Ketauhilah, bahwa setiap ibadah yang kita lakukan,
namun tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan kebersihan jiwa, berarti
ibadah tersebut telah terkontaminasi. Bisa jadi termasuki kotoran riya, tujuan
duniawi, atau kotoran ilmu yang salah dalam memandang sebuah ibadah dan yang
semisalnya.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ
الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ
عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
“Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan
dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki kotoran (terkontaminasi), dan
setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki kotoran” (Al-Fawaid).
Lihatlah hakikat, jangan tertipu dengan
lahiriyah suatu amal!
Dari penjelasan di atas, mari kita intropeksi diri,
bagimanakah ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan? Apakah terpenuhi
kriteria ibadah yang diterima oleh Allah? Ataukah justru ibadah-ibadah yang
kita lakukan selama ini, banyak yang sekedar aktifitas lahiriyyah tanpa ada
ruhnya? Jika memang demikian, tidakkah kita malu mempersembahkan kepada Rabb
kita sesuatu tanpa ruh, ibarat bangkai tak bernyawa?
Apakah selama ini kita benar-benar telah perhatian
terhadap hakikat peribadatan ataukah dalam mengerjakan ibadah masih lebih
banyak perhatian kepada lahiriyyah suatu ibadah; asal sah ibadah tersebut atau
asal gugur kewajiban ibadah tersebut?
Perhatikan beberapa nukilan berikut ini yang
menggambarkan bahwa para ulama dari dulu sangat perhatian terhadap hakikat
suatu amal!
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah menyatakan,
فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر
“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat
(sesuatu),tidak terjebak dengan lahirnya”
Demikian pula Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
رب قائم حظه من قيامه السهر، كم من قائم
محروم و من نائم مرحوم، هذا نام و قلبه ذاكر و هذا قام و قلبه فاجر
“Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya
mendapatkan begadang saja (tidak dapat pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang
yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh Allah), sedangkan yang tidur
justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang kedua memang lahirnya (yang
nampak) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang pertama
memang zhahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat”
Beliau juga berkata,
كم من مستغفر ممقوت و ساكت مرحوم ، هذا
استغفر و قلبه فاجر و هذا سكت و قلبه ذاكر
“(Ingatlah)berapa banyak orang yang lisannya
istighfar,namun dibenci (oleh Allah),sedangkan orang yang lisannya diam,malah
justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang pertama ini lisannya memang
istighfar, namun hatinya menyimpan maksiat, adapun orang yang kedua, lisannya
diam,namun hatinya ingat Allah (bertakwa)” (Lathoiful Ma’arif, Ibnu
Rajab rahimahullah).
BULAN Ramadhan adalah bulan yang mulia dan banyak berkahnya. Setiap muslim pasti sering mendengar bahwa bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Quran. Karena memang sangat banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini. Allah Ta’ala berfirman,
Sambutlah Misi Bulan Ramadhan
ADA
dua dimensi yang selalu menyertai tasyri’ (Proses lahirnya hukum Islam) dalam
al-Qur’an, yaitu dimensi teologis dan sosiologis. Kedua dimensi ini harus kita
fahami secara utuh, sehingga dengan memahami kedua dimensi historis tersebut
maka setiap syariat dalam Islam tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai
‘ruh’ yang akan selalu hadir dalam setiap fase kehidupan sosial umat Islam.
Secara
historis, kelahiran hukum Islam, tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial
masyarakat yang saat itu terjadi, atau adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
syariat nabi sebelum nabi Muhamma saw. Maka atas dasar itulah Allah swt.
menurunkan syariat kepada nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul yang
membawa syariat baru atau meluruskan penyimpangan pelaksanaan syariat nabi
sebelumnya.
Seperti
contoh, lahirnya syariat zakat secara teologis adalah upaya untuk membersihkan
harta yang merupakan rizki atas karunia yang telah Allah berikan kepada
hamba-Nya maka waktu, kadar serta jenis harta yang wajib dizakati sudah
ditentukan mekanismenya oleh Allah dan Rasul-Nya dalam hukum syara’.
Aspek
sosiologis yang hendak diraih melalui zakat ini adalah lahirnya rasa empati dan
kepekaan sosial antara kaya dan miskin. Serta untuk mengikis sifat ketamakan
yang dimiliki oleh manusia akibat kecintaan terhadap harta yang pada hakikatnya
bukan milinya tapi titipan Allah swt. hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat
al-Taubah[9]:103, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan
menyucikan mereka, sesungguhnay do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi
mereka, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Juga
dalam surat al-Ma’arij[70]: 24-25. “dan orang-orang yang dalam hartanya
disiapkan bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak
meminta.” Jika syariat zakat dilaksanakan setiap tahun, namun kesenjangan
sosial dan kemiskinan masih saja terlihat secara nyata, hal ini menunjukkan
bahwa zakat belum memperlihatkan jati diri yang sesungguhnya sebagai pembersih
harta dan penyuci jika dari sifat kikir dan tamak yang ada dalam diri manusia.
Demikian
pula tak jauh berbeda keadaannya dengan shalat, secara teologis shalat sebagai
upaya untuk mengingat Allah swt. namun dimensi lain shalat juga merupakan cara
untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Sebagaimana
Allah swt tegaskan dalam al-Qur’an surat Toha[20]:14, “sungguh Aku ini Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk
mengingat Aku.” Kemudian secara sosiologis Allah tegaskan al-Qur’an
al-Ankabut[29]:45, “… sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan
munkar…” jika ada orang yang melaksanakan shalat, namun perbuatan keji dan
munkar masih ada dalam pribadi dan lingkungan masyarakat, maka esensi tujuan
shalat belum diraih secara maksimal sesuai dengan tujuan hukum yang hendak diwujudkan
berdasarkan al-Qur’an.
Puasa
Ramadhan juga pada awal disyariatkannya tidak lepas dari dimensi sosial yang
hendak diraih yaitu ketaatan dan kepatuhan seorang pemeluk agama terhadap
perintah Allah dan Rasulnnya secara total tanpa syarat apapun. Muhammad Ali
al-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa puasa
ramadhan diperintahkan kembali kepada umat nabi muhammad saw. karena umat
terdahulu selalu saja setiap kali kewajiban puasa akan dilaksanakan, mereka
mencela dan melakukan banyak permintaan dan pilihan sebagai wujud protes atas
kewajiban tersebut.
Seperti
contoh, umat sebelum Nabi Muhammad SAW, ketika diwajibkan puasa pada musim
panas, mereka keberatan dan minta ditangguhkan pada musim dingin. Kemudian
ketika musim dingin tiba, mereka juga malah minta ditangguhkan kembali pada
musim semi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Begitupun ketika Allah
mewajibkan selama tiga puluh hari puasa, mereka malah meminta lebih lama lagi
dari waktu yang sudah ditentukan.
Begitulah
kurang lebih gambaran sosiologis kadar keimanan umat sebelum kita, sehingga
ketaatan menjadi pesan utama dibalik syariat kewajiban puasa kepada orang yang
beriman agar meraih predikat takwa.
Kehadiran
puasa Ramadhan akan terasa hampa jika kaum muslimin tidak menempatkan puasa
ramadhan sebagai pendidikan yang memiliki dimensi teologis dan sosiologis. Atas
kondisi demikian, sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mengahadirkan
kembali ‘ruh’ puasa Ramadhan dalam dimensi sosial masyarakat sebagai solusi
menyuluruh atas permasalah bangsa yang sedang kita hadapi saat ini.
Sikap
pengabaian terhadap paradigma di atas hanya akan melahirkan ibadah yang hampa
akan nilai, alih-alih dapat mencegah kemunkaran yang merebak di tengah-tengah
masyarakat, yang ada kemunkaran dalam dirinya saja nyaris tak tersetuh oleh
ibadahnya. “shalat terus maksiat jalan” itulah stigma negatif yang mewakili
hampir setiap ibadah yang dilakukan kaum muslimin saat ini ditengah tengah
kemaksiatana merajalela dimana-mana.
Kehadiran
puasa Ramadhan seakan menjadi puasa ‘seremonial’ tahunan saja yang tak ada bedanya
dengan pergantian musim yang silih berganti hadir setiap tahun tanpa membawa
makna dan perubahan yang berarti bagi kehidupan bangsa ini. Kondisi inilah yang
paling dikhawatirkan oleh baginda kita menimpa umat akhir zaman sebagaimana
sabda beliau,
كم من صائم
ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش
“Betapa
banyak orang yang puasa, tapi tidak ada nilai yang diraih kecuali lapar dan
dahaga.”(HR. Ibnu Majah)
Maka
agar puasa ramadhan tahun ini sangat berarti bagi kita semua, dan berdampak
bagi perubahan sosial, mari kita maknai kehadiran ramadhan tahun ini dengan
mewujudkan misi ini. []
Keutamaan
Mengkhatamkan Al-Quran Di Bulan Ramadhan
BULAN Ramadhan adalah bulan yang mulia dan banyak berkahnya. Setiap muslim pasti sering mendengar bahwa bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Quran. Karena memang sangat banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini. Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ
فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil)” QS. (Al Baqarah : 185)
Sedangkan
keutamaan membaca Al-Quran sangat banyak dijelaskan, salah satunya adalah Sabda
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ
اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ
الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka
baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi
10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan “alif lam mim” satu huruf akan
tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf” (
HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Begitu
juga Sabda beliau,
مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى
لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ
“Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam
dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam” (
HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468)
Keutamaan mengkhatamkan Al-Quran di Bulan Ramadhan
Hal
Ini dicontohkan langsung oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam. Dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أن جبريل كان يعْرضُ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعرضَ
عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فيه
“Dahulu Jibril
mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam
setiap tahun sekali (pada bulan ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah
shalallahu ‘alayi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada
beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya)” (
HR. Bukhari no. 4614)
Ibnu
Atsir rahimahullah menjelaskan,
أي كان يدارسه جميع ما نزل من القرآن
“yaitu mempelajari (mudarasah) semua ayat Al-Quran
yang turun” ( Al-Jami’ fi Gharib Hadits, 4/64).
Hendaknya shalat Tarawih mengkhatamkan Al-Quran di
bulan Ramadhan
Praktek
shalat tawarih dengan target mengkhatamkan Al-Quran selama bulan Ramadhan
adalah perbuatan yang sangat baik. Satu malam shalat tarawih yang di baca satu
juz. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ويمكن أن يفهم من ذلك أن قراءة القرآن
كاملة من الإمام على الجماعة في رمضان نوع من هذه المدارسة، لأن في هذا إفادة لهم
عن جميع القرآن، ولهذا كان الإمام أحمد رحمه الله يحب ممن يؤمهم أن يختم بهم
القرآن، وهذا من جنس عمل السلف في محبة سماع القرآن كله، ولكن ليس هذا موجبا لأن
يعجل ولا يتأنى في قراءته، ولا يتحرى الخشوع والطمأنينة، بل تحري هذه الأمور أولى
من مراعاة الختمة
“dipahami
dari (hadits) tersebut, bahwa Imam membaca Al-Quran seluruhnya (sampai khatam)
bersama jamaah pada Bulan Ramadhan termasuk dalam mudarasah ini (yaitu
mudarasah Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam bersama malaikat Jibril
alaihissalam). Oleh karena itu Imam Ahmad rahimahullah suka terhadap Imam yang
mengkhatamkan Al-Quran. Ini merupakan amal para salaf yaitu mendengarkan
Al-Quran seluruhnya.
Akan
tetapi hal ini bukan kewajiban, agar supaya bersegera dan tidak membaca secara
perlahan-lahan. Ia tidak mencari kekhusyu’an dan tuma’ninah. Bahkan mencari hal
ini (khusyu’ dan tuma’ninah) lebih utama daripada perhatian terhadap
mengkhatamkan” (Majmu’ Fatawa bin Baz 15/324, Asy Syamilah)
Dan
mengkhatamkan Al-Quran selama bulan Ramadhan bukanlah kewajiban, syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
ختم القرآن في رمضان للصائم ليس بأمر
واجب ، ولكن ينبغي للإنسان في رمضان أن يكثر من قراءة القرآن
“Mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan bagi orang
yang berpuasa bukanlah perkara yang wajib. Akan tetapi sebaiknya seseorang
memperbanyak membaca Al-Quran di bulan Ramadhan” (Majmu’
Fatawa wa Rasail 20/516)
UMROH GRATIS
sepanjang masa.
Caranya???
Caranya???
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ
اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ
كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang
shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala
sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti
pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy
no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan
At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat
juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
Hadits yang sangat
luar biasa. Betapa untuk 'haji' dan 'umroh' begitu mudah, murah (gratis malah),
dan bisa dilakukan siapa saja.
SYARATNYA:
1- Sholat shubuh
berjmaaah di masjid/mushola
2- Tetap berdiam di masjid dengan berdzikir setelah sholat shubuh. Dzikir bisa berupa: bacaan dzikir/wirid matsurot, membaca Al-Quran, mengkaji Al-Quran, ta'lim.
3- Hingga masuk waktu SYURUQ atau waktu terbit matahari, kapan? Jadwal waktu syuruq biasanya tercantum di Jadwal Sholat. Kalau tidak ada bisa pakai aplikasi android "Jadwal Sholat".
4- Setelah masuk waktu SYURUQ jangan langsung sholat, tunggu sekitar 15 menit, karena pas waktu SYURUQ dilarang sholat.
2- Tetap berdiam di masjid dengan berdzikir setelah sholat shubuh. Dzikir bisa berupa: bacaan dzikir/wirid matsurot, membaca Al-Quran, mengkaji Al-Quran, ta'lim.
3- Hingga masuk waktu SYURUQ atau waktu terbit matahari, kapan? Jadwal waktu syuruq biasanya tercantum di Jadwal Sholat. Kalau tidak ada bisa pakai aplikasi android "Jadwal Sholat".
4- Setelah masuk waktu SYURUQ jangan langsung sholat, tunggu sekitar 15 menit, karena pas waktu SYURUQ dilarang sholat.
‘Aisyah radhiyallåhu
‘anha berkata:
حَتَّى
إِذَا كَانَتْ السَّاعَةُ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهَا الصَّلَاةُ قَامُوا يُصَلُّونَ
“…(Mereka duduk)
hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka
mendirikan shalat” (Diriwayatkan Imam al Bukhaariy dalam shahiihnya)
5- Setelah 15 menit
dari waktu SYURUQ maka kerjakan sholat sunah dua rokaat. Sholat sunah apa?
itulah yang disebut sholat sunah syuruq/isyroq dan itu sama dengan sholat
Dhuha. Jadi Anda sudah terhitung sholat Dhuha.
Lantas apakah wanita
yang shalat di rumah bisa mendapatkan keutamaan diatas?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah menjelaskan bahwa seorang wanita yang duduk
di tempat shalatnya setelah melaksanakan shalat Shubuh untuk berdzikir dan
membaca al-Qur-an sampai matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat sunnah
dua rakaat, maka sesungguhnya ia akan mendapatkan pahala yang sama sebagaimana
yang diungkapkan dalam hadits tentangnya.
Dengan demikian, kita
bisa mendapat pahala Umroh dan Haji setiap hari dengan melaksanakan amalan ini.
Nah, berapa kali
target Anda 'Umroh' gratis di bulan Ramadhan?
Sebarkan, jadikan
ilmu ini sebagai amal jariyah Anda. Dan ingtlah, orang yg menunjukan kebaikan
akan mendapat pahala seperti orang yang mengerjakan karena Anda mengajarkan
kebaikan itu kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar