TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)
W A K T U
Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat, adalah
suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang
terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan
(akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka,
“kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah
sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata : “Waktu
adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka waktu
Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda
senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud
Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang
mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan
datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak sang
waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan
priorotas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan
seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat
dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang ada pada
saat itu.” Dikatakan : “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti
menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu
yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi mereka.
Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu). Yakni : Fulan menyerahkan
diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal
yang tidak masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun
syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang diperintah dan
merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan
kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti
keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana fungsi pedang
itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu,
yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam
sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa
bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang
mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan
tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan
barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu adalah
pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika
melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi
waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya.
Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri
dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten
adalah hukum-hukum hakikat.
M A Q A M
Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul
kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam
kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke
maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang
belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang
belum bisa tawakal tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah
pula ber inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti
idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun sah menahapi
suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap
dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar
menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika
al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu Utsman, : “Apa
yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian? Mereka menjawab : “Kami
diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di
dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan
cara Majusi murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal
yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang gaib?
Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri dari posisi
takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir),
karena yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.
H A A L
Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yag
intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha
lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau
berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia.
Dan stiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri,
sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki Maqam,
menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab,
Al-‘arif itu ada disini, lalu dia pergi.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan
kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal
seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata
: “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah
kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila
predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah benci
terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.” Ia
mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari
al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya
al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian
dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal
ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas
ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap
secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal
lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
QABDH DAN BASTH
Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah seseorang
hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh di mata seorang
arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan
al-Basth, setara kedudukannya dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan
kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang
takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau
sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi
mereka yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam
waktu seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya
bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh
dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja
predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari
segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain,
karena tak terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada
jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara
keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth),
Kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas,
sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu
pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian orang
memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng anak sedang bermain
sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya).
Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam
permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa
berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak jelek itu? Ketika
mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita
sedikit pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata.
‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?’
Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala
hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah
kepada Allah swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang
mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya
seseorang berhak untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam kalbunya
mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat,
atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman, sehingga kalbu
mendapatkan basth. Secara global, wabdh masing-masing pelaku tergantung
kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya.
Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan
sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini alah taslim, sehingga
waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau
ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap
wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan
diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh.
Sesungguhnya Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya,
sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus
tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar.
Karena itu, si pelaku harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth,
kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku.”
Karenanya berkatalah mereka, “Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan
hati-hatilah, berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth
tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya
disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya
hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam, Dan
ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan
Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia
menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia
mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia
menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain
diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku
tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan
kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku
nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.
HAIBAH DAN UNS
Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita
jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth.
Kalau qabdh berada di atas tingkatan khauf, dan basth di atas tingkatan raja’,
maka haibah lebih tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada
basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul dari Qabdh,
yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang takut
kepada Allah swt, melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan
terganggu oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga
muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus, hatinya akan lapang dan
mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur
dalam kegaiban. Orang-orang yang berada dalam gaib frekuensinya berbeda dalam
haibah menurut penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang
melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut
penjelasannya dalam bagian “minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah
dalam al-uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama
sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata : “Seorang
hamba bisa ssampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama
sekali tidak merasakannya.” Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak
jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata : “Aku
memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya
dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat
demikian apda diri sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia
menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya.
Maka beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu aku
merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak
tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi
ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan
pada diri hamba. Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin.
Mereka hangus dalam wujud nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak
ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu saat di
kampung, aku berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan manusia
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia.
TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah
satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dkategorikan
sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal
bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada
pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para fakir
yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad
al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana da
Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara al-Junayd
tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman
dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.” (Qs.
An-Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah
Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku, ketika aku
hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba
di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku
mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku,
lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut, sedangkan
al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Apabila
manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah menjaga diri dan
waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang
bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan.
Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan
al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yanng
bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu
yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid
dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di
dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti
suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya
ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan
apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan
al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk
dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap
wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur
manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan
Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku
berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku,
dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu
Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan
wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir.
Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud
mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman
hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas
tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai
dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu
Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat
dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan
ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq, sedang
kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling berkelindan
selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai
*wushul). Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia
mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah
asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd
itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang
memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk
hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy
mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia
mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan
saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil
berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat
kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah,
lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu
ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi.
“Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr
ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika
Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu
pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun
demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak
berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana
kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu,
tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua
kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku
masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan
sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu.
Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia
meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga
diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian
sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan
kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang
lebih kuat dalam sikap perilakunya.
JAM’i DAN FARQi
Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada
diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri.
Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak
dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah
Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan
serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks
jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala
bentuk perbuatan. Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam
perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba
tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan
dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah
swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan
pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang
tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa
pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman
Allah swt. (Hanya Kepadamu Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq.
Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan), merupakan
isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa munajat,
apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta,
maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apabila ia telah
terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan,
kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat munajat
itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang dikenalkan
oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di
perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku
menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau
buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr
Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’ dinashab’),.
Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”), berarti
mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!.
Jika ia berkata (“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas
dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan
kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama,
berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya
dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang
mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang :
“Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi
masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka.
Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun
menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah
al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur
dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam’ul
jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk Allah
swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. dan jam’ul
jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain
Allah swt. ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia.
Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan
pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap
konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali,
hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba
melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan
awal Zat-nya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan
ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan
Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada
Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam
proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa
sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah
yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan dalam ragam
: Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt.
menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik
hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada
yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah
meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan
yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam
Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat
diuraikan dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd,
mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.
FANA’ DAN BAQo’
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat
tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji.
Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka
dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam
diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa fana’ dari
sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya,
jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang
terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba
mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan
pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan
tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi
permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal.
Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus menerus
membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah
swt. memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan
melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa
syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya,
akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya.
Sipa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari
kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui
kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari
penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong
dan sebagainya dari kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan
akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah
ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada
diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum
dan aturan, maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara
pertama dari makhluk. Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka
ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan
hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan, baik alam kenyataan,
pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi
bersama Al-Haq. Ke-fana’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan
tingkahlakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu.
Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan
rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak
dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh
di-maujud-kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari dirinya dan
dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu
dirinya dan juga juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya
ada, dan makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya maupun
semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya
(karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih
luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau
orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada
majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin
untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada
(keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa
sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah
wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu
dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk
menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan
orang-orang sejenisnya, maka adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang
melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya.
Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya. Siapa yang
fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh
konotasi kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa diingat,
kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an
itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair
:
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena
Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena
penyaksiannya terhadap Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat
penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
GHAIBAH DAN HUDHUR
Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang
diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena
adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh
kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya,
menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan
ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud
r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang
menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan
akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku
ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud,
tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia
sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya
yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api
itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang dibukakan
Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku
kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs
an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul
seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena
adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada
bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang
menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu
pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa
yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari
kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal sebagai
laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis
Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal
haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji,
dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga
pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi
pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku
melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya.
Sesampai di tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah
membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku
dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata,
“Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah
orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya,
dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh kemenangan dan
waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak yang
hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia hadir bersama
Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang haq di
dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya.
Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan bersama
Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka kehdiran tersebut menurut
kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan
kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia
mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang
dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba
pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali
pada kesadaran dari kegaibannya. Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang
pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada
yang pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke
Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah
sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia
menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa
maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.”
Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang
mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil
bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun
Nuun, mengabarkan apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil
berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi
kepada Allah swt.”
SHAHUW DAN SUKR
Shahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami
kegaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu yang datang
dengan sangat kuat. Sukr berati tambahan bagi ghaibah di satu sisi. Karena itu
orang sukr, kadang-kaang terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam
sukr-nya. Kadang-kadang apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran dari
kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr, karena tidak mampu
memenuhi datangnya bisiskan yang luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran,
lalu mabuk pesonanya bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang
seorang yang sukr lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang berada
dalam ghaibah itu sendiri mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang
yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding orang yang sukr,
manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba karena
adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin cinta sukacita,
khauf dan raja’. Sementara sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada orang yang
memiliki keseuaian- kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba melalui sifat
Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan ruhnya menjdai
gembira, sementara kalbunya terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah
Jamal, mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya
Ada dua kemabukan bagiku
Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw) tergantung
pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang sukr-nya bersama
Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi
oleh dunia, maka Shahw nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati
kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan Shahw
mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan
hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka
bersyair :
APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu membuat
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung dan
kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.
Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi ruhani itu
sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu. Hanya saja dalam
tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui beban yang diupayakan. Sedangkan dalam
Shahw-nya terjaga melalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan
Syurb.
DZAUQ DAN SYURB
Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq
dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka
temukan dari buah tajali dan buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul.
Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) makanwi,
dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara
keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang
syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang
kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu
abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama
Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama sekali tidak
berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya.
Barangsiapa jernih sirr-nya, maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa
yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan
tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-Bisthamy, “Di
sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga usainya.” Lalu Abu
Yazid menulis surat kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab
siapa yang merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban. Dan
Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan
ruh-ruh bebas dari segala belenggu.
MAHUW DAN ITSBAT
Mahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan.
Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat. Barangsiapa
menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku mulia, maka
dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian
para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda mengalami mahw dan itsbat?
Lalu orang itu diam, kemudian berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah
mahw dan itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat, berarti telah
menelantarkan diri dan terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang
lahiriah dan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta mahw dari
bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw ghaflat
muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat muncul itsbat dalam
wushul. Inilah mahw dan itsbat sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh dari
Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan tumbuh dari Qudrat.
Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat,
segala hal yang dditampakkan dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat
dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt. berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang
Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari hati orang-orang
‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan pada lisan orang-orang yang
menuju kepada Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan
peng-itsbat-an Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian, Allah
swt. memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa yang di-mahw oleh
AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan pada penyaksian jagad dunia, dan
ditetapkan dalam wahana perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang membuat
diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu dan engkau
bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya, tentu,
aku adalah aku. Tetapi aku pun terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang
dikaruniani keterhangusan berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas.
Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara
cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq dari segala
penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada penyaksian
mereka. Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan kepada mereka seperti semula
setelah mereka dihanguskan dalam ruhani itu.
SITR DAN TAJALLI
Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash berada
dalam keabadian manifestasi (tajalli). Dalam suatu hadis, Allah swt. apabila
telah ber-tajalli terhadap sesuatu, maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk)
kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat penyaksiannya.
Dan orang yang berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash (kalangan
khusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia tertutupi apa yang
tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang Maha Diraja
Hakikat. Namun, sebagaimana tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun
tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang fakir
dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang pemuda. Pemuda itu
melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir bertanya
tentang keadaannya. Maka orang-orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki
kemenakan wanita, dan ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di
kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain
pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu kemah, sambil
berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu, menjadi tutup dan
cacian. Aku datang hendak menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka
sebaiknya engkau kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya
kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau orang yang berhati
sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat
meneemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan
(tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr). Bagi
orang-orang khawash, mereka selalu berada di antara ketidak pedulian dan
kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan diri kepada mereka, justru mereka
acuh, namun ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia, sehingga
mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada Musa,
“Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17), justru agar Musa
tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab langsung yang berpengaruh akibat
mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya pencarian
sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan ia mengabarkan, bahwa ia
mecari str pada hatinya ketika didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi
makhluk, tidak sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis
disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian Wajah-Nya
(Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh pandangannya.” (Hr. Muslim).
MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH
Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu
baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu dengan sifat nyatanya,
lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan. Apabila
langit rahasia (sirr) telah bersih dari mega sitr, maka matahari penyaksian
tepancar dari bintang kemuliaan.
Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh
al-Junayd r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang
bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang
yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan orang
yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang Muhadharah
ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang
musysahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya.”
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih dari
apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti dari yang diucapkan,
bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor
yang memutus di celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung.
Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak terputus, maka
jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli tampak terus
menerus, akan menjadi siang yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah,
sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan
menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri, sementara tak satu
pun gelas piala yang mengabadikan dan memercikan mereka. Gelas yang menghapus
mereka secara menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari
pengaruh-pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan : Mereka
berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada pengaruh.
LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris tidak ada
perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari orang yang sedang
dalam tahap permulaan (bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap dalam kalbu.
Sehingga cahaya matahari ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun
Allah swt. mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga,
pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62).
Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah kilatan
kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub. Mereka dalam zaman yang
menutup mereka, sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu. Mereka seperti
digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
Dari sayap-sayap lagnit yang benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian
Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga cahayanya
tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih.
Hilangnya cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa waktu.
Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak puas-puasnya
memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Tak sampai air wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan
mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak berlalu sampai
pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di antara pasukan Ruh dan Nuh.
Karena mereka berada di antara Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat
dominasinya dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu menghapus kegelapan
dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak
terlalu tinggi, tidak pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan
perjalanan yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut
berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan jejak, tidak sedikitpun
memberkas. Sepeti kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan
abadi yang ada. Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yang
ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-bekasnya.
Orang akan berada di tahap tersebut setelah menghuni luapannya, hidup dalam
sorotan berkatnya. Lanatas pada hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan
waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang
ditemui, pada saat adanya itu
BUWADAH DAN HUJUM
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan kalbu
Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor kesukacitaan atau
kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang datang pada hati dengan
kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan
kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah oleh Buwadah,
namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan oleh Hujum. Dan diantaranya ada
yang berada di atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual.
Mereka adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana dikatakan
:
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung
TALWIN DAN TAMKIN
Talwin merupakan
sifat orang-orang yang memliki tingkah laku tahapan.Tamkin adalah sifat
ahli hakikat. Seorang hamba yang masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah,
maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai tahap demi
tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan
(tamakkun).
Senantiasa
rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan
jiwa, di mana tempat menetap
Orang
yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada tahap
tamkin, berarti telah sampai (wushul) kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai
itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah
seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan para pencari menuju
kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah sampai kemenangan dalam jiwanya,
berarti mereka telah samapi.”
Mereka
berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan
termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala hamba menetap abadi dalam
kondisi itu, dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh
Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam talwin,
kemudian kembali dari mendengarkan Kalam, dan berharap untuk menutup wajahnya.
Sehingga ada pengaruh bagi tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw.
adalah pemilik tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa
yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah demikian juga
dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang melihat Yusuf as. Ketika mereka
secara bersamaan memotong jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as.
Dengan tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri Raja Aziz,
jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam mengekang tragedi tersebut.
Kemudian sejak hati itu ia tidak berubah, karena ia telah memiliki ketenangan
(tamkin) dalam peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah,
bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena satu dari dua persoalan : Kalau
tidak karena adanya kekuatan yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya.
Sedangkan ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla : Karena
kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi dalam
memperbolehkan kelangsungan tamkin, terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada
jalan lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila
kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya
para Malaikat akan menjabat tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al
Usaidi, dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya
pula :
“Aku
punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di dalamnya kecuali Tuhanku.”
(H.r. Tirmidzi).
Kedua,
sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta ahli hakikat melakukan tahapan
dari sifat yang mempengaruhi melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam
hadits di atas, “ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama
sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat tidak apda kalangan
pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw. “Sesungguhnya Malaikat meletakkan
sayapnya pada pencari ilmu, sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.”
(H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).
Sedangkan
sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).” Dikondisikan menurut persepsi pendengar.
Namun dalam seluruh tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang
pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang masih menaiki
tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah saja bila predikatnya
bertambah dan berkurang. Apabila telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan
hukum-hukum kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak dikembalikan
pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin dalam haliyah
(Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt.
mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya.
Karenanya, jika hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin,
dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati tahapnya lebih
tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena tiada lagi
pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis manapun. Sedangkan orang yang merasuk
dalam musyahadahnya, dan secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada
batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri dan
rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya, jika kegaiban ini
abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap talwin maupun
tamkin, tidak ada maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat
tersebut, ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali
jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu semua, maka ia berada dalam
situasi dimana dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh
swt. berfirman :
“Dan
kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu tidur dan Kami balik-balikan
mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-Kahfi:18).
QURB DAN BU’D
Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan
hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan
tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan
menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh
dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq
adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah
swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan
yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub
kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku
mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan
penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.”
(H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan
pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang
kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di
akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara
masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali
kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum
fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat
yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha
Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan
pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para
Wali-Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding
urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat
kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat
lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4)
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.”
(Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt.
minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan
senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt.
dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan
nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang
cemerlang kata yang meluncur
Dari
mulutku selain Diri-Mu
Melainkan
Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan
pendengaran-Ku
Tiada
getar hati dalam rahasia
Getran
selain Diri-Mu
Melainkan
engkau telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing
santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini,
namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat,
dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu di tempat yang
sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut,
dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada
si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab,
“Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak
diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt.
melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada
muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan
ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi
kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas,
maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt.
menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda
karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya,
apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan
spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena
Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan
wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan
ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini
:
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah
seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu
dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan
mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah
jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha
Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari
segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk,
begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan
Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi,
dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat
melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang
dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif
keutamaan melalui sifat kelembutan.
SYARIAT DAN HAKIKAT
Syariat adalah disiplin ubudiyah,
sedangkan hakikat adalah musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan
(rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa syariat
merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt. Sedangkan Hakikat
adalah kelestarian memandang kepada-Nya. Tharikat adalah menempuh jalan syariat
tersebut, yakni mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki).
Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak bisa
diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan syariat, tidak akan
suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik, sementara
hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat berarti Anda
menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti
bangkit sesuai dengan apa yang diperintahkan, sementara Hakikat adalah
menyaksikan apa yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa
yang tampak.
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu
kami menyembah)” adalah menjaga syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon
pertolongan)” adalah ikhtiar dengan hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila dilihat
bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya. Begitu pun hakikat adalah
syariat, dari segi bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-Nya.
N A F A S
Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan kegaiban.
Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih jernih dibading yang
memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah
pangkalnya. Pemilik tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya.
Orang-orang yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan
pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung nafas
(hati) bersama Allah swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan dijadikan
kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta rahasia di balik kalbu,
dan dijadikan sebagai tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari
bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan,
adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung jawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang Arif” nafas
tidak berserah kepadanya, karena tidak ada toleransi yang mengalir
menyertainya. Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak
ada nafas, pastilah ia akan musnah.”
AL-KHAWATHIR
Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang
menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat, terkadang dari setan,
atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari Allah swt.
Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika muncul
dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan disebut Haswas.
Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran
(Khathir Haq).
Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari para
malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai dengan ilmu
pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang tidak
bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila
bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada kemaksiatan. Begitupun
yang datang dari nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menurut syahwat,
atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu banyak makan
makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana bisikan yang bersifat ilham dan
mana yang waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa yang
makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan bisa membedakan antara
ilham dan waswas. Sementara orang yang menghindari hasrat nafsunya, dengan cara
mujahadah yang benar, kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan
terhadap nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan.
Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah semaksimal mungkin,
agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah ruh tidak akan membisikan sesuatu
kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan : bahwa
naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan
akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu
benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang
yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu
itu selalu memusuhi Anda. Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda melalui
godaannya, kemudian Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi
Anda dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra adalah
sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti ajakannya yang
menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan dalam
penjerumusan itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para malaikat, kadang-kadang
cocok di hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan
langsung dari Allah swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny. “Apabila
bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding bisikan
pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan pertama lebih kuat, sebab, apabila
bisikan itu masih ada, orang yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya,
dan dalam kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan bisikan
pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”
ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang
menyebabkan keraguan sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam sifat Allah
swt. karena memang tidak relevan. Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu
sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah sesuatu yang
ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan
disertai kejelasan. Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat
yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang cenderung rasional,
‘Ainul Yaqin, diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya
bagi orang-orang yang ma’rifat.
W A R I D
Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan dalam hati, berupa
bisikan terpuji, tanpa diduga oleh seorang hamba. Tergolong kategori ini,
adalah hal-hal yang tidak termasuk sisi dari bisikan (khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan terkadang juga dari
intuisi pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-waridaat) ini lebih umum
dibnding al-khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi macam perintah,
atau yang se-arti dengannya. Sementara warid, lebih sebagai bisikan
kegembiraan, atau kesedihan, genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya.
SYAAHID
Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa
kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan
menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid
–al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam
hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan
memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam
hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia
menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia
menyaksikan al-wujd.
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang
hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita
mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.”
Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan
menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah
dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir
kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka
hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya
hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang
kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan
jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya
gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok
tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi –
maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya. Tetapi
bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi
“atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum
naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas.
Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada
malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang
kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya.
Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r.
Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas.
Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan
penglihatan mata.
NAFSU
Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu (jati diri).
Sedangkan menurut kaum Sufi, “Ucapan kata nafs bukan dimaksudkan
sebagai wujud, acuan masalah.” Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah sesuatu
yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi dua
: Pertama, bersifat upaya dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan
pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua, budi pekertinya yang
buruk dalam dirinya yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri
hamba adalah berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut yang telah menjadi
kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu adalah hal-hal
yang dilarang setara dengan keharaman atau larangan yang besifat dibenci. Sedangkan
pada sifat kedua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan
globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk
akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan bahwa sesuatu perbuatan
yang muncul dari nafsu dianggap baik. Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian
takdir. Karena itulah perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik
khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi akhlak dalam menyingkirkan
nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar, haus atau berjaga (tanpa tidur)
dan sebagainya yang mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara
seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada dalam hati,
sebagai tempat akhlak yang tercela. Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa
lembut dalam hati, namun sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang
umum, masing-masing saling meundukkan. Semuanya, merupakan bagian dari kesatuan
manusia. Eksistensi ruh dan nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa,
sebagaimana eksistensi malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang, telinga sebagai
tempat mendengar, hidung sebagai tempat penciuman, mulut sebagai tempat rasa,
maka, begitu pun orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang
merasakan, semuanya termasuk dalam bagan manusia. Demikian pula, tempat
sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat
tercela tempatnya adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan
tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama, kembali pada keseluruhan kesatuan
sosok manusia.
R U H
Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda pandangan soal Ruh.
Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah
kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt. menjalankan
kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya
menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah selalu tercetak
di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur dan berpisah dangan badan, kemudain
kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah swt.
menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar, diberi pahala
maupun disiksa. Ruh adalah makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan
kekeliruan besar. Beberpa hadits mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang
lembut.
SI IR
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia, sebgaimana
arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah temepat musahadah, sebagaimana
arwah temWApat mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat Anda mulia.
Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang tidak bisa terungkap selain Allah
Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa sirr lebih
lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu tipudaya, baik
dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan termasuk
antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam hal ini, ucapan
seseorang yang mengatakan, “Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih
suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu menerima
rahasia-rahasia jiwa (asraar).
PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
1. MA’RIFATULLAH
Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa, yang dikenal
sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya,
dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang
difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Ia berkata : “Ma’rifat.”
Karena firman Allah swt. : “Aku tidak menciptakan jin manusia kecuali
untuk menyembah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyaat : 56).
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan
adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd
berkata : “Haat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat
makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita bagSang
makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya.
Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja,
kepada siapa kewajiban-kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti, hikmah
mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat. Akal menunjukkan, hikmah
mengisyaratkan, dan ma’rifat menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak
akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan Yang Maha
Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya.
Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra
terhadap antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan
bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada sesuatu pun yang
menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya :
“Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yang mencegah
dirimu dari penyimpanngan dan penyerupaan.”
2. SIFAT-SIFAT
Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu bahwa
Allah swt. tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat.”
Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam” hanyalah
bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak bendawi
menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di
genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan
yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya. Hal-hal
yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya. Siapa
yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana. Sungguh
Maha Suci Allah swt. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula
dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri
keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada, juga tidak dihilangkan oleh
tiada. Sifat-Nya tidak memliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya
tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak
mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia
menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal
penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudus)-Nya.”
Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah
tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yang
tergambar oleh khayal, selalu berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati
sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau dia kembali pada sesuatu,
padahal Dia-lah yang memunculkaNya ? Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan,
kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak
berukuran ketinggain, kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal dan
yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tidada
sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di antara dua
sisi Dzun Nuun al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar tentang
Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti Anda
tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan,
ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab langsung bagi
segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi
ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang
mengaturnya kecuali Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal
Anda, maka Allah justru berbeda dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda
behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya,
dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya.”
3. I M A N
Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti penetapan kalbu
terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib.”
Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua macam
:Karamah dan istidraj. Segala hal yang menerap abadi dalam dirimu
adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan
saja , “Aku beriman, insya Allah’!.”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang yang
beriman melihat Allah swt, dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan.
Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat penyaksian
al-Haq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yang lebih rindu kepada-Nya,
dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi’raj,
sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt, dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu seputar
arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku. Lantas
aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan
Islam yang baru (sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan bayangan,
yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasan Ilahi.”
Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin
Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak
dengan zatnya. Begitu juga hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan
zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang
bagi jasad dan arwah.
4. R E Z E K I
Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah. Jawabnya
: “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama
Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan
kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan
fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal
tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd : “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan
padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda,
bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt, Dia Maha
Esa tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian, Anda telah
menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan : “Doakan aku!.”
Kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu gaib melalui
kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian sesuatu doa
tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nuun.
Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala bisikan yang
mengisyaraktkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur
keserupaan.” Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid,
menjelaskan : “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu
pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid
melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh khayal dan
pikiran, maka Allah swt pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena
firman Allah swt. “
“Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura : 11).
Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan keabadian
yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu,
abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena
abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena
badi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara sifat-sifat
(fi’l) dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial.
Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda diintegrasi
oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi
oleh sifat-sifat Dzat-Nya.
Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan : “Ketika
aku datang dari Baghdad. Aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh.
Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim
Abadzy duduk berjauhan dengan kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu
beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi
sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,’ katanya sambil
menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata
kepadanya : “Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?” Yahya menjawab : “Tuhan
Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya : “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha
Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali beretanya : “Di mana Dia?” “Dia
benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.” Tandas si
penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a. Junayd
menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna : ma’al an-biyaa’ (beserta para
Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt.
:
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.”
(Qs.Thaaha :46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah
swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang
keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah : &).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar layak
untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah swt.”
5. ARASY
Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt.
“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.” (Qs.Thaha
: 5)
Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu
dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan) menjadi
semayam (-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya bersemayam
terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari
sesuatu yang lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan bahwa Allah
swt. ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar
musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari
sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung
sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia mendekat,
lalu tambah mendekat lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa :Barangsiapa mengira bahwa
dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal
mendekat yang dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia
merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh.”
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya sentuhan
sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak sengaja
aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan, sehingga aku harus
mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari
lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata :
Al-Qur’an adalah makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata : “Sesungguhnya
Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika
Allah mencipta Adam as. Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak
tersebar di kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian hruf-huruf itu meluncur
dari lisan Adam as. Melalui struktur yang berlaku dan struktur bahasa. Kemudian
Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah makhluk.
Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan perbuatan, bukan
ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan perbuatan dalam obyek
yang diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen : “Tawakal adalah
perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata : “Siapa yang mengenal hakikat dalam
tauhid, maka gugurlah pertanyaan : Mengapa dan bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yang lebih mulia dari
makhluk Allah ketimbang ruh.”
6. Allah Swt. YANG HAQ
Para Syeikh dari tharikat ini mengatakan soal tauhid. Sesungguhnya
Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kasih, Maha
Menghendaki, Maha Mendengar, Maha Agung, Maha Luhur,Maha Bicara, Maha Melihat,
Maha Besar, Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Abadi dan selagalanya bergantung
kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa dengan sifat
Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat, Maha Mendengar dengan sifat
Sama’, Maha Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara dengan Kalam, dan Maha
Hidup dengan Hayat, serta Maha Abadi dengan Baqa’
Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupkan
sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci
Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.
Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa
dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat tersebut
sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.
Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yang tidak disamai oleh segala
ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru, tidak
tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat.
Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan
pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.
Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal
dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada
warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.
Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari hukum-Nya
tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yang
diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana dia mencipta
dan apa yang dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya : Di mana Dia, dan
bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul
kata-kata Kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga didkatakan :
“Melampaui kekinina dan zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan : “Mengapa
Dia berbuat terhadap sesuatu ?” Kenapa, tidak ada sebab langsung terhadap
pekerjaan-Nya.”
Allah juga tidak bisa dipertanyakan : Apakah Dia? Karen Allah
bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat bukan
dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan
penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asmaul Husnah dan Sifat-sifat Luhur. Dia
melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi kehinaan kepada
hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang berjalan kecuali
atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah
didahului Qadga’. Apa yang diketaui dari ciptaan-Nya, maka hal itu
dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari
apa yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan
keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan
submateri. Allah yang mengutus utusan untuk para ummat bukan sebagai kewajiban
bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan Para Nabi as,
tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi kita
Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang
cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta
mengenalkan mana yang mungkar. Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam
setelah wafat Nabi saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran
dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para
Auliya-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan “IJMA”. Dan
rekayasa kebatilan sirna melaui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan
oleh para pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“Agar Dia memenangkannya di
atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci.” (Qs.
As-Shaff : ).
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
1. T AU B A T
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M) dari
suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis. Lahir di Madinah dan
kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah), bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan
jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.”
(H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs.
Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda
bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang bertaubat.”
(as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid II, hlm. 8050, mengatakan
bahwa hadis ini diriwayatkan Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut
as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, taubat merupakan tingkat pertama di antara
tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama di antara
tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).
Makna taubat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia bertaubat”
beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh
syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali
kesalahan merupakan sutu taubat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan : “Terdapat
tiga syarat taubat yang musti dipenuhi agar taubat itu sah : Menyesali
pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung penyelewengan;
dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang
sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya taubat itu,
sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah Arafah”, maksudnya,
adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya tidak ada unsur-unsur haji yang yang
lain selain wukuf di Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya adalah
wukuf di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan yang disampaikan Rasulullah
saw. bahwa, “Menyesali kesalahan merupakan suatu taubat.” – bahwa bagian utama
taubat adalah menyesali keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi persyaratan
taubat.” Demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan
tersebut mempunyai akibat berupa dua persyaratan yang lain. Artinya, orang
tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia
mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa taubat
mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab langsung taubat
yang pertama ialah kebangunan hati dari kealpaan, menyadari bahwa hamba
tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini dengan batuan Allah swt.
terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati,
lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah mengingatkan pada kalbu Muslim.”
Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging di dalam jasad, yang apabila ia
bagus, maka keseluruhan jasad akan bagus, dan apabila ia rusak, maka
keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r.
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya,
niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang dilakukannya, dan
keinginan untuk bertaubat akan datang ke lubuk hatinya, bersamaan dengan
tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah
swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam menempuh
jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertaubat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-orang
yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk mengingkari tujuan ini,
dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan hal ini tidak akan
lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus,
dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang
darinya dapat memperkuat rasa khauf dan raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan
tercela, yang membentuk simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan
menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali diri akan terjaga
dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus segera meninggalkan dosanya
dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa
mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan
kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk
melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin seringkali terjadi,
kita harus tetap berharap orang seperti itu akan bertaubat lagi karena : “Bagi
tiap-tiap masa ada ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali mengunjungi
majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya membekas di kalbu. Tetapi,
ketika aku pulang, kata-katanya itu pun lenyap. Aku menghadiri majelis untuk
kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu hingga di jalan
aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya untuk yang ketiga kalinya,
berulah kata-katanya membekas hingga di rumah. Selnjutnya kuhancurkan segala
peralatan yang mengarah pada dosa dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah
ini kusampaikan kepada Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas kisah
ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor burung gbangau : “Dengan burung pipit
yang dimaksudkannya adalah si pengisah itu dan burung bangau adalah Abu
Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu
perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu meninggalkanku,
dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya.”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya, seringkali
mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman amat berkesan di dalam
hatinya, hingga membuatnya bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Ia
meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu
hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera berpaling dan
mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya, berjalan di belakangnya, seraya
berkata : “Wahai anakku, jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu,
kecuali ia seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau membantumu
dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr bertaubat dan
kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang murid
bertaubat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam hati, ‘Jika aku
bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka terdengarlah bisikan
dalam jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu,
kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau
kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si pemuda itu pun bertaubat,
kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri dari
ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan
odsa, maka pada saat itulah taubat sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia
menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi
tindakan-tindakan tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan
diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-orang yang jahat
lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan malam dalam keadaan sengsara, dan
bertaubat dalam situasi bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan
linangan air mata, dan mengobati hati dengan taubatnya. Ia dikenal di antara
sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya memberikan
kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertaubatana seseorang adalah menghadapi iri
hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan nahwa yang dimilikinya cukup
untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan
klaim yang bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan apabila
harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim mereka, dan kembali
kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran, disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Taubat
dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah taubat (tawbah), tahap tengah
adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.” Ia menempatkan tawabh di awal, awbah
di akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat karena takut siksa, maka ia tergolong
orang yang taubat. Siapa pun yang bertaubat karena ingin mendapatkan pahala
Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa pun yang bertaubat lantaran
mematuhi printah Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan
hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah swt.
berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada
Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah swt.
berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amatlah taat (kepada-Nya).”
(Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Taubat itu mempunyai tiga makna. Pertama,
menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk tidak kembali pada apa yang
telah dilarang Allah swt.; dan ketiga adalah menyelesaikan/membela orang yang
teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Taubat adalah menghentikan sikap
suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan
mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah terjadi atas
dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan ia bertanya
tentang taubat kepadaku. Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah bahwa engkau tidak
melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan mengatakan, ‘Taubat
adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab,
“Karena apabila aku berada dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke
kondisi dingin, maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu
sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang
memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru, yang terus
menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya orang-orang yang telah mencapai
kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah
Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr)
kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Taubat kalangan awam
adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum kahwash adalah taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Taubat adalah bahwa engkau
berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan : “Betapa
besar perbedaan antara orang yang bertaubat dari dosa, orang yang bertaubat
dari kealpaan, dan orang yang bertaubat dari kesadaran akan perbuatan baiknya
sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Taubat sejati adalah taubat yang tidak
menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan
mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku tidak kembali kepada-Mu hanya karena
sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku
tidak aka berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan dengan tidak
disertai pencabutan dosa adalah taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal taubat, ia menjawab : “Ketika
dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika mengingatnya,
itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi taubat adalah bahwa bumi ini
terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau tidak menjumpai tempat
untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt.
telah menyatakan di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari
dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis taubat : Inabah
(kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah sang hamba
bertaubat karena takut akan hukuman; dalam istijabah ia bertaubat karena malu
akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertaubat membenci
dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana dosa-dosa dikejar.”
Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh
Allah karena taubat.” Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa
dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Taubat para pendusta berada
di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam : “Wahai
Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan penderitaan. Aku
menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sungguh-sungguh
kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan
membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan
gembira; doa mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah sering
berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku bertaubat,
akankah Dia mengampuninya?” Dijawab oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia
mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang membiarkan dirinya larut dalam
kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi
apabila ia bertaubat, niscaya penerimaan taubatnya oleh Tuhan diragukan,
terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi penerimaan
itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa sampai pada satu
titik dimana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam
sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah melakukan
suatu tindakan yang mengharuskan taubat, ialah bertaubat secara
sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih perbuatan odsa dan memohon
ampunan, sebagaimana tertuang dalam ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa
takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs.
Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan Allah
tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja sesudah
bertaubat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya : “Kepada-Nya-lah
mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya jika mereka bebas
berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa, seorang perdana
Menteri, mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan orang-orang yang
tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia? Siapakah ia? Seorang wanita yang
berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan , ‘Siapakah
ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari perlindungan Allah
swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana Anda lihat.’ Katika Ali bin
Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia kembali ke rumahnya, seketika itu
pula mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, lalu pergi ke Mekkah, dan
menetaplah ia dikota suci itu.
2. MUJAHADAH
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs.
Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik bin
Sanan al-Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74 H/613 -693 M), seorang sahabat
Rasulullah saw. Ikut berperang duabelas kali, dan meriwayatkan 1170 hadis.
Meninggal di Madinah). Bhawa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad
terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada
seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Mka
air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa menghiasai
lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui
musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat
ini, ia tidak akan menemui cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : “Adalah kesalahan besar bagi
seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di jalan-Nya atau
bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang tidak
berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan
beristirahat pada akhir perjalanannya.” Dikatakannnya pula, “Gerak adalah suatu
berkat.” Dan katanya kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan
barakah-barakah batin.”
As- Sary berkata : “Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum
kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah
seperti diriku.” Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda
yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan
kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali
dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Seseorang akan baru mencapai
derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal : (1) Menutup pintu
bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan; (2) Menutup pintu keangkuhan
dan membuka pintu kerendahan hati; (3) Menutup pintu istirahat dan membuka
pintu perjuangan; (4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga; (5) Menutup
pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan; (6). Menutup pintu harapan
duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata : “Barangsiapa menghargai hawa
nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan : “Apabila seorang Sufi – sesudah
lima hari kelaparan – berkata : “Aku lapar.” Kirimlah ia ke pasar untuk mencari
nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari
kebaisaan-kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua sifat yang menghalangi dalam mencapai
kebaikan; keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak
kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya
dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan
kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya.
Manakala Jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini.
Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul
menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya
telah ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan
dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup
menunjukkan kemampuannya dan menghiasai perbuatan-perbuatannya kepada siapapun
yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan
menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan
hargadirinya yang rendah, asal-usulnya yang hina dan amal-amalnya yang
emnijikan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan-tindakan; tujuan
kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam
lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan
membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya, sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit
dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental
seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu
pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah apabila pujian orang
tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku
berangkat haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa
segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini
kusadari saat ibu memintaku menarikan sguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal
ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang
kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam hajiku selama ini tidak
lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa,
karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku
sebagai suatu yang memberatkan dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai
keadaan ruhaninya. Ia menjawab : “Semasa Muda, aku berpikir bahwa
keadaan-keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpai
saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah berkenan
memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya,
penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah
menyembunyikan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas menegaskan : “Aku tidak menghadapi seluruh
ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menungganginya.”
Muhammad bin Fadhl mengatakan : “Istirahat total adalah
kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang
menimpa manusia datang dari tiga hal : Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan,
dan mempertahankan teman yang merusak.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah
kelemahan watak itu?” Ia menjawab. “Mengkonsumsi hal-hal-yang haram.” Lalu saya
tanyakan : “Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?” Ia berkata : “Memandang dan
mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya
bertanya : “Apakah mempertahankan teman yang merusak itu? Dijawabnya
: “Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda
mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy mengatakan : “Penjara adalah jiwa Anda. Apabila
Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian.” Ia juga
berkata : “Aku mendengar Muhammad al-Farra’ berkisah bahwa Abul Husain
al-Warraq mengatakan : “Ketika kami memulai menempuh jalan-Nya lewat Tasawuf di
Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami
mempriorotaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan
menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada
seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaffkan tindakannya
dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang
dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai
perasaan memandang hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata : “Nafsu, seluruhnya gelap gulita, peliatanya
adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai
taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Ketika mengatakan,
“Pelita adalah batinnya.” Dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah
swt. yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa
semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa-peristiwa bukanlah ciptaan
dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas
dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam
melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan
memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya.
Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan “Orang yang tidak mempunyai sirr
akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata : “Selama orang melihat setiap sesuatu baik
dalam jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang
yang berani mendakwa dirinya terus menerus selalu berbuat salahlah yang akan
sanggup melihat kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah
kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan dirinya, karena
kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata : “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun
kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku
berharap diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar : “Waspadalah terhadap orang yang suka
bertetangga dengan orang kaya, pembaca-pembaca Al-Qur’an yang sering
mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang mendekati penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : Kerusakan merasuki diri manusia
dikarenakan enam hal (1) Mereka memiliki niat yang lemah dalam melaksanakan
amal untuk akhirat; (2) Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu; (3) Mereka tidak
henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal; (4)
Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta; (5)
Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup
kepada Sunnah Nabi saw. (6) Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa
kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya.
3. KHALWAT DAN ‘UZLAH
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy (21s.H – 59H/602-679
M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa
mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda
:
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari
penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa bila ia
mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam peperangan, ia
memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan jihad; atau seseorang
menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak gunung atau di
kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan
beribadat kepada Tuhan sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan
sesama manusia kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat
orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang
ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid
pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir
kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap seorang
yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari manusia adalah meyakini
bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya (dengan tindakannya
memisahkan diri dari mereka), bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan
mereka. Sikap pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya
sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik
dari masyarakat. Orang yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah
hati, dan orang yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain
adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya : “Anda seorang
rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor
anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya
mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara syeikh
itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang
tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian
saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya menarik
jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor, kalau tidak,
jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud
menjaga jubah saya supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus mempunyai
pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak menggodanya
dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan yang dapat
diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya berada
di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi sifat-sifat
hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri lewat jarak
tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?”
Mereka menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk,
jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai pakaian
sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang seperti mereka makan.
Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata :
“Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang
jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa bepergian dengan
jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari diri Anda sendiri dalam satu
langkah saja, dan Anda pasti mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku
bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab : “Tinggalkan
dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi
seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya
supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan,
terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan
terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak demikian,
maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke dalam cobaan atau
petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada
ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan pulang,
ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia dan akhirat dalam
khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang terjelek dari keduanya
(dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab :
“’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin
Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari
dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan mencapai
kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan memakan
makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali menunaikan Hak
Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan sesuatu
hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda dengan
khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi munajat. Maka Anda
akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang menyembunyikan
dirinya dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah diatasi ketimbang
kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang
bergaul dengan sesama manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat orang
jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak, wahai
sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda
kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab-akrab
dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan orang
banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati
mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik Bin
Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah Anda
tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa
seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan
raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak.
Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang
memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang sangat
kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti kita,
bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian :
“Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka
Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya : “Mengapa
Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku! Sesungguhnya ibadat
tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain. Seseorang yang belum
menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah Anda
temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia
ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau sesuatu di
tempat ini yang dengannya Anda merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”.
Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan
makna ucapannya itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan ‘uzlah
yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda sanggup memisahkan diri
Anda dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat
bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia sejarang
mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya
dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim
dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan
dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang
terbaik dari dunia dan akhirat.”
4. T A Q W A
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang menghadap
Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan
adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad
adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena
dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada rasulullah
saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya adalah
seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan ketundukan kepada-Nya.
Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal
yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang
menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian
tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir menganei
firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus
dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus
bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati selain
Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan Allah; tak satu
pun perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak satu pun amal yang
langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai dengan
cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa dan
muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan memperoleh
musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba waspada
terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan takwa yang
sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa
akan merindukan pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman : “Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am :32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari dunia
dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu Abdullah ar-Rudzbary
mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang
menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa kepada
Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya dengan sikap keras
kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat keruhanian. Ia
berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi lahir
dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan aspek batinnya adalah
niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang baik
: Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa diri dengan apa yang
telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak sesuai
dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang membatasi
dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal
hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang menjauhi
ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang yang
bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng
mentega. Ketika salah seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah
satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang darinya tikus itu
kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak tau! Selanjutnya Ibnu Sirin
memutuskan mengosongkan semua guci dengan menuang seluruh mentega ke atas
tanah. Contoh orang saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia
membeli kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga,
dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut.
Maka, ia kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon
milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan, “sebuah hadits
menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah
riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang
sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di dinding pagar kebun
buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di dinding orang.!”
Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid menjawab : “Aku
khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia berkata :
“Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid menjawab : “Rerumputan itu
makanan hewan ternak. Jangan kita menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya,
ia menghadapkan punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas
membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan
menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa tongkat
seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di tanah, dan
menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu
mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta
maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu disebebkan
oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin.
Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia memberikan
penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada Allah swt.”
Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan : “Aku
mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat membersihkan
tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik
dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi waktu
di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah malam sepi
turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah
orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat
pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah diturunkan Allah swt.
satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena
ketika ia membeli sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi
satu dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah, membeli
kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir kurma ke dalam kurma-kurma
miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan mengisi malam hariku di
Masjid Kubah Batu Karang. Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat
dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada
sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab :
“Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata lagi : “Ini adalah orang
yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi kaum
awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash) adalah
menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah menghindari ketergantungan pada
amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt.
Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum termulia
di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling mulia di akhirat adalah
kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan
kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Allah menjadikan
tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang yang
melakukannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan Ibnu
Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan selamat kecuali bila
berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt. berfirman : “Dan terhadap
tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi
sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit
(pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat
lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima
tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena
kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula)
mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan tekun
beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji
Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat kecuali
dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt. berfirman : “Tidakkah ia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq
:14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik
dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan pilihan
yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman : “Dan kami telah
memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki
mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).
5. W A R A’
Diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghiffary, (Abu Dzar adalah Jundub
bin Junadah al-Ghiffary (wafat 23 H/652 M.) dari bani Ghiffar, seorang sahabat
yang telah dulu masuk Islam. Beliau sangat jujur dan memiliki keteladanan.
Tinggal di Damaskus), bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sebagian dari kebaikan
tindakan keIslaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak
berarti.” (H.r. Malik Bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan : “Wara’ adalah meninggalkan
apa pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin Adham memberika penjelasan :
“Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang
tidak berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami dahulu selalu
meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan,
karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi orang yang paling taat
beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang yang wara’ di zaman
mereka : Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan
Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara’. Dan apabia usaha untuk mendapatkan
sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal
mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah sikap menjauhi segala
sesuatu selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’ dalam bicara lebih
sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit
ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan
perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’ adalah titik tolak
zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian
utama dari ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’ adalah kemudahan
penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah berpangku pada batas
ilmu tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil milik Abdullah bin Marwan
jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan
seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tiga belas dinar. Ketika
seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan : Nama Allah swt. tertera
pada uang itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua jenis wara’ : Wara’ dalam
pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
tindakan pun selain karena Allah swt. dan wara’ dalam pengertian batin, yaitu
sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda
kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak memeriksa dan meahami seluk
beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas agama jeli, akan
memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti keluar dari segala
syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat
sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda,
tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari pujian,
sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk
dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’ adalah khalwat, dan
menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda jadikan
harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal dan
memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas atap rumah, ketika
obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami. Apakah diperbolehkan
bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya : “Siapakah Anda,
(semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya adalah saudara
wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau berkata, “Wara’ yang jujur muncul
dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan
melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang Syeikh
sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu
aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan
Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab, ‘Wara’ para syeikh
ini demikian kecil sehingga kami memandang kecil mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama
empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar
dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah,
inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda tidak
minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai timba, aku akan
meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang syubhat,
maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan tersebut
syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan
dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi
tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha menggerakkannya hingga tiga kali.
Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan : “Tangannya tidak pernah
mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang Syeikh ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni, ia
menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat kepada Allah
swt. Dan Halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang
keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan berceramah di hadapan
sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya : “Siapakah yang
menguasai agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.” Hasan bertanya lagi :
“Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab : “Kesereakahan.” Maka Hasan
mengaguminya, seraya berkata : “Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih
baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis Allah
swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak menyertai
seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan baginya
makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang dibawa
ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat satu-satunya adalah aroma
keharumannya, dan aku tiak ingin hanya diriku sendiri yang mencium aromanya,
sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata : “Abu
Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang sedang
menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu.
Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan. “Sampai
sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli warisnya.
Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh tahun.
Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus
untuknya. Ketika ia selessai memakannya, aku mengambil sebongkah lempung
dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum
meminta haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di sebuah
rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat diperoleh
dari dinign rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya adalah
ruamh sewa, akan tetapi ia bependapat bahwa hal itu tidaklah penting.
Karenanya, ia pun menegeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia
mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu akan melihat betapa
lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang
kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di
Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut mengeluarkan
dua ember, sembari mengatakan “Ambillah, yang mana ember milik Anda.?” Ahmad
menjawab : “Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua meber maupun
uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri tahu, “Inilah ember
Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.” Ahmad menyahut : “Saya tidak akan
mengambilnya.” Lalu pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si
penjual bahan makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal berkeliaran
dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat dzuhur. Kuda tersebut merumput di
ladang milik Kepala Desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut
dengan tidak mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika pergi
pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena dan lupa
mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas dari
tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk
memungut cambuk tersebut. Seseoang berkomentar, “Akan lebih mudah sandainya
Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan
kemudain mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu untuk pergi
ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang belantara
bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan, seorang
prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu menumbuhkan
penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat lampu
sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka, Rabi’ah pun menyobek
pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang sayap
yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia ditanya : “Dengan apa
hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid al-Hasan, ia
bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?” Mereka menjawab : “Wara”,
Ia berkata : “Tiada sesuatu yag paling mudah bagiku selain ini (wara’). Mereka
bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan menanggapi : “Aku belum
pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan-makanan
berlemak atau minum air dingin selama empat puluh tahun. Seseorang bermimpi
bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya tentang apa yang
telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan : “Baik,
kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang pernah kupinjam
belum ku kembalikan.”
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah tangga
yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan beribadah secara khusyu’
selama empat puluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang gandum. Dan
ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa
yang telah Allah lakukan atas dirinya?” Dijawabnya : “Baik, kecuali bahwa aku
dihalangi memasuki pintu surga, disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang
dengannya aku menimbang empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam, seseorang
berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali dan Isa
bertanya kepadanya : “Siapakah Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang kuli,
dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku
mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku dianggap bertanggung
jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika Abbas bin
la-Muhtadi berlalu dihadapannya. Ia bertanya : “Wahai Abu Sa’id, apakah anda
tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari
penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang wara’.
6. ZUHUD
Nabi saw. bersabda :
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi
zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing
oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-Takhrij oleh Abu Nu’im dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pada umumnya banyak orang
berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang mengatakan,
‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara yang halal
diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba-Nya
berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada-Nya atas berkat itu,
maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk
mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud terhadap perkara yang
haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal
adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar
terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah
dianugerahkan Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha
menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud
berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak
berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila seorang hamba
membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar, dan tiak
mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya
dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud
terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar : “Seyogyanya bagi seorang hamba
memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya, dan
tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya harta yang halal, ia harus
bersyukur kepada-Nya. Apabila Allah swt menentukan dirinya berada pada batas
kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena
kesabaran merupakan suatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal.”
Sofyan ats-Tsauri berkata : “Zuhud terhadap dunia adalah
membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau
mengenakan jubah dari kain kasar.
Sari as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT. menjauhkan dunia dari
para auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya yang berhati suci, dan
menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai-Nya lantaran Dia tidak
memperuntukkannya bagi meraka.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam
firman-Nya, (“Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Qs. Al-Hadid :23). Sebab sang hamba
tidak gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas
apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya Anda meninggalkan
dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Zuhud adaah hendaknya
Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya. ia bukan berkata “Aku akan
membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud menyebabkan kedermawwanan
berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan pada semangat
kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah sikap Anda memandang
dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi
diri Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang
ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula : “Zuhud adalah ketidak
senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud selalu asing di dunia dan
seorang ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud, dunia
akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.” Oleh
sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di
atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu
yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury;
Ahmad bin Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan bahwa zuhud di
dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan sebagaimana mereka
tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor penyebab zuhud, sekaligus
sebgai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup disiplin zuhud
itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah tawakkal
kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan demikian.
Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan zuhud, lantaran si hamba tidak
mampu merelakan kecuali dengan tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud, adalah
menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab, “Zuhud
adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik
apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan
seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta
dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud adalah
hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud seseorang,
kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa diserta keterikatan,
berbicara tanpa disetai ambisi, dan kemudian tanpa adanya kekuasaan atas orang
lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara
yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu
lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu kepada
hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang ia inginkan, Dia memberi hamba yang
mustqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang mengusik
hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman minyak
kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda
membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan aya dapat
menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab : “Ketika Anda menjauhkan diri
dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap memprioritaskan orang
lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan kaum
ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs. Al-Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang
Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria,
adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia
mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal-hal
ini tidak terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah saya akan
memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam majelis bersama
kaum zuhud?” Yahya menjawab : “Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah
ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada batas
ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum tiga hari tidak merasakan
lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum
zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak
akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah seorang raja yang tidak
menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa
berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga
menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan
kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari dunia,
maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan
kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>” Ia
menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan : “Ada tiga
macam zuhud : Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam;
Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud
kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun yang memalingkan sang
hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi
ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi : “Karena aku
menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin wanita.
Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang bagi si
zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak-acak rambutnya, dan membakar
gaunnya. Kaum ‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt. tidak sedikit pun
menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan
dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai zuhud terhadap
masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan berkumpul
hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat-nikmat sementara,
demi nikmat-nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara darah
kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi
dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan
dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan seluruh
kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai
kuncinya. Dia amenempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan menjadikan
zuhud sebagai kuncinya.
7. D I A M
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya : “Wahai
Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan
rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman dan
merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan mengikutinya apabila
orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya
hukum syara’, perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam
sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para tokoh. Begitu
pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Barangsiapa
menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri majelis
Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rakhmat.” (Qs. Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan
Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya)
lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29).
Allah swt. berfirman : “...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs. Thaaha
:108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam, menjaga
dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang diam karena takut kepada
raja yang menakutkan. Mengenai makna pernyataan ini, dibacakan baris-baris
syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati orang yang
tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan. Sedang orang arif,
hatinya diam untuk berhadapan dengan ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang
pertama adalah dengan senantiasa memperbagus pebuatannya secara kokoh, dan yang
kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh-Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang
disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila masalah tertentu
tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi bisu dan tidak ada kefasihan
maupun ucapan. Dalam situasi seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak
dijumpai baik pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul, lalu
Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu terhadap (seruan)mu?” Para
Rasul menjawab, ‘Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah
:109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka mengetahui
bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga menyadari bahaya nafsu bicara,
memamerkan sifat-sifat mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih
popularitas di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka
menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan manusia. Ini
merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah ruhani. Diam sebagai salah
satu prinsip bagi aturan tahapan dan penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di
rumah, ia memutukan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah, sebab ia
adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama yang lain, dan tidak
memberikan komentar berkenan dengan masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika
jiwanya menjadi kuat dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama
setahun, ia lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara menyenangkan
Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda , berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak akan
sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran seorang
hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara berlebihan, meskipun
tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak terbatas pada lidah, tetapi meliputi
hati dan semua anggota badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan diam
ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, dijawabnya
: “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa lampau dan
masa depan.” Dikatakannya pula : “Apabila seorang hamba berbicara hanya
mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan
bicaranya, maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara berlebihan
dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan
hatimu akan (dapat) melihat-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah
pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu orang yang paling
mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat
berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi
segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir
dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M) Khalifah pertama
dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang masuk Islam. Lahir di Mekkah,
merupakan tokoh Quraisy. Beliau memerangi orang murtad dan membuka syria dan
Irak), biasa engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar
lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada
suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau berbicara, dan bicaranya
sangat bagus. Sekarang tinggalah bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi
bagus!” Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran
murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia bermaksud akan
mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman
mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang
seseorang yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang lebih
layak dari dirinya untuk berbicara.
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin
Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi Syah tidak
menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab : “Sudah
sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas mendesaknya terus hingga suatu hari
al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan
dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia diam.
Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik
dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany
berkata : “Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku
tidak datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam karena
keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang
gyang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt.
mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar
pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap pendengar yang bukan
kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah menjelaskan, “Terkadang
alasan diamnya seseoang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan
kompetennya. Karena majelis para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran
sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku jatuh
sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara
menyeru kepadaku : “Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok
jin yang menghadiri majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat dari
ceramah-ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu!.”
Salah seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan hanya
dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia
mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk,
orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata :
“Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan
daging lebih dahulu.” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.” (Qs. Al-Hujurat
:12).
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana kamu belajar
berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada yang
mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu ikat, akan
menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi seorang
wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si pembicara mengetahui ada
efek negatif dari pembicaraannya, hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin
selama usia Nabi Nuh as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari
diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu dua kali usia
Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam bagi kaum
yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan diam bagi para pecinta
(muhibbin) adalah menahan pikiran menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari
meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama
tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali dari kalbuku. Kemudian
aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku
kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda didiamkan, maka
belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata hati Anda. Jika Anda telah
menjadi batang tubuh yang kering kerontang, Anda masih belum
terbebas dari kata-kata hawa nafsu Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan
susah payah, jiwa Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah
tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju
kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam diri, maka ia akan
binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa memperhitungkan
kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-katanya akan menjadi sedikit, kecuali
apa yang berarti (menurut kebutuhannya).”
8. KHAUF
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa takut
(khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut
kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu seorang Ibu. Dan
debu dari jalan Allah tidak akan pernah bercampur dengan asap api neraka pada
batang hidung seorang hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang
berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut
jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya
terjadi di masa depan. Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan
itu tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada hukum-Nya,
“Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran
:175). Dia juga berfirman : “Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>”
(Qs. An-Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka yang
berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki berbagai
tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya. Allah
swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs.
Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah adalah salah satu syarat pengetahuan, karena
Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada Allahdi antara
hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28). Sedangkan Haibah adalah
salah satu syarat pengetahuan ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang
digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar dari ambang
pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu
gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar mencari
perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi orang yang merasa takut
(khasyyah) akan berlindung kepada Allah swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki arti
yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan jabadza. Jika
seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia ditarik kepada hasratnya sendiri,
seperti halnya para rahib (ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri.
Tetapi jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada kebenaran
hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut akan
tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa Anda
berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata “seandainya” (‘asaa) dan “mungkin
sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah yang
takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah swt)
adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah
melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda termasuk
orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat mereka, sebab hanya
orang-orang yang takut saja yang melihat orang yang takut.” Hanya Ibu yang
kehilangan anaknya saja yang mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak Adam.
Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya pada kemiskinan, niscaya
ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang terus
menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada sesuatu
akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah swt. akan lari
kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya – ditanya,
“Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang hamba?” Ia menjawab : “Apabila
ia mengibaratkan dirinya dalam keadaan sakit dan menghindari dari segala
sesuatu yang dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak akan
merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan sampai ia melewati
jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt. adalah raja
yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi oleh
seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah swt.
dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi maknanya ialah bahwa
seorang yang takut menunggu-nunggu saat yang akan datang, sementara “anak-anak
waktu kini” tidak punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh
adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt. (Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah orang yang
lari dari Tuhannya kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah
kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab : “Takut
adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah
meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’ lahir
maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan selama
tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah hilang dari hati
mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada perhiasannya,
dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat Anda
takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat Allah swt. adalah
suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku pergi
mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika melihatku, air matanya
amengalir bercucuran. Lalu aku pun berkata kepadanya : “Semoga Allah
mengembalikan kesehatanmu dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda
pikir aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik
kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-Shiddiq
r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita paling pandai di bidang
agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan paling dicintainya. Disamping itu
beliau terbanyak meriwayatkan hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang
lain). Yang bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan
orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa takut (karena
mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-Mu’minun : 60-1), apakah mereka
itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum-minuman keras?
Beliau menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat
dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak
diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat
berpacu (menuju kebajikan itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan rasa
takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan muraqabah secara terus
menerus, baik secara lahir maupun batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap dalam
hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan hasrat atas dunia akan
terusir,” Dikatakan : “Takut adalah supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu tidak
dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila harapan telah
melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian ia katakan : “Wahai Ahmad
(muridnya), mereka naik melalui takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan
jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’) adalah
kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaan.” Ia pun berkata :
“Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan
ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan
akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan sesuatu
selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan
tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan
tujuhpuluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keragguan. Yang
membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan ketakutannya
jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum pernah
mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi
:103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan keadaan
mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik secara antagonis. Ketika
itulah muqarabah dengan perbuatan keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. mendendangkan
syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang bakal
tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan sebuah
kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-cita
spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi meninggalkan sahabatnya.
Seiring perjalanan waktu yang cukup lama, tidak terdengar lagi kabar berita
mengenainya. Sahabat yang ditinggal pergi itu kemudian ikut berperang bersama
tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran itu, seorang
tentara musuh yang memakai baju besi menyerang tentara Muslim dan menantang
duel. Seorang ksatria Muslim maju ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya.
Kemudian maju lagi seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim
yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang Sufi ke depana
dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran. Topeng yang menutupi wajah
tentara Romawi itu terlepas, dan ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang
dulu telah menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah san
Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan sorang
wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu bisa
membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari
padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari sikap
perilakumu itu, bertobatlah!>”
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah
memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku, atau aku akan
melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah kulakukan terhadap ketiga orang
temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah membunuh
tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu jika kamu pergi saja dari
sini. Karena itu, pergilah dan aku akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang Sufi
mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh ironis, setelah menempuh
perjuangan dan disiplin spiritual yang cukup lama dan berat, orang itu akhirnya
mati sebagai orang Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya, Jibril
dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka – tiba-tiba
menangis cukup lama hinggal Allah swt berfirman kepada mereka : “Wahai kalian
berdua, mengapa menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan kami,
kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt. berfirman : “Nah, kalian
berdua ternyata tidak bisa aman dari cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku melihat
hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti ini, karena takut
hidungku menghitam karena hukuman yang kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-benar
yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan semua amal perbuatanku
membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh
tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih saleh daripada
surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam as. Di tempat yang begitu
saleh! Jangan Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab,
setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami
nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh banyaknya ilmu, sebab
Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi
lihatlah apa yag terjadi padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu
dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung
daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak
mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.”
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari, Ibnul
Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri kepada Allah swt. kemarin.
Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya ada
seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal karena kebobrokan
akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh dari mereka berdua, ia beseru
kepada Allah swt. dengan penuh kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah
aku!” Sedang si orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa
yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun mewahyukan
kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang yang berdoa ini; telah Ku
tolak doa orang yang saleh ini, dan telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada seorang
yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda gila?” Ia menjawab : “Ketika
Dia mengusirku dari sisi-Nya untuk waktu yang lama, aku menjadi gila karena
takut terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait
berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat
seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini, dan lebih takut
berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya
diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah orang yang hatinya
telah tersobek karena rasa takut.” Tabib itu datang dan memeriksa denyut
nadinya, lalu berkata : “Aku tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada
manusia yang seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika akan
terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah tergelincir dari tempat
kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-kuningan karena ketakutannya terhadap
tahapannya sendiri. Bagi orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya
dari dunia ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia takut
akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari terbit, ia bersinar
cemerlang. Sama halnya dengan seorang beriman, ketika dibangkitkan dari kubur,
ia muncul dengan wajah yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada Tuhanku swt.
agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya, dan aku pun lalu
mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena itu aku beroda : “Ya Allah,
anugerahkan kepadaku rasa takut sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian
ketenangan menghapus kekhawatiranku.”
9. ROJA’
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut
:5).
Al-‘Ala’ bin Zaid menuturkan : “Amu menemui Malik bin Dinar dan
menemukan Syahr bin Hausyab bersamanya. Ketika Syahr dan aku pergi meninggalkan
Malik, aku berkata kepada Syahr : “Semoga Allah merahmatimu, berilah aku
nasihat dan perkayalah jiwaku. Semoga Allah memberimu kekayaan!.” Ia menjawab.
Dengan senang hati bibiku Ummu Darda’ menceritakan kepadaku melalui Abu Darda’,
bahwa Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sanya malaikat Jibril as. Mengatakan :
“Allah swt. berfirman : “Wahai hambaKu, selama engkau menyembahKu, berharap
akan bertemu denganKu, dan tidak menyekutukan Aku, niscaya Aku akan mengampuni
apa pun dosa yang tenegah engkau lakukan. Bahkan sekalipun engkau datang dengan
membawa keburukan dan dosa sebesar bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak
mempedulikan (berapa banyak dosa yang telah engkau lakukan).” (Hr. Thabrani).
Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
bahwasanya Allah swt. berfirman (dalam hadits Qudsi) :
Keluralah dari neraka, wahai kalian yang dalam hatinya masih
terdapat iman walaupun sebesar biji gandum.” Kemudian Dia akan memerintahkan :
“Aku bersumpah demi keagungan-Ku, bahwa perlakuan-Ku terhadap manusia yang
beriman kepada-Ku walaupun sesaat saja di siang hari ataupun malam, tidak akan
sama perlakuan-Ku terhadap orang yang tidak pernah beriman kepada-Ku.” (H.r.
Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut
berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu, harapan
berlaku bagi sesuatu yang diharapkan oleh seseorang akan terjadi. Hati menjadi
hidup oleh harapan-harapan melenyapkan beban hati. Perbedaan antara harapan dan
angan-angan (tamany) adalah bahwa angan-angan membuat seseorang menjadi malas.
Orang yang hanya berangan-angan sesuatu tidak akan pernah berusaha untuk
membulatkan tekad (untuk mencapai apa yang diangankannya). Hal yang sebalikya
juga berlaku atas diri seseorang yang memiliki harapan. Harapan adalah sifat
yang terpuji, tetapi angan-angan adalah sifat tercela.
Para Sufi telah berbicara banyak tentang harapan. Syah
al-Kirmany berkata : “Tanda-tanda harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada manusia
yang melakukan amal baik; dengan harapan amal perbuatannya itu akan diterima
oleh Allah swt. Ada lagi orang yang melakukan amal buruk, kemudian bertobat;
harapannya adalah memperoleh pengampunan. Akhirnya ada orang yang tertipu diri
sendiri, yang terus melakukan dosa, sambil berkata : “Aku berharap untuk
memperoleh pengampunan.” Bagi orang yang tahu bahwa dirinya melakukan amal
buruk, takut selayaknya lebih berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan adalah mengandalkan kemurahan dari Yang
Maha Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula : “Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi
dengan mata keindahan.”
Juga dikatakan : “Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan
Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap adalah kesenangan hati terhadap keutamaan
tobat seseorang.”
Dikatakan juga : “Harapan berarti melihat pada kasih sayang
Allah swt. Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkomentar : “Takut dan harap adalah
seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si
burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah
satunya kurang berfunsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan
kemampuannya untuk terbang. Apabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si
burung akan terlemepar ke jurang kematiannya.”
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya
harapan pada seorang hamba?” Ia menjawab : “Tandanya adalah manakala ia
menerima nikmat anugerah (ihasan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap
akan menuhnya rahmat Allah swt. di dunia ini dan penuhnya pengampunan-Nya di
akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Barangsiapa mendorong dirinya
untuk berharap saja, maka ia akan terjerumus ke dalam kemalasan, dan
barangsiapa mendorong dirinya kepada takut saja, maka ia akan terjerumus pada
keputusasaan. Yang patut adalah, ada waktu untuk berharap dan ada waktu untuk
takut; keduanya mempunyai tempatnya sendiri.”
Bakr bin Salim as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi mengunjungi
Malik bin Anas pada petang hari menjelang kematiannya, kami bertanya : “Wahai
Abu Abdullah, bagaimana keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak tahu apa yang harus
ku katakan kepadamu selain ini : “Kamu akan melihat dengan mata kepalamu
sendiri ampunan dari Allah swt. dalam ukuran yang melampaui khayalanmu.” Kami
menungguinya sesudah itu sampai kami menutupkan matanya setelah ia meninggal
dunia.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Harapan yang kutaruh kepada-Mu
karena berbuat dosa nyaris lebih mengalahkan daripada harapanku kepada-Mu
disertai amal. Ini disebebkan, manakala aku melakukan amal baik, aku mendapat
diriku mengandalkan pada ketulusanku dalam melakukannya. Tapi bagaimana aku
bisa menjaga amalku dari kekurangan, sedangkan aku adalah makhluk yang bersifat
penuh kekuarangan?” Sebaliknya, manakala aku melakukan dosa, aku mendapati
diriku mengandalkan ampunan-Mu. Bagaimana Engkau tidak akan mengampuni
dosa-dosaku, sedangkan Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang berbicara kepada Dzun Nuun al-Mishry saat
menjelang ajalnya. Dzun Nuun mengajarkan kepada mereka : “Janganlah kalian
memperdulikan aku, sebab aku telah terpesona oleh kelembutan Allah swt. kepada
diriku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah
untukku yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling
sedap yang keluar dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuangap paling
berharga adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah sati kitab tafsir bahwa Rasulullah saw.
datag menemui para sahabat melalui pintu bani Syaibah. Beliau mendapati mereka
sedang tertawa-tawa. Beliau lalu bersabda : “Apkah kalian tertawa-tawa?”
Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” Beliau lalu meninggalkan mereka, kemudian kembali
lagi, seraya menyampaikan wahyu. Sabdanya : “Jibril turun membawa firman Allah
swt. Beritahukanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda : “Allah swt. tertawa ketika hambahamba-Nya ditimpa keputus-asaan,
sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.” Aisyah bertanya : “Demi ayah dan
ibuku, wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita swt. benar-benar tertawa? Beliau
menjawab : “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, Dia benar-benar
tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak akan menjauhkan kita dari
kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa tertawa adaah sifat yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah ungkapan kemurahn-Nya. Hal ini adalah
sebagaimana perkataan : “Bumi menertawakan tanaman,” (yang berarti bumi
mengeluarkannya). Tertawanya Allah pada keputus asaan manusia adalah tanda
anugerah-Nya, sebagai tanda kelemahan penantian para makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang Majusi yang meminta kepada Ibrahim as.
Agar diizinkan menginap di rumahnya. Ibrahim berkata kepadanya : “Kalau kamu
masuk Islam, aku mau menjadikanmu sebagai tamuku.” Orang Majusi menjawab :
“Jika aku memeluk Islam, bagaimana mungkin engkau akan berbuat kebajikan
kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu berlalu, lantas Allah swt. berfirman kepada
Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau tidak mau memberinya makan kecuali jika ia mau
mengubah agamanya? Padahal Aku memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh
tahun, sedang ia dalam kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja,
bagaimana dengan dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar si orang Majusi
itu dan mengundangnya menjadi tamunya. Ketika si orang Majusi itu bertanya
kepada Nabi Ibrahim as. Mengapa berubah pikiran, beliau pun mengatakan kepada
si Majusi apa yang didengarnya dari Allah swt. Si orang Majusi itu bertanya :
“Beginikah cara Dia memperlakukan aku? Berikanlah Islam kepadaku!.” Lalu ia
masuk Islam.
Saya mendengar Abu Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam aku
bermimpi bertemu Abu Sahl as-Sha’luky, dengan keadaannya yang indah sekali. Aku
bertanya : “Bagaimana Anda mendapatkan semuai ini?” Ia menjawab : “Dengan
husnudzan-ku kepada Allah swt.”
Malik bin Dinar meriwayatkan sial mimpinya, bertemu dengan
ash-Sha’luky : “Apa yang telah Allah beikan kepada Anda hingga seperti ini?” Ia
menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku swt. dengan dosa yang sangat banyak, namun
Allah swt. menghapusnya lewat sangkaan baikku kepada-Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Aku adalah sebagaimana yang
disangka oleh hamba-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia mengingat-Ku. Jika
ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, Jika
ia mengingat-Ku di tengah kumpulan orang banyak, maka Aku akan mengingatnya di
tengah kumpulan yang lebih baik dari itu. Jika ia datang kepada-Ku sejarak satu
jengkal, Aku akan mendatanginya sejarak satu hasta. Jika ia melangkah kepada-Ku
satu hasta, Aku akan melangkah kepadanaya dua hasta. Jika ia datang kepada-Ku
dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (H.r. Bukhari).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Ibnul Mubarak sedang
bertempur melawan salah seorang tentara kafir (non Arab). Ketika tiba waktunya
bagi si orang kafir itu untuk sembahyang, ia meminta waktu kepada Ibnul
Mubarak. Ibnul Mubarak pun membiarkannya mengerjakan ibadatnya. Ketika tentara
kafir itu sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak merasakan keinginan untuk
menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-tiba Ibnul Mubarak mendengar sebuah
suara di angkasa yang berseru : “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti akan diminta pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra’ :34). Maka Ibnul
Mubarak pun menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si penyembah berhala selesai
bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak : “Mengapa Anda mengurungkan
niat Anda?” Ibnul Mubarak mengatakan kepadanya tentang suara yang didengarnya.
Si penyembah berhala berseru : “Betapa sempurnanya Tuhan Yang memarahi wali-Nya
demi membela musuh-Nya!.” Lalu ia pun masuk Islam dan menjadi seorang Muslim
yang sangat baik.”
Dikatakan : “Allah menjadikan manusia melakukan dosa ketika Dia
menamakan Diri-Nya “Yang Maha Pengampun”.
Dikatakan : “Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan
mengampuni dosa; niscaya tidak seorang Muslim pun yang akan pernah berbuat
dosa. Sebab ketika Dia berfirman : “Allah tidak akan mengampuni (manusia yang )
menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa : 48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali
mendapatkan ampunan-Nya.”
Ibrahim bin Adham – semoga Allah merahmatinya – berkata : “Pada
suatu ketika aku menunggu waktu luag dan tenangnya orang di sekitar Ka’bah.
Saat itu adalah malam yang gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya.
Akhirnya tempat itu pun sepi, aku lalu mulai melakukan thawaf, sambil bedoa :
“Ya Allah, lindungilah aku dari dosa, lindungilah aku dari dosa!”. Lalu aku
mendengar suara yang mengatakan : “Wahai Ibnu Adham, engkau meminta kepada-Ku
untuk melindungimu dari dosa, sebagaimana doa orang –orang yang lain. Tapi jika
Aku jadikan kamu semua tanpa dosa, lantas kepada siapa aku harus bersikap Maha
Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin Suraij menderita sakit – yang akhirnya
membawanya pada kematian – bermimpi bahwa hari Kebangkitan telah tiba. Allah
Yang Maha Kuasa bertanyi mana para ulama itu?” Semua ulama, termasuk diriku,
maju ke depan. Allah swt. bertanya : “Apakah yang telah kalian lakukan dengan
ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami semua menjawab : “Wahai Tuhan, kami telah
ebrbuat llai dan kami telah berbuat jahat.” Maka Allah swt. pun mengulangi lagi
pertanyaan-Nya seolah-olah Dia tidak menyukai jawaban yang telah kami berikan
dan menghendaki jawaban yang lain. Maka aku pun maju dan menjawab : “Mengenai
diriku, maka catatan dalam halaman lembaranku tidaklah mengandudng dosa
menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan
mengampuni semua Dosa selain itu.” Lalu Allah swt. berfirman : “Pergilah kamu
semua. Aku telah mengampunimu!” Abul Abbas pun meninggal dunia tiga malam
setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada seorang pemabuk yang mengumpulkan sekelompok
para pemabuk temannya. Ia memberikan uang empat dirham kepada salah seorang
budaknya dan menyuruhnya pergi membeli buah-buahan. Si budak pergi, dan
ditengah jalan ia melewati majelis Manshur bin ‘Ammar, saat dimana yang disebut
belakangan ii sedang meminta kepada orang banyak untuk memberikan sedekah
kepada beberapa orang pengemis, dengan mengaakan : “Barangsiapa memberikan
empat dirham, aku akan memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan uang empat dirham yang dibawanya kepada
Mansur, dan kemudian ia pun ditanya : “Doa apa yang engkau inginkan dariku.”
Si Budak menjawab : “Aku ingin bebas dari tuanku.” Manshur
menodakan hal itu, lalu bertanya lagi : “Apa lagi?”
Si budak menjawab : “Aku ingin agar Allah memberiku ganti uang
empat dirham itu.” Manshur mendoakan hal itu, dan bertanya kembali : “Apa
lagi?”
Si Budak menjawab : “Aku ingin agar Allah mengampuni dosaku,
dosa tuanku, dosamu dan dosa semua orang yang ada di rumah tuanku itu.” Manshur
mendoakan hal itu. Si budak lalu pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya bertanya kepadanya mengapa ia pulang terlambat,
si budak menceritakan apa yang telah dilakukannya. Tuannya bertanya : “Dan doa
apa saja yang kamu mintakan?”
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas dari
perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan apa permintaanmu
yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang empat
dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang empatribu dirham. Lalu,
apa permintaanmu yang keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk segera
bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada Allah swt. Apa
permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya,
orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan berkata. “Ini
adalah permintaan yang berada di luar kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar sebuah
suara yang mengatakan : “Engkau telah melakukan apa yang berada dalam batas
kemampuanmu. Apakah engkau mengira bahwa Aku tidak akan melakukan apa yang
berada dalam kemampuan-Ku? Kuampuni dosamu, dosa budakmu itu, dosa Manshur bin
‘Ammar dan dosa semua orang yang berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa kali. Suatu
ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang air dan berdoa : “Wahai
Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah sekian dan sekian dari ibadat Hajiku kepada
Rasulullah saw. sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang sahabt beliau, dua
iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk semua kaum Muslimin.”
Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa menyisakan satu pun bagi dirinya
sendiri. Kemudian ia mendengar suara bisikan yang mengatakan : “Inilah orang
yang menunjukkan kemurahan hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa kedua
orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada suatu
hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga orang laki-laki dan
seorang wanita. Aku maju dan menggantikan si wanita. Kami terus berjalan menuju
ke kuburan. Kami melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya.
Setelah itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan orang
yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku bertanya : “Apakah Anda
tidak punya tetangga?” Ia menjawab : “Ya, tetapi mereka semua memandang hina
anakku yang meninggal itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia
seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak ia ke rumahku
dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Dalam tidurku malam itu, aku
bermimpi melihat seseorang datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan
purnama. Ia berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku.
Ketika aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan : “Aku adalah si orang banci
yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku
disebabkan hinaan orang-orang kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu Amr
al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari, bersamaan itu pula
menjumpai sekelompok orang beramai-ramai menyerukan pengusiran terhadap seorang
pemuda dari lingkungan mereka karena perbuatan-perbuatannya yang tidak
bermoral. Sementara tampak seorang wanita di tempat itu sedang menangis, konon
adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa kasihan kepadanya, lalu meminta kepada
orang banyak itu agar mengampuni si pemuda. “Bebakanlah pemuda ini demi aku.
Jika ia mengulang perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian
kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu, dan Amr pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu lagi
dan mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu. Abu Amr berkata
dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi lagi perbuatan odsanya, dan
mereka telah mengusirnya dari lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu rumah
si wanita dan bertanya apa yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia meninggal!”
jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya bagaimana keadaannya menjelang
akhir hayatnya, si ibu menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat
mengatakan padaku. “Janganlah ibu memberi tahukan kepada pra tetangga kita
tentang kematianku. Sebab, settelah mereka menderita karena aku, mereka akan
senang atas kemalanganku dan tidak mau menghadiri pemakamanku. Jika Ibu
menguburkanku, inilah cincinku yang tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku.
Jika selesai menguburkan diriku, pintalah syafaat dari Tuhanku buat diriku!”
Aku melakukan seperti yang diwasiatkannya. Dan sepulang dari penguburannya, aku
mendengar suaranya : “Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha
Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah
kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka bukan dengan tujuan agar Aku
memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan mereka supaya mereka memperoleh
keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di tepi
Sungai Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika segerombolan pemuda melewati
kami dengan sebuah perahu. Mereka memukul-mukul rebana, minum anggur dan
bermain-main dengan penuh hura-hura. Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah
engkau lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan bermaksiat kepada Allah
swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia menghukum mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat
tangannya dan berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka
bersenang-senang di dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di akhirat
nanti!” Kami bertanya penasaran. Tapi kami memintamu untuk berdoa memohonkan
hukuman bagi mereka!” Ia menjawab : “Jika Dia menjadidkan mereka
bersenang-senang di akhirat, berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin
Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang sahabtku.
Ia mencintaiku dan aku pun mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin
bertemu dengannya dalam mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag telah
diperbuat Allah swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku pun bermimpi bertemu
dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab : “Allah telah mengampuni
dosaku. Tetapi Dia memarahiku dengan kata-kata-Nya : “Wahai Yahya! Kau telah
berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku menjawab : Itu memang benar, wahai
Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadits yang disampaikan kepadaku dengan
riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau telah
berfirman : “Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut putih di
neraka.” Lalu Allah pun berfirman : “Aku mengampunimu wahai Yahya, dan
benar Nabi-Ku itu. Tetapi engkau telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
10. SEDIH
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga), “Segala
puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kita.” (Qs. Fathir
:34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang beriman,
apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa sakit yang merisaukan,
kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari –
Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati tersesat di
lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu sifat para ahli penempuh jalan
ruhani (suluk).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag dipenuhi
kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu bulan, sepanjang jarak
yang tidak bisa ditempuh dalam waktu satu tahun oleh orang yang tidak memiliki
kesedihan.”
Dalam Hadits dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai setiap
hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika Allah mencintai seorang
hamba, maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam hatinya, dan jika Dia
membenci seorang hamba, maka ditempatkan-Nya sebuah SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan
sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala
bertahta dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang lain tinggal
bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia akan
menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh manakala tidak ada
orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan membuat
orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan pandangan, namun tidak
membutakannya.” Allah swt. berfirman : “Dan kedua matanya menjadi putih karena
kesedihan dan ia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap
anak-anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari
bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap : “Aduhai
kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai kecilnya kesedihan kita! Jika
engkau benar-benar bersedih, niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang tertimpa
kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka Allah swt. akan mengasihani
mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam hari ia
akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat diriku gelisah dan
menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan Allah pun menjawab : “Bagaimana
mungkin bagi seorang yang penderitaanya diperbarui setiap saat, akan mencari
penghiburan dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan takut,
menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia
dinilai?” Ia menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya kesedihan
seluruh manusia di muka bumi ini ditumpahkan kepadaku.” Banyak oang telah
berbicara tentang kesedihan, dan mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan
yang diilhami oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji, sedang
kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-Hiry menjelaskan
: “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu keutamaan dan peningkatan bagi
seorang beriman, selama kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan
itu tidak menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi
melakukan perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat seorang yang
sedang bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi bertanya
kepada matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni engkau telah menyinari
sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira bahwa
ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’ mengatakan,
“Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata :
“Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman dalam catatan amal
perbuatan baiknya adalah penderitaan dan kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan :
“Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia
menjawab : “Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu untuk
menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan. Maka berjuanglah untuk
mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”
11.LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT
Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian
ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena
kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan itu).” (Qs.
Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a.
(Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11 H/605 – 632 M). Putri Rasulullah saw. keturunan
Bani Hasyim, suku Quraisy. Ibundanya Khadijah binti Khuwailid. Fatimah
dinikahkan Ali bin Abu Thalib r.a. melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum
dan Zainab). Fatimah r.a. memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw. beliau
bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah menjawab : “Sepotong roti yang
saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini
kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong makanan
pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad-nya, melalui sanad yang
dha’if, namun memiliki bukti kebajikan sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum
Suf dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi selngkah
membiasakan berlapar-lapar menahan diri dari makan, dan mereka menemukan mata
air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup
banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang
terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar telinga kucing
(amat sedikit).” Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap
limabelas hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai
melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat membeli
lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu membeli
sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika Allah swt.
menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu
makan dan minum, dan menepatkan kebijaksanaan dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh jalan
Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang
berTaubat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli
ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang
menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia
bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh menjawab : “Aku lapar.” Ia
mencela, “Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?” Sang Syeikh balas
mencela : “Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadidkan aku
lapar adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid mengabarkan :
“Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama kami si Syam, dan selama lima
puluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut dengans esuap makanan
pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu Turab
an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah – Semoga Allah melindungi
kota ini – dan kami bertanya kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab : “Aku
meninnggalkan Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat Araq
aku datang kepada kalian.” Jadi, ia menyebari padang itu dengan hanya makan
sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap kali
makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi kepada
Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang yang mengabdi
kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini adalah
mengisi perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda tentang
orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah makan orang beriman.”
Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?” Ia mencela : “Suruh saja orang
membuat gentong makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar adalah pelita, dan
kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api
yang berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-laki
dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan.
Lalu ia bertanya : “Sudah berapa lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh menjawab :
“Lima hari.” Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang bakhil> Anda
memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan sepotong
daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada melakukan shalat sepanjang
malam.”
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa hari
Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan
sampai ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih
ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa
orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang halal, apa
pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu
yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan : “Abu
Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah seorang
muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh, karena laparnya.
Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegus atas ketidak sopanannya itu,
meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari bahwa dirinya
dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu tidak mau makan selama
limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai tanda
Taubat atas ketidak sopanannya itu. Padahal selama ini ia telah menderita
kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan syahwat
dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi setelah
lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka kirimlah ia ke pasar agar
mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan
seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas
kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata : “Seseorang
bertanya kepada salah seorang syeikh : “Apakah Anda tidak enginginkan sesuatu?”
Sang Syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr datang
kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang telah membawamu ke
sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak wanita telah
menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa
berbuka puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku mesti makan dengan
seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu ia menjelaskan : “Telah
bertahun-tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum ditakdirkan untuk
memakannya. Lalu aku menjawab : “Ada terung yag halal dalam makanan ini.” Ia
menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu Abdullah bin
Khafi menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka puasa setiap
malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir
kismis. Ia memandangku dan bertanya : “Siapa yang menyuruhmu (memberi lima
belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah
cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin sekali makan roti
dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki
sebuah kampung. Seseorang gbangkit dan memegang tanganku sambil berkata :
“Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-orang itu
memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka mengenaliku dan
menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!” Mendengar itu, mereka cepat-cepat
meminta maaf kepadaku, dan laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa
hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku
berkata kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh tujuh puluh kali pukulan!.”
12.KHUSYU’ DAN TAWADHU’
Allag swt. berfiman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang
khusyu dala shalatnya.” (Qs. Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya terdapat
kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan masuk neraka barangsiapa
yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang
bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berbapakain bagus?”
Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan; sombong adalah
berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia.” (H.r. Muslim).
Anas bin Malik mengabarkan : “Rasulullah saw. suka mengunjungi
orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendari keledai dan memenuhi undangan
budak-budak.”
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir, Rasul
mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari ijuk korma dan di
atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’ adalah
menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama hilang
dari agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya tentang khusyu’, ia menjawab :
“Khusyu’ adalah tegaknya hati di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati orang
yang hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara tanda-tanda kehusyu’an hati
seorang hamba adalah manakala ia diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak,
maka ia, semua itu diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah
menahan mata dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’ adalah
begini : Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam, asap dalam dadanya
reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam hatinya, lalu hawa nafsunya mati,
dan hatinya hidup khusyu’lah semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut yang
terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’
adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang Maha Tahu kegaiban.” Allah
swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di muka
bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini
adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh khusyu’ dan tawa
dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang
memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya, dengan mata yang
memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia berkata kepadanya. “Wahai sahabat,
khusyu’ itu di sini.” Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil
menunjuk bagunya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki
sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan
khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak
menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan perkataan,
bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil musyahadah kepada Allah swt.”
Dikatakan “Khusyu’” adalah perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati
manakala menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala hati
dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-tiba
ketika Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak senang
melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia
bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan mampu mencapai
kedalaman dimana aku menghinakan diriku sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang lain
tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda : “Tidak akan masuk surga oang-orang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum Nabi
Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri, tetapi Bukit Judy
merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt. menjadikannya sebagai tempat
mendaratnya perahu Nabi Nuh as.” (Bukit Judy berada di sebelah timur laut
Jazirah Ibnu Umar, Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter. Diriwayatkan
bahwa perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika terjadi banjir
bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat, tentang ini
dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan membawanya lebih cepat kepada
kebutuhan dan menjaganya dari keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis, lalu
datanglah seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si tamu menawarkan diri :
“Biarlah saya yang membesarkan nyalanya.” Tapi Umar menjawab : “Jangan,
tidaklah ramah menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu berkata :
“Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak : “Jangan, ia
baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri pergi ke tempat penyimpanan minyak
dn mengisi lampu itu. Si tamu berseru : “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri,
wahai Amirul Muminin?” Umar berkata kepadanya : “Aku melangkah dari sini
sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. selalu
memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah, memperbaiki sandal, menambal
baju, memerah susu, makan bersama pelayan dan membantunya menggiling gandum
jika pelayan lelah. Beliau tiak pernah merasa malu membawwa barang-barang
beliau sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat tangan
dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu memberi salam jika bertemu.
Nabi saw. tiak pernah mencela makanan apa yang dihidangkan kepada beliau,
sekalipun hanya berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan,
lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam berteman,
wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa, sedih tapi tiak cemberut,
rendah hati tapi tidak lembek, murah hati tetapi tidak boros. Rasulullah saw.
juga berhati lembut dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah
memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak pernah
mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha Pengasih
memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para ulama penguasa memiliki
sikap takjub dan sombong.” Ia juga berkomentar : “Barangsiapa menganggap
dirinya masih berharga, berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan :
“Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap pun yang
mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt. mewahyukan kepada
gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan soerang Nabi di salah satu puncak di
antaramu.” Maka, gunung-gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan
sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya dengan penuh
kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara kepada Musa as, di puncka
gunung ini, dikarenakan ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab :
“Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan bersikap lembut
kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab suci,
“Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam, dan Aku tidak
menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati Musa as. Maka Ku pilih ia dan
Aku aku berbicara langsung dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang kaya dan
rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari sifat tawadhu’.
Au Yazid ditanya : “Bilakah seseorang mencapai sifat
tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu maqam
dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di antara ummat manusia di
dunia ini yang lebih buruk dari dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak pernah
diiri dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan
belas kasihan. Kemudian terletak pada sikap tawadhu’ dan orang yang mencari
kemuliaan dalam kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di dalam
sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya tentang
Sufyan ats-Tsaury yang berkata : “Ada lima macam manusia termulia di dunia ini
: Ulama yang zuhud, seorang faqih yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati,
seorang fakir yang bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat
yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi seorang yang kaya.
Kesombongan adalah sifat yang menjijikan bagi setiap orang tetapi ia paling
menjijikan jika terdapat pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dari
siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda, Ibnu
Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali kudanya. Maka Zaid lalu
mencegahnya : “Jangan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata :
“Itulah yang diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.” Maka, Zaid
bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya, sambil berkata : “Ini
adalah yang diperintahkan untuk kami lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar bin
Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku berkata kepadanya :
“Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab :
“Ketika para delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu
perasan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin menghancurkannya. “
Beliau terrus memikul air an membawanya ke rumah seorang wnita Anshar dan
mengisikannya ke dalam genthong milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu Hurairah
r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat sedang memikul seikat kayu di
atas punggungnya, danberteriak-teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak
membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih
memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang yang
bersikap sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya, adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah
kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku, sebuah titik di
bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang
engkau mengangap rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’ adalah
bahwa orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta dunia
dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan
thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki menyikutku, dan aku menoleh kepdanya.
Ternyata orang itu adalah Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih,
jika engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat haji ini
ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka betapa buruknya pikiranmu
itu.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang laki-laki
ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang dikelilingi oleh
orang-orang yang menjunjung dan memujinya. Karena ulah mereka itu, hingga
menghalangi orang lain dari melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah
itu, kau melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di sebuah
jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu berkata kepadaku : “Aku
dulu membanggakan diri di tempat di mana manusia-manusia mestinya merendahkan
diri, maka Alalh swt. lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana
manusia berbangga diri”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang putranya
telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga seribu dirham. Beliau
lalu menulis surat kepadanya : “Aku telah mendengar bahwa engkau telah membeli
sebutir permata seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu,
juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin. Selanjutlah buatlah
sebuah cincin seharga dua dirham, dengan batu dari besi Cina, dan tulislah
padanya, “Allah mengasihi orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang penguasa
dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya : “Apakah sifat-sifat itu?”
Si budak menjawab : “Sifat yang paling kecil diantaranya adalah behwa
seandainya tuan membeli saya dan kemudian menyayangi saya melebihi semua budak
tuan a g lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang sesungguhnya;
saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak tuanku.” Maka penguasa itu jadi
membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika Umar bin
Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian yang dikenakannya
berharga sekitar duableas dirham saja, yang terdiri dari jubah luar, surban,
celana , sepasang sandal, dan selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi” berjalan
dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya : “Tahukan kamu dengan
harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini,
semoga Allah tidak memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan Kaum
Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau berjalan dengan
lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau tidak
memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia ini maupun di dalam
hal Agama.”
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai mereka
berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal karena kulitnya yang hitam.
Bilal mengadu kepada Rasulullah saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar,
sungguh!. masih ada sifat Jahiliyah dalam hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar
menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya
sampai Bilal menginjakkan kakinya pada pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai
bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok
anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula makan. Beliau pun
turun dari atas kendaraan dan makan bersama mereka. Kemudian beliau membawa
mereka ke rumah beliau, mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan
berkata : “Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak memperoleh
lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku, sedangkan aku memeperoleh
keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan
pakaian yang berasal dari pampasan perang kepada para sahabtnya. Beliau
mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel
tersebut dijual dan kemudian digunakan untuk membeli enam orang budak dan
memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada pembagian bahan pakaian
berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya bahan pakaian yang harganya lebih murah.
Ketika Mu’adz memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa protes?” Engkau telah
menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap menuntut, “Apa
urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya, sebab saya telah bersumpah akan
mengenakannya pada kepala Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku di
depanmu. Barang yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang.
Pula.”
13.MELAWAN HAWA NAFSU
Firman Allah swt.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggalnya.” )Qs. An-Naazi’aat : 40-1).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin Abdullah
al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697) ikut berperang sebelas
kali. Ia mempunyai majelis halaqah ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540
Haditst). Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Hal yang paling kutakutkan kepada ummatku adalah mengumbar hawa
nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu memalingkan manusia adari
Al-Haq, sedang melamun panjang membuat orang lupa pada akhirat. Karena itu,
ketahuilah bahwa melawan hawa nafsu adalah modal ibadat.” (H.r. Hakim dan
Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh ditanya tentang Islam, ia menjawab :
“Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan ketahuilah bahwa bagi seseorang
yang nafsunya telah bangkit, maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita
jiwanya di hadalapan Allah swt. akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Kunci ibadat adalah tafakur.
Tanda terrcapainya tujuan adalah perlawanan terhadap hawa nafsu dengan
mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta : “Nafsu itu dengan sendirinya cenderung pada
perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si hamba diperintahkan agar bersabar
di dalam beribadat. Jadi, hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya dengan
cara menetang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan perjuangan melawan
tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar : “Nafsu amarah yang terus menerus
mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan, pembantu musuh,
pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan : “Barangsiapa tidak mencurigai diri
sendiri dalam setiap waktu, tidak menetangnya dalam setiap keadaan ruhani, dan
tidak memaksakan kepada diri sendiri apa yang tidak sesuai dalam hari-harinya,
adalah manusia yang tertipu. Dan barangsiapa memberikan perhatiankepada nafsu
dan menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri sendiri.
Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki akal untuk menyenangi diri
sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang mulia, putra dari keturunan yang mulia,
Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak membersihkan diriku dari
kesaahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan, : “Suatu malam aku tidak dapat tidur, lalu
aku bangun untuk melakukan wirid. Tetpai aku tidak menemukan kemanisan atau
kenikmatan yang bisanya kurasakan. Maka Aku menjadi bingung dan berharap untuk
dapat tidur saja, tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku
tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela dan aku pergi ke luar. Klihat
seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang berbaring di jalan. Ketika ia
menyadari kehadiranku, ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Wahai Abul Qasim,
lihatlah waktu!” Aku menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan waktu.” Ia berkata
: “Bahkan aku sudah memohon kepada si Pembangkit hati agar menggerakan hatimu
kepadaku. “Aku berkata : “ Dia telah melakukannya. Jadi, apa kemauan anda ?”
Aku menjawab : “ Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya menjadi obatnya.”
Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada dirinya sendiri, :Dengar
(hai nafsu), aku telah menjawab pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti
itu, tapi engkau menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd,
dan sekang engkau telah mendengarnya.” Kemudian ia berlalu meninggalkan aku.
Aku tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah bertemu dengannya lagi.”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah jika
engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir terbesar antara dirimu
dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi Allah selain
yang lebih utama dari menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah swt.
Ibnu Atha’ menjawab : “Memberikan perhatian kepada diri sendiri dengan segala
keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah mengharapkan imbalan atas perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan : “Aku sedang berada di atas gunung
al-Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima, timbul keinginanku
untuk mencicipannya sebuah. Lalu aku naik ke atas memetik sebuah dan
membelahnya, akan tetapi rasanya asam. Lalu aku melihat seorang glaki-laki
terbaring di tanah, dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya :
“Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai Ibrahim.” Aku
bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia menjawab : Tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi dari manusia yang mengenal Allah swt. Aku berkata : “Kulihat
engkau berada dalam keadaan bersama Allah swt.” Mengapa engkau tidak meminta
kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?” Ia berkata : “Dan
engkau, kulihat juga berada dalam keadaan bersama Allah swt. Mengapa engkau
tidak meminta kepada-Nya juga agar melindungimu dari keinginan makan delima?”
Manusia akan mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di akhirat, sementara
sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun pergi berlalu meninggalkan
orang itu.”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan : “Selama
empat puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu kali pun di bawah
atap rumahku atau di tempat tertutup yang lain. Namun Terkadang aku
masih menginginkan agar bisa makan ‘ada dengan kenyang. Sayang,
keinginanku itu tidak pernah terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di
Syam, seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku makan isinya
dan kemudian berangkat. Di tengah jaan aku melihat botol-botol berisi semacam
cairan, yang kukira adalah cuka. Di antara mereka menegurku : “Bagaimana
pendapatmu?” Ini adalah botol-botol anggur, dan ini guci anggur!” Aku berkaa
pada diri sendiri, “Adalah kewajibanku ....”Kemudian aku pun masuk ke dalam
warung dan menumpahkan isi-isi botol serta guci-guci itu. Orang itu mengira
bahwa aku menumpahkan isi botol-botol itu atas perintah
Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu hanya inisitaifku sendiri, ia lalu
membawaku kepada Ibnu Thaulun yang memerintahkan agar aku didera duaratus kali
dan dimasukan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa waktu lamanya
sampai Abu Abdullah al Maghriby, guruku, datang ke negeri itu dan
membebaskanku. Ketika melihatku, beliau bertanya : “Apa yang telah engkau
perbuat?” Aku menjawab : “Satu perut yag penuh berisi ‘adas dan duaratus
deraan!” Beliau berkata : “Engkau telah diselematkan dari segala tuduhan di
akhirat.”
Dalam suatu riwyat Sari as-SaqathY pernah menuturkan
: “Selama tiga puluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku sepotong wortel yang
dicelup dalam madu kurma, tetapi aku belum sempat memakannya!” Saya dengar Abu
Abbas ala Baghdady menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata : “Bencana seorang
hamba adalah rasa pusnya terhadap keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham, ia pun
diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa Anda menerimanya?” Hatim menjawab :
“Dengan menerimanya aku merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan
kebanggaannya. Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku merasa kebangganku
sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih kebanggaannya daripada
kebangganku dan kehinaanku daripada kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin
melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang Sufi menjawab :
“Lebih tajridlah sifat alpa dari dalam hatimu, kekurang-seriusan dari dirimu,
dan perkataan yang sia-sia dari lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja
engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Orang yang melewati malam harinya
dengan cukup baik akan memperoleh balasan di siang harinya, dan orang yang
melewati siang dengan cara yang baik akan memperoleh balsan di malam harinya.
Barangsiapa tulus dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi
nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha Pemurah hingga tidak berkehendak untuk
menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi Dia.”
Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. “Wahai Daud,
peringatkanlah para sahabatnya terhadap sikap menuruti hawa nafsu,
sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia tertutup dari-Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara, dan
seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa melakukan hal ini?” Ia
menjelaskan : Aku meninggalkan hawa nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara
tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan
kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan meolaknya dengan rasa takut kepada Allah
Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak hawa nafsu ditawarkan kepada seorang
pndosa, pemenuhan itu akan mengusir darnya rasa takut kepada Allah swt.”
Dikatakan juga, : “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tanag nafsu, sebab
ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Hanya takut yang sangat atau
kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan “NAFSU”.
Al-Khawwa berkata : “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu, tapi
tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang pendusta dalam
meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang satu
dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli beberapa buah, dan
ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah sebuah dan memakan isinya. Tapi
kemudian ia memuntahkannya dan menangis. : “Singkirkan buah-buah ini.”
Pintanya> Ketika aku bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab : “Sebuah
suara berseru dalam hatiku : “Tidakkah engkau merasa malu? Engkau menjauhi satu
nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian mengambilnya lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.
4.D E N G K I
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah
dari kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman : “Dan dari kejahatan orang
yang dengki apabila ia dengki.” (Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai
perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan
waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab
kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah
terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari
pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan
salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah orang
yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan takdir Allah Yang Maha
Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah, “Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”
(Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu adalah
dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki adalah
musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang berumur
seratus dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah panjangnya umur Anda!.” Ia
menjawab : “Aku telah meninggalkan dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang tidak
menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang telah ditempatkan-Nya
dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu Hadits dikatakan : “Ada seorang malaikat di langit
kelima yang amal perbuatan seseorang manusia melaluinya, dan ia bersinar
kemilau seperti matahari. Malaikat itu memerintahkan : “Berhentilah karena kau
adalah malaikat dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah
seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu menyenangkan semua
orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa pun selain
berhentinya kenikmatan bagi semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling zalim.
Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah melihat orang
yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa
berada dalam keadaa sengssara dan nafas sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki adalah
penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya, memfitnahnya manakala
tidak berada di dekatnya, dan merasa senang apabila ada bencana yang menimpa
diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang lebih
tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang
didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra
Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara, “Janganlah engkau
menggunjing dan mendengki salah seorang hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman
menjawab : “”Tuhanku”, cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat
“Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau bertanya, “Apa
amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia tidak pernah dengki terhadap manusia
karena anugerah Allah swt. kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila melihat
adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang jika melihat adanya
kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau ingin selamat dari seorang
pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap
manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap yang tidak ia
miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau mengharapkan
untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia pasti tidak akan menerima
kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak
memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal kasihan, terhadap
salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si dzalim!.”
Sedang ia Seakan-akan orang yang ditindas.
Terimakasih sudah berbagi ilmu dan pengetahuan, semoga anda diberkati Allah SWT. Amin Ya Rabb
BalasHapus