بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ
اللهُم
َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ
وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ
وَحيـنٍ
Imam
Al-Ghazaly tentang PUASA sufi
Sesungguhnya
ada tiga tingkatan puasa: biasa, khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa,
maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis
antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.
Puasa khusus,
maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga
anggota badan lainnya dari berbuat dosa.
Sedang puasa
yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari
memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat
Allah swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai
mengingat perkara perkara duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa
yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali
mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada
akhirat, dan tidak termasuk pada yang bersifat duniawi.
Mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa
berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan hal hal yang dapat membatalkan
puasa. Rasa berdosa ini bermula dari rasa takyakin terhadap karunia sertajanji
Allah swt. untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.
Untuk
tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul,
para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya.
Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi
nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi
(berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait
dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah
mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).
Syarat-syarat
Batin
Puasa khusus
adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa
ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan
harus pula memenuhi keenam syaratnya:
1. Tidak
Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal
yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu yang dicela (makruh), atau yang
dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah swt. Nabi Muhammad
saw. bersabda, "pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik
setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata
karena takut kepada Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan,
sebagaimana rasa manis yang diperolehnya dari dalam hati. " (H.r. al
Hakim, hadis shahih). Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta,
mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh
nafsu."
2. Menjaga
Ucapan
Menjaga lidah
(lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah,
berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan
kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca
[mengkaji] al-Qur'an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata, "Sesungguhnya
mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, 'Ada dua hal
yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong."
Rasulullah
saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang
berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau
memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r.
Bukhari Muslim).
3. Menjaga
Pendengaran
Menjaga
pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang
dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah
swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan
mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al Qur'an Allah swt. berfirman,
"Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal."
(Q.s. 5: 42).
Demikian juga
dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, "Mengapa para rabbi dan pendeta di
kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang
terlarang?" (Q.s. 5: 63).
Oleh karena
itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt. berfirman dalam
wahyu Nya, 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun
seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Rasulullah saw.
mengatakan, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa."
(H.r. at Tirmidzi).
4. Menjaga
Sikap Perilaku
Menjaga semua
anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang
makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat)
ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan
menahan diri dari memakan yang halal dan hanya berbuka dengan makanan haram.
Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang membangun istana, tetapi
merobohkan kota. Makanan yang halal juga akan menimbulkan kemudharatan, bukan
karena mutunya tetapi karena jumlahnya. Maka puasa dimaksudkan untuk mengatasi
hal tersebut. Karena didera kekhawatiran, atau karena sakit yang
berkepanjangan, seseorang dapat memakan obat secara berlebihan.
Tetapi jelas
tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan
haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal
ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah
cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa
adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.
Bersabda
Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan
sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini
ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan
haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang
menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia,
dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya
lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota
tubuhnya dari berbuat dosa.
5.
Menghindari Makan Berlebihan
Berbuka puasa
dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak.
Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut yang penuh
(berlebihan) dengan makanan halal. Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara
mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka
menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari? Terlebih lagi,
biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang justru di
hari-hari biasa tidak tersedia.
Sesungguhnya
hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak
kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu
mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar
bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat
di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada
hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan
harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan
mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Oleh karena
itu, barangsiapa telah "meletakkan" kantung makanan di antara hati
dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun perutnya
kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara dirinya
dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan
mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya, dan titik
mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.
6. Menuju
kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah
berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap
[raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga
dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat
dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang
yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap
orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
Dari al Hasan
bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang
sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah
menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya
saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final
lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh
menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain
di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan
mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup,
mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka
yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dengan
kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang
yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Dari al Ahnaf
bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah
tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab,
"Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk
perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah
daripada menanggung siksa Nya."
Demikianlah,
semua itu adalah makna signifikan puasa.
Pentingnya
Memenuhi Aspek aspek (Syarat) Batin
Sekarang Anda
mungkin mengatakan, "Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa
harus memperhatikan syarat batin itu sudah sah. Menurut pendapat para ahli
fiqih juga demikian, bahwa puasa yang bersangkutan sudah dapat dikatakan
memenuhi syarat, sudah sah. Lalu mengapa kita harus repot repot?"
Anda harus
menyadari bahwa para ulama fiqih telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa
dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang
perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan
yang sejenis. Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang
batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam
yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sedangkan bagi
mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir, akan memperhatikan
sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin, sehingga ibadahnya sah dan
diterima.
Hal demikian
itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat yang akan mengantarkannya
pada tujuan. Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk
menghayati salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah),
sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin menghindari
godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas dari dorongan
serupa.
Sedang
manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal yang
dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia inferior
(sedikit lebih rendah) dari malaikat, karena masih dikuasai oleh hawa nafsu,
maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.
Kapan pun
manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang
terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Kapan pun ia
mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat
adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun
menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah. Tentu dengan segala
ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya. Hanya saja bukan dalam
pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi lebih pada kedekatan sifat.
Jika demikian
itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki kedalaman pemahaman
spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan pada waktu berbuka,
seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah
demikian, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Betapa banyak
orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar