Syukur secara
lughowi dari kata syakaro – yaskuru yang berarti berterima
kasih. Adapun penjelasan lain bahwa syukur adalah ketika kita memberi
(membalas) atas pemberian orang lain kepada kita dengan memberikan lebih
daripada pemberian orang lain tersebut. Sebagai gambaran sederhana, misalnya unta
adalah binatang yang bisa berjalan jauh walaupun diberi minum hanya sedikit
saja, diberi sedikit tapi bisa memberi manfaat yang banyak , maka unta itu
disebut sebagai syakaratin naqoh (unta yang bersyukur/berterima kasih). Atau
juga seperti pohon kurma walaupun pohon itu tumbuh di gurun pasir dan hanya
sedikit mendapatkan air, tapi bisa memberikan buah yang banyak, daun dan
pohonnya pun berguna bagi keperluan manusia lainnya maka pohon kurma itu
disebut juga syakaratis syajarah (pohon yang bersyukur/berterima kasih).
Allah SWT, di
dalam Al-Quran mempunyai nama As-Syakur, karena dengan As-Syakur ini, Allah SWT
senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada seorang hamba walaupun
hamba-Nya sedikit dalam beribadah ataupun tidak beribadah sama sekali.
Oleh karena itu, syukur merupaka tingkatan paling tinggi dari seorang hamba, bahkan syukur ini bukan hanya berlaku di dunia saja tapi sampai ke dalam syurga, berbeda dengan sabar, sabar berlaku di dunia saat di alam kubur (penantian), di alam mahsyar , saat meniti shirat tapi tidak sampai masuk ke dalam syurga. Karena di dalam syurga sudah tidak akan ada lagi sabar dalam menghadapi mushibah, tidak akan menemukan lagi sabar menghindari maksiat dan sabar dalam taat, yang ada hanya rasa syukurnya seorang hamba telah mendapatkan maghfirah dan karunia Allah SWT di dalam syurga itu. Bahkan syukur merupakan nafas dari para ahli syurga. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran: “da’waahum fiiha subhaanaka allohumma watahiyyatun fiiha salaamun wa akhiru da’wahum fiiha anilhamdulillahi rabbil ‘aalamiin” ( do`a mereka di dalam syurga adalah subhaanaka allohumma dan penghormatan mereka adalah salaamun dan akhir dari do`a mereka adalah alhamdulillahirabbil’alamiin).
Digambarkan pula ketika sayyidah Aisyah r.a mendapati Nabi Saw tengah malam dengan kaki beliau yang bengkak-bengkak dikarenakan lamanya berdiri saat melaksanakan shalat malam, lalu sayyidah Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, mengapakah engkau sampai berpayah-payah dalam melaksanakan ibadah? bukankah engkau adalah seorang yang sudah dapat jaminan Allah SWT bahwa dosamu yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?” lalu Nabi SAW menjawab: “oleh karena aku sudah dapat jaminan itu, maka tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Oleh karena itu, syukur merupaka tingkatan paling tinggi dari seorang hamba, bahkan syukur ini bukan hanya berlaku di dunia saja tapi sampai ke dalam syurga, berbeda dengan sabar, sabar berlaku di dunia saat di alam kubur (penantian), di alam mahsyar , saat meniti shirat tapi tidak sampai masuk ke dalam syurga. Karena di dalam syurga sudah tidak akan ada lagi sabar dalam menghadapi mushibah, tidak akan menemukan lagi sabar menghindari maksiat dan sabar dalam taat, yang ada hanya rasa syukurnya seorang hamba telah mendapatkan maghfirah dan karunia Allah SWT di dalam syurga itu. Bahkan syukur merupakan nafas dari para ahli syurga. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran: “da’waahum fiiha subhaanaka allohumma watahiyyatun fiiha salaamun wa akhiru da’wahum fiiha anilhamdulillahi rabbil ‘aalamiin” ( do`a mereka di dalam syurga adalah subhaanaka allohumma dan penghormatan mereka adalah salaamun dan akhir dari do`a mereka adalah alhamdulillahirabbil’alamiin).
Digambarkan pula ketika sayyidah Aisyah r.a mendapati Nabi Saw tengah malam dengan kaki beliau yang bengkak-bengkak dikarenakan lamanya berdiri saat melaksanakan shalat malam, lalu sayyidah Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, mengapakah engkau sampai berpayah-payah dalam melaksanakan ibadah? bukankah engkau adalah seorang yang sudah dapat jaminan Allah SWT bahwa dosamu yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?” lalu Nabi SAW menjawab: “oleh karena aku sudah dapat jaminan itu, maka tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Sahabat, rasa syukur memang
sulit dicapai kecuali dengan pertolongan dari Allah SWT. Seperti yang pernah
Rasulullah SAW sampaikan kepada sahabat mu’adz bahwa: rasa syukur itu harus
dipinta di dalam do`a terutama disetiap akhir shalat fardlu dengan do`a:
“Allohumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadaatika.” ( Yaa
Alloh, berikanlah pertolongan-Mu kepadaku dalam dzikirku pada-Mu (menjadi ahli
dzikir.red) dan atas rasa syukurku pada-Mu dan baguskanlah ibadahku pada-Mu.)
Ibnu Qayyim rahimakumullah menyatakan bahwa setidaknya harus ada 4 pilar supaya seorang hamba mencapai sifat syukur :
Ibnu Qayyim rahimakumullah menyatakan bahwa setidaknya harus ada 4 pilar supaya seorang hamba mencapai sifat syukur :
1.
Sadar bahwa nikmat itu semuanya mutlaq dari Allah SWT,
Sahabat, pernahkah kita menghitung nikmat? Nah, itulah kita (manusia) yang jangankan untuk mensyukuri nikmat, menyadari akan adanya nikmat apalagi menghitungnya sepertinya sangat jarang kita lakukan.
Sahabat, pernahkah kita menghitung nikmat? Nah, itulah kita (manusia) yang jangankan untuk mensyukuri nikmat, menyadari akan adanya nikmat apalagi menghitungnya sepertinya sangat jarang kita lakukan.
Contoh sederhananya ketika kita makan,
apakah kita benar-benar sadar akan nikmat dari makanan sepiring nasi? Lalu
pernahkah kita mentafakuri (memikirkan) bagaimana caranya Alloh SWT
menyampaikan nikmat sepiring nasi itu kepada kita? Subhanallah, apabila sejenak
saja kita berfikir akan nikmat ini insya Allah kita akan tersungkur dan
menyatakan syukur kita kepada Allah SWT. Misalnya dari tiap butir nasi yang
kita makan, kita tidak tahu siapa yang menyemai benihnya, siapa yang
menanamnya, siapa yang memanennya, siapa yang mengolah padi jadi beras, siapa
yang membawanya. Jadi, dari sebutir nasi yang sampai pada kita, tersusun
rangkaian nikmat-nikmat Allah yang memudahkan kita untuk menikmatinya. Belum
lagi nikmat tangan kita untuk menyuapkan nasi ke mulut, nikmat mulut, gigi,
lidah, tenggorokan, usus, lambung sampai pada nikmat mengeluarkan kotorannya
itu semua harusnya menjadikan diri kita lebih bisa merasakan dan menyadari akan
nikmat Allah SWT ini. Kesadaran akan nikmat Allah yang begitu banyak, begitu
besar tercurah kepada kita dimulai dari helaan nafas, kedip mata, degup jantung
aliran darah dan lain sebagainya, akan menumbuhkan rasa berutang budi dan
bergantung hanya pada Allah SWT Sang pemberi nikmat.
2. Memuji kepada Sang Pemberi nikmat.
Memuji kepada Allah SWT Sang pemberi nikmat ini merupakan pilar berikutnya,
sebagai ungkapan hati yang bersyukur. Karena memang hakikat dari semua pujian
itu sebenarnya bermuara kepada Allah SWT.
Para
ulama menyebutkan bahwa pujian itu ada 4 :
1.Pujian kholiq pada kholiq (Allah pada dirinya sendiri) seperti halnya Allah menyatakan pujian ini dalam Al-Quran misalkan dengan ayat “Alhamdulillahirabbil’alamin” (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)
1.Pujian kholiq pada kholiq (Allah pada dirinya sendiri) seperti halnya Allah menyatakan pujian ini dalam Al-Quran misalkan dengan ayat “Alhamdulillahirabbil’alamin” (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)
2.Pujian kholiq kepada makhluk-Nya,
termaktub dalam QS. Al-Qalam [68]: 4 “Wainnaka la’alaa khuluqin ‘azhiim” (Dan
sesungguhnya engkau {Muhammad} benar-benar berbudi pekerti yang luhur.)
3. Pujian makhluk pada Kholiqnya
(Allah), sebagai mana yang diungkapkan kita apabila mendapatkan limpahan
karunia dengan mengucapkan terima kasih pada Allah atau dengan mengucapkan
hamdalah dengan tulus.
4.
Pujian makhluk kepada makhluk, apabila kita memuji seseorang baik dari postur
tubuh atau prestasinya, namun sebenarnya kita itu sedang memuji akan karya
Allah SWT. Jadi hakikatnya pujian itu semuanya kembali pada Allah SWT.
3.Menggunakan
nikmat untuk taat kepada Pemberi nikmat
Sahabat, disaat kita mencurahkan hati, pikiran, tenaga, harta, waktu dan segala fasilitas yang kita miliki untuk taat pada Allah, itulah yang disebut bersyukur.
Sahabat, disaat kita mencurahkan hati, pikiran, tenaga, harta, waktu dan segala fasilitas yang kita miliki untuk taat pada Allah, itulah yang disebut bersyukur.
4. Mencintai
Sang Pemberi nikmat. Sahabat, disaat
kita berbuat baik terhadap kedua orang tua kita, yang terbersit dalam hati
bahwa kebaikan yang kita sampaikan pada mereka ini merupakan bukti cinta kita
terhadap mereka. Karena dari semenjak kita dikandung ibu, masa kanak-kanak
sampai dewasa setiap harinya tidak terlepas dari kebaikan mereka.
Nah
seharusnya rasa cinta seperti ini lebih besar kita sampaikan kepada Allah SWT,
karena orang tua berbuat baik pada kita juga itu sebenarnya Allah yang
menggerakkannya. Apapun yang orang tua berikan pada kita itu juga nikmat Allah
yang disampaikan melalui mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar