Selasa, 31 Mei 2016

JANGAN PERNAH MENANTANG ALLAH



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Betapa hebatnya engkau, jika kau berani marah kepada Allah dan berburuk sangka kepada-Nya, berani menantang-Nya, menganggap-Nya telah lambat dalam memberikan rezeki, kekayaan, menghilangkan kesulitan dan musibah. Berani-beraninya, kau beranggapan seperti itu?!

Apakah engkau tidak tahu bahwa setiap masa itu telah ditentukan dalam buku catatan-Nya? Apakah engkau tidak tahu bahwa setiap bertambahnya ujian dan kesulitan, maka akan semakin tinggi pula tujuanmu dan kemungkinan tercapainya. Ketentuan ini tidak dapat didahulukan atau diakhirkan. Waktu tibanya kesengsaraan tidak dapat dibalik menjadi kesenangan.Keadaan fakir tidak dapat diubah menjadi kaya. Semuanya tidak ditentukan oleh dirimu, tapi hanya Dialah yang Maha Berkuasa.
Maka, berbaikilah tata krama dan adabmu di hadapan-Nya. Bersikaplah diam, ridha, dan muwafaqah (menyesuaikan diri) kepada Allah SWT. Bertobatlah kepada-Nya atas sikap marahmu kepada-Nya dan atas prasangka burukmu terhadap takdir-Nya.
Allah SWT adalah Dzat Yang Tunggal, Esa, dan Maha Bersendirian sejak zaman azali, Dia Maha Ada sebelum segala sesuatu ada. Dialah yang menciptakan segala sesuatu, dan menciptakan semua manfaat dan madharat. Dia Yang Mahatahu tentang permulaan perwujudan, penghilangan, penghancuran dan akhir dari segala sesuatu. Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dalam takdir-Nya dan Mahayaqin dalam semua ciptaan-Nya. Tidak ada penentangan dalam ketentuan-Nya.
Dia tidak menciptakan sesuatu yang tidak ada gunanya, atau tak ada artinya dan juga tidak main-main dalam ketentuan-Nya. Tidak diperbolehkan adanya hal-hal yang bertentangan dan celaan terhadap semua ketentuan-Nya. Maka, tunggulah masa yang lapang, jika engkau tidak mampu untuk muwafaqah (menyesuaikan diri) dengan takdir-Nya, tidak mampu untuk ridha dan tidak merasa cukup atas ketentuan-Nya, hingga datangnya masa yang telah ditentukan Allah. Waktu malam telah habis dan berubah menjadi siang. Jika engkau mencari cahaya siang dan cahaya malam di antara waktu Magrib dan Isya, maka pasti tidak akan diberi, karena hanya kegelapan malamlah yang bertambah. Begitu juga jika engkau menginginkan cahaya malam, saat matahari telah terbit, maka permintaanmu pasti tidak akan dikabulkan.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futhul GhuyubA

Senin, 30 Mei 2016

ENAM KEGAGALAN MENGENAL ALLAH


Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah menjelaskan tentang 6 aspek kegagalan manusia dalam mengenal Allah. Bahkan, menurutnya, meski pernyataan Al-Quran telah sangat jelas, namun masih banyak orang yang karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut.Diantara beberapa penyebab kebodohan dan kegagalan mereka adalah:

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan dan pemikiran, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada yang menyebutnya dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan bermanfaat sedikit pun.
Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah begitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.
Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beribadah atau tidak.” Pikiran mereka itu seperti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, "Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."
Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, tetapi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah berfirman, “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.”
Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya.” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

Kelima, kelompok orang yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras. 
Meski Alquran mengatakan: “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.” (Q. 53: 39).

Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya.
Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi – manusia paling mulia – pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.

==-Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah==

MENGENALI HAKIKAT DIRI



“Wahai Saudaraku yang mulia!
Apa sebenarnya yang membuatmu tidak mengesakan Allah SWT dengan tauhid hakiki (tauhid al-haqiqi), yang merupakan benteng Allah yang hakiki? 
Padahal, Dia menciptakan tubuhmu dalam bentuk yang terbaik (ahsan taqwîm), dan menciptakan (jiwa) engkau dalam shûrah (rupa lahiriah) yang indah. Engkau adalah al-ashl (sumber), dan engkau adalah keseluruhan (al-kull). Di dalam dirimu terdapat segalanya, dan darimu segalanya terwujud.

Takutlah engkau dari melupakan dzatmu! Karena, tidak ada sesuatu pun yang mencakup Al-Haqq, kecuali engkau, dan tiada sesuatu pun yang mampu memikul amanat selain dirimu. Dia benar-benar telah berfirman kepadamu, “Bumi-Ku dan langit-Ku tidak mampu meliputi (diri)-Ku, dan yang mencakupnya adalah hati hamba-Ku yang beriman.” (Hadis Qudsi)
Dia (Allah) SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya engggan memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”(QS al-Ahzâb [33]: 72)
Apabila engkau tidak mengetahui kapasitas diri-mu, maka engkau telah berbuat zalim terhadapnya. Maka, engkau telah merendahkannya di bawah kedudukan yang semestinya bagimu. Sebab, kedudukanmu itu agung, dan martabatmu itu mulia. Ia adalah dzat (esensi) bagi sifat-sifat.”
--Mukaddimah Kitab Jauharul-Haqa’iq karya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani (w.1630)
TENTANG SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI
Syekh Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama Nusantara yang sangat dihormati di zamannya. Beliau sangat dikagumi oleh Ar-Ranini. Beliau pernah berguru pada Syekh Hamzah Fansuri. Ada juga pendapat menyebut bahwa dirinya pernah belajar daripada Sunan Bonang. Sungguh, di zamannya, karya-karya tasawuf telah menjadi pembahasan ulama-ulama Nusantara. Mereka menguasai khazanah pemikiran Islam, filsafat, tasawuf/tarekat dari sumbernya original. Dari karyanya, kita bisa mengenalan kedalaman ilmu dan makrifatnya.

Sayangnya, gairah ilmu dan tasawuf di zamannya terputus dari akarnya, apalagi setelah kedatangan penjajah di Tanah Nusantara. Akhirnya, kesalahan penafsiran, penyelewengan makna dan sejarah telah mempengaruhi intelektual Muslim. Pemikiran orientalis telah merusak sendi-sendi intelektual leluhur kita. Mereka salah kaprah dan memprovokasi umat dengan menganggap ajaran tasawufnya sesat, padahal justru karena kerendahan ilmu mereka sendiri dalam menilai.
Akhirnya, khazanah Islam ini tetap terpendam di ruang-ruang perpustakaan Belanda, Inggris, Prancis dan lainnya, karena miskinnya minat umat Islam terhadap sejarah nenek moyangnya sendiri yang begitu hebat.
Generasi kita mengenal ajaran Wihdatul Wujud dalam perspektif Barat yang rancuh dan salah. Kita pun akhirnya menghidari karya-karya penting para ulama terdahulu. Sungguh amat disayangkan.

BELAJAR MAKRIFATULLAH DARI IMAM AL-QUSYAIRI

Imam Al-Qusyairi menjelaskan:
Abu Bakar al-Syibli pernah berkata demikian, “Allah adalah Dzat Yang Esa yang telah dikenal sebelum ada batasan dan huruf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”
Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang kewajiban pertama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Beliau menjawab, “Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah: 
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: 56)
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariyat: 56)

Ibnu Abbas menafsirkan frasa “illa Liya’ buduun” (kecuali untuk menyembah-Ku) dengan “Illa Liya’rifun” (artinya, kecuali untuk berma’rifat).
Imam al-Junaid berkata, “Sesungguhnya, kalam hikmah pertama yang dibutuhkan seorang hamba adalah, ciptaan mengetahui siapa Penciptanya dan makhluk yang tercipta bagaimana proses penciptaannya. Kemudian mengetahui sifat Pencipta dan sifat ciptaan-Nya. Sifat yang membedakan Dzat Yang Tak Bermula dari sifat makhluk yang memiliki permulaan. Menurut pada seruan-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Orang yang tidak mengenal rajanya, tidak akan mengakui kerajaan itu harusnya dimiliki siapa.”
Abu Thayib al-Maraghi berkata, “Akal memiliki petunjuk, hikmah memiliki kekuatan isyarat, dan ma’rifat memiliki kesaksian. Akal menunjukkan (dengan kekuatan logika), hikmah memberikan isyarat (halus), sedangkan ma’rifat memberikan kesaksian bahwa kemurnian ibadah tidak dapat diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid.
Imam al-Junaid ditanya tentang tauhid. Beliau mengatakan, tauhid berarti meyakini keesaan Dzat Yang Diesakan dengan berusaha mewujudkan keyakinan tauhid yang benar dengan kesempurnaan keesaan-Nya. Bahwa sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan cara meniadakan segala sesuatu yang berlawanan, menyamai dan menyerupai. Tanpa tasybih (penyerupaan), tanpa bertanya bagaimana, tanpa penggambaran, tanpa permisalan. Tak satu pun di semesta alam ini yang menyamai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.
Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar al-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama. Artinya adalah adanya rasa pengagungan terhadap Tuhan dalam hati yang dapat mencegahmu bersikap ta’thil (mengingkari sifat-sifat Tuhan) dan tasybih (menggambarkan Tuhan sama dengan makhluk).
—Risalah Al-Qusyariyah, Imam Al-Qusyairi An-Naisaburi

TRANSAKSI DENGAN ALLAH SETIAP HARI


Syekh Ibnu Athaillah menuturkan, "Ketika matahari menyingsing, pastikanlah kau telah bertransaksi dengan Allah. Bersedekahlah setiap hari meski dengan seperempat dirham agar kau tercatat dalam golongan kaum yang gemar sedekah. Bacalah Al-Quran setiap hari meskipun satu ayat agar kau tercatat dalam golongan kaum yang rajin membaca. Shalatlah meski dua rakaat agar kau tercatat dalam golongan yang menunaikan shalat malam. Jangan katakan, 'Kalau hanya memiliki makanan untuk satu atau dua hari, bagaimana bisa bersedekah?' Allah berfirman, 'Hendaklah orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan harta sesuai kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya mengeluarkan dari harta yang Allah berikan.' (QS At-Thalaq 65: 7). Perumpamaan orang miskin yang kau beri sedekah adalah seperti tunggangan yang membawa bekalmu menuju akhirat."

--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-'Arus
Sahabatku, ketulusan kepada Allah dan komitmen kita kepada perintah-Nya baru terlihat ketika kita melakukan transaksi dengan Allah setiap hari melalui sedekah, bacaan Al-Quran, dan shalat dua rakaat pada waktu malam seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Athaillah.
Amal-amal tersebut menunjukkan sejauh mana penghambaan kita kepada-Nya.

Tapi, jika kita melalaikan semua itu, sementara perhatian kita tertuju pada bagaimana memuaskan syahwat dunia,berarti kau belum jujur kepada Allah dan menyimpang dari jalan yang Allah perintahkan. Bagaimana mungkin orang seperti itu akan selamat pada hari kiamat?
Jika ia tidak berbekal untuk hari tersebut maka akhir perjalanannya seperti yang telah ia gariskan sendiri. Ia laksana anai-anai yang menjatuhkan diri di atas api sementara ia mengira dengan cara itu akan selamat.
Moga bermanfaat.

Kamis, 19 Mei 2016

PESAN SUCI PENGGUGAH JIWA


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai anak muda! Engkau harus mempraktikkan pengabdian yang tulus (ikhlâsh al-ʽamal) kepada Allah dalam shalatmu, puasamu, pelaksanaan hajimu, pembayaran zakatmu, dan dalam segala sesuatu yang engkau lakukan.

Engkau harus menjalankan komitmen kepada-Nya sebelum engkau sampai di hadirat-Nya. Komitmen ini memerlukan sikap pengabdian yang tulus, pengukuhan dalam tauhid, mengikuti dengan setia Sunnah Nabi Saw. dan komunitas Islam (jamâʽah), kesabaran dan sikap syukur, dan kesiapan untuk mempercayakan urusan-urusanmu kepada Tuhanmu.
Dalam hubungan dengan makhluk-makhluk, ia memerlukan sikap penolakan, dan dalam hubungan dengan-Nya, ia memerlukan sikap mencari. Terhadap semua yang selain-Nya, ia memerlukan sikap tak acuh, dan terhadap-Nya, ia memerlukan sikap pendekatan pengabdian dengan hatimu dan wujud terdalammu (sirr). Ia memerlukan perasaan keterlepasan dari segala sesuatu yang lain, dan menuntut perasaan cinta dan kerinduan kepada-Nya. Setelah itu Dia pasti akan menganugerahimu kedekatan-Nya dan anugerah-Nya yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terlintas dalam pikiran dan hati manusia.
Menempuh jalan ini akhirnya akan membawamu kepada Tuhanmu. Jika iblis mendatangimu dan mencoba membuatmu mengubah jalanmu, engkau harus memohon pertolongan kepada-Nya, agar Dia mengusirnya jauh-jauh darimu. Engkau harus meminta tolong kepada-Nya, seperti halnya orang-orang sebelummu meminta tolong kepada-Nya di masa mereka. Engkau harus mengerjaklan pekerjaanmu dengan baik, kemudian berbaik sangka kepada Tuhanmu.
Berbaik sangkalah kepada-Nya dan berbuatlah sebaik-baiknya untuk menaati-Nya dengan selayaknya, sebab nantinya Dia akan banyak berurusan denganmu. Banyak kebaikan ditemukan dalam sikap berbaik sangka (husnuzhzhann) kepada Allah, kepada nabi-nabi-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada orang-orang saleh di antara hamba-hamba-Nya."
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir


CINTA DAN BENIH KEBAHAGIAAN


Imam Al-Ghazali mengatakan:
"Cinta adalah benih kebahagiaan. Cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui ibadah. Ibadah dan dzikir yang terus menerus akan mencerminkan tingkat pengendalian dan pengekangan nafsu badan.
Ini tidak berarti ia harus memusnahkan seluruh nafsu badan, karena jika begitu maka ras manusia akan musnah. Namun, pemuas hasrat tubuh itu harus dibatasi secara ketat.

Dan, karena manusia bukanlah hakim yang terbaik untuk menghukum diri sendiri, maka ia harus mengkonsultasikan penetapan batasan-batasan itu kepada pembimbing ruhani, yakni para nabi. Hukum yang mereka tetapkan berdasarkan wahyu Allah yang harus ditaati. Orang yang melanggar berarti telah menganiaya dirinya sendiri.
Banyak orang mengaku mencintai Allah, tetapi kecintaannya sama sekali tak teruji. Untuk menguji rasa cintamu, perhatikanlah kemana kau akan condong ketika perintah-perintah Allah datang bertolak-belakang dengan hasrat keduniawianmu?
Orang yang mengaku mencintai Allah, namun tetap membangkang kepada-Nya, berarti pengakuannya itu dusta belaka."
---Imam Al-Ghazali, kitab Kimiya As-Sa'adah.

MANFAAT DZIKIR BAGI KITA

Syekh Ibnu Athaillah mengatakan, "Tidak ada ibadah yang lebih bermanfaat bagimu daripada dzikir. Sebab, dzikir adalah ibadah yang bisa dilakukan orang tua dan orang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri, rukuk, dan sujud.
Bersihkan cermin hatimu dengan khalwat dan dzikir hingga kelak kau berjumpa dengan Allah SWT.

Hatimu harus selalu ingat Allah sehingga cahaya menyinarimu. Jangan seperti orang yang ingin menggali sumur, kemudian ia menggali di satu tempat sedalam satu jengkal lalu menggali di tempat lain sedalam satu jengkal pula. Jadi, airnya tidak akan pernah keluar. Akan tetapi, galilah di satu tempat sehingga airnya memancar.
Hai hamba Allah, agamamu adalah modalmu. Jika kau telah menyia-nyiakan modalmu, sibukkan lisan dengan berdzikir mengingat-Nya, sibukkan hati dengan cinta kepada-Nya, dan sibukkan tubuhmu dengan menaati-Nya. Tanamlah wujudmu di tempat menanam hingga benih muncul dan tumbuh. Siapa yang memperlakukan hatinya sebagaimana petani memperlakukan tanahnya, pasti hatinya bersinar."

--Syekh Ibn Atha'illah dalam Taj Al-'Arus

DOA & TAWASUL DARI RASULULLAH

Di zaman Rasulullah, ada seorang lelaki yang tertimpa musibah dan sakit hingga matanya mengalami kebutaan. Karena tak kuasa dengan penderitaan yang dialaminya, dia pergi menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia memohon agar kepada Nabi untuk mendoakan dirinya agar bisa sembuh dari penyakitnya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Pergilah ambil wudhu dan shalatlah dua rakaat, lalu bacalah bacalah doa ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّيْ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ وَيَقْضِيْ حَاجَتِيْ
Allâhumma innî as-aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyi muhammadin nabiyyir rahmah ya muhammad innî atawajjahu bika ilâ rabbî wa yaqdhî hâjatî
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan aku menghadap pada-Mu perantara Nabi Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau terkait dengan hajatku agar dikabulkan.” (HR. An-Nasa’i)
Maka, seketika orang itu sembuh dari penyakit yang dialaminya. Matanya tak lagi buta, dia kembali sehat berkat doa yang diajarkan Nabi.
Doa yang memuat contoh penyebutan dan tawajjuh ini sangat populer di zaman Nabi dan masa sahabat. Meski doa ini menjadi sebab kemunculannya adalah untuk menyembuhkan kebutaan, tapi dalam praktiknya dia merupakan doa segala hal, terutama saat ditimpa cobaan berat.
Bahkan, dahulu pernah ada seseorang yang menghadap khalifah Utsman ibn Affan untuk memohon bantuan dengan segera. Tapi sayang, sang Khalifah tak menggubrisnya ia bahkan tak menoleh ke arah orang itu sama sekali. Maka dia pulang dengan tangan kosong tanpa hasil apa pun. Lelaki itu lantas mengadu pada Utsman ibn Hanif. Mendengar pengaduannya, Utsman ibn Hanif lalu menyuruhnya wudhu dan menuju masjid untuk shalat dua rakaat. Utsman ibn Hanif berpesan agar usai shalat, lelaki itu mengucapkan doa di atas.
Akhirnya, lelaki itu melaksanakan saran Utsman ibn Hanif dan kembali menghadap sang Khalifah. Sesampainya di rumah sang Khalifah, tiba-tiba ia disambut dengan hangat dan langsung ditanya sang Khalifah, “Apa yang bisa saya bantu?” Maka lelaki itu pun mengadukan segala hal yang mungkin bisa dibantu sang Khalifah. Kisah itu diabadikan dalam kitab, At-Targhîb fi Ad-Du’â’ karya Abdul Wahid Al-Maqdisi.
Sahabatku, lihatlah redaksi hadis ini, "Aku menghadap kepada-Mu perantara Nabi Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau terkait dengan hajatku agar dikabulkan.”
Sebuah permohonan doa yang menggunakan perantara Rasulullah untuk menguatkan agar doa terkabul. Di zaman Khalifah Usman, Nabi telah wafat, namun redaksi tawajuh dan perantaranya masih terus digunakan, sebagaimana kita berselawat saat tahiyyat. Dari pelajaran ini kita juga bisa memahami bahwa pada setiap kita berdoa kita harus mendahuluinya dengan shalawat Nabi. Doa bisa tertolak tanpa shalawat. Rangkaian doa dari awal hingga akhir adalah satu kesatuan munajat, dimana tanpa perantara Rasul doa menjadi kurang sah.
Maka, tak heran sahabat, tabiin, tabi tabiin, seringkali melakukan tawassul dengan model doa seperti itu tapi dengan redaksi berbeda. Shalawat menjadi doa dan munajat yang melekat di hati mereka. Mereka menulis syair, pujian, burdah, dan sejenisnya untuk memuliakan dan mengagungkan Nabinya.
Shalawat Fatih, shalawat Nariyah, shalawat Badar, shalawat Arzaqiyah dan ratusan selawat lain yang pernah dibuat oleh ulama terdahulu dan diabadikan dengan tradisi pewarisan shalawat secara turun temurun adalah hal yang bisa terjadi. Pujian pasti bersifat hiperbolik, maka sepanjang tidak bertentangan dengan nash dan akal sehat, jangan pernah menganggapnya sebagai musyrik. Munajat adalah bahasa jiwa, sangat pribadi, personal, dan refleksi dari pikiran dan hati yang diajukan kepada Allah. Jadi wajar, jika bahasa permintaan yang indah dari segi sastra, mendalam dari segi makna itu tersusun dalam kalimat shalawat yang memesona.
Sayangnya, muatan bahasa yang memuliakan Nabi selalu dianggap berlebihan, dianggap bidah, dan bahkan ada yang menyebut musyrik. Ini terjadi karena miskin ilmu dan miskin adab. Mereka lupa atau tidak menyadarinya bahwa Allah sendiri adalah Dzat yang paling dahsyat dalam memuji Rasulullah. Bahkan, kadang Dia menggunakan simbol khusus untuk memuliakan Nabi, seperti Ya Siin, Alif Lam Mim dan sebagainya. Dan, bukankah seluruh isi Al-Quran adalah pemuliaan khusus untuk Muhammad, manusia paling sempurna, tajalli Allah yang paling sempurna.
Pujian kita dalam shalawat Nariyah atau shalawat Fatih belum sebanding dengan pujian Allah dalam Al-Quran. Bukan hanya wajah Nabi yang bisa menyebabkan turunnya hujan, tapi bulan pun bisa terbelah, bahkan dunia ini diciptakan Allah untuknya dan karenanya. Seperti yang termuat dalam Hadis Qudsi, lawlaka, lawlaka, ma khalaqtul-aflaka.
Setelah memahami hadis Qudsi ini, maka kita akan dengan mudah memahami hadis Qudsi yang lain: "Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an 'urafa fa khalaqtul khalqa likay 'uraf" (Aku adalah Perbendaharaan yang Tersembunyi, Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali). Ruh dan Nur Muhammad adalah ciptaan Allah pertama, mazhar paling sempurna, dia adalah cermin Tuhan.
Dari Ruh Muhammad yang termurni inilah makhluk pertama dan asal seluruh makhluk. Rasulullah SAW bersabda, "Ana minallah wal-Mukminun minni." (Aku dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku).
Konsep kosmologi Islam ini tertuang dalam Al-Quran, hadis, tafsir, dan kitab-kitab ulama. Mereka yang mengenali khazanah keilmuan Islam ini tak akan berani menafikan dalil ini.
Tak ada satu doa dan selawat pun yang ditujukan untuk meminta kepada Nabi. Tapi, meminta kepada Allah dengan perantara, kesaksian, bantuan, dan kemuliaan yang pernah diberikan Allah kepada Nabinya. Karena itu, dalam shalawat selalu diawali dengan "Allahumma" itu adalah kalimat panggilan langsung kepada Allah, "Ya Allah."
Semoga Allah membimbing ruh kita ke jalan yang diridhai-Nya, membuka pintu-pintu makrifat dan mahabbah-Nya.
Allahumma shalli wa sallim 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad.


MENJAWAB DAKWAH SALAFI-WAHABI

Alhamdulillah…Ternyata, buku karya Mufti Agung Mesir, Prof Dr. Ali Jum’ah banyak diminati kaum terdidik. Tidak menyangka, ternyata laris manis. Saya bersyukur karena generasi Muslim kita tahu bagaimana harus belajar, dan tidak mudah terbawa hasutan kelompok lain. Buku ini memang layak menjadi rujukan bagi mereka yang haus pengetahuan agama.
Sebagai hadiah atas rasa syukur saya, berikut saya kutip penjelasan dalam buku ini tentang pemahaman konsepsi Bid’ah yang salah dari kelompok yang sering menyebut diri mereka pembela Sunnah.
Prof Dr. Ali Jum’ah menjelaskan:
“Di antara keburukan yang menggerogoti kaum ekstrem itu adalah memperluas pemahaman bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat. Hal ini dikarenakan mereka menganggap segala sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW Adalah bid’ah. Maka tidak boleh dikerjakan, implikasinya ketika mereka melihat ada orang menengadahkan tangannya saat berdoa, maka mereka akan menghardiknya dan mengatakan perbuatan itu bid’ah. Alasannya, Rasulullah tidak pernah melakukan hal seperti itu. Begitu pula, ketika ada yang mengajak mereka bersalaman sehabis shalat, maka mereka akan memberitahu bahwa perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dan masih banyak contoh lainnya. Pertanyaannya, apakah benar perbuatan yang ditinggalkan [atau tidak dilakukan] Rasulullah SAW, itu termasuk bid’ah dan sesat?
Para ulama di seantero dunia, baik salaf ataupun khalaf, semuanya sepakat bahwa at-tarku [apa yang ditinggalkan] bukanlah salah satu metode yang bisa digunakan secara terpisah dalam perumusan hukum [istidlal]. Tetapi, metode yang bisa digunakan untuk menetapkan hukum syar’i, baik wajib, sunnah, mubah atau makruh itu adalah datang dari nash Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.
At-Tarku pada dasarnya tidak menunjukan hukum syar’i. ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Ada banyak dalil yang menunjukan bahwa para sahabat tidak memahami di dalam tarku-nya Rasulullah SAW, terdapat keharaman, bahkan sampai kemakruhan pun tidak. Inilah pemahaman para ulama sepanjang masa. Ibnu Hazm pernah membantah hujjah ulama Malikiyyah dan Hanafyah yang mengatakan makruh hukumnya shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib, karena Abu Bakar, Umar dan Usman tidak pernah melakukannya. Ibnu Hazm menjelaskan, “Sesungguhnya, meninggalkan shalat tersebut [shalat sunnah sebelum maghrib] tidak berarti apa-apa, selama mereka tidak mengatakan secara jelas mengenai kemakruhannya. Pada kenyataannya, penjelasan itu tidak pernah dinukil.”
Itulah metode Ibnu Hazm dalam menanggapi tarku – nya para sahabat dalam sebuah ibadah tertentu. Sikap yang sama juga ditunjukan ketika menanggapi tarku Rasulullah mengenai sebuah ibadah yang memang diperbolehkan, seperti ketika berbicara tentang shalat sunnah dua rakaat sebelum ashar. Ia berkata, “Hadist Ali bin Abi Thalib ra. Tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali [dalam masalah di atas], karena yang ada dalam hadist tersebut hanyalah pemberitahuannya atas apa yang diketahui. Ia [Ali] tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat tersebut. Ia memang benar dalam perkataanya, tapi ini bukan berarti mengandung makna melarang atau memakruhkan shalat tersebut. Rasulullah tidak pernah berpuasa sebulan penuh di luar Ramadhan. Namun, ini tidak berarti mengandung makna memakruhkan puasa sunnah satu bulan penuh [di luar Ramadhan].”

Di sini, Ibnu Hazm memahami tarku Rasulullah SAW atas puasa sunnah satu bulan penuh di luar Ramadhan tidak bisa menunjukan hukum haram atau makruhnya berpuasa seperti itu, sekalipun Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukannya.
Rasulullah tidak pernah melakukan khotbah di atas mimbar, namun beliau melakukannya di atas pelepah kurma. Kendati demikian, para sahabat tidak mempunyai pemahaman bahwa berkhotbah di atas mimbar itu hukumnya bid’ah atau haram. Karena itu, mereka lantas membuatkan mimbar untuk Rasulullah saw. berkhotbah. Bukankah mereka ini orang-orang yang tidak pernah melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah SAW? Jika demikian, dapat diketahui bahwa para sahabat tidak menjadikan tarku Rasulullah SAW sebagai bid’ah.
Rasulullah SAW ketika shalat, tepatnya setelah mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak pernah membaca doa: “rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran….” dan seterusnya, seperti yang terdapat dalam sebuah hadist. Tetapi, hal ini tidak dipahami oleh seorang sahabat sebagai larangan untuk membaca doa tersebut. Jika tidak demikian, mana mungkin ia (sahabat), mau melakukan sesuatu yang diyakini keharamannya? Rasulullah SAW sendiri tidak mencelanya, karena telah membaca doa tersebut.
Dan, beliau juga tidak melarang membaca doa-doa lainnya di dalam shalat.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rafi Az-Zuraqi, ia berkata, “Suatu hari, kami pernah shalat di belakang Rasulullah SAW. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau membaca, “sami’allahu liman hamidah.” Seseorang laki-laki dari belakang beliau membaca, “Rabbana walakal-hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi.” Lantas setelah shalat beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa itu?”

Lelaki itu menjawab, “Aku.”
Beliau bersabda, “Aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, Nasai, Ahmad, Malik dan Al-Baihaqi)
Sahabat Bilal r.a. tidak memahami bahwa tarku Rasulullah SAW mengenai shalat sunnah dua rakaaty setelah wudhu bermakna tidak boleh melaksanakan shalat itu. Tetapi, Bilal melakukannya dan tidak pernah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau baru mengetahuinya setelah beliau bertanya kepada Bilal.
“Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya), yang engkau kerjakan dalam Islam (setelah memeluknya). Karena, sesungguhnya aku mendengar suara langkah kedua sandalmu di dalam surga.”
Bilal menjawab, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan pahalanya, kecuali setelah aku bersuci, baik saat petang ataupun siang, lalu aku shalat yang tidak diwajibkan kepadaku dengan bersuci itu.” (HR Al-Bukhari)
Bilal r.a. sesungguhnya telah membuat “shalat sunnah” untuk dirinya sendiri pada waktu tertentu, padahal Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mencontohkan atau memerintahkannya. Bilal baru mengabarkannya tentang rahasia amalannya tersebut setelah Nabi bertanya. Bukankah dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa amalan tersebut tidak pernah dilakukan Nabi, lalu Bilal memberitahukan, maka akhirnya amalan ini pun diakui oleh Rasulullah. Sehingga, kita di generasi setelah Rasul menyebut bahwa shalat setelah wudhu adalah sunnah, sebagaimana yang dilakukan Bilal.
Kita mengambil dalil dari pemahaman sahabat mengenai dibolehkannya membuat doa atau shalat baru di waktu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kami juga mengambil dalil bahwa Rasulullah SAW tidak mengingkari metode dan cara yang ditempuh sebagian sahabatnya, bahkan tidak melarang mereka untuk melakukannya di masa-masa mendatang.”
--Prof Dr. Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, Al-Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqqasyatu Ahammi Qadhaayaahum


HADIS QUDSI UNTUK HARIMU YANG DIBERKAHI

Abu Dzar al-Ghifari ra. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman : 
يَا عِبَادِيْ إِنِيْ حَرَّمَتْ الظُلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَاتَظَالَمُوْا
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharmkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku jadikan kezhaliman diantara kalian sebagai sesuati yang diharamkan, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.”
يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan tersesat kecuali orang yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan beri kalian hidayah.”
يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أُطْعِمْكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua lapar, kecuali orang yang telah aku beri mareka makan, maka mintalah makan kepada-Ku, Niscaya Aku akan beri kalian makan.”
يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ أُكْسِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali orang yang telah aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya aku akan beri kamu pakaian.”
يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada siang dan malam hari, sedangkan saya lah yang mengampuni semua dosa, maka minta ampunlah kepada-Ku, Saya akan ampuni kalian.”
يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضَرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu melakukan kemudharatan yang bisa memberikan kemudharat kepada-Ku, dan sekali-kali kalian tidak akan mampu melakukan manfaat yang bisa memberikan manfaat kepada-Ku.”
يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ و آخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى اْتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا
“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling taqwa, maka hal itu tidak akan menambah (keagungan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”
يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَر قَلْب رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مُكْلِيْ شَيْئَا
“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling durhaka, maka hal itu tidak akan mengurangi (kemuliaan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”
يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسْأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُهُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ المَخِيْطُ إذَا أُدْخلَ البَحْرَ
"Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya berada di suatu lapangan, kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang sesuai dengan permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi (sedikit pun) kekayaan yang ada pada-Ku, kecuali seperti halnya air yang menempel pada sebuah jarum ketika jarum tersebut dimasukkan ke dalam lautan.”
يَا عِبَادِيْ إنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمِدْ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal kalian itulah yang akan Aku hisab, kemudian Aku memberi balasannya secara sempurna. Maka barang siapa menemukan balasan yang baik, hendaknya dia memuji Allah; dan barang siapa menemukan balasan yang buruk, maka janganlah sekali-kali mencela, kecuali terhadap dirinya sendiri.”
---Imam Nawawi Al-Bantani, kitab Nasha'ihul Ibad----


TIPUAN DUNIA YANG MENGGODA

Imam Al-Ghazali mengatakan:
"Dunia cenderung menipu dan memperdaya manusia, yang mewujud dalam beragam rupa. Misalnya, dunia berpura-pura seakan-akan ia akan selalu tinggal bersamamu, padahal kenyataannya, secara perlahan ia bakal pergi menjauhimu dan berpisah darimu, layaknya suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyataannya selalu bergerak.
Atau, dunia menampilkan dirinya dalam rupa penyihir yang berseri-seri, tetapi tak bermoral, ia berpura-pura mencintai dan menyayangimu, namun kemudian membelot kepada musuhmu, meninggalkanmu mati merana dilanda rasa kecewa dan putus asa. Nabi Isa a.s. melihat dunia melihat dunia dalam bentuk seorang wanita tua yang buruk rupa.
Ketika Isa a.s. bertanya kepadanya tentang berapa banyak suaminya, ia menjawab bahwa jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, apakah mereka telah mati ataukah dicerai. Si wanita itu bilang bahwa ia telah memenggal mereka semua. “Aku heran,” ujar Isa a.s. kepada wanita tua itu, “Betapa banyak orang bodoh yang masih menginginkanmu setelah apa yang kau lakukan atas banyak orang.”
Wanita tua ini menghiasi dirinya dengan busana yang indah sarat permata, menutupi mukanya dengan cadar, lalu merayu manusia. Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju kehancuran.
Rasulullah saw. menyatakan bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek tua yang seram, bermata hijau gelap, dan gigi yang bertonjolan. Orang yang melihatnya akan berkata, “Ampun! Siapakah ini?” Malaikat menjawab, “Inilah dunia yang deminya kalian bertengkar dan berkelahi serta saling merusak kehidupan.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke neraka seraya menjerit keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudian memerintahkan para pecinta dunia juga dilemparkan mengikuti kekasih mereka itu.
Siapa saja yang mau merenungkan secara serius keabadian di masa lalu, ketika dunia ini belum ada, dan keabadian di masa datang, ketika dunia tak lagi ada, akan mengetahui bahwa kehidupan ini bagaikan sebuah perjalanan yang tahapan-tahapannya dicerminkan oleh tahun, liga-liganya (ukuran jarak, + 3 mil) oleh bulan, mil-milnya oleh hari, dan langkah-langkahnya oleh detik. Jadi, betapa bodoh orang yang berupaya menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya yang abadi dan menyusun rencana sepuluh tahun ke depan untuk meraih apa-apa yang bisa jadi tak pernah dibutuhkannya, padahal sepuluh hari ke depan mungkin ia telah terkubur dalam tanah.
Saat kematian datang, orang yang mengumbar nafsu tanpa batas dan tenggelam dalam kenikmatan dunia tak ubahnya seperti orang yang memenuhi perutnya dengan panganan lezat, kemudian memuntahkannya.
Kelezatannya telah hilang, tetapi mualnya tetap terasa. Makin banyak harta yang dinikmati – berupa taman-taman yang indah, budak, emas, perak, dan lain-lain – semakin berat penderitaan yang dirasakan ketika mereka dipisahkan oleh kematian. Beratnya penderitaan itu melebihi derita kematian, karena jiwa yang telah dilekati sifat tamak akan menderita di akhirat akibat nafsu yang tak terpuaskan.
Dunia menipu manusia dengan cara-cara lainnya, seperti menampakkan diri sebagai sesuatu yang remeh dan sepele, tetapi setelah dikejar ternyata ia punya cabang yang begitu banyak dan panjang sehingga seluruh waktu dan energi manusia dihabiskan untuk mengejarnya. Nabi Isa a.s. berkata, “Pecinta dunia ini seperti orang yang minum air laut; semakin banyak minum, semakin haus ia sampai akhirnya mati akibat dahaga yang tak terpuaskan.” Dan Rasulullah saw. bersabda, “Kau tak bisa bergelut dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana kau tak bisa menyelam tanpa menjadi basah.”
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai kebutuhannya, menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya, tamu yang tolol mencoba membawa beberapa piring emas dan perak hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia akhinya dicampakkan dalam keadaan hina dan malu.
Gambaran tentang sifat dunia yang penuh tipu daya ini akan kita tutup dengan sebuah tamsil pendek berikut ini. Katakanlah ada sebuah kapal yang hendak berlabuh di sebuah pulau berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama. Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah.
Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung. Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman.
Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal. Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.
Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar tanpa mereka. Mereka terlunta-lunta di pulau itu tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.
Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang beriman, tetapi masih disibukkan oleh dunia yang sesungguhnya tidak berharga.
Meskipun kita telah banyak bicara tentang bahaya dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak dicela, seperti ilmu dan amal baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan memengaruhi nasib dan keadaannya di sana. Terlebih lagi amal yang dibawa adalah amal ibadah yang membuatnya selalu mengingat dan mencintai Allah.
Semua itu, sebagaimana ungkapan Alquran, termasuk “segala yang baik akan abadi”. 
Juga ada beberapa hal baik lainnya di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian, dan lain-lain, yang dipergunakan secara bijak oleh kaum beriman sebagai sarana untuk mencapai dunia yang akan datang. Selain semua hal tersebut, terutama yang memikat pikiran dan memaksa manusia untuk bersetia kepadanya dan mengabaikan akhirat, sungguh merupakan kejahatan yang layak dikutuk, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukungnya.”
---Imam Al-Ghazali, kitab Kimiya As-Sa'adah---


RAHASIA BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Janganlah memilih untuk menarik kenikmatan-kenikmatan dan menolak setiap musibah. Jika memang kenikmatan itu telah menjadi milikmu, engkau pasti akan berusaha menariknya atau menghindarinya. Begitu juga dengan musibah, musibah itu merupakan suatu keadaan yang dapat menimpamu, yang jika telah menjadi bagianmu, maka ia akan menuntunmu, baik ketika engkau menghendakinya atau engkau berusaha untuk menghilangkannya dengan berdoa, bersabar atau menguatkan diri pada apa yang menjadi kerelaan dan keridhaan Allah.

Tetapi, serahkan saja semuanya kepada Allah, sebab ketentuan-Nya akan berlaku kepada dirimu. Jika terdapat kenikmatan dalam dirimu, maka berusahalah untuk bersyukur. Dan, jika engkau mendapat musibah, maka berusahalah untuk bersabar dan tetap bersabar!
Atau, boleh juga dengan berusaha untuk menyusuaikan diri, berusaha menikmati, menghilangkan diri di dalamnya, sesuai dengan kadar kemampuan dirimu. Lalu, tetaplah berjalan di atas jalan Allah SWT, dimana engkau diperintahkan untuk mentaati-Nya agar engkau sampai kepada Dzat Yang Maha Tinggi.
Pada saat itulah engkau akan menempati kedudukan orang-orang terdahulu dari golongan shiddiqqin, syuhada, dan shalihin. Serta agar engkau juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang yang sudah mendahului engkau di sisi Sang Maha Penguasa dan melihat kedekatan mereka kepada-Nya.Mereka adalah orang-orang yang telah menemukan semua bentuk kesenangan, kegembiraan, rasa aman, kemuliaan dan kenikmatan di sisi Allah SWT.
Tinggalkanlah setiap musibah yang mendatangimu! Pergilah jauh meninggalkan jalannya! Jangan hanya terpaku dan takut menghadapi kedatangan dan kedekatannya. Ingatlah bahwa panas api musibah itu tidak lebih panas daripada api Neraka Jahannam.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sebaik-baik manusia, sebaik-baik manusia yang dipangku oleh bumi dan dinaungi oleh langit, Rasulullah, Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Neraka Jahannam itu berkata kepada seorang Mukmin; ‘Hai Orang Mukmin, lewatlah engkau di atasku, Sungguh, nyala apiku telah padam dengan cahayamu!”(HR Thabrani)
Maka, tidaklah cahaya seorang Mukmin yang membuat padam kobaran api Neraka Jahannam itu, kecuali hanyalah cahaya yang telah mendampinginya di kehidupan dunia, yang diperuntukkan bagi orang yang melewati kehidupan dan cobaan hidup di dunia.
Jadi, padamkanlah kobaran api Neraka Jahannam dengan menggunakan cahaya ini! Dan, temukanlah dinginnya kesabaranmu, keserasian dan keindahan ketaatanmu kepada Sang Maha Penguasa, serta gerakkanlah apa yang terdapat dalam dirimu!

Musibah itu datang kepadamu bukan untuk membinasakanmu. Tetapi, musibah itu datang untuk memberimu cobaan dan ujian kepadamu serta menunjukkan kebenaran keimananmu dan memperkokoh tali imanmu. Batin musibah itu akan memberi kegembiraan kepada Tuhanmu dengan rasa bangga-Nya kepadamu.
Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji engkau agar engkau mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara engkau, dan agar Kami menyatakan (baik-buruknya) hal ihwalmu.”(QS Muhammad: 31)


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib.

OBAT HATI DARI SYEKH ABDUL QADIR JAILANI


“Hati itu berkarat kecuali apabila pemiliknya rajin merawatnya seperti yang disebutkan oleh sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya hati itu dapat berkarat dan yang dapat menggosok (karat itu) adalah dengan membaca Al-Qur’an dan mengingat kematian serta menghadiri majelis-majelis dzikir.”
Hati itu hitam karena cintanya yang begitu besar oada dunia dan rakus terhadapnya, tanpa sifat wara’ sedikitpun. Sebab, barangsiapa yang hatinya telah dikuasai oleh kecintaan pada dunia, maka wara’-nya akan hilang. Ia akan terus kumpulkan dunia itu, baik dari sumber yang halal maupun yang haram. Ia tidak mampu lagi membedakannya, tak lagi punya rasa malu. Dan muraqabah-nya kepada Allah Azza wa Jalla akan hilang.
Wahai kaum Muslimin, terimalah apa yang disampaikan oleh Nabi kalian itu, dan bersihkan kembali karat hati kalian dengan resep yang telah diberikan oleh beliau. Seandainya seorang dari kalian mengidap suatu penyakit, lalu seorang dokter memberinya resep sebagai obatnya, tentu ia tidak akan merasa nyaman hidupnya sebelum memakan obat itu bukan?”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Rabbani

WASIAT SYEKH IBNU ATHA'ILLAH TENTANG UMUR & DZIKIR


"Jika engkau telah berusia empat puluh tahun, maka segeralah untuk memperbanyak amal shaleh siang maupun malam. Sebab, waktu pertemuanmu dengan Allah 'Azza wa Jalla semakin dekat. Ibadah yang kau kerjakan saat ini tidak mampu menyamai ibadah seorang pemuda yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Bukankah selama ini kau sia-siakan masa muda dan kekuatanmu. Andaikata saat ini kau ingin beramal sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi.
Maka, beramallah sesuai kekuatanmu. Perbaikilah masa lalumu dengan banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yang lebih mudah dari dzikir. Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit. Dzikir adalah ibadah yang paling mudah.
Rasulullah saw bersabda :
وليكن لسانك رطبا بذكر اللّه
Dan hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah swt.
Bacalah secara berkesinambungan doa' dan dzikir papa pun yang mudah bagimu. Pada hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah swt adalah karena kebaikannya. Ia akan mengaruniamu…..
"Ketahuilah, sebuah umur yang awalnya disia-siakan, seyogyanya sisanya dimanfaatkan. Jika seorang ibu memiliki sepuluh anak dan sembilan diantaranya meninggal dunia. Tentu dia akan lebih mencintai satu-satunya anak yang masih hidup itu. Engkau telah menyia-nyiakan sebagian besar umurmu, oleh karena itu jagalah sisa umurmu yang sangat sedikit itu.
Demi Allah, sesungguhnya umurmu bukanlah umur yang dihitung sejak engkau lahir, tetapi umurmu adalah umur yang dihitung sejak hari pertama engkau mengenal Allah swt.
"Seseorang yang telah mendekati ajalnya ( berusia lanjut ) dan ingin memperbaiki segala kekurangannya di masa lalu, hendaknya dia banyak membaca dzikir yang ringkas tetapi berpahala besar. Dzikir semacam itu akan membuat sisa umur yang pendek menjadi panjang, seperti dzikir yang berbunyi :
سبحان اللّه العظيم وبحمده عدد خلقه ورضانفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya, ( kalimat ini kuucapkan ) sebanyak jumlah ciptaan-Nya, sesuai dengan yang ia sukai, seberat timbangan Arsy-Nya dan setara dengan jumlah kata-kata-Nya.
Jika sebelumnya kau sedikit melakukan shalat dan puasa sunah, maka perbaikilah kekuranganmu dengan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw. Andaikata sepanjang hidupmu engkau melakukan segala jenis ketaatan dan kemudian Allah swt bershalawat kepadamu sekali saja, maka satu shalawat Allah ini akan mengalahkan semua amalmu itu.
Sebab, engkau bershalawat kepada Rasulullah sesuai dengan kekuatanmu, sedangkan Allah swt bershalawat kepadamu sesuai dengan kebesaran-Nya. Ini jika Allah swt bershalawat kepadamu sekali, lalu bagaimana jika Allah swt membalas setiap shalawatmu dengan sepuluh shalawat sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadits Shahih, "Betapa indah hidup ini jika kau isi dengan ketaatan kepada Allah swt, dengan berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada Rasulullah saw."
Semoga bermanfaat!
Selamat berdzikir.