Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir
Al-Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36 saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”.
[1] Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal
tahun 68 H dan “Tanwir Al-Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi
satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat.
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup
setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini.
Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang
berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam
kitabnya “Ta’jil Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan
Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3] Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah beredar
di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.
Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa Al-‘Uyun, Marah
Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu
Abdi As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li Ibni Adil, dan Tafsir
As-Siraj Al-Munir—yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah
Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8
surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
حكاه عطاء عن ابن عباس
أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطأ عليه الوحي أربعين يوماً، فقال كعب بن الأشرف يا
معشر اليهود ابشروا فقد أطفأ الله نور محمد فيما كان ينزل عليه، وما كان الله ليتم
أمره
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada
Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang
Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad
(Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak
menyempurnakan perkaranya.’”[4] Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu
turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di
atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang
kafir membencinya.”
Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang
Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan
ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya
adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih
di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau
Ruh Muhammad.
Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak
asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam
tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang mau tidak mau melahirkan takwil
Nur Muhammad atau Ruh Muhammad,
كُنْتُ أَوَّلُ
النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam
pengutusan.”
Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak
menakwilkan bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan pertama dari Nabi
Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru
ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya
jika kita tidak menakwilkan hadis di atas dengan memahami secara literlek bahwa
memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan
pertanyaan, selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana?
Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya,
dan seterusnya.
Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadits seperti Tamam
dalam “Al-Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam
“Ad-Dala’il, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya.
Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama
Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis lain, Al-Albani justru
menghukumi sahih sekian banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di dalam
sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas
Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’da’u as-sunnah
(orang-orang tasawuf musuhnya sunah).”
Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadis di atas
meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits, tetapi
masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid
terhadap hadis tersebut,
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ
بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.”
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab
“At-Tarikh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun
riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai
berikut,
حَدَّثَنَا أَبُو
النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ،
قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ
الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتُ نَبِيًّا؟
قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.
Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan hadis berikut,
مَتَى وَجَبَتْ لَكَ
النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab,
“Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR.
Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis
Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada
Nabi SAW,
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ
النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan
dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)
Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada beberapa hadis
lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara
literlek lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna.
Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis,
khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang mengharuskan
adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.
Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadis.
Sungguh tidak sopan, diluar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang
mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti
hadis. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadis. Mereka tidak
bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW.
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-qalam” dalam
hadis sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah
Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam
Hadis Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
أَخْبَرَنَا أَبُو
عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ
مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ
لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا
يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ
يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai
berikut,
حدثنا أحمد بن علي بن
العلاء وأبو بكر محمد بن محمود السراج قال حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام
العجلي قال حدثنا المعتمر بن سليمان قال حدثنا عصمة أبو عاصم عن عطاء بن السائب عن
مقسم عن ابن عباس قال إن أول ما خلق الله عز وجل القلم فخلقه عن هجاء فقال قلم
فتصور قلما من نور ظله ما بين السماء والأرض فقال اجر في اللوح المحفوظ (رواه
الآجري)
Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai
dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat. Wallahu A’lam.
Foot Note:
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal.
296.
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah
Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah
Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568.
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530.
Semoga bermanfaat!
--Yusni Amru Ghazali, Research Fellow Tasawuf Underground
Tidak ada komentar:
Posting Komentar