Jumat, 11 September 2015

KULIAH DZIKIR SYEKH IBNU ATHAILLAH

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (1)

Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan:

"Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (2)

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (3)

Setiap dzikir memiliki pengaruh tertentu. Jika kita sibuk dengan dzikir, pasti akan diberi yang lebih tinggi darinya. Dzikir yang disertai kesiapan akan bisa membuka tirai, tapi hal itu disesuaikan dengan kondisi orang yang melakukannya.
Menurut Imam Ghazali, hakikat dzikir adalah berkuasanya Allah di dalam kalbu disertai kesirnaan dzikir itu sendiri. Tapi, dalam pandangannya, dzikir memiliki tiga kulit atau lapisan yang salah satunya lebih dekat kepada inti (lubb) daripada yang lainnya. Inti (lubb) tersebut berada di balik tiga kulit tadi. Kulit-kulit itu adalah sebagai jalan menuju inti (lubb). Kulit yang paling luar adalah dzikir lisan semata.
Seorang pedzikir selalu mengaplikasikan dzikir lewat gerakan lisan disertai usaha menghadirkan kalbu. Karena, kalbu perlu penyesuaian dengan lisan agar sanggup hadir dalam dzikir. Jika dibiarkan, ia akan sibuk dengan berbagai imajinasi yang melintas. 
Kondisi ini baru berakhir ketika kalbu mengikuti lisan serta cahayanya membakar syahwat dan setan. Saat itulah dzikir kalbu menguat, sementara dzikir lisan mulai melemah. Seluruh organ dan semua sisi tubuhdipenuhi cahaya, kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan, terputus dari berbagai bisikan, dan setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya. Dengan begitu, kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah, serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah. Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu dan menyebar di seluruh organ tubuh, maka semua organ itu pun berdzikir sesuai dengan kondisinya.

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (4)

Al-Jurairi menuturkan, “Salah seorang sahabat kami selalu mengucap Allah, Allah. Lalu pada suatu hari, kepalanya terkena batang pohon hingga pecah dan mengucurkan darah. Dari darah itu kemudian tertulis di atas tanah lafal Allah, Allah.” 

Dzikir laksana api yang bekerja secara aktif dan memberikan pengaruh. Ketika masuk ke dalam sebuah rumah, dzikir itu akan berucap, “Aku, tidak ada lagi selainku.” Itulah makna ungkapan la ilaha illa Allah. Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, dzikir tersebut akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang. 
Jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.
Dzikir berfungsi menghilangkan endapan berlebih dalam tubuh yang diakibatkan oleh makan berlebihan dan mengkonsumsi barang haram. Saat endapan kotor itu terbakar sehingga hanya yang baiklah yang bertahan, barulah ia bisa mendengar senandung dzikir dari semua organ tubuhnya. Suara dzikir itu seperti tiupan terompet. Pertama-tama, ia jatuh di sekitar kepala sehingga kau akan mendengar suara seperti terompet.
Dzikir adalah penguasa, jika singgah di suatu tempat, ia akan singgah dengan membawa terompet itu. Sebab, dzikir menghadang apa saja selain al-Haq. Ketika menempati suatu tempat, ia akan sibuk melenyapkan segala sesuatu yang menjadi lawannya laksana air bertemu api. Lalu, akan terdengar berbagai macam suara seperti desir air, deru angin, golakan api, derap kuda, dan suara dedaunan tertiup angin. Sebab, struktur tubuh manusia terdiri dari unsur mulia dan hina. Unsur yang hina meliputi tanah, air, api, udara, bumi dan langit, serta segala yang berada di antara keduanya. Jadi, semua suara itu berasal dari seluruh unsur asli di atas. Ketika suara itu terdengar, berarti ia sedang bertasbih dan mensucikan Allah dengan lisannya. Itulah hasil dari dzikir lisan yang optimal. 
---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (5)

Boleh jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah). 
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, berarti masih ada hijab.

Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya. 
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya. 

---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (6)

Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahut tampak jelas di hadapannya. 

Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy) tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal.”

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (7)

Sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (8)

Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah terwujuddengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu. 
Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (9)

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (10)
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan mengeluarkan mereka.
Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah



Sabtu, 05 September 2015

KIBLAT CINTA

MELURUSKAN KIBLAT CINTA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan:
“Jika Allah telah memberi harta benda kepada engkau, lalu kau sibuk dengannya dan melupakan ketaatan kepada Allah SWT, maka Dia akan membuat penghalang antara engkau dan Dia dengan harta benda tersebut di dunia dan akhirat. 
Boleh jadi, Allah SWT akan mencabut harta benda itu darimu, mengubah nasibmu dan membuatmu menjadi miskin karena engkau telah disibukkan dengan nikmat benda dan melupakan Dzat Yang Maha Memberi.
Namun, jika engkau sibuk dengan ketaatan kepada-Nya dan melupakan harta benda itu, Allah SWT akan menjadikannya sebagai pemberian, serta tak akan mengurangi sedikit pun dari harta itu.
Harta tersebut akan menjadi pelayanmu dan engkau akan menjadi pelayan bagi Rabbmu. Akhirnya, engkau pun akan hidup di dunia ini dalam keadaan berkecukupan dan dimanjakan oleh kebutuhan yang terpenuhi. Dan, di akhirat kelak akan diberikan kemuliaan dan ditempatkan di Surga Ma’wa bersama Shiddiqiin, syuhada dan orang-orang yang shaleh.”
----Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib.

Selasa, 01 September 2015

AKAR MAKSIAT DAN PENGARUHNYA


AKAR MAKSIAT DAN PENGARUHNYA:

Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan dosa, maka terbentuklah noda hitam dalam hatinya. Jika ia melepaskan dosa, istighfar dan taubat, bersihlah hatinya. Ketika mengulangi dosa lagi, bertambahlah noda hitamnya, sehingga menguasai hati. Itulah Roon (rona) yang disebutkan dalam Al-Quran, Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (HR At-Tirmidzi).

Maksiat dan dosa mempunyai pengaruh yang sangat dahsyatdalam kehidupan umat manusia. Bahayanya bukan hanya berpengaruh di dunia tetapi sampai dibawa ke akhirat. Bukankah Nabi Adam a.s. dan istrinya Siti Hawwa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia karena dosa yang dilakukannya? Dan demikianlah juga yang terjadi pada umat-umat terdahulu

Disebabkan karena dosa, penduduk dunia pada masa Nabi Nuh a.s. dihancurkan oleh banjir yang menutupi seluruh permukaan bumi. Karena maksiat, kaum
Aad diluluhlantakkan oleh angin puting beliung. Karena ingkar pada Allah, kaum Tsamud ditimpa oleh suara yang sangat keras memekakkan telinga sehingga memutuskan urat-urat jantung mereka dan mati bergelimpangan. Karena perbuatan keji kaum Luth, buminya dibolak-balikkan dan semua makhluk hancur, sampai malaikat mendengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian diteruskan dengan hujan bebatuan dari langit yang melengkapi siksaan bagi mereka. Dan kaum yang lain akan mendapatkan siksaan yang serupa. Jika tidak terjadi di dunia, maka di akhirat akan lebih pedih lagi. (Al-Anam: 6)

Akar Kemaksiatan

Semua kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia, baik yang besar maupun yang kecil, bermuara pada tiga hal. Pertama; terikatnya hati pada selain Allah, kedua; mengikuti potensi marah, dan ketiga; mengikuti hasrat syahwat. Ketiganya adalah syirik, zhalim, dan keji. Puncak seseorang terikat pada selain Allah adalah syirik dan menyeru pada selain Allah. Puncak seseorang mengikuti amarah adalah membunuh; dan puncak seseorang menuruti syahwat adalah berzina. Demikianlah Allah swt. menggabungkan pada satu ayat tentang sifat
Ibadurrahman, Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Al-Furqaan: 68)

Dan ciri khas kemaksiatan
 itu saling mengajak dan mendorong untuk melakukan kemaksiatan yang lain. Orang yang berzina maka zina itu dapat menyebabkan orang melakukan pembunuhan; dan pembunuhan dapat menyebabkan orang melakukan kemusyrikan. Dan para pembuat kemaksiatan saling membantu untuk mempertahankan kemaksiatannya. Setan tidak akan pernah diam untuk menjerumuskan manusia untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Setan senantiasa mengupayakan tempat-tempat yang kondusif untuk menjadi sarang kemaksiatan.

Oleh karena itu agar terhindar dari jebakan kemaksiatan,
 manusia harus melakukan lawan dari ketiganya, yaitu: pertama; menguatkan keimanan dan hubungan hati dengan Allah swt. dengan senantiasa mengikhlaskan segala amal perbuatan hanya karena Allah. Kedua; mengendalikan rasa marah, karena marah merupakan pangkal sumber dari kezhaliman yang dilakukan oleh manusia. Dan ketiga; menahan diri dari syahwat yang menggoda manusia sehingga tidak jatuh pada perbuatan zina.

Pengaruh Maksiat

Seluruh manusia mengakui bahwa kesalahan yang terkait dengan hubungan antar manusia di dunia secara umum dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Orang-orang yang membabat hutan hingga gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan, longsor, dan kebanjiran. Sopir yang mengendalikan mobilnya secara ugal-ugalan dan melintasi rel kereta yang dilalui kereta, berakibat sangat parah, ditabrak oleh kereta. Orang yang membunuh orang tanpa hak, maka dia akan senantiasa dalam kegelisahan dan penderitaan. Orang yang senantiasa bohong, hidupnya tidak akan merasa tenang.
Dan pada dasarnya pengaruh kesalahan, dosa, dan kemaksiatan bukan saja yang terkait antar sesama manusia, tetapi antara manusia dengan Allah. Siapakah orang yang paling zhalim, ketika mereka diberi rezki oleh Allah dan hidup di bumi Allah kemudian menyekutukan Allah, tidak mentaati perintah-Nya, dan melanggar larangan-Nya. Jika kesalahan yang dibuat antar sesama manusia akan menimbulkan bahaya, maka kesalahan akibat tidak melaksanakan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya, maka akan lebih berbahaya lagi, di dunia sengsara dan di akhirat disiksa.
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Beberapa pengaruh maksiat diantaranya:

1. Lalai dan keras hati

Al-Qur
an menyebut bahwa orang-orang yang bermaksiat hatinya keras membatu. Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ma-idah: 13)
Berkata Ibnu Mas
ud r.a., Saya menyakini bahwa seseorang lupa pada ilmu yang sudah dikuasainya, karena dosa yang dilakukan.
Orang yang banyak berbuat dosa, hatinya keras, tidak sensitif, dan susah diingatkan. Itu suatu musibah besar. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa orang yang senantiasa berbuat dosa, hatinya akan dikunci mati, sehingga keimanan tidak dapat masuk, dan kekufuran tidak dapat keluar.

2. Terhalang dari ilmu dari rezeki

Rasulullah saw. bersabda,
Sesungguhnya seorang hamba diharamkan mendapat rezeki karena dosa yang dilakukannya (HR Ibnu Majah dan Hakim)
Berkata Imam As-Syafi
i, Saya mengadu pada Waqii tentang buruknya hafalanku. Beliau menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Orang yang banyak melakukan dosa waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang sepele dan tidak berguna. Tidak untuk mencari ilmu yang bermanfaat, tidak juga untuk mendapatkan nafkah yang halal. Banyak manusia yang masuk dalam model ini. Banyak yang menghabiskan waktunya di meja judi dengan menikmati minuman haram dan disampingnya para wanita murahan yang tidak punya rasa malu. Sebagian yang lain asyik dengan hobinya. Ada yang hobi memelihara burung atau binatang piaraan yang lain. Sebagian lain, ada yang hobi mengumpulkan barang antik meski harus mengeluarkan biaya tak sedikit. Sebagian yang lain hobi belanja atau sibuk bolak-balik ke salon kecantikan. Seperti itulah kualitas hidup mereka.

3. Kematian hati dan kegelapan di wajah

Berkata Abdullah bin Al-Mubarak,
Saya melihat dosa-dosa itu mematikan hati dan mewariskan kehinaan bagi para pelakunya. Meninggalkan dosa-dosa menyebabkan hidupnya hati. Sebaik-baiknya bagi dirimu meninggalkannya. Bukankah yang menghancurkan agama itu tidak lain para penguasa dan ahli agama yang jahat dan para rahib.
Sungguh suatu musibah besar jika hati seseorang itu mati disebabkan karena dosa-dosa yang dilakukannya. Dan perangkap dosa yang dikejar oleh mayoritas manusia adalah harta dan kekuasaan. Mereka mengejar harta dan kekuasaan seperti laron masuk ke kobaran api unggun.
Tanda seorang bergelimangan dosa terlihat di wajahnya. Wajah orang-orang yang jauh dari air wudhu dan cahaya Al-Qur
an adalah gelap tidak enak dipandang.

4. Terhalang dari penerapan hukum Allah

Penerapan hukum Allah berupa syariat Islam di muka bumi adalah rahmat dan karunia Allah dan memberikan keberkahan bagi penduduknya. Ketika masyarakat banyak yang melakukan kemaksiatan, maka mereka akan terhalang dari rahmat Islam tersebut. (Lihat Al-Maa-idah: 49 dan Al-A
raaf: 96)

5. Hilangnya nikmat Allah dan potensi kekuatan

Di antara nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan dan kemenangan. Sejarah telah membuktikan bahwa pertolongan Allah dan kemenangan-Nya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Sebaliknya, kekalahan dan kehancuran disebabkan karena maksiat dan ketidaktaatan.
Kisah Perang Uhud harus menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman. Ketika sebagian pasukan perang sibuk mengejar harta rampasan dan begitu juga pasukan pemanah turun gunung ikut memperebutkan harta rampasan. maka terjadilah musibah luar biasa. Korban berjatuhan di kalangan umat Islam. Rasulullah saw. pun berdarah-darah.
Kisah penghancuran Kota Baghdad oleh pasukan Tartar juga terjadi karena umat Islam bergelimang kemaksiatan. Khilafah Islam pun runtuh, selain dari faktor adanya konspirasi internasional yang melibatkan Inggris, Amerika Serikat, dan Israel, karena umat Islam berpecah belah dan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Umar bin Khattab berwasiat ketika melepas tentara perang:
Dosa yang dilakukan tentara (Islam) lebih aku takuti dari musuh mereka. Sesungguhnya umat Islam dimenangkan karena maksiat musuh mereka kepada Allah. Kalau tidak demikian kita tidak mempunyai kekuatan, karena jumlah kita tidak sepadan dengan jumlah mereka, perlengkapan kita tidak sepadan dengan perlengkapan mereka. Jika kita sama dalam berbuat maksiat, maka mereka lebih memiliki kekuatan. Jika kita tidak dimenangkan dengan keutamaan kita, maka kita tidak dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.

Oleh karena itu umat Islam dan para pemimpinnya harus berhati-hati dari jebakan-jebakan cinta dunia dan ambisi kekuasaan. Jauhi segala harta yang meragukan apalagi yang jelas haramnya. Karena harta yang syubhat dan meragukan, tidak akan membawa keberkahan dan akan menimbulkan perpecahan serta fitnah. Kemaksiatan yang dilakukan oleh individu, keluarga, dan masyarakat akan menimbulkan hilangnya nikmat yang telah diraih dan akan diraih. Dan melemahkan segala potensi kekuatan.

KONSEP ZUHUD

Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT. Sebagaimana yang di ungkapkan ulama:
مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ
Ma Qalla amalun baraza Min qalbin Zaahidin
(tidak ada amalan kecil yang lebih mulya dari dalam hati seorang yang menjauhi dunia, melainkan berbuat zuhud).


Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah.

Itu karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbol-symbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah al-nasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau. Seperti dalam al-quran disebutkan:
إِعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ……
Konsep ini sejajar dengan:
اَلدُّنْياَ مَزْرَعَةُ اْلاَخِرَةِ
Dunia sebagai ladang(bekal) di akhirat kelak, difahami bahwa tidak ada keindahan dan ketenangan hakiki melainkan merasa indah dan tenang dengan kenikmatan hidup dalam keadaan iman dan Islam dengan zuhud sebagai pegangan. Orang-orang ini, niscaya dalam hidupnya akan semakin dekat dengan khalik sang pencipta, sebagaimana hadist rasul SAW:
مَنِ ازْ دَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًا لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ اِلاَّ بُعْدًا
(Barangsiapa yang di anugerahi ilmu oleh Allah, akan tetapi tidak semakin bertambah ke-zuhud-annya, maka sejatinya orang yang seperti ini bukan bertambah melainkan semakin jauh dari jalan tuhan-Nya).

Seseorang yang secara lahir sukses dalam mempertahankan gelar akademiknya, cemerlang dalam setiap usahanya, dan bertambah keilmuan apabila melihat jam tayangnya(baca: sebagai penceramah;da
i), akan tetapi selalu melakukan perbuatan yang melanggar syariat, tidak ada keinginan untuk mengurangi perbuatan buruk dan segera memohon taubat kepada-Nya, maka yang demikian ini bukan dekat dengan Tuhannya melainkan semakin jauh dari jalan hidayah Allah SWT.

Orang-orang zuhud
 selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan dan majlis-majlis yang penuh dengan kemungkaran, dan selalu berusaha melakukan amaliyah yang hanya diredhoi Allah SWT, seperti yang dijelaskan oleh ulama:
مَنْ عَمِلَ اْلاَخِرَةَ كَفَاهُ اللهُ أَمْرَ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ
Man Amila al-Aakhirat Kafahu Allah amra Diinihi Wa Dunyahu.

Artinya:
Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan soleh(bermanfaat untuk akhirat), Maka akan Allah cukupkan segala urusan agama dan dunia-nya.

Golongan ini, selalu berusaha dalam melaksanakan segala kewajibannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, karena segala kenikmatan yang ada di dunia ini, besok akan di mintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat,

Sebagaimana dalam surah At-takasur ayat 8 dinyatakan:
ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Dalam surah lain,an-Naziat ayat 37-39 di jelaskan:
فَأَمَّا مَنْ طَغىَ , وَءَاثَرَ الحْيَوَةَ الدُّنْيَا , فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى
Adapun orang yang melampaui batas,Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).

Dalam redaksi yang berbeda juga disebutkan:
مَنْ أَرَادَ اَنْ يَشْرِفَ فِى الدُّنْياَ وَاْلاَخِرَةِ فَلْيَخْتَرِ اْلاَخِرَةَ عَلىَ الدُّنْيَا اَلْفِتْنَةَ
Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki kemulyaan di dunia serta kebahagiaan di akhirat, maka mereka akan memilih kemulyaan akhirat dan menjauhi dari kenikmatan sesaat di dunia dengan segala bentuk kemaksiatan, kejahatan dan fitnah yang merajalela.

Hal ini, seandainya mereka diberi kebahagiaan sebagai orang-orang diberi kelebihan rezeki waktu di dunia, maka dengan segera akan menginfaqkan, bersedekah dengan tujuan untuk menggapai ketaatan kepada-Nya, untuk menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan bujukan iblis dan bala tentaranya, secara rinci dijelaskan oleh ulama:
إِنَّ الزُّهْدَ لَيْسَ عِبَارَةُ عَنْ أَخْلاَءِ الْيَدِ عَنِ الْمَالِ بَلْ هُوَ أَخْلاَءُ الْقَلْبِ عَنِ التَّعَلُّقِ بِهِ
Artinya:
Yang di namakan zuhud itu bukan ibarat orang yang menyembunyikan tangannya dari harta benda(uang, jabatan,wanita), akan tetapi zuhud yaitu menyembunyikan dari perkara yang dapat mengakibatkan kemadharatan atas segala tipu daya dunia yang fana, orang zuhud dalam hatinya terbebas dari sesuatu yang bersifat unsur duniawi, hatinya selalu condong kepada dzat Allah, melaksanakan ketaatan dan dunia hanya dijadikan sebagai perantara untuk menggapai ridho-Nya.

Dalam surah Taha ayat 131 dijelaskan:
وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلىَ مَامَتَّعْنَابِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّأَبْقَى
131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.

Pengertian zuhud secara lebih luas, sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia secara keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi hanya sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang suami atas anak dan istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar kelak besok lepas dari pertanggung jawaban di akhirat. Hal ini dijelaskan dalam surah al-Qashash ayat 77:

وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتَكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِى اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Selain itu juga dijelaskan dalam hadits:
إِعْمَلْ لِدُنْياَكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِأَخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
Artinya:
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk persediaan akhiratmu, seakan-akan engkau mati besok.

Dalam tasawuf, seorang hamba yang lagi menjalankn perintah harus selalu merasa bahwa dirinya sedang benar-benar berdiskusi kepada Allah, kalau tidak boleh menghadirkan hati maka seyogyanya dalam hatinya sadar bahwa segala apapun aktivitasnya sedang dalam pantauan yang MahaKuasa, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan Sayyidina Umar, beliau mendengar rasulullah SAW bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya:
Ketika menyembah kepada-Nya seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu untuk yang demikian(melihat-Nya), maka sesungguhnya Dia(Allah)selalu melihatmu.
Hadist ini bukan saja berlaku di saat kita melakukan ibadah(shalat)saja, akan tetapi dalam semua aktifitas kita di luar shalat pun, seseorang yang zuhud merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Dengan demikian ilmu tasawuf sebagai satu wasilah(jembatan penghubung) yang mampu memberikan effect positif kepada pengamalnya berdasarkan haluan yang telah digariskan dalam syariah Islam, seperti ungkapan Imam Asy-Sya
rani bahwa tasawuf merupakan ilmu yang dapat muncul dari hati yang bersih, dan tiada tergores sedikitpun di dalamnya. Satu hal yang paling penting dalam mempelajari ilmu ini, seperti yang telah di uraikan oleh Imam Malik, bahwa seseorang yang belajar ilmu fiqih(syariat) tanpa mempelajari tasawuf (hakikat), maka ia fasiq. Demikian juga sebaliknya seseorang yang ber-tasawuf(hakikat),tanpa mendalami ilmu fiqih (syariat), maka ia kafir zindiq, artinya kita harus amalkan kedua-duanya antara syariat dan hakikat.
Akhiran, mari kita sama-sama menghayati makna zuhud yang kemudian semoga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Amin.