AJARAN
RIDHA SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh
Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai orang-orang yang bertawajuh
kepada-Nya, salah satu konsekuensi dari tauhid adalah kalian tidak boleh
menampakkan dan menumpahkan keluhan kepada Allah dalam hal-hal yang berhubungan
dengan urusan duniawi. Kalian tidak boleh memaksa dalam munajat dan doa. Karena
yang kalian kritik itu Maha Melihat semua kebutuhan kalian. Jadi kalian harus
ridha atas semua ketetapan yang kalian jalani. Ridha
memang pendamping yang terbaik. Karena itu Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menyukai keterusterangan dengan (perkataan) buruk,
kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Jika kalian menampakkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikannya,
atau kalian memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Berkuasa. (QS An-Nisa 148-149)
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Allah yang Maha
Bertajalli dengan nama-Nya "Ar-Rahmân" di setiap butir zarah semesta
dengan seimbang dan lurus tanpa kerancuan, sesungguhnya Allah tidak menyukai
hal-hal yang diucapkan secara blak-blakkan dan “gembar-gembor” tentang
keburukan, sungguh Dia tidak menyukai hal-hal buruk yang diucapkan secara
terang-terangan, apalagi hal-hal yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan
syariat.
Allah
juga sangat peduli pada urusan ini dan menyampaikan seruan mengenai hal
tersebut. Karena di dalam kerajaan-Nya memang tidak boleh ada sesuatu pun yang
terjadi, melainkan hanya keadilan dan kebaikan. Khusus untuk keterusterangan
dari ucapan atau pengaduan orang yang telah dizalimi, sesungguhnya Allah sangat
menyukai pengaduan orang yang terzalimi, karena Dia akan bersegera untuk
mengabulkan permohonannya. Sebab bagi Allah, orang yang zalim itu telah keluar
dari keadilan-Nya dan keluar dari jalan-Nya yang lurus.
Allah yang Maha Bertajalli di atas keadilan yang lurus Maha Mendengar ucapan korban kezaliman yang berterus-terang, Dialah Dzat yang Maha Mengetahui tentang kezaliman dan para pelaku penzaliman, serta Maha Mengetahui balasan apa yang layak. Dia akan memberi balasan kepada pelaku kezaliman sesuai pengetahuan-Nya. Wahai orang-orang Mukmin, jika kalian menampakkan dan menunjukkan sesuatu kebaikan kepada semua makhluk atau menyembunyikannya tanpa diketahui orang banyak, atau kalian memaafkan suatu kesalahan orang, mengampuni pelaku kezaliman, tidak membalasnya dan tidak mengadu kepada Allah Sang Maha Pembalas, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat berbagai rahasia dan niat kalian, dan Dia Maha Pemaaf terhadap kalian, Maha Menghapus dosa-dosa kalian, meski Dia juga Maha Berkuasa untuk membalas perbuatan si penzalim demi membela kalian.”
--Syekh
Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani –
TENGGELAM
DAN FANA DALAM SAMUDRA TAUHID
Syekh
Abdul Qadir Al-Jailani pada penutup surah An-Nisa dalam Tafsir Al-Jailani
mengatakan:
“Wahai engkau yang selalu berusaha mewujudkan kebenaran, yang selalu bergerak menuju keesaan Allah –semoga Allah menghantarkanmu ke puncak tujuanmu—engkau harus berpegang pada semua bukti yang jelas, yang sampai kepadamu dari Rasulullah SAW yang menunjukkan tauhid al-Haqq. Engkau juga harus mengambil cahaya Al-Qur`an yang membedakan antara yang hak dan batil yang ada di jalan-Nya, lalu kau laksanakanlah berbagai hal yang dapat mengantarkan kepada Allah, yang engkau temukan di jalan itu.
“Wahai engkau yang selalu berusaha mewujudkan kebenaran, yang selalu bergerak menuju keesaan Allah –semoga Allah menghantarkanmu ke puncak tujuanmu—engkau harus berpegang pada semua bukti yang jelas, yang sampai kepadamu dari Rasulullah SAW yang menunjukkan tauhid al-Haqq. Engkau juga harus mengambil cahaya Al-Qur`an yang membedakan antara yang hak dan batil yang ada di jalan-Nya, lalu kau laksanakanlah berbagai hal yang dapat mengantarkan kepada Allah, yang engkau temukan di jalan itu.
Engkau
harus menghindari semua larangan-Nya yang akan menyesatkanmu dan menjauhkanmu
dari-Nya. Engkau harus berakhlak dengan berbagai kandungan yang terdapat di
dalam semua hukum dan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya; agar engkau
dapat mewujudkan rahasia tauhid yang disimbolkannya dan sinar keeesaan Allah
dalam kemasan keberbilangan. Engkau harus teguh bersemayam di wilayah keesaan
Dzat yang akan mengenyahkan semua hasrat batil yang musnah dalam seluruh
diri-Nya.
Semua
ini tentu tidak mudah untuk engkau lakukan, kecuali dengan melakukan khidmat
panjang kepada sang Mursyid al-Kâmil al-Mukammil (yang sempurna dan
menyempurnakan) yang membimbingmu kepada Allah, sebagai bentuk uluran dari Tali
Allah yang terentang dari keazalian Dzat sampai keabadian asma dan
sifat-sifat-Nya. Ketahuilah bahwa "Tali Allah" itu adalah al-Qur`an
yang diturunkan kepada sang Makhluk Terbaik Muhammad SAW yang telah bersabda:
"Al-Qur`an adalah Tali Allah yang terentang dari langit sampai ke
bumi."
Rasulullah
SAW juga bersabda, "Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah hidangan Allah. Maka
ambillah dari hidangan-Nya semampu kalian. Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah
Tali Allah dan Cahaya yang Menjelaskan (an-Nûr al-Mubîn) dan Penyembuh yang Bermanfaat
(asy-Syifâ` an-Nâfi'), yang menjadi 'ishmah (pelindung dari dosa) bagi siapapun
yang berpegang kepadanya, dan menjadi keselamatan bagi siapapun yang
mengikutinya. Ia tidak menyimpang sehingga perlu dikecam, dan ia tidak bengkok
sehingga perlu diluruskan. Keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis, dan ia
tidak diciptakan disebabkan banyaknya bantahan. Bacalah ia, karena sesungguhnya
Allah memberi kalian pahala atas bacaannya dengan ganjaran satu huruf dibalas
sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwa alif lâm mîm adalah satu huruf,
melainkan alif, dan lâm, dan mîm …"(HR Al-Hakim dan Ibn Syaibah)
Jadi
siapapun yang ingin menyelami gelombang samudera Al-Qur`an untuk mengeluarkan
mutiara-mutiara keyakinan dan 'irfan, maka ia harus lebih dulu berpegang pada
hukum-hukum syariat cabang (furu’iyah) yang digali oleh para Pemilik Tekad yang
Benar (arbab al-‘azaim ash-shahihah), dari pengertian lahiriah ayat-ayat
Al-Qur`an. Tujuannya adalah agar ia dapat menangkap aspek lahiriah dari para
Ashhâb al-Yaqazhah (para Pemilik Kesadaran) dari kalangan Ahl ath-Thalab wa
al-Irâdah (salik) agar jiwa mereka siap melakukan semua itu, dan batinnya
menjadi jernih, sehingga aliran dari Lautan Tauhid dapat mengalirinya.
Ketika
itu terjadi, maka ia akan siap menjadi tempat bagi sang Penguasa Kerinduan dan
Cinta (Sulthân al-'Isyq wa al-Mahabbah). Karena perlindungan bagi inti tauhid
tidak lain adalah berupa hukum-hukum syariah dan adab thariqah bagi para salik
yang bergerak menuju hakikat melalui suluk dan mujahadah.
Adapun
berkenaan dengan para budalâ` (para wali abdâl) yang selalu tenggelam dalam
Lautan Dzat dan terpesona oleh penglihatan pada keindahan Ilahi, yaitu mereka
yang fana` di dalam Allah secara mutlak –sehingga "mereka" adalah
"Dia" dan "Dia" adalah "mereka"- maka kita dan
mereka berada pada posisi masing-masing, sehingga kita tidak layak membicarakan
tentang mereka. Semoga Allah menjadikan kita termasuk para pelayan dan debu di
kaki mereka.
Wahai
murid yang bertekad menempuh suluk jalan fana` dengan tekad yang kuat, dalam
tekadmu ini engkau terlebih dulu harus menjernihkan sirr dan isi kalbumu dari
segala bentuk tawajuh kepada yang selain al-Haqq. Engkau juga harus menjadikan
tuntutan dan maksudmu hanyalah untuk tenggelam (istighrâq) dan fana (fana`) di
dalam Lautan Keesaan.
Semua
ini sama sekali tidaklah mudah bagimu, kecuali jika kau berhasil menghancurkan
bahtera dirimu yang batil. Tapi untuk menghancurkannya pun tidaklah mudah
bagimu, kecuali jika kau melakukan riyadhah yang berat, dalam bentuk lapar,
haus, begadang pajang, pemutusan semua kelezatan inderawi dan syahwat nafsu
untuk kemudian beralih kepada kelezatan cinta, fana, sabar terhadap bala, dan
ridha atas semua ketetapan Allah yang kau alami. Jika kau berhasil mewujudkan
semua ini di dalam dirimu, niscaya dirimu akan melemah dan bahteramu akan
melamban. Pada saat itu, engkau akan mudah untuk menghancurkannya, cukup dengan
kau berdiri di atasnya.
Ya
Allah, ya Tuhan kami. Dengan kelembutan-Mu, hiasilah lahiriah kami dengan
syariat-Mu; hiasilah batiniah kami dengan hakikat-Mu; hiasilah hati kami dengan
musyahadah-Mu; hiasilah arwah kami dengan mu'ayanah-Mu; sesungguhnya Engkau
Mahakuasa atas segala yang Engkau kehendaki, dan Engkau layak menjadi tumpuan
harapan orang-orang yang beriman.”
--Syekh
Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Tafsir Al-Jailani.
DOA
SYEKH ABDUL QADIR UNTUK HATI YANG GUNDAH
Wahai
Tuhan kami, wahai Dzat yang telah memelihara kami dengan kelembutan untuk dapat
menerima taklif dari-Mu agar kami dapat mencapai kejernihan tauhid-Mu dan penyucian-Mu,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa untuk melaksanakan taklif disebabkan
imkân (kelemahan sebagai makhluk) atau kami bersalah dalam pelaksanaan taklif
itu disebabkan kebodohan kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban berat berupa tirai tebal dan penutup yang membutakan mata
hati kami sehingga kami tidak dapat melihat cahaya tauhid-Mu sebagaimana yang
telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami berbagai kelelahan riyadhah
dan kesulitan taklif disebabkan kotoran imkân dan noda ketergantungan kepada
yang selain Engkau apa yang tak sanggup kami memikulnya, dan maafkanlah dan
hapuskanlah dengan anugerah-Mu dari berbagai hal yang muncul disebabkan sifat-sifat
imkân yang kami miliki.
Ampunilah
kami, wahai Tuhan kami, hapuskanlah egoisme dalam diri kami dari pandangan kami
sendiri danrahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang luas. Engkaulah Penolong kami,
penolong dengan segala nikmat yang kami terima, maka tolonglah kami dengan
bantuan dan pertolongan-Mu dalam tauhid-Mu terhadap kaum yang kafir, yang
Huwiyah mereka sendiri yang bathil telah menutupi mereka daro Syams Al-Haqq
yang terang menyinari seluruh cakrawala. Teguhkanlah kami dengan kelembutan-Mu,
kebenaran-Mu, tauhid-Mu, wahai penolong yang terbaik, wahai pemberi petunjuk
kepada orang-orang sesat.
Doa
ini dikutip dari penafsiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang QS Al-Baqarah
ayat 286 dalam Kitab Tafsir Al-Jailani:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ
نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۭ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۭرَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَاْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا
لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَاعْفُ عَنَّا ۪ وَاغْفِرْ لَنَا ۪ وَارْحَمْنَا ۪ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْــصُرْنَا
عَلَي الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ٢٨٦ۧ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Baginya
pahala (dari kebajikan) yang dilakukannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Wahai Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Wahai Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban berat sebagaimana yang telah Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, dan janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Dan
maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami,
maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Menurut
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Allah tidak membebani para hamba-Nya. Allah yang
Maha Memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya untuk menuju kepada-Nya. Allah
tidak memberi beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya.
Allah
tidak memberi beban melainkan sesuai kemampuan dan kesiapannya, dan apa yang
telah ditetapkan Allah baginya sejak jauh sebelumnya, dengan Ilmu Hudhuri yang
dimiliki-Nya sehingga tampaklah bahwa baginya pahala (dari) yang dilakukannya,
berupa kebajikan dengan kesiapan fitrah-naluriahnya dan ia mendapat siksa
(dari) yang dikerjakannya, berupa kejahatan, karena mengikuti nafsu dalam imkân
yang menjadi sumber dari segala kerusakan. Kemudian ketika Allah menunjukkan
rahasia dari taklif,
Dia
juga ingin menunjukkan bahwa semua taklif yang dapat dilakukan hamba-Nya
sebenarnya hanya dapat dilakukan berkat taufik dan jadzb (gaya tarik) dari-Nya.
Itulah sebabnya Allah mengajarkan sebuah doa mohon pertolongan dan keselamatan
kepada mereka seperti doa di atas.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar