"Mengapa Ustaz selalu posting tentang zuhud?
Mengapa selalu kita disuruh untuk membenci dunia? Bukankah kita harus seimbang
dunia-akhirat? Bukankah ini sama saja mengajak umat menjadi malas? Tasawuf bisa
merusak mental generasi!" ujar salah seorang sahabat melalui pesan teks di
selularku 6 bulan lalu.
"Bu,
yang saya jelaskan itu bab hati. Agar manusia tetap menggantungkan harapan
tetap kepada Allah. Kerja dan usaha tetap harus dilakukan, tapi iringi dengan
tawakal," jawabku.
Saya
faham protes yang dia layangkan itu. Saya tahu persis bahwa dia adalah pekerja
keras, memiliki karier yang bagus, dan berpendidikan tinggi. Dia bahkan pernah
mengatakan, "Imam Al-Ghazali harus bertanggungjawab atas kemunduran
Islam," tegasnya.
Saya
sebenarnya tak mau berdebat panjang tentang tema ini melalui SMS. Tapi,
pesannya menjadi semacam teror. "Tasawuf bisa jadi racun bagi masyarakat!"
katanya lagi.
"Silakan
fahami baik-baik makna hikmah dari setiap tulisan di Tasawuf Underground. Itu
buat bahan renungan hati. Bagi saya, tasawuf bisa jadi motivasi kerja yang
dahsyat, bisa jadi semangat, berpikir positif dan selalu tawakal dalam keadaan
apa pun. Mendekat kepada Allah itu tidak perlu menunggu sebab. Tidak perlu
menunggu musibah datang baru kita bertawakal. Tidak perlu menunggu bencana kita
baru mendekat kepada Allah," kataku mengakhiri dialog panjang.
Setelah
beberapa bulan berikutnya, dia mulai SMS berbeda. "Ustaz, suami saya
selingkuh. Sudah 2 minggu nggak pulang ke rumah," katanya.
Dia
telpon sambil menangis. Saya hanya bisa berucap "Sabar...sabar. Bicara
baik-baik dengan suami ya," jawabku.
Kehidupan
ekonominya mulai goyah. Anak pertamanya tergoda narkotika. Dan, anak keduanya
terkena asma. Rumah tangga di ujung tanduk hanya dalam beberapa bulan
berselang. Kini, pekerjaannya pun terancam hilang. Galau dan sedih jadi menu
hariannya.
Kadang
kerja keras dan perhitungan matematis manusia bukan menjadi ukuran. Meskipun
rencana sudah disusun masak, tapi keberhasilan usaha tetap saja bukan wewenang
manusia. Itulah mengapa sikap tawakal itu harus disertai sejak awal melangkah.
"Ustazzz.
Saya..." katanya melalui SMS.
"Sudahlah,
silakan baca dan fahami saja tulisan-tulisan saya di Tasawuf Underground. Insya
Allah bermanfaat," jawabku.
Dua
minggu berikutnya, dia menelpon dengan suara lirih. Dia bercerita apa yang
terjadi. Neraka keluarganya semakin membara.
"Bergantung
kepada Allah itu syarat penghambaan. Berusaha dan bekerja itu wajib. Tapi,
gantungkan semua harapanmu hanya kepada Allah. Berharap kepada makhluk hanya
membuatmu kecewa dan semakin terpuruk. Letakkan dunia itu di tangan, jangan di
hatimu!" jawabku tegas.
Keberkahan
hidup itu memang tak bisa dihitung dengan logika manusia. Ia menjadi aliran
darah dan gerak nafas kita, namun kita tak menyadarinya. Tuhan selalu hadir
mengawasi, memelihara dan memberi rezeki kepada kita, tapi kita selalu buta.
Kita selalu terpaku pada sebab-akibat, seolah-olah sebab dirimu bisa mengatur
urut-duduk takdir.
"Terima
kasih, Ustaz. Maafkan perkataanku tempo dulu. Saya sekarang baru faham,"
katanya dengan isak tangis di ujung telpon.
Kadang
musibah dan cobaan hidup bisa datang kapan saja di luar nalar. Dalam hitungan
hari ditenggelamkan, lalu dalam hitungan hari pula kita belajar berenang ke
tepian. Alhamdulillah, kesadaran ruhani keluarga ini mulai pulih. Suaminya
kembali ke pangkuannya. Dia mulai bisa move on.a
"Pada
tiap hembusan nafasmu yang berdzikir dan berharap kepada Allah, akan selalu ada
berkah dan rahmat. Maka, maknai penghambaanmu dengan sikap tawakal dan
berharaplah kepada-Nya dalam setiap keadaan," kataku.
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar