Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam
karyanya Sirr al-Asrar menyatakan bahwa bila seseorang
berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti
perutnya yang dikosongkan dari makan dan minum. Jadi harus ada keseimbangan
antara puasa dari sisi syariat, dan puasa dari sisi ruhani.
Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa: biasa,
khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri
terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka
waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga
anggota badan lainnya dari berbuat dosa.
Sedang puasa yang sangat khusus,
maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara
yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat.
Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara
duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa yang dilakukan dengan
mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah
pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak
termasuk pada yang bersifat duniawi.
Mereka yang masuk ke dalam tingkatan
puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan
hal hal yang dapat membatalkan puasa. Rasa berdosa ini bermula dari rasa
takyakin terhadap karunia sertajanji Allah swt. untuk mencukupkan (dengan)
rezeki Nya.
Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya. Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).
Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya. Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).
Syarat-syarat Batin
Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Puasa dalam pandangan para sufi ini
memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami
ibadah bukan sebagai perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara
hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini.
Kita sebagai manusia kebanyakan tentu
masih sulit melakukan puasa dalam pandangan para sufi ini. Hanya
orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan
tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada
yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama.
Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan
dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
Puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan harus pula memenuhi keenam syaratnya :
1. Tidak Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu
yang dicela (makruh), atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari
mengingat Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, "pandangan adalah salah
satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah.
Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya, niscaya
Allah swt. akan memberinya keimanan, sebagaimana rasa manis yang diperolehnya
dari dalam hati. " (H.r. al Hakim, hadis shahih). Jabir meriwayatkan dari
Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan
puasa seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu
dan memandang dengan penuh nafsu."
2. Menjaga Ucapan
2. Menjaga Ucapan
Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia,
berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan
kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak
berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca [mengkaji] al-Qur'an. Inilah
puasa lisan. Said Sufyan berkata, "Sesungguhnya mengumpat akan merusak
puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, 'Ada dua hal yang merusak puasa,
yaitu mengumpat dan berbohong."
Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari Muslim).
Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari Muslim).
3. Menjaga Pendengaran
Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela;
karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk
didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka
mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al
Qur'an Allah swt. berfirman, "Mereka gemar mendengar kebohongan dan
memakan yang tiada halal." (Q.s. 5: 42).
Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, "Mengapa para rabbi
dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan
memakan barang terlarang?" (Q.s. 5: 63).
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt.
berfirman dalam wahyu Nya, 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh,
engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Rasulullah
saw. mengatakan, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam
dosa." (H.r. at Tirmidzi).
4. Menjaga Sikap Perilaku
Menjaga semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari
perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan
kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa
bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal dan hanya berbuka
dengan makanan haram. Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang
membangun istana, tetapi merobohkan kota. Makanan yang halal juga akan
menimbulkan kemudharatan, bukan karena mutunya tetapi karena jumlahnya. Maka
puasa dimaksudkan untuk mengatasi hal tersebut. Karena didera kekhawatiran,
atau karena sakit yang berkepanjangan, seseorang dapat memakan obat secara
berlebihan.
Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.
Bersabda Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.
Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.
Bersabda Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.
5. Menghindari Makan Berlebihan
Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya
menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain
perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal. Dapatkah puasa bermanfaat
sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila
kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari?
Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang
justru di hari-hari biasa tidak tersedia.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Oleh karena itu, barangsiapa telah "meletakkan" kantung makanan di
antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun
perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara
dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya
dengan mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya,
dan titik mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.
6. Menuju kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
6. Menuju kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
Terimakasih pak, atas ilmunya
BalasHapus