Menurut Syekh Ibnu Atha'ilah, boleh jadi ketika seorang hamba
diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak
meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa
ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan
menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah).
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan
menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar
tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan
dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh
pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada
kalbunya, berarti masih ada hijab.
Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu
untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih
terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi
fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia
telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya.
Jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi
menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim
as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk
kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap
dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat,
naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang
paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian
lahut tampak jelas di hadapannya.
Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi
malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah.
Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah
yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan.
Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi
dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang
cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung
secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah
sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia
dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga,
perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy)
tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat
pencatat amal.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwa
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwa
MEMAHAMI DUNIA DAN TUJUAN AKHIRAT
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali. Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah. Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali. Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah. Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Dia akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia
kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Lalu akan dikatakan kepadamu,
“Ini adalah untukmu dan untuk keluargamu.” Namun, bagaimana mungkin engkau
dapat menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik?
Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus mengumpulkan harta.
Allah SWT menutup pintu hatimu dan segala sesuatu tak akan bisa memasukinya.
Dia menurunkan peringatan-Nya dalam kalbumu.
Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan bersungguh-sungguh.
Hendaklah engkau menangisi rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlak burukmu.
Hendaklah kau menangisi semua perkara yang telah terjadi menimpamu. Bantulah
orang-orang yang fakir dan miskin dengan hartamu, dan janganlah berbuat kikir!
Sebab, tak lama lagi engkau akan berpisah dengan harta bendamu. Mukmin yang
meyakini adanya penggantian di dunia dan akhirat tentu tak akan bersikap kikir
atau bakhil!
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?”
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?”
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”
“Sebab aku berharap agar Mukmin yang kikir itu
terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sebab kekikirannya. Sebaliknya, aku
takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena
kedermawanannya.”
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan. Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan. Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani
DZIKIR PEMBUKA PINTU LANGIT
Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, sebagai tanda bahwa
sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi
tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap
tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam
di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan
meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk
menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu).
Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu
sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak
pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan
cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa
bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si
pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah
lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu
didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu.
Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena
engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.
Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu
Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur
disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah
disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala
sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir
khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki
batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam,
sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba
tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan
bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi
konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui
segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka
tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut
berdzikir beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan
kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan
akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.
Jika
engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta
seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu,
para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan
Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy
beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan
zat-Nya."
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA'ILLAH
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan mengeluarkan mereka.
Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
RAHASIA DZIKIR MENURUT SYEKH IBNU ATHA'ILLAH
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang
kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda
kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang
melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan,
ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan
menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara
sempurna.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan
kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir
lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa
ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian.
Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak
ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat
dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum
makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan
seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi,
misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa
al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la
quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya,
tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah
dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,”
atau munajat lainnya.
Selain itu,
terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih
besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat.
Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk
sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah
KEDAHSYATAN SIKAP TAWAKAL
Tawakal merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan menderita. Sebab, tawakal tidak bukan hanya penunjukkan sikap kepasrahan yang tidak beralasan, tapi tawakal juga harus terlebih dahulu dan didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari makna tawakal itu.
Tawakal merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan menderita. Sebab, tawakal tidak bukan hanya penunjukkan sikap kepasrahan yang tidak beralasan, tapi tawakal juga harus terlebih dahulu dan didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari makna tawakal itu.
Rasulullah SAW adalah pekerja keras, pemimpin yang
sangat cerdas, pengusaha hebat dan panglima perang yang tangguh. Tapi, beliau
selalu menggantungkan sikap tawakalnya hanya kepada Allah. Karena itu beliau
selalu mengucapkan doa-doa mengenai rasa tawakalnya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ
اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ
أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ
وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم(
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa
berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah
aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku
bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku
berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah
Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin
dan manusia mati. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام
حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ
فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه
البخاري
Dari
Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi
Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi
Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ;
‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan
kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman
bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang
mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR.
Bukhari)
Sikap tawakal yang dilakukan secara kuat dengan
keyakinan dan keimanan yang hebat justru merupakan kekuatan mahadasyat.
Kepasrahan kepada Allah adalah jalan satu-satunya yang dapat menyelamatkan,
mengamankan, membahagiakan dan memenangkan. Alkisah. Pada saat perang Dzatur
riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon,
sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Tiba-tiba datang seorang musyrik
yang mengambil pedang beliau sambil berkata, “Siapa yang dapat melindungimu
dariku?” Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab, “ALLAH.” Setelah
tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah
SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, “sekarang siapakah yang dapat
melindungimu dariku?”
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang
sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian
sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam
keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR.
Tirmidzi)
Usaha dan doa adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang yang mengaku bertawakal, namun tanpa memiliki usaha apa pun maka dia sebenarnya telah berdusta pada dirinya sendiri. Sebagai seorang hamba, kita tetap memiliki kewajiban untuk berusaha dan berkerja, serta menggantungkan keputusan dan hasilnya pada Allah Yang Maha Berkehendak.
Usaha dan doa adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang yang mengaku bertawakal, namun tanpa memiliki usaha apa pun maka dia sebenarnya telah berdusta pada dirinya sendiri. Sebagai seorang hamba, kita tetap memiliki kewajiban untuk berusaha dan berkerja, serta menggantungkan keputusan dan hasilnya pada Allah Yang Maha Berkehendak.
Rasulullah
SAW juga bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا
وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه
الترمذي(
Dari
Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai
Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan
aku bertawakal?’ Rasulullah SAW, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR.
Tirmidzi)
Renung-renungkanlah, Pikir-pikirkanlah!
Renung-renungkanlah, Pikir-pikirkanlah!
MELIHAT ALLAH MELALUI
SIFAT & DZATNYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Melihat Allah SWT itu bisa dilakukan dengan dua macam. Pertama, melihat jamalullah tanpa perantara cermin kalbu di akhirat (Alam Lahut). Kedua, melihat sifat Allah SWT di muka bumi dengan perantara cermin kalbu, yakni dengan penglihatan mata hati (fuad) dari pantulan cahaya jamalullah.”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Melihat Allah SWT itu bisa dilakukan dengan dua macam. Pertama, melihat jamalullah tanpa perantara cermin kalbu di akhirat (Alam Lahut). Kedua, melihat sifat Allah SWT di muka bumi dengan perantara cermin kalbu, yakni dengan penglihatan mata hati (fuad) dari pantulan cahaya jamalullah.”
Allah SWT berfirman,
“hatinya tidak berdusta terhadap apa yang dilihatnya,” (QS An-Najm [53]: 11)
Rasulullah SAW bersabda, “Al-mu’minu miratul-Mu’min. (Kalbu seorang mukmin adalan cermin daei Allah yang bersifat Al-Mukmin)” -HR Abu Dawud.
Kata “mu’min” yang pertama pada hadis di atas adalah kalbu hamba Allah yang beriman, sedangkan kata “al-Mu’min” yang kedua adalah Dzat Allah yang memiliki sifat Al-Mukmin.
Penglihatan yang dimaksud di atas adalah penglihatan pada sifat-sifat Allah SWT dari segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini. Seperti hanyanya saat seseorang melihat sinar matahari dari misykat (lubang yang tidak tembus), maka bisa saja dia berkata “Aku melihat matahari dengan cara apa pun.”
Allah SWT memberi perumpamaan dalam Al-Quran:
“Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tidak tembus di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun.”(QS An-Nur [24]: 35).
Rasulullah SAW bersabda, “Al-mu’minu miratul-Mu’min. (Kalbu seorang mukmin adalan cermin daei Allah yang bersifat Al-Mukmin)” -HR Abu Dawud.
Kata “mu’min” yang pertama pada hadis di atas adalah kalbu hamba Allah yang beriman, sedangkan kata “al-Mu’min” yang kedua adalah Dzat Allah yang memiliki sifat Al-Mukmin.
Penglihatan yang dimaksud di atas adalah penglihatan pada sifat-sifat Allah SWT dari segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini. Seperti hanyanya saat seseorang melihat sinar matahari dari misykat (lubang yang tidak tembus), maka bisa saja dia berkata “Aku melihat matahari dengan cara apa pun.”
Allah SWT memberi perumpamaan dalam Al-Quran:
“Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tidak tembus di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun.”(QS An-Nur [24]: 35).
Para ahli tasawuf
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat adalah kalbu orang Mukmin.
Sedangkan yang dimaksud dengan Sirr Al-Fuad (rahasia mata hati) yaitu Ruh
Sulthani dalam diri manusia. Adapun Fuad adalah (mata hati) yang Allah sifati
dengan gemerlapan karena kekuatan yang luar biasa.
Di ayat itu pula, Allah SWT menjelaskan tentang sumber cahaya, yakni pohon talqin dan tauhid yang murni keluar dari Lisan Al-Qudsi tanpa perantara. Hal tersebut seperti saat Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran dari Allah secara utuh, kemudian malaikat Jibril menyampaikan kepada Nabi secara berangsur-angsur untuk kemaslahatan umat dan meluruskan keingkaran orang kafir dan munafik.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar--
Di ayat itu pula, Allah SWT menjelaskan tentang sumber cahaya, yakni pohon talqin dan tauhid yang murni keluar dari Lisan Al-Qudsi tanpa perantara. Hal tersebut seperti saat Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran dari Allah secara utuh, kemudian malaikat Jibril menyampaikan kepada Nabi secara berangsur-angsur untuk kemaslahatan umat dan meluruskan keingkaran orang kafir dan munafik.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar--
APAKAH ALLAH DAPAT DILIHAT?
Apakah di dunia mungkin Allah dapat dilihat? Apakah Allah hanya dapat dilihat nanti di akhirat? Apakah mungkin dapat menyaksikan Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta ini? Jika memang bisa, bagaimana melakukannya?
Apakah di dunia mungkin Allah dapat dilihat? Apakah Allah hanya dapat dilihat nanti di akhirat? Apakah mungkin dapat menyaksikan Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta ini? Jika memang bisa, bagaimana melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti sering muncul
bagi para pencari Tuhan yang baru memulai melakukan tafakur. Ada semacam
kebimbangan saat memulai perenungan. Apalagi jika merujuk pada ayat dan hadis
yang masih belum dapat dipahami.
Padahal sebenarnya, setiap ruh manusia itu pernah menyaksikan dan bersaksi tentang ketuhanan. Yakni, terjadi pada alam arwah, dimana mereka telah mengaku dan berjanji untuk tunduk dan patuh terhadap Allah, mau menyembah-Nya, menjalankan perintahnya-Nya dan menjauhi larangannya. Ketika Allah bertanya, “alastu birabbikum? (Apakah Aku Tuhanmu), lalu kita mengatakan, “Bala syahidna” (Ya, kami bersaksi). Ini adalah Perjanjian Primordial manusia sebagai hamba di depan Rabb.
Padahal sebenarnya, setiap ruh manusia itu pernah menyaksikan dan bersaksi tentang ketuhanan. Yakni, terjadi pada alam arwah, dimana mereka telah mengaku dan berjanji untuk tunduk dan patuh terhadap Allah, mau menyembah-Nya, menjalankan perintahnya-Nya dan menjauhi larangannya. Ketika Allah bertanya, “alastu birabbikum? (Apakah Aku Tuhanmu), lalu kita mengatakan, “Bala syahidna” (Ya, kami bersaksi). Ini adalah Perjanjian Primordial manusia sebagai hamba di depan Rabb.
Namun, dalam perjalannya, saat manusia dilahirkan,
manusia lupa dan lalai. Karena itu, Allah mengutus Nabi dan Rasul, serta
menurunkan wahyu agar manusia dapat kembali di jalan-Nya dan mengingat kembali
Perjanjian Primordialnya.
Mereka yang terbuka mata hatinya, sebenarnya selalu menyaksikan Allah setiap saat. Menyaksikan keberadaan-Nya di alam ini. Mereka juga mampu mengingat jalan kembali kepada-Nya, tempat semua ruh akan kembali. Tetapi, karena manusia dibutakan oleh sifat-sifat rendah kemanusiaannya sehingga merasa bahwa Allah tak tampak, tertutup, tersembunyi dan tak dapat dirasakan keberadaanya.
Mereka yang terbuka mata hatinya, sebenarnya selalu menyaksikan Allah setiap saat. Menyaksikan keberadaan-Nya di alam ini. Mereka juga mampu mengingat jalan kembali kepada-Nya, tempat semua ruh akan kembali. Tetapi, karena manusia dibutakan oleh sifat-sifat rendah kemanusiaannya sehingga merasa bahwa Allah tak tampak, tertutup, tersembunyi dan tak dapat dirasakan keberadaanya.
Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
pernah menjelaskan hal semacam ini. Menurutnya, “Penyebab kebutaan kalbu adalah
karena adanya hijab-hijab yang gelap (al-hujub azh-zhulmaniyah), lalai dan lupa
karena jauhnya diri dari menepati janji pada Allah saat di Alam Arwah. Adapun
sebabnya lalai adalah kebodohan seseorang terhadap masalah hakikat Ilahiah.
Kebodohan ini timbul karena kalbu dikuasai oleh sifat-sifat tercela, seperti sombong, dendam, dengki, kikir, ‘ujub, ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), bohong dan sifat-sifat tercela lainnya. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke derajat yang paling rendah.
Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72). Adapun yang dimaksudkan dengan buta di dunia adalah buta hati, sebagaimana firman Allah SWT, “Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Kebodohan ini timbul karena kalbu dikuasai oleh sifat-sifat tercela, seperti sombong, dendam, dengki, kikir, ‘ujub, ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), bohong dan sifat-sifat tercela lainnya. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke derajat yang paling rendah.
Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72). Adapun yang dimaksudkan dengan buta di dunia adalah buta hati, sebagaimana firman Allah SWT, “Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Adapun
cara menghilangkan sifat-sifat yang tercela tersebut adalah dengan membersihkan
cermin kalbu dengan alat pembersih tauhid, ilmu dan amal; serta berjuang dengan
sekuat tenaga, baik lahir maupun batin. Semua itu akan menghasilkan hidupnya
kalbu dengan cahaya tauhid dan sifat-sifatnya.
Jika seorang manusia telah berhasil menghidupkan kalbunya, maka ia akan ingat pada Negeri Asalnya (Alam Lahut). Setelah ingat ia akan rindu pulang dan ingin sampai ke negerinya yang hakiki. Maka, ia akan sampai dengan pertolongan Allah.
Selanjutnya, setelah penghalang kegelapan (tabir) tadi hilang, maka yang tersisa adalah penghalang-penghalang atau tabir cahaya (al-hujub an-nuraniah). Dan, pada saat itu ia sudah bashirah, ia yang mampu melihat dengan penglihatan ruh dan menerima cahaya dari cahaya Asma Ash-Shifat (nama-nama sifat). Secara bertahap, penghalang-penghalang cahaya itu akan sirna dengan sendirinya dan dia akan diterangi dengan cahaya Dzat.”
--Dirujuk dari kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,
Jika seorang manusia telah berhasil menghidupkan kalbunya, maka ia akan ingat pada Negeri Asalnya (Alam Lahut). Setelah ingat ia akan rindu pulang dan ingin sampai ke negerinya yang hakiki. Maka, ia akan sampai dengan pertolongan Allah.
Selanjutnya, setelah penghalang kegelapan (tabir) tadi hilang, maka yang tersisa adalah penghalang-penghalang atau tabir cahaya (al-hujub an-nuraniah). Dan, pada saat itu ia sudah bashirah, ia yang mampu melihat dengan penglihatan ruh dan menerima cahaya dari cahaya Asma Ash-Shifat (nama-nama sifat). Secara bertahap, penghalang-penghalang cahaya itu akan sirna dengan sendirinya dan dia akan diterangi dengan cahaya Dzat.”
--Dirujuk dari kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,
MEMBEDAKAN MADU DAN RACUN DOSA
Menurut Imam Al-Ghazali, dalam sebuah riwayat israiliyat, Allah
pernah berfirman, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika seluruh penghuni
langit dan bumi memohon syafaat untuknya, Aku tetap tidak menerima tobatnya,
karena manisnya perbuatan dosa yang ia lakukan masih tersisa di hatinya.”
Mungkin engkau akan berkata bahwa secara naluriah, perbuatan dosa itu umumnya sangat disukai, maka bagaimana mungkin ia merasakan pahitnya?
Mungkin engkau akan berkata bahwa secara naluriah, perbuatan dosa itu umumnya sangat disukai, maka bagaimana mungkin ia merasakan pahitnya?
Imam Al-Ghazali memberi
analogi yang menarik: “Ada seseorang minum madu yang mengandung racun, tapi ia
tidak apa-apa saat itu, bahkan sebaliknya malah merasan lezat. Tetapi,
belakangan hari, ia tiba-tiba jatuh sakit yang cukup lama akibat efek racun
tersebut, sampai semua rambutnya rontok dan anggota tubuhnya lumpuh.
Dalam kondisi demikian, apabila dihidangkan jenis madu
yang sama, mungkin ia akan menolak, meski sudah dijelaskan bahwa sudah tidak
ada racun di dalam madu tersebut. Orang itu akan berasalan bahwa ia sama-sama
madu. Begitulah perumpamaan orang yang bertobat dari dosa-dosanya, Ia merasakan
betapa pahitnya dosa itu, apalagi jika ia sadar bahwa setiap perbuatan dosa
rasanya seperti madu, tapi efeknya adalah racun yang sangat berbahaya.
Maka, tobat belumlah dikatakan tulus dan benar jika tidak berdasarkan keyakinan semacam ini. Sungguh jarang orang yang punya keyakinan seperti ini. Karena itu, engkau pasti sering melihat orang yang berpaling dari Allah, menganggap sepele dosa dan keras kepala untuk terus menerus melakukannya.”
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab At-Tawbah, Ihya ‘Ulumuddin
Maka, tobat belumlah dikatakan tulus dan benar jika tidak berdasarkan keyakinan semacam ini. Sungguh jarang orang yang punya keyakinan seperti ini. Karena itu, engkau pasti sering melihat orang yang berpaling dari Allah, menganggap sepele dosa dan keras kepala untuk terus menerus melakukannya.”
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab At-Tawbah, Ihya ‘Ulumuddin
ADAB DAN DOA SEBELUM TIDUR DARI IMAM AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul-Hidayah memberi nasehat bahwa jika hendak tidur, kita dianjurkan untuk menghadap kiblat. Lalu tidur di atas sisi kananmu seperti tidurnya mayit di liang kuburnya.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul-Hidayah memberi nasehat bahwa jika hendak tidur, kita dianjurkan untuk menghadap kiblat. Lalu tidur di atas sisi kananmu seperti tidurnya mayit di liang kuburnya.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa tidur
adalah bagaikan kematian dan terjaga adalah bagaikan bangkit dari kematian.
Boleh jadi, Allah menggenggam ruhmu di malam itu. Maka dari itu,
bersiap-siaplah untuk menghadapinya dengan tidur dalam ke¬adaan suci dan
usahakan agar wasiatmu telah tertulis di bawah kepalamu.”
Kita juga dianjurkan untuk memulai tidur sambil
bertobat dan meminta ampunan dari semua dosa dengan tekad tidak akan berbuat
maksiat lagi. “Bertekadlah untuk berbuat baik kepada semua Muslim saat Allah
membangunkanmu. Ingatlah bahwa engkau akan berbaring di liang kubur seperti itu
seorang diri, hanya ditemani oleh amalmu. Engkau hanya akan dibalas sesuai
dengan amal perbuatanmu itu.”
Jangan sampai engkau menghendaki tidur yang banyak
dengan menghampar kasur empuk karena tidur adalah menghentikan kehidupan.
Kecuali, jika bangunmu justru menjadi bencana bagimu sehingga tidur tersebut
lebih membuat agamamu selamat.
Ketahuilah bahwa malam dan siang seluruhnya berjumlah
dua pu¬luh empat jam. Jangan sampai tidurmu sepanjang siang dan malam lebih
dari delapan jam. Karena, jika engkau berumur sekitar enam puluh tahun cukup
bagimu membuang dua puluh tahun darinya, atau sepertiga dari umurmu itu.
Sebelum tidur, kita juga dianjurkan untuk bersiwak
(menggosok gigi) dan bersuci terlebih dahulu. Kemudian bertekad untuk bangun
malam atau bangun sebelum waktu shalat subuh. Dua rakaat di tengah malam
merupakan salah satu harta kekayaan yang berharga mulia. Perbanyaklah harta
kekayaanmu itu guna menghadapi hari miskinmu. Sebab, harta kekayaan dunia sama
sekali tak akan ber-guna jika engkau binasa.”
DOA SEBELUM TIDUR
"Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, kuletakkan
pung¬gungku dan dengan nama-Mu pula kuangkat serta am¬punilah dosa-dosaku. Ya
Allah, lindungi aku dari siksa-Mu pada hari para hamba-Mu dibangkitkan.
Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidup dan mati. Aku
berlindung pada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang memiliki keburukan serta
dari kejahatan setiap yang melata. Engkaulah yang menggenggam ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus.
Ya Allah, Eng¬kaulah Yang Maha Pertama yang tidak
didahului oleh sesuatu dan Engkau pula Yang Maha Terakhir yang tak ada sesuatu
sesudah-Mu. Engkau Mahatampak, tak ada sesuatu di atas-Mu. Engkau Maha
Tersembunyi, tak ada sesuatu di bawah-Mu. Bayarkanlah hutangku dan ang¬katlah
aku dari kemiskinan.
Ya Allah, Engkau yang menciptakan diriku dan engkau
pula yang mewafatkannya. Kematian dan kehidupannya ada pada kekuasaanMu. Jika
engkau matikan diriku ini, maka ampunilah dia, dan jika engkau hidupkan, maka
jagalah dia sebagaimana engkau menjaga para hamba-Mu yang saleh. Ya Allah aku
meminta pada-Mu pengampunan dan ke¬selamatan di dunia dan akhirat.
Ya Allah, bangunkan aku dalam waktu terbaik menurutmu.
Buatlah aku me-lakukan perbuatan-perbuatan yang paling Kau senangi sehingga hal
itu akan mendekatkan diriku pada-Mu dan menjauhkannya dari murka-Mu setelah aku
meminta pada-Mu. Setelah aku meminta pada-Mu, maka Engkau memberikannya, aku
meminta ampunan pada-Mu maka Kau terima, dan aku berdoa pada-Mu maka Kau
ka¬bulkan untukku."
Bismika rabbii wadha’tu janbii wabismika arofa’uhu
faghfirlii dzanbii. Allahumma bismika ahya wa amuut wa a’udzubika allahumma
min-syarri kulli dzii syarri. Wa min syarri kullidabbatin anta akhidzdzi binashiyatiha,
inni rabbi ’alaa shirath mustaqiim. Allahumma antal wali falaiisa qablaka
syai’in, wa antal akhirufalaisa ba’da katsi’in Wa antazhzhihiru falaisa fauqaka
syai’in Wa antal bathinu falaisa duunaka syai’in Iqdhii ‘anniid dunya wa
aghninii minal faqri. Allahumma antalkhalaqta nafsii wa anta tatawwafaha, laka
mamatuha wa mahyaha, in amattaha faghfirlaha wa in ahyaitaha fahfazhha
bimatahfazhu bihi ‘ibadakash shalihiin. Allahumma inni as ‘alukal ‘afwa wal
‘afiyata fiiddiin waddunya wal aakhirati. Allahummaaiqithnii fii ahabiissa ‘ati
ilaika was ta’malnii bi ahabbil ‘amal ilaika hatta tuqarribanii ilaika zulfa wa
tub ‘idanii ‘an sakhathika ba’da an as alakafatu’thiinii wa astaghfiraka
fataghfirulii wa ad’uuka fatastajiibulii.
--Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul-Hidayah--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar