Bismillaahirrahmaanirrahiim
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan (kesusahan)” (QS ath-Thalaq [65]:7)
Tidak ada penderitaan dalam hidup ini, kecuali
orang yang membuat dirinya sendiri menderita.Tidak ada kesulitan sebesar dan
seberat apa pun di dunia ini, kecuali hasil daribuah pikirannya sendiri.
Terserah kita, mau dibawa ke mana kehidupan ini. Mau dibawa sulit, niscaya
segalanya akan menjadi sulit. Jika kita memilih jalan ini, maka silahkan,
persulit saja pikiran ini. Mau dibawa rumit pastilah hidup ini akan senantiasa
terasa rumit. Perumitlah terus pikiran kita bila memang jalan ini yang paling
disukai. Toh, semua akan tampak hasilnya dan, tidak bisa tidak, hanya kita
sendiri yang harus merasakan dan menaggung akibatnya.
Akan tetapi, sekiranya kehidupan yang terasa sempit menghimpit hendak
dibuat menjadi lapang, segala yang tampak rumit berbelit hendaknya dibuat
menjadi sederhana, dan segala yang kelihatannya buram, kelabu, bahkan pekat
gulita, hendaknya dibuat menjadi bening dan terang benderang, maka cobalah
rasakan dampaknya.
Ternyata dunia ini tidak lagi tampak mengkerut, sempit menghimpit, dan
carut marut. Memandang kehidupan ini terasa seperti berdiri di puncak menara
lalu menatap langit biru nan luas membentang bertaburkan bintang gemintang,
dengan semburat cahaya rembulan yang lembut menebar, menjadikan segalanya
tampak lebih indah, lebih lapang, dan amat mengesankan. Allahu Akbar!
Memang,
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun,
tetapi manusia itulah yang berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri” (QS
Yunus [11]:44).
Padahal Dia telah tegas-tegas memberikan jaminan melalui firman-Nya,
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (kesusahan)” (QS
ath-Thalaq [65]:7).
Kendalikan Suasana Hati
Kuncinya ternyata terletak pada keterampilan kita dalam mengendalikan
suasana hati. Bagaimana caranya? Salah satu cara yang paling efektif adalah,
manakala berhubungan dengan sesama manusia, jangan sekali-kali kita sibuk
mengingat-ingat kata-katanya yang pernah terdengar menyakitkan. Jangan pula
kita sibuk membayangkan raut mukanya yang sedang marah dan sinis, yang pernah
dilakukannya di hari-hari yang telah lalu.
Begitu hati dan pikiran kita mulai tergelincir ke dalam perasaan seperti
itu, cepat-cepatlah kendalikan. Segera, alihkan suasana hati ini dengan cara
mengenang segala kebaikan yang pernah dilakukannya terhadap kita, sekecil apa
pun. Ingat-ingatlah ketika ia pernah tersenyum kepada kita. Kenaglah jabat
tangannya yang begitu tulus atau rangkulannya yang begitu penuh persahabatan.
Atau, bukankah tempo hari ia pernah menawarkan untuk mengantarkan kita pulang
dengan motornya ketika kita tengah berdiri menunggu bis kota?
Pendek kata, ingat-ingatlah hanya hal-hal yang baik-baiknya saja, yang
dulu pernah ia lakukan, seraya memupus sama sekali dari memori pikiran kita
segala keburukan yang mungkin pernah ia perbuat.
Allah Azza wa Jalla sungguh Maha Kuasa membolak-balikkan hati
hamba-hamba-Nya. Kita akan kaget sendiri ketika mendapati hasilnya. Betapa
cepatnya hal ini berubah justru sesudah kita berjuang untuk mengubah segala
sesuatu yang buruk menjadi tampak baik.
Bertambah dewasa ternyata tidak cukup hanya dengan bertambahnya umur,
ilmu, ataupun pangkat dan kedudukan. Kita bertambah dewasa justru ketika mampu
mengenali hati dan mengendalikannya dengan baik. Inilah sesungguhnya kunci bagi
terkuaknya ketenangan batin.
Suatu ketika kita dilanda asmara, misalnya. Kalaulah tidak pernah mau
bertanya kepada diri sendiri, maka akan habislah kita diterjang oleh gelinjang
hawa nafsu. Demikian juga kalau kita sedang diliputi gejolak amarah. Sekiranya
tidak pernah mau mengendalikan hati, akan celakalah kita dibuatnya karena akan
menjadi orang yang berlaku aniaya terhadap orang lain.
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar memiliki waktu dan kesungguhan
untuk bisa memperhatikan segala gerak-gerik dan perilaku hati ini.
Jangan-jangan kita sudah tergelincir menjadi sombong tanpa kita sadari.
Jangan-jangan kita sudah memusnahkan pahala amal-amal yang pernah dilakukan
tanpa kita sadari. Jangan-jangan kita sudah termasuk orang yang gemar berlaku
zalim terhadap orang lain tanpa kita sadari.
Apabila ini terjadi, maka apalagi kekayaan yang bisa menjadi bekal
kepulangan kita ke akhirat nanti? Bukankah segala amal yang kita perbuat
itu-adakah ia tergolong amal salih atau amal salah-justru tergantung pada kalbu
ini?
Kita pergi berjuang, berperang melawan keangkaramurkaan, berkuah peluh
bersimbah darah. Tetapi, sepanjang bertempur hati menjadi riya, ingin dipuji
dan disebut pahlawan;tidakkah disadari bahwa amalan seperti ini di sisi Allah
kering nilainya, tidak ada harganya sama sekali?
Menjadi mubaligh, berceramah menyampaikan ajaran Islam. Didengar oleh
ratusan bahkan ribuan orang. Pergi jauh ke berbagai tempat, menghabiskan sekian
banyak waktu dan menguras tenaga serta pikiran. Namun, sama sekali tidak akan
ada harganya di sisi Allah kalau hati tidak ikhlas. Sekadar ingin dipuji dan
dihormati, sehingga merasa diri paling mulia, atau bahkan lebih fatal lagi,
karena motivasi sekadar untuk mendapat imbalan.
Berangkat haji, memakan waktu berpuluh hari dan menempuh jarak beribu
kilometer. Tubuh pun terpanggang matahari yang membakar dan berdesak-desakan
dengan berjuta-juta manusia. Tetapi, kalau tidak disertai niat karena Allah,
sekadar ingin dipuji karena mendapat embel-embel titel haji, maka
na’udzubillah, semua ini sama sekali tidak berharga di sisi Allah.
Mengapa pekerjaan yang telah ditebus dengan pengorbanan sedemikian besar
malah membuahkan kesia-siaan? Ternyata sebab-musababnnya berpangkal pada
kelalaian dan ketidakmampuan mengendalikan suasana hati. Sebab, sekali
seseorang beramal disertai riya, ujub, atau sum’ah (sekadar mencari
popularitas) , maka tidak bisa tidak, pikirannya hanya akan disibukkan oleh
persoalan tentang bagaimana caranya agar
manusia datang memujinya. Begitu pujian itu tidak datang, sertamerta
hati pun dilanda sengsara. Bila sudah begini, kapankah lagi dapat diperoleh
ketentraman hidup, selain sebaliknya, hari-harinya akan senantiasa digelayuti
perasaan resah, gelisah, kecewa, dan sengsara?
Niat yang Ikhlas
Oleh karena itu, sekiranya kita belum mampu melakukan amal-amal yang
besar, tidakkah lebih baik memelihara amal-amal yang mungkin tampak kecil dan
sepele dengan cara terus-menerus menyempurnakan dan memelihara niat agar
senantiasa ikhlas dan benar? Inilah yang justru akan dapat membuahkan
ketenangan batin, sehingga insya Allah akan
membuahkan pula suasana kehidupan yang sejuk, lapang, indah dan
mengesankan.
Mudah-mudahan dengan kesanggupan kita menyempurnakan dan memelihara
keikhlasan niat di hati tatkala mengerjakan amal-amal yang kecil tersebut,
suatu saat Allah Azza wa Jalla berkenan mengkaruniakan kesanggupan untuk mampu
ikhlas manakala datang masanya kita harus mengerjakan amal-amal yang lebih
besar.
Besar atau kecil suatu amalan yang dikerjakan dalam hidup ini, sekiranya
didasari hati yang ikhlas seraya diiringi niat dan cara yang benar, niscaya
akan melahirkan sikap ihsan. Yakni, kita akan selalu merasakan kehadiran Allah
dalam setiap gerak-gerik, sehingga dalam setiap denyut nadi ini, kita akan
selalu teringat kepada-Nya.
Inilah suatu kondisi yang akan membuat hati selalu merasakan kesejukan
dan ketentraman.
“Alaa bi dzikrillaahii tathma ‘inul qulub” (QS ar-Ra’d[13]: 28),
demikian Allah telah memberikan jaminan. Ingat, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tentram!
Demi Allah tidak ada pilihan lain. Kita harus senantiasa mewaspadai hati
ini. Jangan sampai diam-diam membinasakan diri justru tanpa kita sadari. Sudah
pahala yang didapat sedikit, hati pun tak bisa terkendalikan, sehingga semakin
rusaklah nilai amal-amal kita dari waktu ke waktu. Na’udzubillaah!
Dengan demikian, selain kita terbiasa mandi untuk membersihkan jasad
lahir, kita pun harus memiliki kesibukan untuk “memandikan” hati ini. Selain
kita makan untuk mengenyangkan perut, kita pun harus “menyantap” sesuatu yang
dapat membuat hati ini terisi. Selain kita berdandan untuk merapikan
penampilan, kita pun harus sibuk “bersolek” merapikan hati kita. Dan selain
kita rajin becermin untuk memperelok wajah, kita pun jangan lupa untuk
rajin-rajin pula “becermin” untuk memperelok hati.
Semua ini tiada lain agar kita memiliki kemampuan untuk senatiasa
menyelisik niat maupun perilaku buruk dan busuk yang, disadari ataupun tidak,
mungkin pernah kita perbuat. Itu akan lebih menolong daripada kita sibuk
mengintip-intip keburukan orang lain, yang berarti hanya menipu diri sendiri
belaka dan sama sekali tidak akan mendatangkan ketenangan batin.
Wallahu a’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar