Selasa, 30 Agustus 2016

MEMAHAMI AYAT ALLAH SWT DI ALAM RAYA

Dalam Alqur'an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya.

Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun. Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu "…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3:190-191)


Di banyak ayat dalam Alqur'an, pernyataan seperti, "Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal," memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini:
يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. An-Nahl, 16:11)
Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.
Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna.
Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.

Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Atau untuk lebih tepatnya, terdapat kecerdasan mengagumkan dalam apa yang dilakukan oleh biji. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa?
Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena Ilmu-Nya yang tak terbatas. Dalam sebuah ayat disebutkan:
 وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS. Al-An'aam, 6:59).
Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan menumbuhkannya sebagai tumbuh-tumbuhan baru. Dalam ayat lain Allah menyatakan:
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An'aam, 6:95)

Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah SWT.

Senin, 29 Agustus 2016

KEBAHAGIAN SEJATI DAN HAKIKAT CINTA KEPADA ALLAH

Menurut Imam Al-Ghazali, bagi orang yang sudah sangat mendalam pengetahuan makrifatnya dan sudah menyingkap rahasia kekuasaan Allah walaupun hanya sedikit, maka hatinya akan diliputi perasaan bahagia yang tak terhingga. Karena begitu bahagianya, dia akan menemukan dirinya seolah-olah terbang. Dia juga akan terheran-heran dan takjub menyaksikan keadaan dirinya. Ini termasuk hal-hal yang tak dapat dipersepsi kecuali dengan cita rasa (dzawq).
Bahkan, kadang cerita-cerita sufi pun tak banyak membantu. Semuanya tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Ini juga membuktikan bahwa makrifat kepada Allah merupakan puncak dari segala kenikmatan. Tak ada kenikmatan lain yang dapat mengalahkannya.
Abu Sulaiman Ad-Darani pernah mengatakan, “Allah memiliki beberapa orang hamba, mereka menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah, bukan karena takut neraka atau berharap surga. Lalu, bagaimana mungkin mereka disibukkan oleh dunia dan meninggalkan Allah?”
Maka, wajar saja jika ada seorang murid dari Ma’ruf Al-Karkhi bertanya kepada gurunya, “Apa yang membuatmu beribadah dan meninggalkan pergaulan dengan manusia yang lain?”
Sejenak Ma’ruf Al-Karkhi terdiam. Lalu menjawab, “Aku ingat mati.”
“Ingat apanya?” tanya muridnya lagi.
“Aku ingat kuburan dan barzakhnya,” jawab Al-Karkhi.
“Ingat kuburan? Bagian yang mana?” tanya murid itu lagi.
“Rasa takut pada neraka dan berharap surga,” jawab Al-Karkhi.
“Bagaimana bisa begitu?”
“Sesungguhnya dua malaikat ini ada dalam kekuasaan-Nya. Jika engkau mencintai-Nya, maka engkau akan melupakan itu semua. Jika engkau mengenal-Nya, maka cukuplah itu semua!”
Ma’ruf Al-Karkhi mengingatkan kita bahwa perasaan takut dan berharap masuk surga adalah harapan rendah bagi orang yang beribadah. Sebab, orang yang benar-benar beribadah kepada Allah dan mengharap perjumpaan dengan-Nya, pasti merindukan-Nya dengan penuh cinta, dan pasti akan melupakan segalanya.
Dia hanya berharap memandang wajah-Nya. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Nabi Isya a.s. bersabda, “Jika engkau melihat seorang pemuda mencari Tuhannya, maka sungguh dia akan lupa segala-galanya!”
Ali Ibnu Al-Muwaffaq mengatakan, “Aku bermimpi seolah-olah masuk surga. Aku melihat seorang lelaki duduk menghadap sebuah hidangan. Dua malaikat duduk di kanan-kirinya menyapinya makanan yang serba lezat. Dia sendiri tampak begitu menikmatinya. Aku juga melihat seorang lelaki berdiri di pintu surga sedang mengawasi wajah-wajah manusia. Sebagian dipersilahkan masuk dan sebagian lagi ditolak. Aku melewati dua orang lelaki itu menuju Hadirat-Nya yang suci. Kemudian, di tenda Arsy aku melihat seorang lelaki lagi, matanya terbuka dan tak berkedip, memandangi Allah SWT.
Lalu, aku bertanya kepada Malaikat Ridwan, “Siapakah orang ini?” Lalu dia menjawab, “Dia adalah Makruf Al-Karkhi. Dia hamba Allah yang tidak takut neraka dan tidak rindu surga tetapi cinta kepada Allah SWT. Maka, dia diizinkan memandangi-Nya hingga Hari Kiamat. Dia menambahkan dua lainnya adalah Bisyr Al-Harits dan Ahmad Bin Hanbal.”
Abu Sulaiman berkata, “Siapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya sendiri, maka besok dia juga akan sibuk dengan dirinya sendiri. Siapa saja yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia akan sibuk dengan Tuhannya.”
Sofyan Ats-Tsauri suatu ketika bertanya kepada Rabi’ah Al-Adhawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Lalu dia menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga. Aku tidak seperti buruh yang jahat—jika dibayar bahagia, jika tak dibayar bersedih—Aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha


Rabu, 24 Agustus 2016

MAKNA SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI


Menurut Imam al-Ghazali sabar adalah keteguhan yang dapat mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.Sabar merupakan kecenderungan hati pada unsur kemalaikatan dalam diri dan mampu melawan dorongan-dorongan nafsu kebinatangan dan nafsu birahi.Seperti malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu.

Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah SWT sepanjang siang dan malam tiada henti.
Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut.
Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan¬-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.
Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
1) Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus¬-menerus.

2) Tingakatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah.
3) Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu.
Sebagai manusia, kita memerlukan sifat dan sikap sabar dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."
Menurut Imam al-Ghazalî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:
1) Sabar dalam taat.
Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit. Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran¬-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

2) Sabar terhadap maksiat.
Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. Jika keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

3) Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.
Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.
--Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali

Selasa, 09 Agustus 2016

MEMAHAMI HATI NURANI

Bagi kaum sufi, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, kalbu (qalb) dalam diri manusia merupakan titik pusat pandangan Tuhan pada diri manusia. Bahkan, hal yang menjadi hakikat manusia adalah qalb (kalbu, hati)-nya. Ia adalah zat halus yang bersifat Ilahiah, yang dapat menangkap hal-hal qaib yang bersifat ruhaniah.
Dengan kalbu inilah sesunggunya Rasulullah SAW menerima wahyu.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Dia memandang hati dan perbuatanmu,” (HR Muslim).
Maka, jika akal dapat memahami adanya Tuhan secara rasional, kalbu pun dapat merasakan kehadiran Tuhan dan bahkan merasakan kedekatan dan keintiman dengan Tuhan.Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS 24:35), cahaya seperti ini pula terdapat dalam kalbu manusia, yang tentu saja berasal dari cahaya Ilahi.
Kita mengenal kata “nurani” atau “hati nurani” yang sering dikaitkan dengan hati manusia. Kata “nurani” ini sebenarnya berasal dari kata “nur” yang berarti cahaya. Jadi, istilah yang biasa kita gunakan “hati nurani” itu mengandung pengertian “hati yang bercahaya.”
Hati yang bercahayalah yang mampu membedakan hal baik dan buruk.
Lalu, jika seseorang yang memiliki hati nurani ini berbuat dosa dan kesalahan, maka ia akan menggores bekas di hatinya. Seperti bayangan hitam yang menutupi bagian kalbunya. Semakin banyak seseorang melakukan dosa, maka semakin memudarlah cahaya Ilahi di dalam dirinya.
Maka, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang merupakan tembok pemisah antara dirinya dan Tuhan.
QAAllah SWT berfirman,
“Maka, apakah engkau tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada,” (QS 22: 46).
Rasululah SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh (manusia) terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, apabila daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh (manusia). Ingatlah bahwa daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).



MEMAHAMI 3 OBAT BAGI PENYAKIT HATI

“Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau lakukan.”
---Syekh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam
Sahabatku, setidaknya terdapat 3 penyebab utama matinya hati. Pertama, terlalu cinta kepada dunia. Kedua, kurangnya kehati-hatian dan kurang berdzikir. Ketiga, selalu menuruti hawa nafsu.
Obat untuk penyakit pertama adalah dengan menanamkan sikap sederhana, qanaah dan berhemat. Untuk obat bagi penyakit kedua adalah dengan menumbuhkan kesadaran secara terus-menurus akan kehadiran Allah disertai dengan doa dan munajat kepada-Nya. 
Dan, untuk obat penyakit ketiga adalah dengan mengikuti para guru yang telah mendapatkan cahaya Ilahi, yang telah berada di jalan kenabian, dengan nasihat, petuah, dan instruksi-instruksi mereka untuk mengolah jiwa (riyadhah) dan menundukkan hawa nafsu. Demikian menurut Syekh Fadhlalla Haeri.
Semoga bermanfaat!


Rabu, 03 Agustus 2016

CARA MENGHADAPI KEMATIAN



Dalam kitab Al-Bidâyah, Ibnu Katsir bercerita bahwa Umar bin Abdul Azis melewati kuburan seraya berkata, "Wahai maut, apa yang engkau lakukan pada orang-orang yang aku cintai? Di mana engkau sembunyikan orang-orang yang aku sayangi, saudara, teman, serta kerabatku? Wahai maut, apa yang telah engkau perbuat terhadap mereka?"
Saat itu, suasana sangat hening, karena tak ada yang menjawab ratapannya. "Tahukah kalian apa yang dikatakan maut?" tanya Umar pada kesempatan lain sambil menangis. "Tidak!" jawab orang-orang disekitarnya. "Maut berkata, 'Aku lumat kedua mata, butakan pandangan, aku lepas kedua telapak dari hasta, aku tarik kedua hasta dari pangkal lengan, dan aku pisahkan kedua pangkal lengan dari pundak."
Bagi orang yang beriman, kematian tidaklah menyurutkan langkahnya untuk terus-menerus mengingat Allah. Mereka tidak akan lari darinya, tapi mereka justru menyiapkan dirinya dengan bekal keimanan dan baju ketakwaan saat menghadapi Malaikat Maut.
Mereka hampir tak pernah melalaikan maut, karena fase itu merupakan fase yang harus dilalui oleh setiap insan dan pasti akan menimpa setiap mahluk-Nya, sebagiamana firman-Nya: "Tiap-tiap (yang berjiwa) pasti akan merasakan mati. Sesungguhnya kamu akan diberi pahala yang sempurna pada Hari Kiamat. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh ia sangat beruntung. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu," (QS Ali-'Imran [3]: 185).
Salah satu cara mengingat kematian adalah melakukan ziarah kubur. Dulu memang Rasulullah SAW pernah melarang umatnya melakukan ziarah kubur, namun kemudian larangan itu dicabut.
Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku melarang kalian ziarah ke kuburan. Sekarang, silahkan kalian melakukannya! Sebab, hal itu dapat mengingatkan kalian pada kematian," (Al-Hadis).
Ibnu Umar r.a. menuturkan, “Saya pernah menemui Rasulullah Saw. yang sedang dikelilingi sekelompok orang. Seseorang dari kaum Anshar bertanya, 'Siapakah orang yang paling bijak dan paling mulia, ya Rasulullah?' Rasulullah Saw. menjawab, ”Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling tekun melakukan persiapan untuk Akhirat. Mereka itulah orang yang bijak yang memperoleh kemuliaan dunia dan keagungan Akhirat.”
Cara serupa juga sering kali dilakukan oleh Sayidina Usman bin Affan r.a. Adalah Hani’, salah seorang hamba sahaya beliau bercerita, bahwa Usman sering berdiri seorang diri di atas kuburan sambil menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Ketika ingat surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi ketika ingat kuburan engkau menangis.”
Usman ra mengatakan, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kuburan merupakan salah satu tempat tinggal Akhirat yang pertama. Jika selamat darinya, maka setelahnya akan lebih mudah darinya. Tetapi jika tidak selamat darinya, maka setelahnya akan lebih parah dan pedih darinya.”
---Dikutip dari buku Sebening Mata Hati karya Asfa Davy Bya, Hikmah, Mizan.


Selasa, 02 Agustus 2016

BAGAIMANA JIWA SETELAH KEMATIAN JASAD?

Menurut Imam Al-Ghazali, jiwa manusia tak bergantung kepada jasad. Pandangan sebagian orang yang menentang keberadaan jiwa setelah kematian didasarkan atas dugaan bahwa jiwa harus dibangkitkan setelah jasadnya menyatu dengan tanah. Sebagian Ahli Kalam juga berpendapat bahwa jiwa manusia musnah setelah mati, kemudian dibangkitkan kembali. Padahal, pendapat semacam ini bertentangan dengan nalar dan Al-Quran.
Seperti yang dibahas sebelumnya, kematian jasad sama sekali tidak mempengaruhi dan tidak menghancurkan jiwa, seperti disebut dalam Al-Quran, “Janganlah kamu pikir orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak! Mereka hidup, bahagia dengan kehadiran Tuhan mereka dan dalam limpahan karunia.”
Tak sedikit pun rujukan syariat yang menyebutkan bahwa ruh orang yang telah mati, baik ataupun jahat, akan musnah.
Bahkan, diriwayatkan dalam hadis, Nabi SAW pernah bertanya kepada ruh orang yang kafir yang terbunuh mengenai kebenaran hukuman yang diancamkan kepada mereka.
Ketika para sahabat menanyakan apa gunanya bertanya kepada mereka, Rasulullah bersabda, “Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada kalian!”
Diriwayatkan pula bahwa beberapa sufi pernah melihat surga dan neraka ketika mereka mencapai eksatase. Ketika kembali sadar, wajah mereka menunjukkan apa yang telah mereka saksikan; sarat dengan tanda-tanda kebahagiaan dan ketakutan yang hebat. Namun, visi (penglihatan) ke dunia gaib ini tak lagi dibutuhkan bagi orang-orang yang berpikir. Bagi orang yang selalu menyibukkan dirinya untuk memuaskan hawa nafsu, saat kematian menghentikan seluruh perangkat indrawinya dan ketika segalanya musnah kecuali kepribadiaanya, ia akan menderita karena harus berpisah dengan segala bentuk keduniawia yang begitu dekat dengannya selama ini, seperti: istri, anak, kekayaan, tanah dan harta kekayaan lainnya.
Sedangkan orang yang telah menghindari keduniawian dan meneguhkan cinta kepada Allah, niscaya akan menyambut kematian sebagai pelepasan dari kericuan hidup duniawi untuk bergabung dengan Dia yang dicintainya. Maka, benarllah jika Rasulullah SAW bersabda, “Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat.”
Dalam hadis yang lain, Rasululllah SAW bersabda, “Dunia ini surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang yang mukmin.” Lalu, pada saat yang sama, semua derita yang ditangung jiwa setelah mati sebenarnya disebabkan oleh cinta dunia yang berlebihan.”

---Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah---

42 RAHASIA DAHSYATNYA SELAWAT NABI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, qaddasallah sirrahu, memberi nasihat:
“Ketahuilah membaca selawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah salah satu ibadah paling mulia, bentuk ketaatan paling luhur, ibadah yang paling tinggi nilainya yang diperintahkan Allah SWT kepada kita, sebagai bentuk penghormatan, pemuliaan dan pengagungan terhadap derajat beliau. Orang yang membaca selawat dijanjikan akan mendapatkan tempat paling indah di akhirat dan pahala paling besar.
Membaca selawat adalah amal perbuatan yang menyelamatkan, ucapan paling utama, ibadah yang menguntungkan, mengandung barokah paling banyak, dan ahwal yang paling kokoh.
Dengan membaca selawat, seorang hamba bisa meraih keridhaan Tuhan yang Maha Penyayang. Memperoleh kebahagiaan dan restu Allah SWT, barokah-barokah yang dapat dipetik, doa-doa yang terkabulkan, bahkan dia bisa naik ke tingkatan derajat yang lebih tinggi, serta mampu mengobati penyakit hati,dan diampuni dosa-dosa besarnya.
Allah SWT berfirman: 

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىِّ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (QS Al-Ahzab [ 33]: 56)
Dalam Kitab As-Safinah Al-Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani juga menjelaskan tentang keutamaan-keutaman berselawat kepada Rasulullah SAW dengan merujuk apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Furhan dalam kitab Haqa’iq Al-Anwar.
Beliau menyebut 42 keutamaan dan keuntungan berselawat kepada Nabi. Menurutnya, “Membaca selawat kepada Nabi membuahkan banyak faedah yang bisa dipetik oleh seorang hamba:
1. Berselawat untuk Nabi berarti melaksanakan perintah Allah SWT.

2. Berselawat untuk Nabi berarti meniru Allah yang berselawat kepada Nabi.

3. Berselawat untuk Nabi berarti meniru malaikat-malaikat-Nya yang berselawat kepada Nabi. 
4. Mendapat balasan 10 kali lipat selawat dari Allah SWT untuk diri kita pada setiap selawat yang kita ucapkan.

5. Allah akan mengangkat derajat orang yang membaca selawat 10 tingkat lebih tinggi..
6. Mendapat 10 catatan kebaikan.

7. Allah SWT menghapuskan 10 dosa keburukan.

8. Berpeluang besar doanya akan dikabulkan Allah SWT.

9. Selawat adalah syarat utama mendapat syafaat dari Rasulullah SAW.

10. Selawat adalah syarat untuk mendapat ampunan Allah dan akan ditutup segala aib.

11. Selawat adalah syarat untuk memperoleh perlindungan dari segala hal yang ditakutinya.
12. Selawat adalah syarat seseorang dapat dekat kepada Rasulullah SAW.

13. Nilai selawat sama dengan nilai sedekah.

14. Selawat adalah alasan bagi Allah dan para malaikat untuk membacakan selawat balasan.

15. Selawat adalah syarat kesucian jiwa dan raga bagi pembacanya.

16. Terpenuhinya segala keinginan.

17. Selawat adalah alasan seseorang mendapat kabar baik bahwa dirinya kelak akan memperoleh surga.

18. Selawat adalah faktor memperoleh keselamatan di Hari Kiamat.

19. Selawat adalah alasan bagi Rasulullah SAW untuk mengucapkan selawat balasan.

20. Selawat dapat membuat pembacanya teringat akan semua hal yang dilupakannya.
21. Selawat dapat membuat harumnya sebuah majelis pertemuan dan orang-orang yang hadir tidak mendapat kerugian di Hari Kiamat kelak.

22. Selawat dapat menghilangkan kemiskinan dan kefakiran bagi pembacanya.

23. Selawat dapat menghapus julukan orang kikir ketika selawat dibacakan.

24. Selawat menjadi penyelamat dari doa ancaman Rasulullah bagi orang yang membaca selawat ketika namanya disebutkan.

25. Selawat akan mengiringi perjalanan pembacanya kelak di atas jembatan menuju surga dan akan menjauh dari orang yang tidak membacanya.
26. Selawat akan menghilangkan keburukan-keburukan di suatu majelis pertemuan yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan Rasul-Nya.

27. Selawat adalah penyempurna pahala dari sebuah percakapan yang dimulai dengan menyebut nama Allah dan membaca selawat kepada Rasul-Nya.

28. Selawat adalah faktor yang dapat menyelematkan seorang hamba ketika berada di atas jembatan menuju surga.
29. Selawat menghapus status sebagai pembenci selawat.

30. Selawat adalah alasan bagi Allah untuk mengumumkan pujian baiknya kepada pembaca selawat tersebut di hadapan semua makhluk, baik di bumi maupun di langit.

31. Selawat dapat mendatangkan rahmat Allah.
32. Selawat dapat mendatangkan berkah.
33. Selawat dapat melanggengkan dan mempertebal cinta kepada Rasulullah SAW dimana cinta ini merupakan simpul pokok keimanan.Dan, keimanan seseorang belum sempurna tanpa adanya cinta kepada Nabi.

34. Selawat dapat memikat hati Rasulullah agar mencintai dirinya.

35. Selawat mendatangkan hidayah dan menghidupkan hati yang telah mati.

36. Selawat adalah syarat agar nama pembacanya disebut-sebut di hadapan Rasulullah SAW.

37. Selawat dapat memantapkan iman dan Islam serta membacanya sama dengan memberi hak yang layak diterima oleh Rasulullah SAW.
38. Selawat merupakan bentuk syukur kita atas segala nikmat dari Allah SWT.
39. Bacaan selawat mengandung dzikir, syukur dan pengakuan atas nikmat Allah SWT.

40. Selawat yang dibaca seorang hamba adalah bentuk doa dan permohonan kepada Allah, terkadang doa itu dipersembahkan kepada Nabi SAW dan tak jarang pula untuk dirinya sendiri, karena selawat dapat mendatangkan tambahan pahala.

41. Selawat adalah buah yang paling manis dan faedah paling utama yang dapat didatangkan dari pembacaan selawat atas Nabi adalah melekatnya gambaran seorang Nabi yang mulia di dalam jiwa pembacanya.

42. Memperbanyak bacaan selawat atas Nabi SAW menjadikan dirinya satu tingkatan dengan derajat seorang Syekh Murabbi (guru spiritual).
--As-Safinah Al-Qadiriyah Li Asy-Syaikh ‘Abd Qadir Al-Jailani Al-Hasani


JIWA HEWANI DAN JIWA RUHANI

“Orang yang memercayai Al-Quran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan konsep nikmat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Namun, ada hal penting yang sering mereka luputkan, yakni bahwa ada surga ruhani dan neraka ruhani.
Mengenai surga ruhani, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan takpernah terlintas dalam hati manusia, itulah nikmat yang disiapkan bagi orang yang bertakwa.”
Betapa berbedanya Jiwa manusia dari jasad dan segenap anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tetapi kemandirian jiwa tak terusik. Kemudian, tubuh manusia juga akan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Tubuhnya di waktu bayi jauh berbeda dengan tubuhnya di masa tua.
Namun, kepribadian manusia tetap sama, dulu maupun sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa jiwa akan terus ada menyertai sifat-sifat esensialnya yang tak bergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta kepada Allah. Inilah makna ayat Al-Quran, “Segala yang baik akan abadi.”
Seperti juga pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai jiwa. Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang Allah maka kebodohan itu akan menyertaimu di akhirat dalam wujud kegelapan jiwa dan penderitaan. Keadaan itulah yang dimaksudkan Al-Quran: “Orang yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus.”
Mengapa jiwa manusia cenderung untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi? Sebab, ia berasal dari sana dan pada dasarnya ia bersifat malakut. Ia dikirim ke dunia yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang kepadamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang mentaatinya tidak perlu takut dan tak perlu gelisah.”
Dan ayat Al-Quran, “Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku,” juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Jiwa hewani akan tetap sehat selama keseimbangan bagian-bagian yang menyusunnya terjaga. Jika keseimbangan itu terusik, obat-obatan dapat memulihkannya. Begitu juga dengan jiwa ruhani, ia akan tetap sehat selama keseimbangan moralnya terjaga dengan menjalankan tuntunan etika dan ajaran moral.”

--Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah--

Senin, 01 Agustus 2016

TERJEMAH KITAB RISALATUL-QUSYAIRIYYAH II ( As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi )

15. PERGUNJINGAN

Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (qs, Al-Hujurat :12).
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang ikut duduk bersama Rasulullah saw. kemudian ia bangkit berdiri dan pergi. Salah seorang yang hadir berkata : “Alangkah lemahnya orang itu.” Rasulullah saw. bersabda : “Engkau telah memakan daging saudaramu ketika engkau menggunjingnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa, as. : “Barangsiapa meninggal dengan berTaubat dari menggunnjing, akan menjadi orang terakhir yang masuk surga, dan barangsiapa meninggal dengan berterus-terusan melakukan gunjingan itu, akan menjadi orang yang pertama masuk neraka.”
Auf menuturkan : “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku aku menggunjing Al-Hallaj. Ibnu Sirin berkata :”Sesungghnya Allah swt. adalah hakim yang paling adil, maka sebanyak yag diambilnya dari al-Hallaj, sebanyak itu pula yang diberikan-Nya kepadanya. Ketika engkau berjupa dengan Allah awt. Di akhirat nanti, dosa sekecil apapun yang telah dilakukan al-Hallaj akan menjadi lebih besar bagimu daripada dosa terbesar yang teah dilakuka al-Hallaj.”
Diriwaytkan bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta, dan ia pun bersedia menghadirinya. Ketika orang-orang membicarakan seseorang yang tidak hadir, mereka mengatakan : “Seorang yang kurus kering dan tidak meenarik.” Ibrahim berkata : “Inilah yang dilakukan nafsuku terhadap diriku.” Kutemukan diriku dalam perkumpulan dimana pergunjingan dilakukan.” Ia lalu pergi begitu saja, setelah itu ia tidak makan selama tiga hari.
Dikaakan : “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah seperti orang yang menyiapkan ketapil. Ia menembak amal-amal baiknya sendiri dengan perbuatannya itu ke Barat dan ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari Khurasan, seorang lagi dari Hijaz, seorang lagi dari Turki, ia mencerai-beraikan amal-amal baiknya sendiri, dan ketika berdiri, tak satu pun amal baiknya.”
Dikatakan, : “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya pada hari Kiamat, tetapi ia tidak melihat satu pun amal baiknya di dalamnya. Ia akan bertanya : “Di mana shalat, puasa dan amal-amal ibadatku yang lain?” Dikatakan kepadanya : “Semua amalmu telah hilang karena engkau terlibat dalam pergunjingan.”
Dikatakan : “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni separo dosanya.”
Sufyan ibnul Husain mengatakan : “Aku sedang duduk-duduk dengan Iyas bin Mu’awiyah, dan menggunjing seseorang. Iyas bertanya kepadaku : “Apakah engkau telah menyerang orang-orang Romawi atau Turki tahun ini?” Aku menjawab : “Tidak” Ilyas berkata : Orang-orang Turki dan Romawi telah selmat dari seranganmu, sementara saudaramu sendiri yang Muslim tidak!” Dikatakan : “Seorang manusia akan diberi catatan amalnya di hari Kiamat, dan ia menemukan di dalamnya amal-amal baik yag tidak pernah diperbuatnya. Dikatakan kepadanya : “Ini adalah imbalan bagi gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui.”
Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Alalh membenci keluarga pemakan daging manusia.” (H.r. Baihaqi). Sufyan mengomentari : “Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang menggunjing, mereka memakan daging manusia.”
Ketika menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah ibnul Mubarak, ia berkata : “Jika aku menggunjing seseorang niscaya aku akan menggunjing kedua orang tuaku, sebab mereka yang paling berhak atas amal-amal baiku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah keuntungan seorang Muslim terhadap dirimu berupa tiga hal ini : Jika engkau tidak bisa membantunya, maka janganlah engkau mengganggunya; Jika engkau tidak bisa memberinya kegembiraan, maka janganlah engkau membuatnya sedih; Jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau mencari-cari kesalahannya.
Dikatakan kepada Hasan al-Bashry : “ Si Fulan telah menggunjing Anda”, maka al-Hasan lalu mengirimkan kue-kue kepada orang yang menggunjingnya, dengan pesan : “Aku mendengar bahwa engkau telah melimpahkan amal baimu kepadaku. Aku ingin membalas kebaikanmu.”
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Jika orang melepaskan tabir rasa malu dari wajahnya, niscaya tidak akan ada masalah pergunjingan bagimu.” (H.r. Ibnu Abdi dan Abu Asy-Syeikh).
Al-Junay menuturkan : “Aku sedang dudukduduk di masjid asy-Syuniziyah, menunggu jenazah agar aku bisa ikut melaksanakan shalat jenazah. Orag-orang Baghdad dengan berbagai kelasny duduk menunggu iringan tersebut. Lalu aku melihat seorang miskin yang kelihatan bekas ibadatnya mengemis dari orang banyak. Aku berkata kepada diriku sendiri : “Jika orang ini mau bekerja untuk memperoleh rezekinya, itu akan lebih baginya.” Ketika aku kembali ke rumah, maka seperti biasanya, aku mulai melakukan wirid di malam hari, menangis dan shalat, serta amalan-amalan lainnya. Tetapi semua  wiridku itu terasa memberatkan jiwaku, aka aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk-duduk saja. Ketika aku terjaga, kantuk datang kepadaku, aku melihat si pengemis itu. Kulihat orang-orang sedang meletakkan tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan mereka memerintahkan kepadaku : “Makanlah daging orang ini, karena engkau telah menggunjingnya.” Keadan orang itu diungkapkan kepadaku, dan aku memprotes, “Aku tiak menggunjingya.” Aku hanya mengatakan sesuatu kepada diriku sendiri.” Lalu dikatakan keapdaku : “Perbuatan seperti itu pun tidak layak. Pergilah kepada orang itu dan meminta maaflah!” Paginya aku terus mencari orang itu sampai aku menemukannya sedang mengumpulkan dedaunan yang tersisa dalam air yag digunakan untuk mencuci sayur mayur. Ketika aku memberi salam kepadanya, ia bertanya : “Wahai abul Qasim, apakah engkau atang ke sini lagi?” Aku menjawab : “Tidak” Ia berkata : “Semoga Allah mengampuni dosa kami dan dosamu.”
Abu Ja’far al-Baklhy berkata : “Seorang pemuda dari kalngan warga Balkh sedang berada di antara kami, ia bermujahadah dan mengabdikan dirinya untuk melayani Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat dalam gunjingan. Ia suka mengatakan : “Si Fulan dan si Fulan itu demikian.” Pada suatu hari aku melihatnya sedang mengunjungi beberapa tukang memandikan jenazah yang disebut orang sebagai “orang-orang banci”. Ketika pemuda itu meninggalkan mereka, aku bertanya kepadanya : “Wahai Fuan, apa yang telah terjadi padamu?” Ia menjawab : “Begiliha akibatnya atas perbuatanku mengunjing. Hal itu telah emncampakkanku dalam kehinaan ini. Aku telah tergila-gila kepada salah seorang banci dan aku melayani mereka atas namanya. Semua amal ibadatku sebelumnya telah musnah. Maka doakan agar Allah swt.mengasihiku!.”

16. QANA’AH

Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki- maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Qs. An-Nahl : 97).
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Qana’ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yng tidak pernah sirna.” (Hr. Thabrani).
Diriwayatkan oleh Abu Hrairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling berbakti kepada Allah swt. Jadilah engkau orang yang menerima (pemberian-Nya), engkau akan menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana (kamu mencinta0 dirimu sendiri, maka engkau menjadi orang yang beriman. Perbaikilah dalam hidup bertetangga dengan tetanggamu, engkau akan menjadi orang Muslim. Dan sedikitlah tertaa, sebab banyak tertawa mematikan hati.” (H.r. Baihaqi).
Dikatakan : “rang-orang miskin itu mati, kecuali mereka yang dihidupkan Allah dengan kebesaran qana’ah.”
Bisyr al-Hafi berkata : “Qana’ah adalah seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati yang beriman.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkomentar : “Hubungan Qana’ah dengan ridha adalah seperti hubungan antara maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal ridha, dan wara’ adalah awal zuhud.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada.”
Abu Bakr al-Maraghy menjelaskan : “Orang yang cerdas adalah orang yang menagani dunianya, dengan qana’ah dan tidak bergegas-gegas, tapi mengurusi urusan akhiratnya dengan penuh kerakusan dan ketergesaan, menangani urusan agamanya denga ilmu dan ijtihad.”
Abu Abdullah bin Khafif berkata : “Qana’ah adalah meningkatkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan keapda apa yang dimiliki.”
Dikaakan mengenai firman Allah swt. “Allah akan menganugerahi mereka rezeki yang berlimpah)>” (Qs. Al-Hajj : 88), bahwa yang dimaksud di sini adalah qana’ah.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.”
Wahb menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana mencari teman. Mereka berjumpa dengan qaba’ah dan mereka hinggap menetap apdanya.”
Dikatakan : “Orang yang merasa qana’ah akan menemukan bubur yang lezat.” Dikatakan juga, “Orang yag selalu kembali kepada Allah swt. dalam segala hal, akan dianugerahi qana’ah.”
Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim melewati seorang penjual daging yang mempunyai sejumlah daging berlemak, si penjual berkata kepadanya : “Ambillah sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini berlemak!.” Abu Hazim menjawab, “Aku tidak membawa uang.” Si pedagang berkata : “Aku beri engkau waktu untuk mebayarnya.” Abu Hazim menjawab : “Jiwaku masih lebih baik menunggu daripadamu.”
Salah seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling qana’ah di antara ummat manusia>” Ia menjawab : “Yaitu orang yang paling berguna bagi ummat manusia dan paling sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kiab Zabur : “Orang yang Qana’ah adalah orang yang kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”
Dikatakan : “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam lima tempat : Keagungan dalam ibadat, kehinaan dalam dosa, kehidmatan dalam bangun malam, kebijaksanaan dalam perut kosong, dan kekayaan/cukup dalam qana’ah.”
Ibrahim al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan terhadap kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau membalas dendam kepada musuhmu dengan qisas.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah selamat dari orang-orang semasanya dan berjasa atas semua orang.”
Dikatakan, Orang yang qana’ah akan menemukan istirah dari kecemsan dan berjaya atas segala sesuatu.”
Al-Kattany mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran.”
Dikatakan : “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa indahnya pemuda.
Dari hari-hari yang lapar
Lebih terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki melihat seorang yang bijaksana sedang mengunyah potongan-potongan sayur yang dibuang di tempat air, dan berka kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi kepada Sultan, niscaya Anda tidak perlu makan-makanan begini. Orang bijak itu menjawab : “Dan Anda, seandainya saja Anda mau berqana’ah dengan makanan begini, niscaya Anda tidak pelu mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Al-Infithar :13).
Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia. Dalam Ayat berikutnya :
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Qs. Al-Infithar :14).
Kata Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai firman Alalh swt. :
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Qs. Al-Balad :12-3).
 Dikatakan bahwa ayat ini berarti : Membebaskan orang dari kerendahan sifat tamak.”
Dikatakan bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait.” (Qs. Al-Ahza :33), berarti, “menghilangkan sifat kikir dan iri.”
Dan firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Hazab :33)) berarti : Melalui sifat murah hati dan tidak pelit dalam memberi.”
Mengenai firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” (Qs. Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku derajat qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk dengan pesoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha dengan ketentuan-Mu.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman) pasti akan menghukum (burung hud-hud) dengan hukuman yang pedih.” (Qs. An-Naml :21), bahwa ayat ini berarti : “Aku akan menaggalkan darinya sifat qana’ah dan memberinya cobaan dengan sifat rakus.” Yakni : “Aku akan memohon kepada Allah swt. agar melakukan hal ini terhadapnya.”
Abu Yazid Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa sampai pada kedudukan  sekarang ini?” Ia menjawab : “Aku mengumpulkan harta benda dunia ini lalu mengikatnya dengan tali qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka dalam ketepil keikhlasan dan melontarkannya ka lautan putus asa. Maka aku pun bisa istirahat.”
Abdul Wahahb, paman Muhammad bin Farhan, menuturkan, : “Aku sedang duduk-duduk bersama al-Junayd di sat musim haji, dan disekelilingnya ada sekelompok besar orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah dibesarkan di lingkungan rang Arab. Seseorang datang kepadanya dengan membawa uang limaratus dinar, yang diletakkannya di hadapan al-Junayd, lalu Junayd berkata, : “Sebarkan pada orang-orang fakir.” Sambil bertanya kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang selain ini?” Ia menjawab : “Ya, aku masih punya banyak.” Al-Junayd bertanya kepadanya : “Apakah kamu ingin memperoleh lebih banyak dari yang kamu miliki sekarang?” Ia menjawab : “Ya”. Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya : “Ambillah kembali uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada kami.” Junayd tidak menerimanya.”

17. TAWAKKAL

Firman Allah swt. berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali Imran:160).
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Al-Maidah:23).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat berkumpul haji. Kulihat bahwa ummatku mememnuhi lembah dan gunung-gunung. Jumlah dan penampilan mereka mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah engkau ridha?” Aku menjawab : “Ya”. Bersama dengan mereka akan ada tujuh puluh ribu orang  yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah mencari ramalan dengan burung, dan idak penah pula mencuri; dan mereka hanya bertawakkal kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi itu, Ukasyah bin Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah seorang di antara mereka.” Rasulullah lalu berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia salah seorang dari mereka.” Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan juga saya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului akasyah.” (H.r. Ahmad).
Abu Ali ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkata kepada ‘Amar bin Sinan : “Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka ia pun berkata kepadaku : “Ia berkata bahwa ada tiga tanda orag gyang bertawakkal kepada Allah swt. Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan tidak pula menahan sesuatu.”
Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-Bisthamy ditanya : “Apakah tawwakl itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana apendapatmu?” Aku menjawab : “Para murid kami mengatakan : “Bahkan jika seekor binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu, jiwamu tidak akan bergetar karenanya.” Abu Yazid mengatakan : “Ya” itu mendekati. Tetapi jika  penghuni surga hidup dengan penuh kenyamanan dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terrlintas dalam pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari golongan tawakkal!.”
Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam tawakkal adalah bahwa si hamba berada di tangan Allah swt. seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa ia bergerak dan berangan-angan.”
Hamdun al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah berpaut erat pada Allah swt.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham : “Siapa yang memberrimu makanan?” Ia menjawab : “Milik Allah-lah harta kekayaan dalngit dan bumi, tetapi orang munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-Munafiqun :7).
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan gerakan lahiriah tidak menaggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang ari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt. di dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku bertawakal saja kepada Allah?” Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-benar bertawakkal kepada Allah di dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku telah bertawakkal kepada Allah swt. padahal aku berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan bertawakkal?” Ia menjawab : “Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada yang bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei memperoleh citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah mengharapkan kota-kota dan bertawakkalh kepada Allah.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipunengkau sangat membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal kepada Allah adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby : “Mengabdikan jasad untuk beribadat, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat seorang dari kalangan jahat dikenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa sakitmu akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala orang yang menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas : “Apa yag telah engkau capai dalam perjalananmu menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-Husain lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulain mencari rezeki sehari saja, dan tidak berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan oleh Sahlbin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt. dalam apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada Allah, pada hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh Ibrahim as. Ketika menaggapi tawaran Jibril as. Untuk menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab : “Darimu, aku tiak perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry : “Apakah tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah menyingkirkan semua yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang itu meminta : “Apa lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah jika engkau punya sepuluhribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham, engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu, engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi berkomentar : “Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap keadaan.” Si penanya minta penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap keadaannya, berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-benar tawakkal kepada Allh swt. tidak akan memakan sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih berhak akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya : “Katakan kepada kami hal paling aenh yang Anda lihat dalam perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr as. Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku takut jika tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia menjelaskan : “Kalbu yang hidup bersama Allah swt.dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan bagi orang yang bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3), Tafwidh.” Orang yang tawakkal akan merasa tenteram denan janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah awal; Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar : “Tawakkal adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol adalah sebuah toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan menyertai sebuah kaffilah adalah nafsu. Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-Syibly mengatakan : “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa menghantam dalam aktivitas geraknya, berarti menghantan Sunnah, dan abrangsiapa menghantam dalam tawakkal berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang dalam perjalanan menuju  ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya : “Engkau seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku Jin.” Aku bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal kepada Allah.” Aku bertanya kepadanya : “Dan apakah tawakkal itu?” Ia menjawab : “ Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya dalam hal tawakkal kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda membawa barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri dari segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak merusak tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua. Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa timba, jarum dan benang, maka patutu engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang beriman, taslim sifata para wali, dan menyerahkan segenap urusan kepaa Allah (tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal adalah sifat kaum awam, taslim adalah sifat manusia-manusia khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash.” Saya juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as. Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum, aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat haji empatbelas kali dengan kaki telanjang dan penuh tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku tercocok duri, kuingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah dan kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah swt. memasuki padang pasir dalam ekadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl kepada Allah, ia menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang belum kucapai, dan bagaimana seseorang yang belum menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt. seperti seorang gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus berlindug, kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan orang gyang bertawakkal kepada Allah swt. Ia dibimbing hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir ia seorang yang lemah, maka aku merogoh saku dan mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan kukatakan kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah di belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara, dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya : “Engkau mengambil dirham dari kantung bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di Mekkah – semoga Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak mengonsumsi apa pun selain air Zam-zam. Setelah beberrapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya.” Bagaimana pendapat Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda minum?” Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan berkata : “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh aku telah menyembah Zam-zam selama beberpa hari ini.” Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.” Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima apa pun melalui seorang perantara.” Maka aku lalu berkata : “Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau berlaku atas dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai Ibrahim, janganlah Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan melihat kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?” Lalu ia menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa jika Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda tidak menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada al-Junayd dan bertanya : Ke manakah kita harus mencari rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian semua tahu, pergi dan carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya : “haruskah kita pulang dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab : “Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya : “Lantas, apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary : “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada di tanagn Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak yag mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan kepadanya : “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.” Maka ia pun selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari seorang fakir mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh sesuatu untuk dimakan.”
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk dimakan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang seseorang, lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-olah ada suara  yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya sebuah saljamat yang busuk!” Maka saljamat itu pun kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk. Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan sebuah bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku : “Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah swt. menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah. Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya akan memberikan bingkisan ini kepada orang pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya temui.” Aku lalu meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Ia pun membukanya dan kudapati  di dalamnya ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata : “Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya untuk Anda, karena saya telah menerima hadiah Anda.” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri : “Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada bersma Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata : “Suatu ketika aku punya hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi berurusan dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan : “Aku sedang berada di tengah perjalanan menuju ke Mekkah --- semoga Allah menjaganya – datang dari Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau seorang kuli, engkau memikul perbeklan di atas punggungmu, dengan membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku. Tapi kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku menemukan sebuah gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang ini akan terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.” Kemudain muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang! Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan aku akan mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu dilemparkannya uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata : “Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa ia memerlukan seorang budak wanita untuk melayaninya. Maka ia lalu mengungkapkan keperluannya itu kepada saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya : “Inilah uang untuk membeli budak itu! Sekelompok budak sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang engkau sukai!” Ketika rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju kepada salah seorang budak, dan mereka berkata : “Itulah budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak dijual.” Mereka meminta dengan sangat agar budak itu dijual kepada mereka, tapi pemiliknya mengatakan : “Ia telah didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang wanita dari Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak tersebut lalu menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada mereka : “Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab : “Kami dari Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata : “Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.” Mereka bertanya : “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr menjawab : “Dengan tiga syarat : Kita tidak usah membawa (bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada sipa pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju. Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda semua telah datang dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.” Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu, ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika diberi sesuatu mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di hadirat Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah yang patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong roti. Ia berkata : “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.” Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat, dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki. Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin wanita diiringkan kepada keluarga pengantin laki-laki. Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh) aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt. dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa menerima uang satu sen dari sumber yang tidak halal, beraarti ia tidak bertawakkal kepada Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di sana, kulihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah menjadi tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.” Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke suha tempat kecuali jika aku dibawa ke dalamnya. Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali Alalh telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika aku pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku berkata : “Tidak, demi Allah, aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian. Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya berkata : “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur itu dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri : “Aku hanya akan berteriak kepada Dia yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku pun tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu yang membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya. Saat itulah kudengar suara raungan pelan yang seolah-olah mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur. Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu mneruskan perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu dari kebinasaan yang lain.” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani Ibrahim bin Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah kejadian paling aneh yang Anda saksikan bersamanya?” Ia menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan menuju Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan. Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata : “Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku menjawab : “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata kepadaku : “Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang diinginkan dalam setiap keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatu pun selain Allah swt. Berikan kertas ini kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Aku pun pergi ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah seorang laki-laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis. Ia bertanya : “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata pada kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang enamratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang tersebut adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim dan kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.” Sejam kemudian orang Nasrani itu pun muncul, mencium kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”

18. syukur

Allah berfirman :
‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat pemberian-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7).
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari Atha’ yang berkata : “Aku bersama Ubaid bin Umair mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata akepadanya : “Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau menangis dan bertanya : “Adakah yang beliau lakukan, yag tidak mengagumkan?” Suatu malam, beliau datag kepadaku, dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau berkata : “Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku!”  Aku menjawab : “Saya senang berdekatan dengan Anda.” Tapi aku mengijinkannya. Kemudan beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau : “Apakah yang menyebabkan Anda menangis wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab : “Tidakkah akumenjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang  berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikenadlikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.! (Qs. Al-Baqarah :164).
Dengan ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur. Artinya, memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan adalah kejahatan yang serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah : “Seekor binatang, dikatakan bersyukur, jika ia mencari makanan melebihi jerami yang diberikan kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian kepada-Nya dengan mengingat-ingat anugerah-Nya kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah swt. sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rakhmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu menyatakan syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba, pada hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam  hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan syukur denga tubuh, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram dalam latar musyahadah dengan erus menerus melaksanakan pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur dengan lidah mereka, kaum pencinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin beryukur dengan istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua perilaku mereka.
Abu Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah memberikan musyahadah terhadap anugerah tersebut dan menjaga penghormatan.”
Hamdun al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas anugerah adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai parasit dalam syukur.”
Al-Junayd berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi ia sadar  di sisi Allah swt. lebih dari bagian dirinya sendiri.”
Abu Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan : “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia telah memberikan taufik-Nya, dna Taufiq-Nya itu termasuk nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda, sampai tak terhingga.
Dikatakan : “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.”
Al-Junayd mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwayn menegaskan : “Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu.”
Dikatakan : “Orang yag bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur) berterima kasih karena tidak diberi>” Dikatakan juga : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas lemelaratan.” Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterimakasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya kepadaku : “Wahai anakku, apakah ebrsyukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah jika orang tak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia mengatakan : “Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau peroleh melalui lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan : “Aku senantiasa menangis mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberi Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Abu Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur karena diberi makanan atau pakaian, sedangkan kaum khawash bersyukur atas makna-makna yang datang di hati mereka.”
Dikatakan bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan kesyukuran itu sendiri adalah nikmat dari-Mu.” Allah mewahyukan kepadanya : “Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa munajatnya, : “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah begini dan begitu. Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab : “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya kepada-Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabtnya itu mengatakan kepadanya; “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu didera, dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol ranatainya dikenakan pada kaki sahabt, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun, yang berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Sahabatnya ( si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kalimat ini “ Cobaan apa yang lebih berat dari ini?” Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan engkau perbuat?”
Dikatakan : “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya.”
Dikatakan juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku : “Wahai Al Junayd, apakah syukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi : “Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan ini?” Aku menjawab : “Bersama majelis-majelis Anda.”
Diceritakan bahwa  al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada sebuah tiang dan bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan : “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan, maka engkau mesti lebih banyak mengucap “SYUKUR” dengan lisanmu.”
Dikatakan pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah : Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu; memberi nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur; menebar benih di tanah yang tandus; dan menyalakan lampu di bawah cahaya matahari...
Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur. Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau menjawab : “Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini aku telah berjuang hanya untuk memperoleh ampunan.”  Kemudian salah satu malaikat mengembangkan sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah swt. melimpahkan salam kepadanya – berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara kepadanya, katanya : “Ketika aku mendengar Allah swt. berfirman : “Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis karena karena takut.” Nabi itu kemudian mendoakan, agar Allah swt. melindungi batu iru dari api neraka, dan Allah lalu mewahyukan kepadanya : “Aku telah menyelamatkannya dari neraka.” Manak Nabi itu  lalu meneruskan perjalanannya. Ketika kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah swt. menjadikan batu itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu bertanya : “Mengapa engkau masih mengis sedangkan Allah telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, : “Sebelumnya adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur selalu meningkat karena ia berada di hadapan nikmat.” Allah swt. berfirman : “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang sabar berada bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-Nya yang memberikan cobaan. Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Qs. Al-Nafal :46).
Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda, yang memulai membuka pembicaraan!” Umar berkata kepadanya : “Coba yang tua-tua dulu berbicara!” Mendengar itu si pemuda berkata : “Wahai Amirul Mukminin, jika urusan diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak dikalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah dibanding Anda.” Maka Umar berkta : “Bicaralah!” Pemuda itu menjelaskan : “Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah memenuhi kebutuhan kami dari ketakutan.” Maka Umar pun bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian ini?” Ia menjawab : “Kami adalah delegasi yang menyampaikan syukur. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.” Dan mereka lalu bersenandung.” :
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan kebaikanmu berbicara
Aku melihat anugerah darimu
Dan aku menyembunyikan
Karenanya, di tangan yang pemurah
Jadi pencuri.
Diceritkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada Musa as. : “Aku melimpahkan rakhmat kepada hamba-hamba-Ku : Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa pula terhadap mereka yang terampuni>\?” Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari penderitaan itu.”
Dikatakan : “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas nikamat-nikmat anggota badan.”
Dikatakan pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan syukur sebagai tebusan darimu.”
Dalam hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di panggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji kepada Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan : “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa  yang diberikan-Nya, dan syukur atas yang diperbuat oleh-Nya.

19. YAKIN

Allah swt. berfirman :
“.... Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah swt. telah bersabda :
Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah mencari kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt.”
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab : “Aku terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang akan menang, aku akan terus berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan mendapatkan suatu derajat.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya.” Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) danya Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah tersebut.”
Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin, Mengenai pembenran Al-Haq (tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan : Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya.” Ia juga mengatakan : “Ada tiga  tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan manusia; Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi (hadiah). Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.” Tandasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara : Mukasyafah yang bersifat informatif; mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby : “Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia menjawab : “Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.” Lalu aku bertanya : “Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab : “Dengan mukasyafah.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, nsicaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan : “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman.” Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan.”
Al Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan bahwa denga ucpannya itu Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan : “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan.”
Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan, ia menjawab : “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata : “Keyakinan adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau engkau cintai seiapapun
Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan : Keyakinan informatif; keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat seorang pemuda berjala di apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati : “Jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya : “Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa peerbekalan?” Ia menjawab : “Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt.?” Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana engkau mau?”
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu meleparkan kembali jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aKemudain terdengar sebuah suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan.”