وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung.” (Qs. An-Nuur : 31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93
H/612 M – 712 M) dari suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis.
Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal di Bashrah),
bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti
orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak
melekat pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah
: 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah,
apa pertanda bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa
Rasulullah saw. bersabda : “Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain
pemuda yang bertaubat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir, Jilid
II, hlm. 8050, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan Abul Mudzaffar
as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy, hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, taubat merupakan tingkat
pertama di antara tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan
pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah
(salik).
Makna taubat dalama Bahasa Arab adalah
“Kembali”. “Ia bertaubat” beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali
dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
Rasulullah saw. bersabda “Menyesali kesalahan merupakan sutu taubat.” (H.r.
Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah
mengatakan : “Terdapat tiga syarat taubat yang musti dipenuhi agar taubat itu
sah : Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung
penyelewengan; dan dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada
kemaksiatan yang sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya
taubat itu, sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah Arafah”,
maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya tidak ada unsur-unsur haji
yang yang lain selain wukuf di Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya
adalah wukuf di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan yang disampaikan
Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan merupakan suatu taubat.” – bahwa
bagian utama taubat adalah menyesali keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk
memenuhi persyaratan taubat.” Demikian kata mereka yang telah melaksanakannya,
karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua persyaratan yang lain.
Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan
atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami
katakan bahwa taubat mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian.
Sebab langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati dari kealpaan,
menyadari bahwa hamba tersebut berada dalam perilaku buruk. Ia mencapai ini
dengan batuan Allah swt. terhadap pikirannya. Ini berlangsung dengan cara
mendengarkan kata hati, lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah mengingatkan
pada kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging di dalam
jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad akan bagus, dan apabila ia
rusak, maka keseluruhan jasad akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r.
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi
perbuatan-perbuatan jahatnya, niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan
tercela yang dilakukannya, dan keinginan untuk bertaubat akan datang ke lubuk
hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari tindakan-tindakan tercela
tersebut. Kemudan Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan niatnya yang
kukuh ini, dalam menempuh jalan kembali menuju kebaikan.
Cara bertaubat pertama adalah, memisahkan
diri dari orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk
mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Dan
hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi keteguhan dalam bersyahadat,
secara terus menerus, dan dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan
ketetapan dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan raja’.
Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk simpul kebandelan dalam
hati akan mengendor, ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan
kendali diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia harus
segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk tidak kembali ke
dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apabila terus bertindak sesuai dengan
tujuan yang selaras dengan kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi
rasa aman yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya
mendorong untuk melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin
seringkali terjadi, kita harus tetap berharap orang seperti itu akan bertaubat
lagi karena : “Bagi tiap-tiap masa ada ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku
seringkali mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya
membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu pun lenyap. Aku
menghadiri majelis untuk kedua kalinay, mendengar uacapnnay dan membekas di
kalbu, lalu hingga di jalan aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di
majelisnya untuk yang ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di
rumah. Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa dan aku
meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan kepada Yahya bin Mu’adz,
sembari memberi komentar atas kisah ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor
burung gbangau : “Dengan burung pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah
itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku
meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan
itu meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi padanya.”
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan
spiritualnya, seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu Utsmman
amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya bertaubat. Selanjutnya ia
mendapat cobaan. Ia meninggalkan Abu Utsman, dengan mengundurkan diri dari
majelisnya. Pada suatu hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr
segera berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya, berjalan di
belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku, jangan menjadi sahabat orang yang
tidak mencintaimu, kecuali ia seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman
yang mau membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya Abu Amr
bertaubat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan :
“Salah seorang murid bertaubat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam
hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’ Maka
terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Hai Fulan, engkau taat kepada kami, lalu
Kami terima syukurmu, kemudian engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja
dirimu. Bila engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si pemuda
itu pun bertaubat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan
melepaskan diri dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak
kembali pada perbuatan odsa, maka pada saat itulah taubat sejati menyeleusup ke
lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala sesuatu seperti telah dilakukannya,
menjauhi tindakan-tindakan tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya
haq, dan diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-orang yang
jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan malam dalam keadaan
sengsara, dan bertaubat dalam situasi bagaimanapun, menghapus jejak-jejak
dosanya dengan linangan air mata, dan mengobati hati dengan taubatnya. Ia
dikenal di antara sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya
memberikan kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertaubatana seseorang
adalah menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan harapan nahwa
yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka atau bahwa mereka sepakat
untuk meninggalkan klaim yang bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya.
Dan apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim mereka,
dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran, disamping itu juga
mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Taubat dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah taubat
(tawbah), tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.” Ia
menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat karena takut siksa,
maka ia tergolong orang yang taubat. Siapa pun yang bertaubat karena ingin
mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa pun yang
bertaubat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan karena ingin mendapatkan
pahala maupun takut akan hukuman, berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat adalah sifat kaum
Mukminin.” Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia
amat taat (kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan
Muqarrabun. Allah swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya
ia amatlah taat (kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Taubat itu mempunyai
tiga makna. Pertama, menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk tidak
kembali pada apa yang telah dilarang Allah swt.; dan ketiga adalah
menyelesaikan/membela orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Taubat adalah
menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada
suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah
terjadi atas dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan seorang pemuda,
dan ia bertanya tentang taubat kepadaku. Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah
bahwa engkau tidak melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan
mengatakan, ‘Taubat adalah justru engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.”
Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada dalam kondisi kering, lantas aku
dipindahkan ke kondisi dingin, maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah
kekeringan itu sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan
: “Sahl sedang memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru,
yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya orang-orang yang telah
mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi karena keagungan
Allah Swt. yang telah meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr)
kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar :
“Taubat kalangan awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum kahwash adalah
taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Taubat
adalah bahwa engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi
mengatakan : “Betapa besar perbedaan antara orang yang bertaubat dari dosa,
orang yang bertaubat dari kealpaan, dan orang yang bertaubat dari kesadaran
akan perbuatan baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Taubat sejati adalah
taubat yang tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku,
aku tidak akan mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku tidak kembali
kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak
bersumpah bahwa aku tidak aka berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui
kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang
diajukan dengan tidak disertai pencabutan dosa adalah taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal taubat, ia
menjawab : “Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya ketika
mengingatnya, itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi taubat
adalah bahwa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau
tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau merasakan jiwamu
terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa
mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya
saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.”
(Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis
taubat : Inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah
sang hamba bertaubat karena takut akan hukuman; dalam istijabah ia bertaubat
karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang
bertaubat membenci dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana
dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat tinggal yang
dijunjung tinggi oleh Allah karena taubat.” Dikatakannya pula, “Sungguh dunia
termasuk bagian dosa dengan amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari
penerimaan atas taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan :
“Taubat para pendusta berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi
ucapannya pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman
kepada Adam : “Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan
penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang berdoa dengan
sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku
akan membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam
keadaan gembira; doa mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah
: “Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi,
apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab oleh Rabi’ah,
“Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang membiarkan
dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik dengan menggelincirkan diri
sendiri. Tetapi apabila ia bertaubat, niscaya penerimaan taubatnya oleh Tuhan
diragukan, terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat bagi
penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu sebelum si pendosa
sampai pada satu titik dimana ia menjumpai tanda-tanda kecintaan Allah kepada
dirinya dalam sifatnya. Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya
telah melakukan suatu tindakan yang mengharuskan taubat, ialah bertaubat secara
sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih perbuatan odsa dan memohon
ampunan, sebagaimana tertuang dalam ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa
takut menjelang ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs.
Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah
beristighfar terus menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku
memohon ampunan Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu
Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu
penyelewengan saja sesudah bertaubat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh
penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya
firman-Nya : “Kepada-Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya
jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa,
seorang perdana Menteri, mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan
orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia? Siapakah ia? Seorang
wanita yang berdiri di sisi jalan menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan
, ‘Siapakah ia? Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari
perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan sebagaimana Anda
lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban wanita tersebut, ia kembali ke
rumahnya, seketika itu pula mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri,
lalu pergi ke Mekkah, dan menetaplah ia dikota suci itu