Tidur memang misteri. Sebagaian sufi mampu menjadikan tidur sebagai dzikir.
Tapi, hatinya tetap terjaga dan sadar bahwa dia sedang bertawajjuh kepada Allah.
Namun bagi Salik, memperbanyak tidur dan tidak berdzikir justru hanya
menimbulkan sifat malas, serta dapat melalaikannya dari amalan-amalan sunah di
malam hari, seperti shalat dan dzikir.
Maka dari itu,
wajar saja jika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendirikan shalat di malam
hari, berdzikir, bermunajat, tafakur dan mengerjakan amalan nawafil agar kita
selalu terjaga dan mampu menumbuhkan sifat kemalaikatan dalam diri. Mereka yang
kuat shalat dan dzikir di malam hari adalah orang yang hatinya senantiasa
terjaga dan mampu menahan kantuk agar dirinya selalu menghadap Allah.
Penjelasan dan
nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang mengurangi kebiasaan tidur dapat
menjadi pelajaran berharga. Ini adalah riyadhah yang harus dijalani para salik.
Syekh Abdul-Qadir
Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan:
"Barangsiapa yang memilih tidur dan mengalahkan hal-hal yang dapat
menyebabkan keterjagaan, sungguh dia telah memilih sesuatu yang paling kurang,
paling rendah, pertemuan dengan kematian, serta melalaikan seluruh
kemaslahatan.
Karena
sesungguhnya, tidur adalah saudaranya kematian. Karena alasan inilah, sifat
tidur itu tidak boleh melekat pada Dzat Allah swt, karena di dalamnya terdapat
semua sifat-sifat kekurangan.
Begitu juga para
malaikat, karena kedekatan mereka kepada Allah swt, maka sifat tidur dinafikan
dalam diri mereka. Begitu juga penghuni surga, karena mereka berada di tempat
yang paling tinggi, paling suci, paling berharga, dan paling mulia, maka sifat
tidur juga dinafikan dari dalam diri mereka semua.
Karena sifat tidur
itu adalah sifat yang menunjukkan kekurangan di dalam keadaan mereka. Maka,
kebaikan yang paling sempurna adalah di dalam keadaan sadar. Adapun keburukan
yang sempurna itu terdapat dalam sifat tidur dan lalai. Maka, barangsiapa yang
makan dengan menuruti hawa nafsu, dia akan banyak makan, banyak minum, banyak
tidur dengan waktu yang sangat lama, dan dia akan menyesal dan akan kehilangan
banyak kebaikan.
Barangsiapa yang
makan sedikit dari barang haram itu seperti orang yang makan barang yang halal,
tetapi banyak dengan menuruti hawa nafsunya. Karena sesungguhnya, barang yang
haram itu akan menutupi keimanan dan membuatnya menjadi gelap, sebagaimana arak
itu dapat menutupi akal dan membuatnya menjadi gelap.
Apabila keimanan
sudah menjadi gelap, tidak akan ada lagi shalat, ibadah, dan keikhlasan yang
baik. Barangsiapa makan barang halal dalam jumlah yang banyak karena adanya
perintah, dia seperti orang yang makan barang halal dengan jumlah sedikit, dan
kuat menunaikan ibadah.
Barang yang halal
itu ibarat cahaya di dalam cahaya. Adapun barang yang haram itu ibarat
kegelapan di dalam kegelapan. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Makan makanan
yang halal dengan menuruti hawa nafsu tanpa adanya perintah dan makan makanan
yang haram itu dapat menyebabkan cepat tidur. Dengan demikian, tidak ada
kebaikan di dalamnya.”
---Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar