Syekh Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa beberapa orang datang kepada Khalifah Usman
r.a. dan bertanya, “Apakah ada manusia setelah pemimpin kita Rasulullah SAW
yang menerima wahyu dari Allah?”
Khalifah Usman r.a. pun menjawab, “Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan menerima wahyu langsung dari Allah seperti yang beliau (Rasulullah) alami—tetapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Berhati-hatilah terhadap firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.’” Dan, dia berkata kepada orang itu, “Kulihat sinar cahaya Ilahi itu dalam matamu sendiri.”
Khalifah Usman r.a. pun menjawab, “Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan menerima wahyu langsung dari Allah seperti yang beliau (Rasulullah) alami—tetapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Berhati-hatilah terhadap firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.’” Dan, dia berkata kepada orang itu, “Kulihat sinar cahaya Ilahi itu dalam matamu sendiri.”
Sinar cahaya Ilahi ini, menurut Syekh Ibnu ‘Arabi, dikaruniakan
Allah kepada sebagian orang beruntung tapi yang imannya masih lemah, tujuannya
agar hati mereka diperkuat dan didekatkan kepada Tuhan mereka. Namun, sinar ini
tak akan tampak, kecuali ia dilindungi dan dilestarikan oleh ajaran-ajaran yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka, dengarkanlah apa yang Allah firmankan kepadamu di dalam
Al-Quran. Carilah di dalamnya arah bagi perbuatan dan cintamu. Hatimu akan
berdegup karena cinta itu jika engkau beriman kepada apa yang kau dengar, dan
membuktikannya dengan perbuatanmu.
Jika imanmu lemah dan kau lupa kepada Tuhan, berpegalah kepada
tanda-tanda yang telah Allah letakkan di dalam segala sesuatu yang ada di
sekitarmu untuk mengingatkan dirimu kepada-Nya. Maka, dengan penegasan dan
bukti atas kebenaran tanda-tanda itu,yang diajarkan agamamu, hatimu akan
menemukan kekuatan, dan imanmu akan semakin kokoh.
Lalu, jika engkau mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan di
sekelilingmu, namun tidak memahami maknanya karena kau kurang melaksanakan
latihan batin, maka akibatnya kau mungkin disalahkan (orang lain), bahkan oleh
dirimu sendiri, karena yang kau lihat hanyalah sihir atau ilusi belaka.
Ingatlah bahwa alat penglihatan kita adalah bashirah, mata
batin—dan tanda orang yang memiliki mata batin ini adalah bahwa perilaku dan
akhlak yang indah terungkap dalam perbuatannya. Perbuatan ini merupakan buah
dari pemahaman dan pengetahuannya.
Memikirkan tentang makna batin atau spiritualitas dengan Allah
mempengaruhi indera dan menajamkan kepekaan, yang memampukan orang untuk
melihat berbagai alam gaib. Kaum materialis menolak kemampuan semacam ini.
Banyak di antara mereka tidak percaya hal ini. Tetapi, sebenarnya ia merupakan
sebuah ilmu yang tak ubahnya seperti ilmu yang lain, yang bergantung pada
latihan (riyadhah), percobaan, dan usaha yang terus menerus (mujahadah). Ia
merupakan pengetahuan yang diawali dengan iman dan bergantung pada iman. Dan,
kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang dari penglihatan sekilas atas
kebenaran, yang dimungkinkan oleh firasat bawaan, karunia Allah, yang dimiliki
setiap orang.
Orang yang melihat dengan mata batin ini berarti melihat dengan
cahaya Tuhan. Cahaya Tuhan hanya mengungkapkan kebenaran saja. Kenyataan ini,
dan pengakuan atasanya, hanya terungkapkan jika firasat bawaan dilengkapi
dengan hukum-hukum agama.
Semoga bermanfaat!
--Syekh Ibnu ‘Arabi dalam Kitab Tadbirat al-Ilahiyyah fi Ishlah
al-Mamlakah al-Insaniyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar