Ibn Miskawaih pernah menganalisa sebab-sebab ketakutan manusia terhadap kematian dengan penjelasan menarik. Berikut ini adalah pemaparan dari Dr Muhammad ‘Utsman Najati tentang hal tersebut:
1.
Terhadap orang yang tidak memahami hakikat kematian, kita menjelaskan kepadanya
bahwa kematian tidak lebih dari proses jiwa meninggalkan badan. Jiwa adalah
substansi yang bersifat non-fisik yang berbeda dengan substansi badan. Jika
jiwa meninggalkan badan, maka jiwa tetap hidup sebagaimana yang menjadi
sifatnya; jiwa menjadi bersih dari noda, dan memperoleh kebahagiaan total.
2. Terhadap orang yang
tidak takut pada kematian karena tidak tahu nasib jiwanya, atau karena ia
mengira bahwa jika badan dan strukturnya rusak dan hancur, maka jiwa dan zatnya
akan hancur pula; tidak tahu tentang keabadiaan jiwa; dan metode kembalinya
jiwa, maka kita harus memberitahu kepadanya tentang hakikat kematian, sebab
orang semacam ini sebenarnya tidak takut pada kematian, tetapi ia tidak tahu
apa yang seharusnya ia tahu. Jadi, kebodohan itulah yang ditakuti yang
menyebabkan timbulnya ketakutan. Cara membebaskan diri dari kebodohan ini adalah
mengetahui bahwa jiwa merupakan substansi Ilahiah yang bersifat luhur. Jika
jiwa terbebas dari substansi yang bersifat fisik, maka ia akan mendapatkan
kebahagiaan, kembali pada malakutnya, dekat dengan Sang Pencipta, memperoleh
kemenangan di sisi Tuhan semesta alam, dan bercampur dengan ruh-ruh yang
baikdari bentuk dan jenis yang sama.
3. Terhadap orang yang
mengira bahwa kematian menimbulkan penderitaan yang luar biasa dan berbeda
dengan penderitaan yang kebetulan mendahului dan menimbulkan kematian, maka
terapinya adalah dengan menjelaskan bahwa dugaan itu salah. Sebab, kematian
hanya terjadi pada orang yang hidup. Orang yang hidup adalah yang menerima
pengaruh jiwa, sedangkan fisik yang tidak mengandung pengaruh jiwa tidak
merasakan sakit dan penderitaan. Jadi, kematian yang merupakan proses
perpisahan jiwa dan badan tidak mengandung penderitaan.
4. Terhadap orang yang takut pada kematian karena hukuman yang
dijanjikan untuknya setelah kematian, maka harus dijelaskan kepadanya bahwa ia
sebenarnya tidak takut pada kematian, tapi takut pada hukuman. Hukuman hanya
terjadi atas sesuatu yang abadi setelah badan mengalami kehancuran. Jadi,
sebenarnya ia tidak takut pada kematian tetapi takut kepada dosa-dosanya.
Barangsiapa yang takut hukuman atas suatu dosa, maka ia harus berhati-hati
terhadap perbuatan dosa dan menjauhinya.
5. Orang yang takut pada
kematian karena tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian, maka sebab
ketakutannya adalah ketidaktahuan. Terapinya adalah mengetahui dan mempelajari
perilaku jalan yang lurus yang dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan abadi.
6. Terhadap orang yang menganggap bahwa ia takut atau bersedih
karena keluarga, anak, dan hartanya yang ia tinggalkan serta menyesali
kenikmatan dan syahwat duniawi yang berlalu, maka ia harus mendapatkan
penjelasan bahwa kesedihan merupakan sikap yang terburu-buru terhadap
penderitaan dan sesuatu yang tidak menyenangkan serta mengurangi kesedihan.
Kemudan ia harus mendapatkan penjelasan bahwa tujuan dan simpanan duniawi pasti
mengalami kehancuran dan tidak abadi, dan dijelaskan bahwa semua itu
menimbulkan nestapa besar terhadap keberadaannya dan duka lara yang mendalam
ketika kehilangannya. Oleh karena itu, para ahli hikmah menghinanya dan
berusaha mencapai nikmat yang abadi dan kekal.
-- Disarikan dari kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Miskawaih, yang terdapat dalam Ad-Dirasat An-Nafsiyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, karya Dr. Muhammad Utsman Najati
-- Disarikan dari kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Miskawaih, yang terdapat dalam Ad-Dirasat An-Nafsiyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, karya Dr. Muhammad Utsman Najati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar