairy dan Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan
selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt.
berfirman : “Dan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga
ketika bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya
saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah
:118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang
bertaqwa kaena kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan
tidak pula) mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan
selamat hanya dengan tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu)
orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs.
Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan
tidak selamat kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt.
berfirman : “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk
mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs.
Al-Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat
kecuali dengan pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman
: “Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan
Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).
W A R A’
Diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghiffary,
(Abu Dzar adalah Jundub bin Junadah al-Ghiffary (wafat 23 H/652 M.) dari bani
Ghiffar, seorang sahabat yang telah dulu masuk Islam. Beliau sangat jujur dan
memiliki keteladanan. Tinggal di Damaskus), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Sebagian dari kebaikan tindakan keIslaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi
segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik Bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan :
“Wara’ adalah meninggalkan apa pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin
Adham memberika penjelasan : “Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang
meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami
dahulu selalu meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal
yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa
Nabi saw. bersabda :
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi
orang yang paling taat beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah,
Thabrani dan Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang
yang wara’ di zaman mereka : Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim
bin Adham dan Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara’. Dan apabia usaha
untuk mendapatkan sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka
mencarinya seminimal mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah
sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’
dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari
kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap
mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’
adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang
ada adalah bagian utama dari ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’
adalah kemudahan penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah
berpangku pada batas ilmu tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil
milik Abdullah bin Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu
ia meminta bantuan seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tiga belas
dinar. Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan : Nama
Allah swt. tertera pada uang itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua
jenis wara’ : Wara’ dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan
bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah swt. dan wara’ dalam
pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang memasuki hati Anda kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak
memeriksa dan meahami seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas
agama jeli, akan memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti
keluar dari segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum
pernah melihat sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh
hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah
lidah Anda dari pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal
paling sulit untuk dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’
adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti
dan Anda jadikan harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi
Ahmad bin Hanbal dan memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas
atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami.
Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya
: “Siapakah Anda, (semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya
adalah saudara wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau berkata, “Wara’ yang
jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku
sedang berjalan melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat
beberapa orang Syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di
dekatnya. Oleh karena itu aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian
tidak malu bermain di depan Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut
menjawab, ‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil sehingga kami memandang kecil
mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di
Bashrah selama empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun
yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata,
‘Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah
bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin
Adham, “Mengapa Anda tidak minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai
timba, aku akan meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil
makanan yang syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap
bahwa makanan tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke
jamuan makan, dan dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan
itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha menggerakkannya
hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan :
“Tangannya tidak pernah mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan
mengundang Syeikh ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang
halal yang murni, ia menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri
maksiat kepada Allah swt. Dan Halal yang murni adalah yang Allah tidak
dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia
melihat salah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan
berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu
bertanya : “Siapakah yang menguasai agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.”
Hasan bertanya lagi : “Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab :
“Kesereakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata : “Bobot sebutir wara’
yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt
dalam majelis Allah swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’
tidak menyertai seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun
diwajibkan baginya makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari
rampasan perang dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat
satu-satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tiak ingin hanya diriku sendiri
yang mencium aromanya, sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman
al-Hiry berkata : “Abu Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang
sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih
memadamkan lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia
mengatakan. “Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para
ahli warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku
selama empatpuluh tahun. Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong
ikan rebus untuknya. Ketika ia selessai memakannya, aku mengambil sebongkah
lempung dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan
aku belum meminta haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan
saat ia tinggal di sebuah rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan
debu yang dapat diperoleh dari dinign rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah
yang ditempatinya adalah ruamh sewa, akan tetapi ia bependapat bahwa hal itu
tidaklah penting. Karenanya, ia pun menegeringkan tulisan tersebut dengan debu.
Kemudian ia mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu akan
melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah
melimpahkan kasih sayang kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang
penjual bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan
tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan “Ambillah, yang mana ember
milik Anda.?” Ahmad menjawab : “Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik
kedua meber maupun uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri
tahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.” Ahmad menyahut :
“Saya tidak akan mengambilnya.” Lalu pergi, dengan meninggalkan ember
kepunyaannya kepada si penjual bahan makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya
yang mahal berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat dzuhur.
Kuda tersebut merumput di ladang milik Kepala Desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak
meninggalkan kuda tersebut dengan tidak mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul
Mubarak sutu ketika pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam
sebuah pena dan lupa mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika
cambuknya terlepas dari tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya,
dan berjalan untuk memungut cambuk tersebut. Seseoang berkomentar, “Akan lebih
mudah sandainya Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu
jatuh dan kemudain mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu
untuk pergi ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku
berkelana di padang belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika
tiba di sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum.
Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama
tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang
sobek di dekat lampu sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka,
Rabi’ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai
sepasang sayap yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia ditanya
: “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri
murid-murid al-Hasan, ia bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?”
Mereka menjawab : “Wara”, Ia berkata : “Tiada sesuatu yag paling mudah bagiku
selain ini (wara’). Mereka bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan
menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama
empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur
terlentang atau makan-makanan berlemak atau minum air dingin selama empat puluh
tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya
kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh
Hissan bin Abi Sinan : “Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena
jarum yang pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang
pembantu rumah tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan
beribadah secara khusyu’ selama empat puluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang
penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu
dengannya. Ditanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya?”
Dijawabnya : “Baik, kecuali bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga,
disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang
empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati
sebuah makam, seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya
kembali dan Isa bertanya kepadanya : “Siapakah Anda? Ia menjawab : “Aku adalah
seorang kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk
seseorang, aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku
dianggap bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang
wara’, ketika Abbas bin la-Muhtadi berlalu dihadapannya. Ia bertanya : “Wahai
Abu Sa’id, apakah anda tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu
ad-Dawaniq, minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi
berbicara tentang wara’.
ZUHUD
Nabi saw. bersabda :
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang
yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah
ia, karena ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-Takhrij oleh Abu
Nu’im dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Pada umumnya banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara
orang ada yang mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja,
sebab perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan
berkat kepada hamba-Nya berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur
kepada-Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus
mengajukan hak izin untuk mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud
terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap
perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin,
tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala
sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih baik
ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia
untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.
An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai
berkenaan dengan tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud
terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila
seorang hamba membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar,
dan tiak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk
dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya
bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar :
“Seyogyanya bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang
halal dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya
harta yang halal, ia harus bersyukur kepada-Nya. Apabila Allah swt menentukan
dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri
mencari kemewahan, karena kesabaran merupakan suatu yang paling utama bagi
pemilik harta yang halal.”
Sofyan ats-Tsauri berkata : “Zuhud
terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya
memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.
Sari as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT.
menjauhkan dunia dari para auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya
yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai-Nya
lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi meraka.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di
dalam firman-Nya, (“Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Qs. Al-Hadid :23). Sebab
sang hamba tidak gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula
bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya
Anda meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang
mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Zuhud adaah hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya. ia bukan
berkata “Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud
menyebabkan kedermawwanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang
mengantarkan pada semangat kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah
sikap Anda memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan
menjadi mudah bagi diri Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud
adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula
: “Zuhud adalah ketidak senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak
milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud
selalu asing di dunia dan seorang ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di
akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar
bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan
dan kehinaan.” Oleh sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah topi jatuh dari
langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah
kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud.
Sufyan ats-Tsaury; Ahmad bin Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan
bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan
sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor penyebab
zuhud, sekaligus sebgai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang
mencakup disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar :
“Zuhud adalah tawakkal kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada
kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga
mengatakan demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan zuhud,
lantaran si hamba tidak mampu merelakan kecuali dengan tawakkal kepada Allah
swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan
: “Zuhud, adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah
swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud,
Ruwaym menjawab, “Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya
dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid
tidak akan baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya,
dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan
jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan
tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab
: “Zuhud adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain
Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan
sempurna zuhud seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa
diserta keterikatan, berbicara tanpa disetai ambisi, dan kemudian tanpa adanya
kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud
kecuali dalam perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena
tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi
seorang zahid sesuatu lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia
memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang ia inginkan,
Dia memberi hamba yang mustqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud
adalah yang mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan
keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia,
hendaknya Anda membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun
al-Mishry : “Kapan aya dapat menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab :
“Ketika Anda menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap
memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka
berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs.
Al-Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang
tidak ditentang oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga
tidak oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa
supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan
bahwa hal-hal ini tidak terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz
: “Bilakah saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk
dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab : “Ketika Anda tiba pada
suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia,
sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum
tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak tercapai, maka
duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat
menjamin bahwa diri Anda tidak akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah
seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata
: “Barangssiapa berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud
disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan
melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba
menjauhkan diri dari dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada
malaikat yang menanamkan kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda
menolak dunia>” Ia menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan
penjelasan : “Ada tiga macam zuhud : Bersumpah menjauhi perkara yang
haram adalah zuhud kaum awam; Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam
perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah menjauhi
apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Salah seorang Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi
: “Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang
sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini
bagaikan pengantin wanita. Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh
kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak-acak
rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum ‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah
swt. tidak sedikit pun menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan
seluruh aturan zuhud dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa,
keculai zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum
sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan
diri dan berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi
nikmat-nikmat sementara, demi nikmat-nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud
adalah memelihara darah kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud
menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud
menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt.
menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada
dunia sebagai kuncinya. Dia amenempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain
dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.
D I A M
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah,
bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan
itu?”
Beliau menjawab
: “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan rumahmu, dan menangislah untuk
dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq
berkata : “Diam mencerminkan rasa aman dan merupakan aturan yang mesti
dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya.
Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’, perintah-perintah
dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam sikap diam. Dalam waktu yang
tepat adalah termasuk siffat para tokoh. Begitu pun bicara pada tempatnya
merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu
Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan
kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu
sikap yang layak dalam menghadiri majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman :
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204).
Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan Rasul saw. Firman-Nya, “ .....
maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah
kamu (untuk mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman :
“...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu
tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan
antara seorang hamba yang diam, menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah,
dengan hamba yang diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna
pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang
akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus
kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan
ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku
bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga
mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak
kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika
kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut
ini :
Kulihat bicara
menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah
paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa
banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak
pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa
DIAM.
Ada dua jenis diam :
Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang tawakal adalah diam pada ketentuan
rezeki yang diberikan. Sedang orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan
ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan senantiasa
memperbagus pebuatannya secara kokoh, dan yang kedua, adalah merasa puas
terhadap semua yang ditetapkan oleh-Nya.
Alasan untuk diam
boleh jadi merupakan ketakjuban yang disebabkan oleh pemahaman secara mendadak,
lantaran apabila masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi
bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini,
kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di
waktu Allah mengumpulkan pra Rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa
jawaban kamu terhadap (seruan)mu?” Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan
kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah :109).
Prioritas dalam
mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui bahaya yang terkandung dalam
kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat
mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas di kalangan
sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka menyadari bahwa ini semua
termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini merupakan gambaran orang yang
terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan
dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud
ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di rumah, ia memutukan untuk
menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia adalah salah seorang
muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak memberikan komentar
berkenan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat
dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia lalu tinggal di
rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits
mengajarkan : “Apabila berbicara menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam
menyenangkan Anda , berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah
menegaskan : “Diam seorang hamba tidak akan sempurna, kecuali sesudah ia
memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy
mengatakan : “Apabila tanah kelahiran seorang hamba bukanlah diam, maka hamba
tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam
tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi
berkata : “Orang yag tidak menggunakan diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary
berkata : “Orang-orang bijak mewarisi kebijaksanaan dengan diam dan
kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr
al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya : “Diam sirri adalah
menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan masa depan.”
Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu
yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan bicaranya, maka ia
termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a.
berkata : “Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan
perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat)
melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry
ditanya : “Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab
Dzun Nuun : “Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata :
“Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar
mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia
menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr
ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51
s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang
pertama yang masuk Islam. Lahir di Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau
memerangi orang murtad dan membuka syria dan Irak), biasa engulum sebutir batu
selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady
adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru
kepadanya : “Engkau berbicara, dan bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah
bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya ia tidak pernah
lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly
sedang duduk di tengah lingkaran murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan
pertanyaan, maka ia bermaksud akan mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab)
atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata
(apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang seseorang yang terbiasa berbicara
menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih layak dari dirinya untuk
berbicara.
Ibnu Sammak
menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz berteman, dan mereka
tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika
ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah sepatutnya begini.” Orang-orang pun
lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majelis Yahya
dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan dapat melihatnya. Yahya pun mulai
berbicara, naum secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada
seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku.” Dan ia tidak mampu
melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata : “Sudah kukatakan kepada
Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng
pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada
salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang gyang hadir tidak layak mendengar
pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi
ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu. Shingga Allah swt.
menjaganya terhadap pendengar yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli
mengenai tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang
adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para
Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali
ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak
dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis-majelis
dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi
mereka, tinggallah di tempatmu!.”
Salah seorang ahli
hikmah berkata : “Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi
dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari
berbicara.”
Ibrahim bin Adham
diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan
memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging
sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu.” Ucapannya ini
merujuk kepada firman Allah swt. :
“Maukah salah seorang
di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepada perbuatan itu.” (Qs. Al-Hujurat :12).
Salah seorang Sufi
berkata : “Diam adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka
mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar berbicara. Jika bicara
menjadi pembimbingmu, maka diam menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga
lisan adalah lewat diamnya.” Ada yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas,
jika tidak kamu ikat, akan menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya :
“Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang wali, diam atau berbicara?” Ia
menjawab : “Jika si pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya,
hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika
orang yang diam mengetahui efek negatif dari diamnya, hendaklah berdoa kepada
Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara
(agar bisa menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi
kaum awam dengan lidahnya; diam bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt,
dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran
menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi
mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak
mendengar ucapan kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tiga
puluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi
mengatakan : “Jika lidah Anda didiamkan, maka belum tentu Anda telah
diselamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang
tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum terbebas dari
kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan susah payah,
jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah tempat
tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah
seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang
pecinta berdiam diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri,
ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh
berkata : “Barangsiapa memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka
kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut
kebutuhannya).”
KHAUF
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada
Tuhan mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak akan masuk
neraka, orang yang menangis karena takut kepada Allah swt, selama air susu
masih mengalir dari susu seorang Ibu. Dan debu dari jalan Allah tidak akan
pernah bercampur dengan asap api neraka pada batang hidung seorang hamba
selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a.
meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Seandainya kamu semua tahu apa
yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.r.
Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa
takut (al-khauf) adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan
datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang
dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan. Apabila dalam
seketika timbul rasa takut, maka ketakutan itu tidak ada kaitannya. Takut
kepada Allah swt. berarti takut pada hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika
kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman :
“Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-Nahl :51). Juga
firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (Qs.
An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah
dan haibah.”
Khauf merupakan salah
satu syarat iman dan hukum-hukumnya. Allah swt. berfirman : “Takutlah
kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan
Khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya
yagn takut kepada Allahdi antara hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs.
Fathir :28). Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan ma’rifat,
sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)Nya.” (Qs. Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan :
“Takut adalah cambuk Allah swt. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang
berontak ke luar dari ambang pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim
mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah).
Orang yang merasa gentar mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut,
Tetapi orang yang merasa takut (khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata
rahaba dan lari (haraba) memliki arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik
(jadzaba) dan jabadza. Jika seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik
kepada hasratnya sendiri, seperti halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti
hasrat nafsu mereka sendiri. Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang
didasarkan pada kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata :
“Takut adalah pelita hati, dengan takut akan tampak baik dan buruk hati
seseorang.”
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa Anda berhenti mengemukakan dalih
dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa) dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi
menegaskan : “Orang yang takut aalah yang takut akan dirinya sendiri. Lebih
takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata :
“Manusia yang takut (kepada Allah swt) adalah yang dirinya merasa aman dari
hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu
‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab
: “Jika Anda termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat
mereka, sebab hanya orang-orang yang takut saja yang melihat orang yang takut.”
Hanya Ibu yang kehilangan anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang
berkabung.”
Yahya bin Mu’adz
mengatakan : “Alangkah malangnya anak Adam. Seandainya ia takut pada neraka
sebesar rasa takutnya pada kemiskinan, niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny
berkata “Tanda takut adalah sedih yang terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim
berkata : “Orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang
takut kepada Allah swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry –
semoga Allah merahmatinya – ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi
seorang hamba?” Ia menjawab : “Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan
sakit dan menghindari dari segala sesuatu yang dikhaatirkan justru akan
menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a.
menuturkan : “Seoang beriman tidak akan merasa tenteram, dan rasa takutnya
tidak dapat ditenangkan sampai ia melewati jembatan sirathal mustaqim di atas
neraka.”
Bisyr al-Hafi
berkomentar : “Takut kepada Allah swt. adalah raja yang hanya bersemayam di
dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry
mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi oleh seorang yang takut adalah justru
dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan
: “Takut adalah tabir antara Allah swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung
kemusykilan, tetapi maknanya ialah bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu
saat yang akan datang, sementara “anak-anak waktu kini” tidak punya harapan
akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh adalah dosa bagi kaum yang dekat
dengan Allah swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury
menegaskan : “Seorang yang takut adalah orang yang lari dari
Tuhannya kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi
berkata : “Tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu
gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd
ditanya mengenai takut, ia menjawab : “Takut adalah datangnya deraan dalam
setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany
mengatakan : “Manakala takut telah meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata :
“Ketulusan dalam takut adalah wara’ lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata :
“Manusia akan tetap berada di jalan selama tiakut tidak tercabut dari hati,
sebab jika takut telah hilang dari hati mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham
menjelaskan : “Setiap sesuatu ada perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah
takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan
kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab :
“Datang ke hadirat Allah swt. adalah suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia
sakit. Ketika melihatku, air matanya amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata
kepadanya : “Semoga Allah mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari
sakit.” Ia memprotes : “Anda pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan
apa yang ada di balik kematina.”
Diriwayatkan oleh
Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan
salah seorang wanita paling pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah
saw. dan paling dicintainya. Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan
hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang lain). Yang bertanya : “Wahai
Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan orang-orang yang memberikan hartanaya
dengan hati penuh rasa takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs.
Al-Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah mencuri dan
berzina serta minum-minuman keras? Beliau menjawab : “Bukan, mereka adalah
orang-orang yang berpuasa dan shalat dan membayar zakat, namun takut
kalau-kalau semua amal mereka itu tidak diterima. ‘Mereka adalah orang-orang
yang bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs.
Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak
berkata : “Sesuatu yang menimbulkan rasa takut hingga bersemayam dalam hati
adalah mengabadikan muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun
batin.”
Ibrahim bin Syaiban
berkomentar : “Manakala takut menetap dalam hati, maka obyek nafsu akan
terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia akan terusir,” Dikatakan : “Takut
adalah supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut
adalah gerak kalbu dari keagungan Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany
menegaskan : “Seyogyanya kalbu tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut.
Sesungguhnya apabila harapan telah melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.”
Kemudian ia katakan : “Wahai Ahmad (muridnya), mereka naik melalui takut, dan
jika mereka mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan
: “Takut (khauf) dan harap (raja’) adalah kendali bagi diri agar ia tidak
dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud
manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan tersisa
lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari
rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur
berkata : “Barangsiapa takut akan sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan
sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan
mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang paling tipis
diantaranya adalah keragguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas
akibat-akibat nanti dan ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi
mereka azan dari Allah yang belum pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar
:47).
Alalh swt. berfiman :
“Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi :103-4).
Maka, betapa banyak
orang yang akan merasa senang dengan keadaan mereka dan mereka diuji, sehingga
perilakunya berbalik secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan
keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan syair :
Engkau duga hari-hari
penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah
takut tentang takdir buruk yang bakal tiba
Malam-malam hari
memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu
olehnya,
Sesudah malam yang
cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur
bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah kisah :
“Ada dua orang yang
saling menemani dalam menempuh cita-cita spiritual. Kemudian salah seorang
diantaranya pergi meninggalkan sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup
lama, tidak terdengar lagi kabar berita mengenainya. Sahabat yang ditinggal
pergi itu kemudian ikut berperang bersama tentara Muslim memerangi balatentara
Romawi. Dalam pertempuran itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi
menyerang tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju ke
depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi seorang ksatria
Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim yang ketiga maju ke depan, juga
terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam
pertempuran. Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan
ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah menemaninya beribadah
selama bertahun-tahun! Maka berserulah san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab :
“Aku telah murtad dan menikah dengan sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah
memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak :
“Dan engkau adalah orang yang dahulu bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai
gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu
huruf pun aku tidak ingat lagi dari padanya.”
Maka, sang Sufi lalu
berkata kepadanya : “Berhentilah dari sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan
ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah memperoleh kemasyhuran dan kekayaan.
Tinggalkan saja diriku, atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang
telah kulakukan terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata :
“Ketahuilah, bahwa engkau telah membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang
akan menimpamu jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku
akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun
mundur ke belakang dan berbalik. Sang Sufi mengikutinya dan membunuh dengan
pedangnya. Sungguh ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual
yang cukup lama dan berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika
iblis tampail sebagaimana dirinya, Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan
dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba menangis cukup lama hinggal Allah swt
berfirman kepada mereka : “Wahai kalian berdua, mengapa menangis sedemikian
itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan kami, kami tidak merasa aman dari
cobaan-Mu.” Allah swt. berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman
dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary
as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku melihat hidungku beberapa kali dalam sehari
dengan cara seperti ini, karena takut hidungku menghitam karena hukuman yang
kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan :
“Selama empat puluh tahun aku benar-benar yakin bahwa Allah swt. memandangku
dengan murkan dan semua amal perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham
menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh tempat-tempat yang saleh, sebab tidak
ada tempat yang lebih saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah
menimpa Adam as. Di tempat yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu
oleh banyaknya amal ibadat. Sebab, setelah iblis melakukan ibadat begitu lama,
ternyata ia harus mengalami nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu
oleh banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung
(Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula kamu
tertipu karena bertemu dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang
takdirnya lebih agung daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan
musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan
sahabt-sahabtnya pada suatu hari, Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu
memberanikan diri kepada Allah swt. kemarin. Dan aku benar-benar meminta
surga.”
Dikatakan bahwa Isa
as. Sedang bepergian, dan bersamanya ada seorang saleh dari bani Israil.
Seorang yang terkenal karena kebobrokan akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar
jauh dari mereka berdua, ia beseru kepada Allah swt. dengan penuh kerendahan
hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah,
bebaskan aku dari orang berdosa yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka
Allah swt. pun mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang
yang berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni
sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry
menuturkan : “Aku bertanya kepada seorang yang alim : “Mengapa orang-orang
mengatakan Anda gila?” Ia menjawab : “Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk
waktu yang lama, aku menjadi gila karena takut terpisahkan dari-Nya di
akhirat.”
Mengenai makna ucapan
ini, para Sufi membacakan bait-bait berikut ini :
Bahkan kalaupun aku
terbuat dari batu,
Niscaya aku akan
meleleh
Maka, bagaimana satu
makhluk
Yang terbuat dari
tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi
berkomentar : “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih besar harapannya di
tengah-tengah ummat ini, dan lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri
daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri
jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya diberitahukan kepada tabib, tabib itu
berkata : “Ini adalah orang yang hatinya telah tersobek karena rasa takut.”
Tabib itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu berkata : “Aku tidak tahu
bahwa di kalangan orang beragama ada manusia yang seperti ini.”
Syibly ditanya :
“Mengapa matahari warnanya pucat ketika akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari
telah tergelincir dari tempat kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena
ketakutannya terhadap tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat
menjelang keberangkatannya dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan
menjadi pucat karena ia takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika
matahari terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang beriman,
ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a.
berkata : “Aku memohon kepada Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia
membukakannya, dan aku pun lalu mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu
aku beroda : “Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa
kumampui.” Kemudian ketenangan menghapus kekhawatiranku.”
ROJA’
“Barangsiapa
mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan)
Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut :5).
Al-‘Ala’ bin Zaid
menuturkan : “Amu menemui Malik bin Dinar dan menemukan Syahr bin Hausyab
bersamanya. Ketika Syahr dan aku pergi meninggalkan Malik, aku berkata kepada
Syahr : “Semoga Allah merahmatimu, berilah aku nasihat dan perkayalah jiwaku.
Semoga Allah memberimu kekayaan!.” Ia menjawab. Dengan senang hati bibiku Ummu
Darda’ menceritakan kepadaku melalui Abu Darda’, bahwa Rasulullah saw.
mengabarkan bahwa sanya malaikat Jibril as. Mengatakan : “Allah swt. berfirman
: “Wahai hambaKu, selama engkau menyembahKu, berharap akan bertemu denganKu,
dan tidak menyekutukan Aku, niscaya Aku akan mengampuni apa pun dosa yang
tenegah engkau lakukan. Bahkan sekalipun engkau datang dengan membawa keburukan
dan dosa sebesar bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak mempedulikan (berapa
banyak dosa yang telah engkau lakukan).” (Hr. Thabrani).
Anas bin Malik
mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, bahwasanya Allah swt. berfirman
(dalam hadits Qudsi) :
Keluralah dari neraka,
wahai kalian yang dalam hatinya masih terdapat iman walaupun sebesar biji
gandum.” Kemudian Dia akan memerintahkan : “Aku bersumpah demi keagungan-Ku, bahwa
perlakuan-Ku terhadap manusia yang beriman kepada-Ku walaupun sesaat saja di
siang hari ataupun malam, tidak akan sama perlakuan-Ku terhadap orang yang
tidak pernah beriman kepada-Ku.” (H.r. Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah
keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan
datang, sebagaimana halnya takut berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa
datang. Karena itu, harapan berlaku bagi sesuatu yang diharapkan oleh seseorang
akan terjadi. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan melenyapkan beban hati.
Perbedaan antara harapan dan angan-angan (tamany) adalah bahwa angan-angan
membuat seseorang menjadi malas. Orang yang hanya berangan-angan sesuatu tidak
akan pernah berusaha untuk membulatkan tekad (untuk mencapai apa yang
diangankannya). Hal yang sebalikya juga berlaku atas diri seseorang yang
memiliki harapan. Harapan adalah sifat yang terpuji, tetapi angan-angan adalah
sifat tercela.
Para Sufi telah
berbicara banyak tentang harapan. Syah al-Kirmany berkata : “Tanda-tanda
harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq
menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada manusia yang melakukan amal baik;
dengan harapan amal perbuatannya itu akan diterima oleh Allah swt. Ada lagi
orang yang melakukan amal buruk, kemudian bertobat; harapannya adalah
memperoleh pengampunan. Akhirnya ada orang yang tertipu diri sendiri, yang
terus melakukan dosa, sambil berkata : “Aku berharap untuk memperoleh
pengampunan.” Bagi orang yang tahu bahwa dirinya melakukan amal buruk, takut
selayaknya lebih berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan
adalah mengandalkan kemurahan dari Yang Maha Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula :
“Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan.”
Juga dikatakan :
“Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap
adalah kesenangan hati terhadap keutamaan tobat seseorang.”
Dikatakan juga :
“Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah swt. Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary
berkomentar : “Takut dan harap adalah seperti sepasang sayap burung. Manakala
kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan
seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfunsi, maka hal ini akan
menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk terbang. Apabila takut dan
harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlemepar ke jurang
kematiannya.”
Ahmad bin Ashim
al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya harapan pada seorang hamba?” Ia
menjawab : “Tandanya adalah manakala ia menerima nikmat anugerah (ihasan), ia
terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan menuhnya rahmat Allah swt. di dunia
ini dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby
berkata : “Barangsiapa mendorong dirinya untuk berharap saja, maka ia akan
terjerumus ke dalam kemalasan, dan barangsiapa mendorong dirinya kepada takut
saja, maka ia akan terjerumus pada keputusasaan. Yang patut adalah, ada waktu
untuk berharap dan ada waktu untuk takut; keduanya mempunyai tempatnya
sendiri.”
Bakr bin Salim
as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi mengunjungi Malik bin Anas pada petang hari
menjelang kematiannya, kami bertanya : “Wahai Abu Abdullah, bagaimana
keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan kepadamu
selain ini : “Kamu akan melihat dengan mata kepalamu sendiri ampunan dari Allah
swt. dalam ukuran yang melampaui khayalanmu.” Kami menungguinya sesudah itu
sampai kami menutupkan matanya setelah ia meninggal dunia.”
Yahya bin Muadz
menegaskan : “Harapan yang kutaruh kepada-Mu karena berbuat dosa nyaris lebih
mengalahkan daripada harapanku kepada-Mu disertai amal. Ini disebebkan,
manakala aku melakukan amal baik, aku mendapat diriku mengandalkan pada
ketulusanku dalam melakukannya. Tapi bagaimana aku bisa menjaga amalku dari
kekurangan, sedangkan aku adalah makhluk yang bersifat penuh kekuarangan?”
Sebaliknya, manakala aku melakukan dosa, aku mendapati diriku mengandalkan
ampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak akan mengampuni dosa-dosaku, sedangkan
Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang
berbicara kepada Dzun Nuun al-Mishry saat menjelang ajalnya. Dzun Nuun
mengajarkan kepada mereka : “Janganlah kalian memperdulikan aku, sebab aku
telah terpesona oleh kelembutan Allah swt. kepada diriku.”
Yahya bin Mu’adz
berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah untukku yang termanis dalam hati
berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling sedap yang keluar dari lidahku
berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuangap paling berharga adalah saat aku akan
berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah
sati kitab tafsir bahwa Rasulullah saw. datag menemui para sahabat melalui
pintu bani Syaibah. Beliau mendapati mereka sedang tertawa-tawa. Beliau lalu
bersabda : “Apkah kalian tertawa-tawa?” Seandainya kalian mengetahui apa yang
kuketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Beliau
lalu meninggalkan mereka, kemudian kembali lagi, seraya menyampaikan wahyu.
Sabdanya : “Jibril turun membawa firman Allah swt. Beritahukanlah kepada
hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh
Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Allah swt. tertawa ketika
hambahamba-Nya ditimpa keputus-asaan, sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.”
Aisyah bertanya : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita
swt. benar-benar tertawa? Beliau menjawab : “Demi Dia yang jiwaku berada di
tangan-Nya, Dia benar-benar tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak
akan menjauhkan kita dari kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa
tertawa adaah sifat yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah
ungkapan kemurahn-Nya. Hal ini adalah sebagaimana perkataan : “Bumi
menertawakan tanaman,” (yang berarti bumi mengeluarkannya). Tertawanya Allah
pada keputus asaan manusia adalah tanda anugerah-Nya, sebagai tanda kelemahan
penantian para makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang
Majusi yang meminta kepada Ibrahim as. Agar diizinkan menginap di rumahnya.
Ibrahim berkata kepadanya : “Kalau kamu masuk Islam, aku mau menjadikanmu
sebagai tamuku.” Orang Majusi menjawab : “Jika aku memeluk Islam, bagaimana
mungkin engkau akan berbuat kebajikan kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu
berlalu, lantas Allah swt. berfirman kepada Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau
tidak mau memberinya makan kecuali jika ia mau mengubah agamanya? Padahal Aku
memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh tahun, sedang ia dalam
kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja, bagaimana dengan
dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar si orang Majusi itu dan
mengundangnya menjadi tamunya. Ketika si orang Majusi itu bertanya kepada Nabi
Ibrahim as. Mengapa berubah pikiran, beliau pun mengatakan kepada si Majusi apa
yang didengarnya dari Allah swt. Si orang Majusi itu bertanya : “Beginikah cara
Dia memperlakukan aku? Berikanlah Islam kepadaku!.” Lalu ia masuk Islam.
Saya mendengar Abu
Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam aku bermimpi bertemu Abu Sahl
as-Sha’luky, dengan keadaannya yang indah sekali. Aku bertanya : “Bagaimana
Anda mendapatkan semuai ini?” Ia menjawab : “Dengan husnudzan-ku kepada Allah
swt.”
Malik bin Dinar
meriwayatkan sial mimpinya, bertemu dengan ash-Sha’luky : “Apa yang telah Allah
beikan kepada Anda hingga seperti ini?” Ia menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku
swt. dengan dosa yang sangat banyak, namun Allah swt. menghapusnya lewat
sangkaan baikku kepada-Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu
Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman
: “Aku adalah sebagaimana yang disangka oleh hamba-Ku, dan Aku ada
bersamanya manakala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka
Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, Jika ia mengingat-Ku di tengah kumpulan
orang banyak, maka Aku akan mengingatnya di tengah kumpulan yang lebih baik
dari itu. Jika ia datang kepada-Ku sejarak satu jengkal, Aku akan mendatanginya
sejarak satu hasta. Jika ia melangkah kepada-Ku satu hasta, Aku akan melangkah
kepadanaya dua hasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang
kepadanya dengan berlari.” (H.r. Bukhari).
Diceritakan bahwa pada
suatu ketika Ibnul Mubarak sedang bertempur melawan salah seorang tentara kafir
(non Arab). Ketika tiba waktunya bagi si orang kafir itu untuk sembahyang, ia
meminta waktu kepada Ibnul Mubarak. Ibnul Mubarak pun membiarkannya mengerjakan
ibadatnya. Ketika tentara kafir itu sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak
merasakan keinginan untuk menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-tiba Ibnul
Mubarak mendengar sebuah suara di angkasa yang berseru : “Dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggung jawabannya.” (Qs.
Al-Isra’ :34). Maka Ibnul Mubarak pun menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si
penyembah berhala selesai bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak :
“Mengapa Anda mengurungkan niat Anda?” Ibnul Mubarak mengatakan kepadanya
tentang suara yang didengarnya. Si penyembah berhala berseru : “Betapa
sempurnanya Tuhan Yang memarahi wali-Nya demi membela musuh-Nya!.” Lalu ia pun
masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang sangat baik.”
Dikatakan : “Allah
menjadikan manusia melakukan dosa ketika Dia menamakan Diri-Nya “Yang Maha
Pengampun”.
Dikatakan :
“Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan mengampuni dosa; niscaya tidak
seorang Muslim pun yang akan pernah berbuat dosa. Sebab ketika Dia berfirman :
“Allah tidak akan mengampuni (manusia yang ) menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa :
48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali mendapatkan ampunan-Nya.”
Ibrahim bin Adham –
semoga Allah merahmatinya – berkata : “Pada suatu ketika aku menunggu waktu
luag dan tenangnya orang di sekitar Ka’bah. Saat itu adalah malam yang gelap
gulita dan hujan turun dengan derasnya. Akhirnya tempat itu pun sepi, aku lalu
mulai melakukan thawaf, sambil bedoa : “Ya Allah, lindungilah aku dari dosa,
lindungilah aku dari dosa!”. Lalu aku mendengar suara yang mengatakan : “Wahai
Ibnu Adham, engkau meminta kepada-Ku untuk melindungimu dari dosa, sebagaimana
doa orang –orang yang lain. Tapi jika Aku jadikan kamu semua tanpa dosa, lantas
kepada siapa aku harus bersikap Maha Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin
Suraij menderita sakit – yang akhirnya membawanya pada kematian – bermimpi
bahwa hari Kebangkitan telah tiba. Allah Yang Maha Kuasa bertanyi mana para
ulama itu?” Semua ulama, termasuk diriku, maju ke depan. Allah swt. bertanya :
“Apakah yang telah kalian lakukan dengan ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami
semua menjawab : “Wahai Tuhan, kami telah ebrbuat llai dan kami telah berbuat
jahat.” Maka Allah swt. pun mengulangi lagi pertanyaan-Nya seolah-olah Dia
tidak menyukai jawaban yang telah kami berikan dan menghendaki jawaban yang
lain. Maka aku pun maju dan menjawab : “Mengenai diriku, maka catatan dalam
halaman lembaranku tidaklah mengandudng dosa menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan
Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan mengampuni semua Dosa selain itu.” Lalu
Allah swt. berfirman : “Pergilah kamu semua. Aku telah mengampunimu!” Abul
Abbas pun meninggal dunia tiga malam setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada
seorang pemabuk yang mengumpulkan sekelompok para pemabuk temannya. Ia
memberikan uang empat dirham kepada salah seorang budaknya dan menyuruhnya
pergi membeli buah-buahan. Si budak pergi, dan ditengah jalan ia melewati
majelis Manshur bin ‘Ammar, saat dimana yang disebut belakangan ii sedang
meminta kepada orang banyak untuk memberikan sedekah kepada beberapa orang
pengemis, dengan mengaakan : “Barangsiapa memberikan empat dirham, aku akan
memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan
uang empat dirham yang dibawanya kepada Mansur, dan kemudian ia pun ditanya :
“Doa apa yang engkau inginkan dariku.”
Si Budak menjawab :
“Aku ingin bebas dari tuanku.” Manshur menodakan hal itu, lalu bertanya lagi :
“Apa lagi?”
Si budak menjawab :
“Aku ingin agar Allah memberiku ganti uang empat dirham itu.” Manshur mendoakan
hal itu, dan bertanya kembali : “Apa lagi?”
Si Budak menjawab :
“Aku ingin agar Allah mengampuni dosaku, dosa tuanku, dosamu dan dosa semua
orang yang ada di rumah tuanku itu.” Manshur mendoakan hal itu. Si budak lalu
pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya
bertanya kepadanya mengapa ia pulang terlambat, si budak menceritakan apa yang
telah dilakukannya. Tuannya bertanya : “Dan doa apa saja yang kamu mintakan?”
Si budak menjawab :
“Saya minta didoakan supaya bebas dari perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu
telah kubebaskan. Dan apa permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab :
“Agar Allah memberi saya ganti uang empat dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini,
kuberi engkau uang empatribu dirham. Lalu, apa permintaanmu
yang keteiga?”
Si budak menjawab :
“Agar Allah menyadarkan tuan untuk segera bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku
bertobat kepada Allah swt. Apa permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan :
“Agar Allah mengampuni Anda, saya, orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga
Manshur.” Si tuan berkata. “Ini adalah permintaan yang berada di luar
kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si
tuan tidur, ia bermimpi mendengar sebuah suara yang mengatakan : “Engkau telah
melakukan apa yang berada dalam batas kemampuanmu. Apakah engkau mengira bahwa
Aku tidak akan melakukan apa yang berada dalam kemampuan-Ku? Kuampuni dosamu,
dosa budakmu itu, dosa Manshur bin ‘Ammar dan dosa semua orang yang berkumpul
di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah
al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa kali. Suatu ketika ia berdiri (dekat Ka’bah)
di bawah talang air dan berdoa : “Wahai Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah
sekian dan sekian dari ibadat Hajiku kepada Rasulullah saw. sepuluh ibadat Haji
bagi sepuluh orang sahabt beliau, dua iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan
sisanya untuk semua kaum Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa
menyisakan satu pun bagi dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar suara bisikan
yang mengatakan : “Inilah orang yang menunjukkan kemurahan hatinya kepada Kami!
Aku ampuni dosamu, dosa kedua orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk
Islam.”
Muhammad bin Abdul
Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada suatu hari aku melihat iringan keranda
yang dipikul oleh tiga orang laki-laki dan seorang wanita. Aku maju dan
menggantikan si wanita. Kami terus berjalan menuju ke kuburan. Kami
melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya. Setelah itu aku
bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan orang yang meninggal
ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku bertanya : “Apakah Anda tidak punya
tetangga?” Ia menjawab : “Ya, tetapi mereka semua memandang hina anakku yang
meninggal itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia seorang
banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak ia ke rumahku dan
kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Dalam tidurku malam itu, aku bermimpi
melihat seseorang datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama. Ia
berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika aku
bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan : “Aku adalah si orang banci yang anda
kuburkan tadi siang. Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan
hinaan orang-orang kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh
Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu Amr al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan
pada suatu hari, bersamaan itu pula menjumpai sekelompok orang beramai-ramai
menyerukan pengusiran terhadap seorang pemuda dari lingkungan mereka karena
perbuatan-perbuatannya yang tidak bermoral. Sementara tampak seorang wanita di
tempat itu sedang menangis, konon adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa
kasihan kepadanya, lalu meminta kepada orang banyak itu agar mengampuni si
pemuda. “Bebakanlah pemuda ini demi aku. Jika ia mengulang perbuatannya sekali
lagi, maka lakukanlah apa yang kalian kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu
melepaskan pemuda itu, dan Amr pun pergi.
Beberapa hari
kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu lagi dan mendengar suara tangis
wanita dari balik sebuah pintu. Abu Amr berkata dalam hati : “Barangkali si
pemuda mengulangi lagi perbuatan odsanya, dan mereka telah mengusirnya dari
lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu rumah si wanita dan bertanya apa
yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr
bertanya kepadanya bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya, si ibu
menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat mengatakan padaku. “Janganlah
ibu memberi tahukan kepada pra tetangga kita tentang kematianku. Sebab,
settelah mereka menderita karena aku, mereka akan senang atas kemalanganku dan
tidak mau menghadiri pemakamanku. Jika Ibu menguburkanku, inilah cincinku yang
tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku. Jika selesai menguburkan diriku,
pintalah syafaat dari Tuhanku buat diriku!” Aku melakukan seperti yang
diwasiatkannya. Dan sepulang dari penguburannya, aku mendengar suaranya :
“Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah
mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah kepada manusia bahwa Aku menciptakan
mereka bukan dengan tujuan agar Aku memperoleh manfaat dari mereka, tapi
Kuciptakan mereka supaya mereka memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy
berkata : “Kami sedang duduk-duduk di tepi Sungai Tigris berssama Ma’ruf
al-Karkhy ketika segerombolan pemuda melewati kami dengan sebuah perahu. Mereka
memukul-mukul rebana, minum anggur dan bermain-main dengan penuh hura-hura.
Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah engkau lihat bagaimana mereka secara
terrang-terangan bermaksiat kepada Allah swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia
menghukum mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat tangannya dan berdoa : “Ya Allah,
sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka bersenang-senang di dunia ini,
jadikanlah mereka bersenang-senang di akhirat nanti!” Kami bertanya penasaran.
Tapi kami memintamu untuk berdoa memohonkan hukuman bagi mereka!” Ia menjawab :
“Jika Dia menjadidkan mereka bersenang-senang di akhirat, berarti Dia telah
mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain
bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang
sahabtku. Ia mencintaiku dan aku pun mencintainya. Setelah ia meninggal, aku
ingin bertemu dengannya dalam mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag
telah diperbuat Allah swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku pun bermimpi
bertemu dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab : “Allah telah
mengampuni dosaku. Tetapi Dia memarahiku dengan kata-kata-Nya : “Wahai Yahya!
Kau telah berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku menjawab : Itu memang
benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadits yang disampaikan kepadaku
dengan riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau
telah berfirman : “Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut putih
di neraka.” Lalu Allah pun berfirman : “Aku mengampunimu wahai Yahya, dan
benar Nabi-Ku itu. Tetapi engkau telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
SEDIH
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan
mengatakan (ketika berada di surga), “Segala puji bagi Allah yang telah
menghilangkan kesedihan dari kita.” (Qs. Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu
Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak sesuatu pun
keburukan menimpa seorang hamba yang beriman, apakah itu penderitaan, penyakit,
kesedihan, atau rasa sakit yang merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni
dosa-dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah
keadaan yang menyelamatkan hati tersesat di lembah kealpaan. Dan kesedihan
adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan
Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam
waktu satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan.”
Dalam Hadits dikatakan
: “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat
disebutkan : “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan
menempatkan suatu PENYEDIH dalam hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba,
maka ditempatkan-Nya sebuah SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa
Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris
mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala bertahta dalam sebuah tempat,
tidak akan sudi menerima orang lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika
tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah
rumah akan menjadi roboh manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi
berkomentar : “Air mata kesedihan membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan
meredupkan pandangan, namun tidak membutakannya.” Allah swt. berfirman : “Dan
kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan
amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif
menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari bangkit mencari
kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah
mendengar seorang laki-laki meratap : “Aduhai kesedihan!” Rabi’ah menyela :
“Katakanlah; Aduhai kecilnya kesedihan kita! Jika engkau benar-benar bersedih,
niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah
mengatakan : “Apabila ada seorang tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan
suatu kaum, maka Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika
tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku
terhadap-Mu membuat diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku.”
Dan Allah pun menjawab : “Bagaimana mungkin bagi seorang yang penderitaanya
diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih
menahan orang dari makan, sedangkan takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi
ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia dinilai?” Ia menjawab : Dengan
banyaknya ratapan.”
As-Sary as-Saqathy
berkata : “Aku ingin seandainya kesedihan seluruh manusia di muka bumi ini
ditumpahkan kepadaku.” Banyak oang telah berbicara tentang kesedihan, dan
mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami oleh kepedulian
pada akhiratlah yang patut dipuji, sedang kesedihan karena dunia ini, patut
dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya
adalah suatu keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama kesedihan
itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak menghasilkan satu derajat
khusus, ia akan membawakan pengampunan.”
Seorang Syeikh
tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi melakukan perjalanan, ia akan
berpesan : “Jika engkau melihat seorang yang sedang bersedih, sampaikan salamku
padanya.”
Syeikh Abu ali
ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi bertanya kepada matahari selagi
terbenam, “Apakah hari inni engkau telah menyinari sorang yang tertimpa
kesedihan?”
Orang tidak pernha
melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin
‘Iyadh meninggal dunia, Waki’ mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari
muka bumi.”
Salah seorang dari
kaum Muslimin geberasi salaf berkata : “Sebagian besar dari apa yang ditemukan
oleh seorang beriman dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan
dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh
berkomentar : “Kaum salaf mengatakan : “Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat
hati adalah kesedihan yang panjang.”
Ketika Abu Utsman
al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia menjawab : “Orang yang sedih adalah
yang tidak punya waktu untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang
kesedihan. Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”
LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT
Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami
berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar
gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran mereka dalam menanggung
lapar. Allah swt. berfirman :
“Dan mereka
memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka beikan itu).” (Qs. Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik
menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a. (Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11
H/605 – 632 M). Putri Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim, suku Quraisy.
Ibundanya Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali bin Abu Thalib r.a.
melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan Zainab). Fatimah r.a. memberikan
sekerat roti bagi Rasulullah saw. beliau bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?”
Fatimah menjawab : “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak
dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini
adalah sepotong makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak
tiga hari ini.” (Hadits ini diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah dalam
Musnad-nya, melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan sanad dalam
maknanya).
Alasan inilah yang
menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Suf dan salah satu tiang mujahadah.
Para penempuh suluk selangkah demi selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan
diri dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar.
Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata :
“Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang terus menerus tidak mengurangi
porsi makanannya, kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan
bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas hari. Manakala
Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap
kali berbuka hanya minum air putih saja.
Yahya bin Mu’adz
menjelaskan : “Seandainya orang dapat membeli lapar di pasar, maka para pencari
akhirat niscaya tidak akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah
berkomentar : “Ketika Allah swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa
dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan dan minum, dan menepatkan
kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz
mengatakan : “Lapar bagi para penempuh jalan Allah (murid) adalah olah ruhani
(riyadah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang berTaubat, dan siasat bagi para
zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq
menuturkan : “Seseorang datang menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika
melihat sang syeikh menangis, ia bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh
menjawab : “Aku lapar.” Ia mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena
lapar?” Sang Syeikh balas mencela : “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa
tujuan-Nya menjadidkan aku lapar adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz
mengisahkan, bahwasanya Mukahllid mengabarkan : “Al-Hajjah bin Furafishah
sedang berada bersama kami si Syam, dan selama lima puluh malam ia tidak minum
air ataupun mengisi perut dengans esuap makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin
Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang
pasir Bashrah ke Mekkah – Semoga Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya
kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab : “Aku meninnggalkan Bashrah, makan
di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.”
Jadi, ia menyebari padang itu dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin
Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap kali makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby
berkata : Orang yang mengabdi kepada Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat
puluh hari, dan orang yang mengabdi kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan
setiap delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany
menegaskan : “Kunci dunia ini adalah mengisi perut, dan kunci akhirat aalah
lapar.”
Sahl bin Abdullah
ditanya : “Bagaimana pendpat Anda tentang orang yang makan sekali sehari?”
Dijawabnya : “Itulah makan orang beriman.” Bagaimana dengan yang makan tiga
kali sehari?” Ia mencela : “Suruh saja orang membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz
berkomentar : Lapar adalah pelita, dan kenyang adalah api. Hawa nafsu
adalah seperti kayu api yang darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan
padam sampai ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj
ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-laki dari kaum Sufi datang menemui
seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya : “Sudah
berapa lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh menjawab : “Lima hari.” Si Sufi
berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang bakhil> Anda memakai pakaian
(bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany
menegaskan : “Bahwa meninggalkan sepotong daging di waktu makan malam lebih
kusukai daripada melakukan shalat sepanjang malam.”
Berkata Abul Qasim
Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa hari Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali
mengkonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang
halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk dimakannya, lalu ia
berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa orang yang mengulurkan tangannya
karena ingin memakan barang yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang
yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram?”
Saya mendengar Rustam
asy-Syirazy as-Shufy menuturkan : “Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri
jamuan makan, tiba-tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan
mendahului sang syeikh, karena laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin
menegus atas ketidak sopanannya itu, meenpatkan sedikit makanan di hadapan si
fakir itu. Menyadari bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu
lalu tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan
jiwanaya, serta sebagai tanda Taubat atas ketidak sopanannya itu. Padahal
selama ini ia telah menderita kelaparan.”
Malik bin Dinar
berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan syahwat dunia, maka itulah tindakan
yang dapat memisahkan setan dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary
mengajarkan : “Jika seorang Sufi setelah lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku
lapar’ maka kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah
dikalahkan oleh syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela.
Beliau juga berkata : “Seseorang bertanya kepada salah seorang syeikh : “Apakah
Anda tidak enginginkan sesuatu?” Sang Syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya,
akan tetapi aku menahan diri.”
Syeikh yang lain
ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan inginkan?”
Jawabnya : “Aku
menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar
mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr datang kepadaku, dan aku berkata : “Segala
Puji Bai Allah yang telah membawamu ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah
sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya dan membeli
sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka puasa dengan kami. Ia menjawab :
“ Jika aku mesti makan dengan seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu
ia menjelaskan : “Telah bertahun-tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum
ditakdirkan untuk memakannya. Lalu aku menjawab : “Ada terung yag halal dalam
makanan ini.” Ia menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu
Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu Abdullah bin Khafi menyuruhku menyuguhinya
sepuluh butir kismis untuk buka puasa setiap malam. Suatu malam aku merasa
kasihan kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia memandangku dan
bertanya : “Siapa yang menyuruhmu (memberi lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya
sepuluh butir dan membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby
berkomentar : “Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali
saja : Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam
perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang gbangkit dan
memegang tanganku sambil berkata : “Orang ini adalah salah seorang dari
perampok itu!” Lalu oang-orang itu memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang
laki-aki di antara mereka mengenaliku dan menyela, Ini adalah Abu Thurab
an-Nakhsyaby!” Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan
laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan
kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada
diri sendiri : “Makanlah, seteelh tujuh puluh kali pukulan!.”
KHUSYU’ DAN TAWADHU’
Allag swt. berfiman :
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang khusyu dala shalatnya.” (Qs.
Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh
Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak akan masuk
surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil biji
sawi, dan tidak akan masuk neraka barangsiapa yang dalam hatinya terdapat iman
walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana
jika seseorang suka berbapakain bagus?” Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah
dan menyukai keindahan; sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan mencemooh
manusia.” (H.r. Muslim).
Anas bin Malik
mengabarkan : “Rasulullah saw. suka mengunjungi orang sakit, mengiringkan
jenazah, mengendari keledai dan memenuhi undangan budak-budak.”
Dalam peperangan
melawan bani Quraidhah dan bai nadhir, Rasul mengendari seekor keledai yang
diberi tali kendali dari ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah
berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’ adalah menyerah kepada Allah dan
menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.”
Hudzaifah berkata :
“Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama hilang dari agamamu.” Ketika salahs
eorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah tegaknya
hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah
menegaskan : Setan tidak akan mendekati orang yang hatinya khusyu’.
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah
manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia, semua itu
diterimanya.”
Salah seorang Sufi
berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah menahan mata dari melirik ke sana ke
mari.
Muhammad bin Ali
at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’ adalah begini : Jika api hawa nafsu dalam
diri seseorang padam, asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar
dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah semua
angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry
berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany
ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah jika hati menghinakan
dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban.” Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman
yaitu orang-orang yang bejalan di muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs.
Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini adalah hamba-hamba Allah itu
berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawa dhu’.
Saya juga mendengar
beliau mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak memperdengarkan
bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat
bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati.
Ketika salah seorang
Sufi melihat seorang laki-laki yang memperlihatkan sikap rendah hati dalam
perilaku lahiriahnya, dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah,
ia berkata kepadanya. “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke
dadanya, “bukan di sini, sambil menunjuk bagunya.
Diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam
shalat, dan beliau lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu,
niscaya anggota badannya juga akan khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’
dalam shalat berarti seseorang tidak menyadari siapa yang sedang berdiri di
sebelah kanan atau kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq
berkata : “Khusyu’ mirip dengan perkataan, bahwa hati nurani seseorang
dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt.” Dikatakan “Khusyu’” adalah
perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala menyaksikan Allah
swt.”
Dikatakan pula :
“Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah
mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’
adalah kegentaran hati secara tiba-tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara
tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh
menegasskan, bahwa dirinya tidak senang melihat seseorang terlihat lebih
khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany
berkata : Seandainya semua manusia bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka
tidak akan mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku sendiri.”
Dikatakan : “Orang
yang tidak merendahkan dirinya, orang lain tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz
tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Tidak akan masuk surga
oang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji
sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata :
“Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak
dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu Allah
swt. menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.” (Bukit Judy
berada di sebelah timur laut Jazirah Ibnu Umar, Ketingginya dari permukaan laut
4.000 meter. Diriwayatkan bahwa perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini
kertika terjadi banjir bandang).
Umar bin Khaththab
r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan
secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya
dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar
bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis, lalu datanglah seorang tamu. Meliaht lampu
hampir padam, si tamu menawarkan diri : “Biarlah saya yang membesarkan
nyalanya.” Tapi Umar menjawab : “Jangan, tidaklah ramah menjadidkan tamu
sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu berkata : “Kalau begitu, biarlah saya
panggilkan pelayan.” Umar menolak : “Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu
beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si tamu
berseru : “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahai Amirul Muminin?” Umar
berkata kepadanya : “Aku melangkah dari sini sebagai Umar, dan kembali ke sini
masih sebagai Umar pula.”
Abu Sa’id al-Khudry
r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu memberi makan unta-unta, menyapu
lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama
pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah. Beliau tiak
pernah merasa malu membawwa barang-barang beliau sendiri dari pasar untuk
keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan
lebih dahulu memberi salam jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela makanan
apa yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau
sangat sederhana dalam hal makanan, lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam
sikap, baik dalam berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa,
sedih tapi tiak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi
tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap
Muslim. Tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga
tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh
berkata : “Para Umala dari Yang Maha Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan
tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia
juga berkomentar : “Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga, berarti
tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya
tentang tawadhu’, ia mengajarkan : “Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan
terimalah ia dari siap pun yang mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah
swt. mewahyukan kepada gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan soerang Nabi
di salah satu puncak di antaramu.” Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba
meninggikan diri dengan sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan
dirinya dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara kepada
Musa as, di puncka gunung ini, dikarenakan ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya
tentang tawadhu’, ia menjawab : “Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap
semua makhluk dan bersikap lembut kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah
tertulis dalam salah satu kitab suci, “Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari
tulang sulbi Adam, dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada
hati Musa as. Maka Ku pilih ia dan Aku aku berbicara langsung dengannya.”
Ibnul Mubarak
mengatakan : “Kesombongan terhadap orang kaya dan rendah hati terhadap yang
miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
Au Yazid ditanya
: “Bilakah seseorang mencapai sifat tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia
tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam dan haal, serta menganggap bahwa
tidak seorang pun di antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari
dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’
adalah anugerah Allah yang tidak pernah diiri dengki orang dan kesombongan
adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak
pada sikap tawadhu’ dan orang yang mencari kemuliaan dalam kesombongan tidak
akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban
menegaskan : “Kehormatan terletak di dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam
takwa, dan kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby
mengatakan, telah sampai kepadanya tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata :
“Ada lima macam manusia termulia di dunia ini : Ulama yang zuhud, seorang faqih
yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati, seorang fakir yang bersyukur, dan
seorang bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz
menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat yang sangat baik bagi setiap
orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat
yang menjijikan bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat
pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar
: “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika
Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda, Ibnu Abbas datang mendekatinya agar
dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya : “Jangan, wahai
anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata : “Itulah yang diperintahkan kepada
kami terhadap para ulama kami.” Maka, Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas
lalu menciuminya, sambil berkata : “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami
lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair
menuturkan : “Ketika aku melihat Umar bin Khaththab memikul segantang air di
atas pundaknya, aku berkata kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini
tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab : “Ketika para delegasi datang
kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu perasan sombong merasuk ke dalam
hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya. “ Beliau terrus memikul air an
membawanya ke rumah seorang wnita Anshar dan mengisikannya ke dalam genthong
milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj
at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia
pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya,
danberteriak-teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy
menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany
berkata : “Barangsiapa yang masih memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak
akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz
mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang yang bersikap sombong terhadapmu
dikaernakan kekayaannya, adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki
datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia
menjawab : “Wahai tuanku, sebuah titik di bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu
berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau mengangap rendah kedudukan
dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a.
mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’ adalah bahwa orang yang meminum sisa
minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan :
“Berilah salam kepada para pecinta dunia dengan cara tidak memberi salam kepada
mereka.”
Syu’aib bin Harba
menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh
laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepdanya. Ternyata orang itu adalah
Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih, jika engkau berpikiran
bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini ada yang lebih hina
daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu itu.”
Salah seorang Sufi
mengatakan : “Aku melihat seorang laki-laki ketika sedang melakukan thawaf di
Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh orang-orang yang menjunjung dan memujinya.
Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari melakukan thawaf.
Sedang beberapa waktu setelah itu, kau melihat ia meminta-minta kepada
orang-orang yang lewat di sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran.
IA lalu berkata kepadaku : “Aku dulu membanggakan diri di tempat di mana
manusia-manusia mestinya merendahkan diri, maka Alalh swt. lalu menimpakan
kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia berbangga diri>”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu, juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa
seorang budak dijual kepada seorang penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si
penguasa bertanya : “Apakah sifat-sifat itu?” Si budak menjawab : “Sifat yang
paling kecil diantaranya adalah behwa seandainya tuan membeli saya dan kemudian
menyayangi saya melebihi semua budak tuan a g lain, saya tidak akan keliru
memandang posisi saya yang sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya
adalah budak tuanku.” Maka penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir
bin Hayawah berkomentar : “Ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berkhitbah,
kutaksir-taksir pakaian yang dikenakannya berharga sekitar duableas dirham
saja, yang terdiri dari jubah luar, surban, celana , sepasang sandal, dan
selendang.”
Dikatakan bahwa ketika
Abdullah bin Muhammad bin Wasi” berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya
berkata kepadanya : “Tahukan kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu?
Cuma tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah
manusia yang sepertinya di kalangan Kaum Muslimin. Lanatas, dengan orang tua
yang semacam ini, engkau berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar
berkata : “Tawadhu’ adalah engkau tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa
pun, baik di dunia ini maupun di dalam hal Agama.”
Dikataka bahwa Abu Dzar
dan Bilal – semoga Allah meridhai mereka berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar
menghina Bilal karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah saw.
yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah dalam
hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah
tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya.
Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali
r.a. berjalan melewati sekelompok anak-anak yang sedang makan roti, mereka
mengajaknya pula makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama
mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan,
memberi mereka pakaian, dan berkata : “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab
mereka tidak memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan
aku memeperoleh keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin
Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan pakaian yang berasal dari pampasan perang
kepada para sahabtnya. Beliau mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman kepada
Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel tersebut dijual dan kemudian digunakan untuk membeli
enam orang budak dan memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada
pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya bahan pakaian
yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa
protes?” Engkau telah menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap
menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah
bersumpah akan mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku
di depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang.
Pula.”
MELAWAN HAWA NAFSU
Firman Allah swt.
“Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” )Qs.
An-Naazi’aat : 40-1).
Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin Abdullah al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy
(16sH-78 H/607 -697) ikut berperang sebelas kali. Ia mempunyai majelis halaqah
ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540 Haditst). Bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Hal yang paling
kutakutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang.
Mengumbar hawa nafsu memalingkan manusia adari Al-Haq, sedang melamun panjang
membuat orang lupa pada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa melawan hawa
nafsu adalah modal ibadat.” (H.r. Hakim dan Dailamy).
Ketika salah seorang
Syeikh ditanya tentang Islam, ia menjawab : “Membabat nafsu dengan pisau
perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit,
maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita jiwanya di hadalapan Allah swt.
akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry
mengatakan : “Kunci ibadat adalah tafakur. Tanda terrcapainya tujuan adalah
perlawanan terhadap hawa nafsu dengan mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta :
“Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang
sama, si hamba diperintahkan agar bersabar di dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu
berperilaku sesuai dengan wataknya dengan cara menetang, dan si hamba menolak
hawa nafsu dengan perjuangan melawan tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar
: “Nafsu amarah yang terus menerus mendorong pada kejahatan adalah penyeru
kepada kebinasaan, pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan
berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan :
“Barangsiapa tidak mencurigai diri sendiri dalam setiap waktu, tidak menetangnya
dalam setiap keadaan ruhani, dan tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang
tidak sesuai dalam hari-harinya, adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa
memberikan perhatiankepada nafsu dan menyetujui sebagian darinya identik dengan
menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki
akal untuk menyenangi diri sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari
keturunan yang mulia, Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak
membersihkan diriku dari kesaahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada
kejahatan.” (Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan,
: “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wirid.
Tetpai aku tidak menemukan kemanisan atau kenikmatan yang bisanya kurasakan.
Maka Aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja, tetapi tetap
tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku tidak dapat duduk nyaman. Maka
kubuka jendela dan aku pergi ke luar. Klihat seorang laki-laki berselimutkan
mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia
mengangkat kepalanya dan berkata : “Wahai Abul Qasim, lihatlah waktu!” Aku
menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan waktu.” Ia berkata : “Bahkan aku sudah
memohon kepada si Pembangkit hati agar menggerakan hatimu kepadaku. “Aku
berkata : “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa kemauan anda ?” Aku menjawab : “
Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya.” Kemudian
laki-laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri, :Dengar (hai
nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu,
tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd, dan
sekang engkau telah mendengarnya.” Kemudian ia berlalu meninggalkan aku. Aku
tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah bertemu dengannya lagi.”
Abu Bakr
ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah jika engkau keluar dari dirimu
sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah
mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi Allah selain yang lebih utama dari
menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang
perkara yang paling dibenci Allah swt. Ibnu Atha’ menjawab : “Memberikan
perhatian kepada diri sendiri dengan segala keadaannya. Lebih buruk dari itu
adalah mengharapkan imbalan atas perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa
menuturkan : “Aku sedang berada di atas gunung al-Lakam, ketika aku melihat
segerombolan pohon delima, timbul keinginanku untuk mencicipannya sebuah. Lalu
aku naik ke atas memetik sebuah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu
aku melihat seorang glaki-laki terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku
berkata kepadanya : “Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai
Ibrahim.” Aku bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia menjawab : Tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt. Aku berkata
: “Kulihat engkau berada dalam keadaan bersama Allah swt.” Mengapa engkau tidak
meminta kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?” Ia berkata
: “Dan engkau, kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa
engkau tidak meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan
delima?” Manusia akan mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di akhirat,
sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun pergi berlalu
meninggalkan orang itu.”
Dalam satu riwayat
Ibrahim bin Syaiban mengabarkan : “Selama empat puluh tahun aku tidak pernah
bermalam satu kali pun di bawah atap rumahku atau di tempat tertutup
yang lain. Namun Terkadang aku masih menginginkan agar
bisa makan ‘ada dengan kenyang. Sayang, keinginanku itu tidak pernah
terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam, seseorang menghidangkan
semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku makan isinya dan kemudian berangkat. Di
tengah jaan aku melihat botol-botol berisi semacam cairan, yang kukira adalah
cuka. Di antara mereka menegurku : “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah
botol-botol anggur, dan ini guci anggur!” Aku berkaa pada diri sendiri, “Adalah
kewajibanku ....”Kemudian aku pun masuk ke dalam warung dan menumpahkan isi-isi
botol serta guci-guci itu. Orang itu mengira bahwa aku menumpahkan
isi botol-botol itu atas perintah Sultan. Tapi ketika mengetahui
bahwa itu hanya inisitaifku sendiri, ia lalu membawaku kepada Ibnu Thaulun yang
memerintahkan agar aku didera duaratus kali dan dimasukan ke dalam penjara. Aku
tinggal di penjara beberapa waktu lamanya sampai Abu Abdullah al Maghriby,
guruku, datang ke negeri itu dan membebaskanku. Ketika melihatku, beliau
bertanya : “Apa yang telah engkau perbuat?” Aku menjawab : “Satu perut yag
penuh berisi ‘adas dan duaratus deraan!” Beliau berkata : “Engkau telah
diselematkan dari segala tuduhan di akhirat.”
Dalam suatu
riwyat Sari as-SaqathY pernah menuturkan : “Selama tiga puluh tahun,
nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang dicelup dalam madu kurma,
tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abu Abbas ala Baghdady
menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata : “Bencana seorang hamba adalah rasa
pusnya terhadap keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky
menghadap kepada Hatim al-Asham, ia pun diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa
Anda menerimanya?” Hatim menjawab : “Dengan menerimanya aku merasakan rasa
hinaku sekaligus merasakan kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya,
aku merasa kebangganku sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih
kebanggaannya daripada kebangganku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”
Seseorang berkata
kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin melaksanakan ibadat haji dalam keadaan
menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab : “Lebih tajridlah sifat alpa dari dalam
hatimu, kekurang-seriusan dari dirimu, dan perkataan yang sia-sia dari lidahmu;
setelah itu tempuhlah ke mana saja engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany
berkata : “Orang yang melewati malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh
balasan di siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang baik
akan memperoleh balsan di malam harinya. Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa
nafsu akan terbebas dari beban memberi nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha
Pemurah hingga tidak berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu
demi Dia.”
Allah swt. mewahyukan
kepada Daud as. “Wahai Daud, peringatkanlah para sahabatnya terhadap
sikap menuruti hawa nafsu, sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia
tertutup dari-Ku.”
Dikatakan bahwa
seseorang sedang duduk melayang di udara, dan seseorang bertanya kepadanya,
“Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini?” Ia menjelaskan : Aku meninggalkan
hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika
(pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan
meolaknya dengan rasa takut kepada Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu
kehendak hawa nafsu ditawarkan kepada seorang pndosa, pemenuhan itu akan mengusir
darnya rasa takut kepada Allah swt.” Dikatakan juga, : “Janganlah engkau
tempatkan kendalimu di tanag nafsu, sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat
berkata : “Hanya takut yang sangat atau kerinduan yang bergelora sajalah yang
bisa memadamkan “NAFSU”.
Al-Khawwa berkata :
“Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu, tapi tidak menemukan pengganti dalam
hatinya adalah seorang pendusta dalam meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr
mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang satu dirham dan menyuruhku membeli
semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba,
ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan
menangis. : “Singkirkan buah-buah ini.” Pintanya> Ketika aku bertanya apa
yang telah terjadi, ia menjawab : “Sebuah suara berseru dalam hatiku :
“Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu nafsu demi untuk-Ku, tapi
kemudian mengambilnya lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari
kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa
nafsu
Jatuh dalam kehinaan.
D E N G K I
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku
berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari kejahatan makhluk-Nya.”
Kemudian dia berfirman : “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”
(Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup
Surat, yang dijadikan sebagai perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu
Ma’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tiga hal yang
menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya.
Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis
menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan
telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu
dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh
saudaranya.” (H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi
mengatakan : “Orang yang dengki adalah orang yang tidak beriman, sebab ia tidak
merasa puas dengan takdir Allah Yang Maha Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki
tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam
firman Allah swt. : “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa :
“perbuatan keji yang tersembunyi itu adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab
tertulis bahwa : “Orang yang dengki adalah musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan :
“Aku melihat seorang Badui yang berumur seratus dua puluh tahun, dan aku
berkata : “Alangkah panjangnya umur Anda!.” Ia menjawab : “Aku telah
meninggalkan dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak
mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang tidak menempatkan dengki dalam hati
pemimpinku sebagaimana yang telah ditempatkan-Nya dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu Hadits
dikatakan : “Ada seorang malaikat di langit kelima yang amal perbuatan
seseorang manusia melaluinya, dan ia bersinar kemilau seperti matahari.
Malaikat itu memerintahkan : “Berhentilah karena kau adalah malaikat dengki.
Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu
Sufyan berkata : “Aku mampu menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia
tidak pernah merasa puas dengan apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi
semua orang.”
Dikatakan : “Seorang
pendengki adalah seorang yang paling zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun
tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz
menegaskan : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih zalim yang sama dengan
kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa berada dalam keadaa sengssara dan
nafas sesak.”
Dikatakan : “Di antara
tanda-tanda seorng pendengki adalah penjilat orang lain manakala orang itu
berada di dekatnya, memfitnahnya manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa
senang apabila ada bencana yang menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata :
“Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang lebih tegak daripada dengki. Orang yang
dengki binasa sebelum orang yang didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah
Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar
melakukan tujuh perkara, “Janganlah engkau menggunjing dan mendengki salah
seorang hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman menjawab : “”Tuhanku”, cukuplah
perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa
as. Melihat seorang manusia di dekat “Arasy. Karena Musa ingin menempati
kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia
tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt. kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang
pendengki menjadi bingung bila melihat adanya rahmat atas diri orang lain dan
merasa senang jika melihat adanya kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika
engkau ingin selamat dari seorang pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula :
“Seorang pendengki sangat marah terhadap manusia yang tidak mempunyai dosa, dan
bersikap kikir terhadap yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga :
“Waspadalah! Jangan sampai engkau mengharapkan untuk mencintai orang yang
mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang
Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak memberikan kekuasaan kepada seorang
musuh yang tak mengenal kasihan, terhadap salah seorang hamba-Nya, maka
kekuasaan itu diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah
tentang seorang
Yang dikasihani oleh
para pendengkinya.
Mereka juga membacakan
syair berikut :
Semua permusuhan
terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan
dari orang
Ang melawanmu dengan
rasa dengki.
Mereka juga membacakan
syair :
Manakala Allah
berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah
pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz
mengatakan :
Katakan pada pendengki
Ketika nafasnya terengah-engah,“Hai si dzalim!.”
Sedang ia Seakan-akan
orang yang ditindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar