Syekh Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyatul Auliya menuturkan bahwa
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: “Hafalkanlah lima hal dariku; yang
seandainya kalian mengendarai onta untuk mencarinya, pasti onta itu sudah
binasa sebelum kalian mendapatkannya; yaitu:
1)
Janganlah
seorang hamba mengharapkan selain kepada Rabb-nya.
2)
Janganlah
ia merasa takut kecuali kepada dosanya sendiri.
3) Jangan sampai orang bodoh merasa malu untuk bertanya
tentang sesuatu yang tidak ia ketahui.
4) Jangan sampai orang ‘alim merasa malu untuk mengatakan
‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’ tatkala ia ditanya tentang sesuatu yang
tidak ia ketahui.
5) dan kesabaran (bila dikaitkan dengan) iman adalah
bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, maka tidak ada keimanan bagi orang yang
tidak memiliki kesabaran.”
Pertama, Allah memerintahkan kita untuk bertawakal dan
berserahdiri secara total kepada ketentuan Allah, percaya dan yakin dengan
seyakin-yakinnya kepada janji dan jaminan-Nya. Kita memang diperintahkan oleh
Allah untuk berusaha dan berkarya namun takdir dan kuasa-Nya yang menentukan.
Imam Ali menasehatkan kita tentang sikap hidup zuhud kepada Allah, tidak
bergantung kepada selain Allah dan tidak berharap kepada makhluk-Nya. Yunus bin
Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata, “Kezuhudan di dunia itu bukan dengan
mengharamkan yang halal, tidak pula dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi
kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu kepada apa yang ada di tangan
Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada apa yang ada di tanganmu; jika
keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu ketika tidak tertimpa adalah
sama; dan jika orang yang mencelamu maupun menyanjungmu dalam kebenaran adalah
sama.” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Kedua, Allah memerintahkan kita untuk ber-muhasabah atas apa
yang telah kita lakukan, merenung dengan kesadaran batin atas amal dan dosa
yang pernah kita perbuat. Tobat adalah kunci untuk menyucikan batin, memotivasi
diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena, hanya dengan kesucian dan
kebersihan jiwa seseorang bisa merasakan kehadiran Allah dan mampu mendekatkan
diri kepada-Nya. Melalui sikap penyesalan diharapkan kita mampu mengubah dan
memperbaiki prilaku, serta berhijrah dari perbuatan buruk kepada perbuatan
baik.
Ketiga, keangkuhan, kesombongan dan kekerdilan sikap manusia kadang
menutupi kebodohannya sendiri. Padahal, ilmu sangat diperlukan untuk memahami
hakikat hidup dan kehidupan. Malu bertanya, tak mau belajar, tidak menghargai
ilmu dan sombong adalah hal yang sangat membutakan hati manusia. Agama tanpa
ilmu dan pengetahuan menjadi buta, tanpa makna. Kemampuan akademik, ilmu
pengetahuan, sains dan teknologi saja tak cukup, jika kita melupakan ilmu-ilmu
fardhu ‘ain yang wajib dikuasai oleh setiap Mukmin. Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya,
gemar mengumpulkan harta namun kikir, suka berteriak-teriak di pasar-pasar,
seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat
mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu sama sekali urusan akhirat.” (HR Ibnu
Hibban)
Keempat, meskipun manusia dibekali oleh akal dengan kecerdasan
yang beragam, namun manusia tetaplah manusia. Ia hanyalah makhluk yang
terbatas. Tak ada yang mutlak bagi manusia, semuanya nisbi. Ilmu manusia pasti
terbatas, sementara ilmu Allah tak terbatas. Seorang alim harus menyadari
kekurangan dirinya dan menyatakan kelemahan dan kekurangannya, serta berani
menunjukkan bahwa hanya Allah yang Mahabenar. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya tentang sesuatu
yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian saya katakan:
Allahu a’lam.” Diriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu
bertanya kepada beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya
ilmunya.” Beliau kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan
berkata, “(Inilah) sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia
ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak
punya ilmunya.” (HR Ad-Darimi)
Kelima, kesabaran adalah permata iman. Sabar memang menyakitkan
namun efek darinya lebih manis dari madu. Rasulullah pernah ditanya, “Bagian
manakah yang paling utama dari iman?” Beliau menjawab, “Kesabaran dan lapang
dada.” (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah). Dalam kesabaran mengandung
sikap berserahdiri, tawakal, takwa dan ridha kepada kehendak Allah, tak ikut
campur dengan urusan Allah dan takdir-Nya. Kesabaran justru menjadi etos kerja,
karena selalu bersifat husnudzan kepada Allah. Jadi, sabar bukan hanya nrimo
atau menerima, tetapi gerak dan langkah menjemput berkah dan rahmat-Nya.
Semoga Allah memberi kesadaran ruhani kepada kita dan mampu
mengambil hikmah dan ilmu dari lima nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar