Memahami takdir Allah harus dengan ilmu yang benar tentang hakikat, sebab boleh
jadi kita akan tergelincir pada sifat zindiq. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh
berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan,
“Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada
manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka
tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya
kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia
takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia
berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak
menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia
kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan
kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan
takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang
hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru
yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah
Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka
bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah
perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat
rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat
bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau
menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah
suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan,
lalu mana syarat kehambaanmu?”
Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku
salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka
datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan
dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal
yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya,
sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam
Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS.
Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal
dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang
menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang
Allah SWT penciptanya.”
--Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar