Tahukah anda bahwa puasa Ramadhan
adalah ibadah yang sangat istimewa? Bukan saja karena Allah langsung yang
menilai dan membalasnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadits
qudsi. Tetapi juga karena perintah puasa dalam Al-Quran adalah satu-satunya
ayat perintah ibadah yang ditutup dengan kata la’allakum tattaqun, agar kalian
menjadi orang yang bertaqwa.
Puasa Ramadhan adalah jalan pintas untuk mendongkrak kualitas ketaqwaan
seorang muslim. Secara umum ia mempunyai tiga tingkatan : biasa, khusus (khas)
dan sangat khusus (khashul khawash).
Puasa biasa, adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan biologis
antara suami istri dalam jangka waktu tertentu. Adapun puasa khusus, adalah
menahan telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya
dari perbuatan maksiat. Sedangkan puasa sangat khusus, adalah puasa hati.
Maksudnya, menjaga hati dari lalai mengingat Allah SWT.
Puasa biasa adalah puasanya orang awam, atau muslim kebanyakan, yang
ukurannya adalah fiqih. Jika telah syarat dan rukunnya telah ditetapi, puasa
itu pun sah. Ini juga tidak salah. Karena memang standar keabsahan puasa yang
digunakan ulama fiqih diukur dengan kapasitas orang awam yang sering lalai,
mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sebagaimana disebutkan dalam kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani ketika
menerima surat dari langit. Dalam surat itu tertulis, “Sesungguhnya nafsu dan
syahwat diciptakan hanya bagi hamba Allah yang lemah, agar bisa tertolong dalam
melaksanakan ketaatan. Sedangkan hamba Allah yang kuat tidak sepatutnya lagi
memiliki syahwat.”
Sedangkan puasa khusus apalagi khasul khawas yang lazim dilakoni
orang-orang shalih, auliya dan para nabi tidak cukup hanya dengan memenuhi
ketentuan fiqih. Puasa peringkat kedua mempertimbangkan faktor akhlak dan
perilaku. Sedangkan pada peringkat ketiga ditambah dengan keistiqamahan
mengontrol hati dan pikiran.
Orang-orang dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila
hari-harinya hanya terisi dengan hal-hal yang mubah. Mereka juga merasa
bersalah jika membuang energinya selama puasa untuk memikirkan hal-hal yang
bersifat duniawi.
Berpuasa secara khusus, berarti melakoni beberapa fase latihan batiniah
yang sangat penting bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan sekaligus. Fase-fase tersebut dalam kajian tasawuf lazim disebut maqam
atau maqamat.
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi dalam Risalatul Qusyairiyyah membagi maqamat
tasawuf ke dalam 45 bagian. Beberapa maqamat Al-Qusyairi yang terkandung dalam
ibadah puasa antara lain mengosongkan perut, meninggalkan syahwat, mujahadah,
sabar, syukur, ikhlas, jujur, istiqamah dan taqwa.
Panah Beracun
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, berpuasa khusus, harus menetapi enam
persyaratan :
Pertama, tidak melihat segala yang dibenci Allah SWT atau yang dapat
membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah. Nabi Muhammad saw.
bersabda, “Pandangan adalah salah satu panah beracun milik setan yang terkutuk.
Barangsiapa menjaga pandangannya, karena takut kepada-Nya semata, niscaya Allah
ta’ala akan memberinya keimanan yang manis yang diperolehnya dari dalam hati.”
(HR. Al Hakim)
Jabir meriwayatkan dari Anas, Rasulullah SAW bersabda, “Ada lima hal yang
membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengumpat, menyebar isu (fitnah),
bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu.”
Kedua, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, dusta, umpatan, fitnah,
perkataan keji serta kasar, dan kata-kata permusuhan (pertentangan dan
kontroversi). Dan menggantinya dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak
dzikir dan membaca al-Qur’an. Inilah puasa lisan.
Said Sufyan berkata, “Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, ‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong’.”
Said Sufyan berkata, “Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, ‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong’.”
Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antara
kalian sedang berpuasa, jangan berkata keji. Jika ada orang yang menyerang atau
memakimu, katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa!’.” (HR Bukhari
Muslim).
Ketiga, menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela. Karena segala
sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Dalam
hukum Allah, mendengar yang haram sama dengan memakan yang haram. Firman Allah,
“Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tidak halal.” QS Al-Maidah
(5: 42).
Karena itu orang yang ingin puasanya bernilai khusus, sebaiknya berdiam
diri dan mengjauhkan diri dari pengumpat. Allah berfirman, “Jika engkau tetap
duduk bersama mereka, sungguh engkaupun seperti mereka …” QS An-Nisa’ (4: 140).
Ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW, “Yang mengumpat dan pendengarnya,
berserikat dalam dosa.” (HR At-Tirmidzi).
Keempat, menjaga kesucian setiap anggota badan dari yang syubhat, apalagi
yang haram. Perut, misalnya, harus dijaga dari makanan yang diragukan
kehalalannya (syubhat). Puasa tidak berguna bila dilakukan dengan menahan diri
dari memakan yang halal, tapi berbuka dengan makanan haram.
Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak
mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga!” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Kelima, menghindari makan berlebihan. Tidak ada kantung yang lebih dibenci
Allah SWT selain perut yang dijejali makanan halal. Di antara manfaat puasa
adalh untuk mengalahkan syetan dan mengendalikan hawa nafsu. Bagaimana itu akan
tercapai, bila saat berbuka perut dijejali secara berlebihan.
Hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang dipergunakan setan untuk
mengajak umat manusia ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting
(esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan
dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Bahkan
dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan
semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian
jiwa.
Harap-harap Cemas
Barangsiapa telah “meletakkan” kantung makanan di antara hati dan dadanya,
lanjut Imam Ghazali, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meski perut
kosong, belum tentu hijab yang terbentang antara dirinya dengan Allah akan
terangkat, kecuali jika telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan
mengingat kepada Allahc semata.
Keenam, menuju kepada Allah SWT dengan rasa takut dan pengharapan. Setelah
berbuka puasa, seyogyanya hati terayun-ayun antara khauf (takut) dan raja’
(harap). Karena tidak ada seorang yang mengetahui, apakah puasanya diterima
ataukah tidak. Tidak hanya puasa, pemikiran tersebut seharusnya juga selalu ada
setiap kali selesai melaksanakan suatu ibadah.
Suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak.
Suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak.
Imam Hasan al-Bashri yang melihat hal itu lalu berkata, “Allah SWT telah
menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana hamba-hamba-Nya
berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih
dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah.
Sungguh menakjubkan aku mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak
bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh
kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila
hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan
baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang
diperbuatnya.”
Saat itu manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang
yang ditolak akan tertutup baginya kesempatan bergelak tawa.
Dari al-Ahnaf bin Qais, suatu ketika seseorang berkata kepadanya, “Engkau
telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu.” Al-Ahnaf pun menjawab, “Dengan
berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang.
Bersabar dalam menaati Allah SWT, tentu lebih mudah daripada menanggung siksa
Nya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar