Sisi lahir dan batin manusia adalah anugerah terbesar yang telah diberikan
Allah. Karena cinta, Dia mencipta. Karena cinta pula Dia ingin dikenal. Dan,
hati manusia adalah misteri terdalam yang menyimpan rahasia-Nya.
"Apa
tidak cukup dengan pengamalan syariat kita mengenal Allah," tanya
sahabatku di sebuah warung kopi .Silaturahmi
kami terasa begitu akrab.
"Syariat itu rahasia dari sisi lahir untuk mengenal Allah.
Dengan pengamalan syariat, seorang dapat mengenal-Nya pada aspek penghambaan
lahir," jawabku.
"Berarti
tidak perlu belajar makrifatullah atau tasawuf dong, cukup amalan
syariat?" tanyanya lagi.
"Harus
diakui, meski hanya gerak simbolik dalam ibadah, kalau itu dikerjakan dengan
tulus dan istiqamah, murni menjalankan ibadah, maka itu pun pengenalan
makrifatullah di tingkat tertentu," jawab saya.
"Berarti
pelaksanaan syariat juga sudah masuk kategori makrifatullah?" desaknya.
"Betul.
Mana ada sih, ulama, guru dan orangtua kita menyuruh kita shalat tidak dengan
khusyuk atau melibatkan aspek lahir dan batin? Pasti, ahli fiqih pun punya
pemahaman batin. Tapi, tentu dengan tingkat makrifat sesuai tingkatannya,"
jawabku.
"Iya...Betul.
Tapi, apakah semua aspek ibadah lahir harus juga dipahami secara batin?"
"Semua
ibadah punya sisi lahir dan batin, ia bisa vertikal dan horizontal, berdimensi
ruhani dan sosial. Semua harus melekat pada pelaksanaan ibadah. Baik
implikasinya langsung atau tidak langsung."
"Maksud
implikasi langsung atau tidak langsung itu apa?"
"Begini.
Mungkin seseorang itu hanya mampu melaksanakan syariat sesuai tingkat kemampuan
dan keawaman makrifatnya. Tapi, bukan berarti tak punya implikasinya pada aspek
psikologis dan sosial. Misalnya, boleh jadi dengan istiqamah melakukan shalat,
ia bisa merasa tenang, tidak gampang marah, mencintai keluarganya, hati-hati
dalam bicara dan bergaul, peduli terhadap sesama, dan lain-lain."
"Lalu,
sudah nggak penting dong belajar tasawuf, sebab ulama fiqih pun biasa jelaskan
itu?!"
"Pemahaman
makna batin dalam shalat kan bukan hanya implikasi seperti itu saja."
"Apa
ada yang lebih dalam?" tanyanya lagi.
"Shalat
itu mikraj bagi seorang Mukmin. Ia juga munajat seseorang kepada Allah. Di
dalamnya kita melakukan komunikasi lahir dan batin. Secara lahir kita melakukan
gerak shalat syariat, lalu batin kita menghadap Allah, merasakan kehadiran-Nya,
dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Kita memasuki dimensi "barzakh"
dimana para nabi, rasul, wali, orang-orang shaleh, dan kakek buyut atau saudara
kita yang telah meninggal berada di alam itu. Saya berusaha membawa kesadaran
batin shalat saat di luar shalat."
"Subhanallah.
Bagaimana bisa shalat seperti itu?"
"Saya
juga masih belajar. Kadang ya bingung juga. hehehe.Saya hanya berusaha
istiqamah. Merenungi tentang diri dengan penghayatan makna gerak dan makna
bacaan doa dalam shalat. Malah kadang saya seperti wayang."
"Tiap
hari belajar, 5 kali?"
"Iya.
Latihan batin. Sambil menjalani peran kita sebagai hamba. Bagaimana dengan
pengalamanmu saat shalat?" tanyaku.
"Saya
juga bingung nih. Apakah saya itu merasakan khusuk atau apa. Saya cuma GR
memahami makna ihsan dalam shalat. Kadang, saat sujud, saat doa munajat
diungkapkan, saya merasa damai, seperti sedang menyampaikan proposal. Kadang,
saat duduk tahiyat, saya merasakan kesadaran ruhani yang kuat, seolah-olah
Rasul duduk bersamaku," katanya.
"Subhanallah.
Mantaffff, Bro."
Semakin terasa hangat di sore hari. Obrolan di warung
kopi tentang makna ibadah semakin mengentalkan persahabatan. Kita hanyalah
pendaki, pejalan, yang hanya sesekali singgah. Hidup begitu singkat. Maka, di
sudut warung kopi, di setiap tegukan kopi yang pahit, kami sempatkan untuk
sekadar mengingat jalan kembali.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar