Minggu, 24 Desember 2017

SURAT CINTA PENERANG JIWA

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis surat kepada sahabatnya:
"Sahabatku...
Pilihlah kawan perjalananmu dari orang-orang yang terpecaya dan jujur, seperti perintah-Nya: "Hendaklah bersama orang-orang jujur."
Pergilah dan langkahkan kakimu menjauh dari rumah-rumah para pecinta dunia, karena sungguh Kami telah menjadikan apa yang di atas bumi sebagai perhiasan.

Jagalah dirimu dengan jarak aman dari jalan-jalan buntu dan sarat godaan. Ingatlah bahwa kekayaan dan anak-anakmu adalah ujian.
Teruslah berjalan mengikuti orang-orang yang diberi petunjuk, orang yang mentaati peringatan. Ini adalah peringatan. Maka siapa yang menghendaki kebaikan, niscaya ia mengambil jalan menuju Tuhannya.
Berdoalah seperi munajat orang yang teramat membutuhkan--atau siapakah menjawab doa orang yang teramat membutuhkan ketika ia berdoa kepada-Nya.
Tunjukkanlah kelemahan dirimu, lalu sampaikan munajatmu dengan kalimat penuh permohonan: tujukanlah kami jalan yang lurus. Sehingga Sang Penguasa keabadian datang membawa kabar gembira: "Sungguh tidak ada rasa takut bagi para wali Allah, dan tidak pula mereka berduka."
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Khamsa 'Asyar Maktuban lil-Jaylani


Sabtu, 23 Desember 2017

AJARAN CINTA PARA SUFI

Dapat dikatakan bahwa semua perbuatan baik dan akhlak mulia yang diajarkan oleh agama adalah buah dari cinta. Sedangkan segala yang tidak dibuahkan oleh kecintaan kepada Allah adalah karena mengikuti hawa nafsu dan merupakan akhlak yang tercela.
Memang, kadang-kadang seseorang mencintai Allah karena kenikmatan yang diterimanya. Tapi, kadang seorang juga mencintai Allah karena keagungan dan keindahan-Nya meskipun Dia “tidak memberikan” kenikmatan kepadanya. Para pecinta tidak terlepas dari kedua macam cinta tersebut.
Maka dari itu, Imam Al-Junaid mengatakan, “Dalam mencintai Allah, orang terbagi menjadi dua macam, yaitu awam dan khusus. Orang awam memperoleh cinta tersebut karena mereka mengenal kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan Allah yang terus-menerus, serta tak terhitung jumlah dan banyaknya. Mereka tidak mampu mengendalikan diri mereka agar rela kepada-Nya. Besar kecil cinta mereka tergantung besar-kecilnya kebaikan Allah yang mereka terima.
Sedangkan orang khusus memperoleh cinta karena besarnya kemampuan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, hikmah, dan upayanya untuk menjadikan Sang Kekasih sebagai satu-satunya yang harus ia cintai.

Ketika mereka mengenal sifat-sifat-Nya yang sempurna dan nama-nama-Nya yang indah, mereka tidak mampu menolak untuk mencintai-Nya. Dengan sifat-sifat dan nama-nama tersebut, bagi mereka Tuhan berhak untuk dicintai. Hal itu karena Allah memang layak memperoleh cinta meskipun Dia hilangkan semua kenikmatan dari para pecinta khusus tersebut.”
--Disarikan dari Al-Mahabbah karya Imam Al-Ghazali--

JALAN TASAWUF SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Menurut Sulthanul Auliya, terdapat 7 prinsip dasar bagi salik dalam bertarekat, yakni:

1. Mujahadah
Allah SWT berfirman,, “Orang-orang yag berjihad (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami,” (Al-‘Ankabut [29]: 69).
Imam Juneid Al-Baghdadi mengatakan, “Aku mendengar As-Sari As-Saqathi berkata, ‘Wahai anak muda! Bekerja keraslah sebelum kalian mencapai usia sepertiku yang lemah dan tak bisa melakukan amal secara optimal.’ Hal ini dikatakan beliau setelah melihat tidak ada anak-anak muda yang gigih beribadah seperti dirinya.”
Ibrahim bin Adham menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai derajat orang-orang yang shaleh hingga ia melawati enam perkara: 1) Menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesusahan; 2) Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan; 3) Menutup pintu istirahat dan membuka pintu kerja keras; 4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu begadang; 5) Menutup pintu kekayaan dan membuka pintu kemiskinan; 6) Menutup pintu harapan dan membuka pintu persiapan menyambut kematian.

2. Tawakal

Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi keperluannya (QS Ath-Thalaq [65]: 3). Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah [5]: 23)

Anas ibn Malik r.a. meriwayatkan, seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dengan mengendarai seekor unta. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membiarkan untaku tanpa diikat, lalu aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikat dulu untamu! Lalu bertawakal!”

Abu Turab Al-Nakhsyabi mengatakan, tawakal adala melemparkan badan dalam penghambaan (‘ubudiyyah) dan mengaitkan kalbu dengan ketuhanan (rububiyyah), serta merasa tenang dengan apa yang ada. Jadi, jika diber, dia bersyukur dan jika tidak diberi, dia bersabar.”

3. Akhlak

Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak agung,” (Al-Qalam [68]: 4). Anas ibn Malik ra. berkata bahwa Rasullah Saw. pernah ditanya tentang orang mukmin yang imannya paling utama. Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.”

Akhlak adalah hal yang paling utama karena akhlak mencerminkan jati diri yang sebenarnya. Manusia terkubur oleh kelakuannya dan terkenal karena kelakuannya juga. Ada yang mengatakan, akhlak yang baik diberikan secara khusus oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana mukjizat dan keutamaan yang Dia berikan kepadanya. Namun, Allah tidak memuji beliau karena prestasi beliau seperti pujian-Nya kepada beliau karena akhlak beliau. Ada yang berpendapat, Allah memuji Nabi Muhammad karena akhlaknya yang agung karena beliau adalah orang yang mendermakan dunia dan akhirat (jad bi al-kaunain) dan mencukupkan diri dengan Allah. Budi pekerti yang agung berarti tidak memusuhi dan tidak layak dimusuhi karena makrifat yang mendalam akan Allah.
4. Syukur

Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)mu,” (Ibrahim [14]: 7). Menurut ahli hakikat, syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh pemberi nikmat secara khusus. Allah menyebut dirinya sebagai “Yang Maha Mensyukuri” (al-Syakur) dalam arti yang meluas. Maksudnya, dia akan membalas para hamba atas syukur mereka.
Ada yang mengatakan, hakikat syukur adalah memuji orang yang telah berbaik hati memberi (al-muhsin) dengan mengingat-ingat kebaikannya. Syukur hamba kepada Allah berarti memuji-Nya dengan mengingat-ingat kebaikan yang Dia berikan. Sementara, syukur Allah kepada hamba adalah pujian-Nya atas si hamba dengan menyebut kebaikannya kepada-Nya. Selanjutnya, kebaikan budi hamba adalah ketaatannya kepada Allah, dan kebaikan budi Allah adalah kemurahan-Nya memberikan nikmat kepada hamba.

5. Sabar

Allah berfirman, “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,” (An-Nahl [16]: 127). Aisyah ra meriwayatkan, Nabi Saw. bersabda, “Sabar yang sesungguhnya adalah sabar ketika menghadapi guncangan yang pertama.” Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, hartaku telah habis dan tubuhku digerogoti penyakit.” Nabi Saw. menukas, “Tidak ada kebaikan pada hamba yang tidak kehilangan hartanya dan tidak sakit tubuhnya. Sesungguhnya jika Allah SWT. mencintai seorang hamba, maka Dia timpakan cobaan kepadanya. 
Jika Dia menimpakan cobaan kepadanya maka Dia akan membuatnya bersabar.”
Sabar ada tiga macam, 1) Sabar karena Allah, yakni sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 2) Sabar bersama Allah, yakni sabar menerim qadha dan skenario Allah pada dirimu berupa cobaan dan kesulitan. 3) Sabar atas Allah, yakni bersabar menanti apa yang dijanjikan Allah berupa rezeki, bebas dari masalah, kecukupan, pertolongan, dan ganjaran di akhirat.

6. Ridha

Allah berfirman, “Allah meridai mereka dan mereka pun meridai Allah,” (Al-Maidah [5]: 119). Rasulullah bersabda, “(Manis) rasa keimanan hanya bisa dicicipi oleh orang yang rida menerima Allah sebagai Tuhan.” Allah juga berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (Al-Baqarah [2]: 216).
Abu Ali Al-Daqqaq ra mengatakan, rida bukanlah tidak merasakan cobaan, akan tetapi rida sesungguhnya adalah tidak memprotes ketentuan dan qadha. Apakah seseorang bisa mengetahui bahwa Allah meridainya? Dia bisa mengetahuinya. Jika seseorang merasakan hatinya rida kepada Allah maka dia tahu bahwa Allah rida kepadanya.

7. Jujur (Shiddiq)

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar,” (At-Taubah [9]: 119). Diriwayatkan Abdullah ibn Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang hamba selalu berkata benar dan terus bergiat mengupayakan kebenaran, maka Allah akan menetapkannya sebagai shiddiq (orang yang selalu berkata benar).”
Shidq adalah pilar dan penyempurna segala hal. Ia merupakan derajat kedua setelah derajat kenabian. Shadiq adalah sifat yang melekat pada seseorang yang jujur/berlaku benar. Sedangkan shiddiq adalah bentuk mubalaghah (hiperbola), diberikan kepada orang yang terus-menerus melakukan kejujuran/kebenaran, sehingga menjadi kebiasaan dan karakternya. Ada tiga hal yang menjadi buah manis orang yang berlaku shidq dan tidak akan lepas darinya: kenikmatan, wibawa, dan keramahan.


--Disarikan dari At-Tasawwuf dalam kitab Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani--

Kamis, 21 Desember 2017

TAKDIR MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Memahami takdir Allah harus dengan ilmu yang benar tentang hakikat, sebab boleh jadi kita akan tergelincir pada sifat zindiq. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”

Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?”
Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an,
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)

Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”

--Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar--

Rabu, 20 Desember 2017

RINDU KEINTIMAN SPIRITUAL BERSAMA ALLAH

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa perasaan damai, takut, dan rindu merupakan dampak dari perasaan cinta. Namun, kadar yang dirasakannya tidak permanen, tergantung pada tingkat ketajaman pandangan dan tingkat kepekaan perasaan yang menguasai sang pecinta.

Jika apa yang terjadi pada sang pecinta adalah sebuah penyaksian dari balik tabir hingga mencapai keindahan puncak dan ia merasa tak mampu lagi untuk menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan tersebut, maka hatinya menjadi cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus memburu. Keadaan cemas seperti itulah yang disebut syawq (kerinduan). Sungguh kerinduan adalah sesuatu yang gaib.
Jika ia dikuasi oleh perasaan tentram dan bahagia luar biasa, karena berdekatan (bersama Allah) dan berhasil menyaksikan kehadiran-Nya melalui tersingkapnya tabir antara Dia dan dirinya, lalu pandangannya juga terfokus pada penyaksian keindahan yang hadir terungkap di hadapannya, tanpa menoleh kepada keindahan lain yang belum diketahui, maka hatinya akan diliputi perasaan senang dan gembira. Kegembiraan seperti inilah yang disebut uns (keintiman spiritual).
Lalu, jika pandangannya terfokus pada sifat keagungan dan kemandirian-Nya, sama sekali tak berpaling dari-Nya dan ia khawatir semua yang dirasakannya itu lenyap, menghilang atau menjauh, maka hatinya akan merasa pedih. Perasaan pedih semacam inilah yang disebut khawf (ketakutan).
Jadi, uns (keintiman spiritual) dalam konteks ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan hati karena menyaksikan keindahan. Lalu, ketika kegembiraan dan kebahagiaan itu benar-benar telah menguasai, tidak peduli terhadap segala hal yang telah menghilag, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak pada puncak tertingginya (uns).
Suatu ketika Syekh Ibrahim bin Adham turun dari gunung. Seseorang bertanya, “Darimana engkau, ya Syekh?” Lalu beliau menjawab, “Dari bersenang-senang (uns) dengan Allah.” Bersenang-senang dengan Allah menyebabkan dia merasa tidak membutuhkan kepada selain Allah. Bahkan, semua bentuk kendala yang merintangi khalwat menjadi beban di hati.
Diriwayatkan pula bahwa Musa a.s. berbicara dengan Allah SWT, beliau berdiam diri selama beberapa hari. Jika beliau mendengar seseorang berbicara, maka beliau langsung pingsan. Ini tidak mengherankan karena cinta hanya meniscayakan nikmatnya pembicaraan Sang Kekasih, juga nikmatnya berdzikir dan menyebut-Nya. Bagi sepotong hati yang dirasuki cinta, maka tak ada yang terasa nikmat selain Dia semata. Karena itu, seorang bijak berkata dalam alunan doa, “Wahai Dzat yang dengan menyebut-Nya hati jadi damai sentosa! Wahai Dzat yang membuat aku tak merasa butuh kepada makhluk-Nya.”
Rabiah Adhawiyah ditanya, “Dengan apa engkau bisa meraih kedudukan seperti ini?” Beliau menjawab, “Dengan meninggalkan apa yang tidak aku butuhkan dan rasa damaiku bersama Dzat yang tak pernah lenyap.”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha

SUDAHKAH KITA RIDHA?

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Manisnya rasa iman hanya bisa dicicipi oleh orang yang ridha menerima Allah sebagai Rabb," (HR Muslim)
Allah SWT berfirman, "Allah meridhai mereka dan mereka pun meridhai Allah."(QS Al-Maidah (5): 119)

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan bahwa Allah SWT memang sengaja menyembunyikan apa-apa yang maslahat dari para hamba-Nya ketika Dia membebani mereka untuk menjalankan perintah dan menjauhlarangan-Nya sebagai wujud penghambaan kepada-Nya.
Dia hanya memerintahkan untuk menerima takdir, ridha menghadapi qadha secara total, baik pada hal yang positif atau negatif baginya. Allah sengaja menyimpan sendiri pengetahuan tentang maslahat dan nasib akhir seseorang agar sang hamba senantiasa taat kepada-Nya dan ridha menerima apa yang Dia bagikan kepadanya tanpa mengeluh ataupun menyalahkan-Nya.
Ketahuilah bahwa kelalaian setiap orang terpulang pada kadar penolakannya terhadap takdir, pilihannya untuk menuruti hawa nafsunya, dan keengganan untuk bersikap ridha menerima qadha.
Orang yang ridha menerima ketetapan Allah akan hidup dengan tenang, sedangkan orang yang tidak ridha akan hidup berlarut-larut dalam kemalangan dan kelelahan, padahal ia tidak memperoleh materi duniawi kecuali apa yang memang telah ditentukan sebagai rezekinya.
Selama seseorang menuruti hawa nafsunya dan dikendalikan olehnya, ia tak akan mampu bersikap ridha terhada qadha, sebab tabiat hawa nafsu memang menentang Al-Haqq, sehingga kelalaiannya pun kian bertambah. Karena itu, jika ingin hidup tenang, lawanlah hawa nafsu!

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq

RAHASIA KEKUATAN TAUHID

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Wahai engkau yang mengabdi dengan tulus kepada Tuhan, tanpa melakukan kemusyrikan terhadap-Nya, engkau harus mendekati pintu Tuhanmu dan mengambil posisimu di sebelah-Nya. Engkau tidak boleh mencoba lari manakala datang nasib yang malang.

Apabila engkau telah mengambil posisimu di pintu-Nya, dan malapetaka mengancam untuk menyusulmu dari belakangmu, engkau harus berpegang kuat-kuat pada pintu itu, sebab dengan demikian malapetaka itu akan terusir darimu oleh kekukuhan tauhidmu dan sifat benarmu yang menggetarkan.
Karena itu, manakala nasib malang mengancam akan menyusulmu, engkau harus mempraktikkan kesabaran dan ketabahan, sambil membaca firman-Nya: “Dan Allah mengukuhkan mereka yang beriman dengan ucapan yang kukuh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat (QS Ibrâhîm (14) : 27). “Maka Allah akan memelihara kamu dari neraka. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui,” (QS Al-Baqarah (2):137).
Engkau juga harus sering-sering mengucapkan kata-kata (Nabi Saw.): “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm).”
Engkau harus sering-sering memohon ampun (istighfâr), mensucikan (tasbîh) Tuhan, dan mengingat-Nya dengan ketulusan yang jujur (shidq). Jika engkau melakukan ini semua, engkau akan aman dari tentara bencana dan bala tentara diri-diri rendah (nufûs), hawa nafsu (hawâ) dan setan.
Betapa sering aku berusaha membuatmu menyadari, tetapi tetap saja engkau tidak memahami masalahnya..“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka sungguh dia adalah orang yang terbimbing lurus (QS Al-A‛râf (7) :178)
“Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka sungguh tidak ada pemandu baginya (QS Al-A‛râf (7):186). “Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada orang yang akan dapat menyesatkannya (QS Al-Zumar (39) : 37).

Nabi kita Muhammad Saw. tetap berharap bahwa mereka yang telah tersesat bisa menerima petunjuk yang benar, dan beliau sangat menginginkan hal ini sehingga Allah mewahyukan kepada beliau: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah-lah yang membimbing siapa yang dikehendaki-Nya (QS Al-Qashash (28) : 56).
Ketika itulah beliau Saw. berkata: “Aku telah diutus untuk menawarkan petunjuk, tetapi (penerimaan) petunjuk itu tidak ada kaitannya denganku. Dan iblis menyediakan godaan, tetapi penyimpangan dari jalan yang benar tidak ada kaitannya dengan dia.”
Adalah keyakinan yang kuat dari orang-orang yang mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Saw. bahwa pedang tidaklah memotong karena sifatnya, tetapi bahwa Allah-lah yang memotong dengannya; bahwa api tidaklah membakar karena sifatnya, tetapi Allah-lah yang menggunakannya untuk membakar; bahwa makanan tidaklah menghilangkan rasa lapar dikarenakan sifatnya, tetapi Allah-lah yang menggunakannya untuk menghilangkan rasa lapar kita; bahwa air tidaklah menghilangkan rasa haus dikarenakan sifatnya, tetapi Allah-lah yang menghilangkan rasa haus kita dengannya.
Begitu pula dengan semua sarana material dalam berbagai bentuknya. Allah adalah yang mengendalikan dan menggunakannya, sementara sarana-sarana tersebut hanyalah alat di tangan-Nya, yang dengannya Dia melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya.
Ketika Ibrahim a.s., sahabat khusus Allah, dilemparkan ke dalam api besar yang berkobar-kobar, dan Tuhan tidak menghendaki dia terbakar hangus oleh panasnya, maka Dia memberlakukan kepadanya keadaan dingin dan damai.

Kita tahu, dari hadis shahih yang telah sampai kepada kita, bahwa Nabi Saw. pernah mengatakan: “Pada hari kiamat nanti, neraka akan berkata: “Lewatlah, wahai orang beriman, sebab cahayamu telah memadamkan kobaran apiku!”
Seorang budak mungkin perlu dipukul dengan tongkat, tetapi anggukan kepala saja sudahlah cukup untuk mengatakan kepada seorang merdeka apa yang diminta darinya.”


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

MERAIH RAHMAT DENGAN SHALAWAT NABI

Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Husaini r.a berkata,”Ibnu ‘Atha’ berkata : ‘Doa memiliki rukun-rukun tertentu, sayap-sayap, sebab-sebab, dan waktu-waktu khusus. Jika memenuhi rukun-rukunnya doa itu akan menjadi kuat, jika ia memiliki sayap-sayap ia akan terbang ke langit, jika tepat waktunya ia berjalan terus. Dan jika memenuhi sebab-sebab, doa itu akan terkabulkan.
Rukun-rukun doa adalah hati yang khusyuk, konsentrasi, lembut, pasrah diri, bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada faktor apapun. Sayap-sayap doa adalah ketulusan dan kejujuran. Waktu berdoa adalah di malam hari. Sebab-sebabnya adalah membacakan shalawat atas Nabi Saw.”
Dalam kitab Al-Ausath, Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Semua doa tertolak, kecuali dia membaca shalawat untuk Muhammad dan keluarganya.” Dan Ali bin Abu Thalib r.a berkata,”Setiap doa pasti terhalangi oleh sebuah tabir antara pemohon doa dan Allah. Kecuali orang itu membaca shalawat, maka tabir itu akan terbakar, dan doa itu pun bisa menembusnya. Jika orang itu tidak membaca shalawat, maka doanya akan terpental.”
Dalam Asy-Syifa, Ibnu Mas’ud r.a berkata,”Jika di antara kalian ada yang mengharapkan sesuatu dari Allah, maka hendaklah memulai doanya dengan puja dan puji kepada-Nya, disusul dengan membaca shalawat atas Nabi-Nya, baru kemudian menyampaikan hajatnya. Yang demikian ini lebih berpeluang besar untuk terkabulkan.”
Kesimpulannya, shalawat dapat mendatangkan pencerahan, rahasia, membersihkan batin dari segala jenis kotoran; yang mesti dibaca oleh para pemula, orang-orang yang memiliki banyak hajat, dan orang-orang yang sudah mencapai puncak perjuangan. Salik thalib, murid muqarrib, dan arif washil, mereka semua sama-sama membutuhkan shalawat.
Seorang seorang penuntut ilmu kita membutuhkan shalawat untuk peningkatan diri; seorang murid untuk bimbingan diri; dan seorang arif membutuhkan shalawat untuk membuatnya fana‘.
Dalam hal ini, shalawat dibutuhkan seorang salik untuk membantunya dalam menempuh perjalanan atau suluk, shalawat dibutuhkan oleh murid untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya, dan dibutuhkan oleh ‘arif untuk berkata begini : “Inilah Engkau, Raja-Diraja.” Shalawat membuat seorang salik mencintai amal perbuatan, membuat seorang murid meraih ahwal, dan membuat seorang ‘arif semakin kokoh berpijak pada maqam al-Inzal.
Selain itu, shalawat menjadikan seorang salik mendapatkan cahaya, shalawat membuat seorang murid memperoleh ‘ibarah, dan shalawat membuat penyaksian seorang ‘arif semakin bertambah; atau shalawat membuat seorang salik mampu berjalan, membuat seorang murid dipancari sinar-sinar, dan membuat seorang ‘arif semakin mesra dalam perjumpaan (bersama Allah); atau boleh jadi, shalawat membuat seorang salik memperoleh cahaya yang berlipat-lipat, membuat seorang murid dicurahi rahasia-rahasia gaib, dan membuat seorang ‘arif merasa tak ada bedanya antara siang dan malam; atau boleh dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik semakin bersemangat, menjaga seorang murid dari kemunduran dalam beramal, dan menjadikan seorang ‘arif semakin sederhana dalam berakhlak; atau, shalawat membuat seorang salik semakin mantap, membuat seorang murid sampai pada dunia gaib Al-Malakut.
Dapat pula dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik ingin merasakan nikmatnya perjumpaan, menjanjikan seorang murid dengan perjumpaan itu sendiri, dan membuat seorang ‘arif semakin yakin dan nyata dalam perjumpaannya.”

---Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam As-Safinah Al-Qadiriyyah

Jumat, 08 Desember 2017

SYARIAT SEBAGAI DASAR TASAWUF

Imam Al Ghazali mengatakan: "Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan, "Jika engkau melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."

Abu Yazid Al Bustami juga mengatakan, "Jika kau melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama."
Demikian pula Sahl at Tasturi, beliau mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.
Imam Al-Junaidi pernah mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan "Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan".
Selanjutnya beliau juga mengatakan, "Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu."
Syekh Abu Hasan As-Syazili mengatakan, "Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri "sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul". Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul."
Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.
Nabi SAW pernah ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka, Nabi SAW menjawab, "Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik."
--Al-Munqidz min Ad-Dhalal, karya Dr. Abdul Halim Mahmud.

JANGAN PERNAH MENANTANG ALLAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Betapa hebatnya engkau, jika kau berani marah kepada Allah dan berburuk sangka kepada-Nya, berani menantang-Nya, menganggap-Nya telah lambat dalam memberikan rezeki, kekayaan, menghilangkan kesulitan dan musibah. Berani-beraninya, kau beranggapan seperti itu?!

Apakah engkau tidak tahu bahwa setiap masa itu telah ditentukan dalam buku catatan-Nya? Apakah engkau tidak tahu bahwa setiap bertambahnya ujian dan kesulitan, maka akan semakin tinggi pula tujuanmu dan kemungkinan tercapainya.

Ketentuan ini tidak dapat didahulukan atau diakhirkan. Waktu tibanya kesengsaraan tidak dapat dibalik menjadi kesenangan.Keadaan fakir tidak dapat diubah menjadi kaya. Semuanya tidak ditentukan oleh dirimu, tapi hanya Dialah yang Maha Berkuasa.
Maka, berbaikilah tata krama dan adabmu di hadapan-Nya. Bersikaplah diam, ridha, dan muwafaqah (menyesuaikan diri) kepada Allah SWT. Bertobatlah kepada-Nya atas sikap marahmu kepada-Nya dan atas prasangka burukmu terhadap takdir-Nya.
Allah SWT adalah Dzat Yang Tunggal, Esa, dan Maha Bersendirian sejak zaman azali, Dia Maha Ada sebelum segala sesuatu ada. Dialah yang menciptakan segala sesuatu, dan menciptakan semua manfaat dan madharat. Dia Yang Mahatahu tentang permulaan perwujudan, penghilangan, penghancuran dan akhir dari segala sesuatu.
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dalam takdir-Nya dan Mahayaqin dalam semua ciptaan-Nya. Tidak ada penentangan dalam ketentuan-Nya.
Dia tidak menciptakan sesuatu yang tidak ada gunanya, atau tak ada artinya dan juga tidak main-main dalam ketentuan-Nya. Tidak diperbolehkan adanya hal-hal yang bertentangan dan celaan terhadap semua ketentuan-Nya.
Maka, tunggulah masa yang lapang, jika engkau tidak mampu untuk muwafaqah (menyesuaikan diri) dengan takdir-Nya, tidak mampu untuk ridha dan tidak merasa cukup atas ketentuan-Nya, hingga datangnya masa yang telah ditentukan Allah.
Waktu malam telah habis dan berubah menjadi siang. Jika engkau mencari cahaya siang dan cahaya malam di antara waktu Magrib dan Isya, maka pasti tidak akan diberi, karena hanya kegelapan malamlah yang bertambah. Begitu juga jika engkau menginginkan cahaya malam, saat matahari telah terbit, maka permintaanmu pasti tidak akan dikabulkan.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futhul Ghaib

PESAN SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI TENTANG QANA'AH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Wahai saudaraku, makna qana'ah itu amat luas. Qana'ah menyuruh manusia agar benar-benar percaya terhadap 'kekuasaan' yang melebihi kekuasaan manusia. Qana'ah menyuruh manusia untuk bersabar menerima ketentuan Allah swt. Jika ketentuan itu tidak menyenangkan, maka Allah tetap menyuruhnya untuk menerimanya, karena itulah cobaan dari-Nya.

Dalam keadaan demikian, manusia masih tetap disuruh untuk berikhtiar dan berdaya upaya sekuat tenaganya. Selama nyawa dikandung badan, engkau wajib berusaha mencari rezeki. Engkau bekerja bukan berarti minta tambahan yang telah engkau terima, dan bukan berarti merasa tidak cukup dari ара yang telah engkau terima, melainkan engkau bekerja sebab masih hidup. Inilah yang dimaksudkan dengan qana'ah.
Jelaslah bagimu sekarang, bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa sifat qana'ah dapat melemahkan hati dan pikiran, itu salah. Qana'ah merupakan modal yang tidak pernah hilang. Qana'ah bisa membangkitkan kesungguhan hidup. Qana'ah tidak mengenal takut dan gentar, tidak mengenal ragu dan bimbang.
Allah swt. berfirman: “Tiada sesuatu yang melata di bumi, melainkan di tangan Allahlah rezekinya.” (QS Hûd (11) : 6).

Rasulullah Saw. bersabda: “Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tapi kekayaan yang sebenarnya itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup, dan merasa cukup dengan apa-apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Hakim bin Hizam ra. berkata, "Aku memohon kepada Rasulullah. Kemudian beliau mengabulkan permohonanku (permintaanku). Lalu aku meminta lagi, beliau juga mengabulkannya. Kemudian beliau bersabda, "Wahai Hakim bin Hizam, harta memang indah dan manis, maka barangsiapa mengambilnya dengan lapang dada, maka ia mendapat berkah.
Sebaliknya, barangsiapa menerimanya dengan kerakusan, maka harta itu tidak akan memberi berkah kepadanya; bagaikan orang makan yang tak pernah merasa kenyang. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang berada di bawah". Kemudian Hakim bin Hazim berkata: "Ya Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq aku tidak akan menerima apapun dari seseorang sepeninggalmu sampai akhir hayatku."
Rasulullah SAW bersabda, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dahulukanlah dalam bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu, sebaik-baik sedekah itu adalah yang masih ada kekayaan. Dan barangsiapayang sopan, maka Allah akan memelihara kesopanannya. Dan barangsiapayang mencukupkan dengan kekayaannya yang ada maka Allah akan mencukupkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai saudaraku, Islam mendidik umatnya untuk bersifat qana'ah dan tidak rakus, Islam menyuruh umatnya untuk maju, dengan kemajuan itu akan bisa memberikan sesuatu kepada sesamanya, bukan meminta-minta. Sebab tiada kekayaan yang dihasilkan tanpa disertai dengan ikhtiar atau usaha, tak menjadi orang yang berilmu bila ia tidak menuntut ilmu.
Perhatikanlah kisah Maryam, tatkala hendak melahirkan Nabi Isa a.s. di tengah-tengah padang pasir, dia diperintahkan oleh Allah untuk menggapai dahan pohon kurma agar buahnya tersebut jatuh. Kalau Allah menyuruh qana'ah dengan hanya menunggu tanpa berusaha tentunya Siti Maryam selamanya akan merasa haus dan lapar.
Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian disuruh untuk menunaikan pada hari Jum'at, maka segeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di atas bumi, dan carilah anugerah Allah sebanyak-banyaknya agar supaya kamu semua beruntung.” (QS. Al Jumu'ah (62) : 9-10).
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya Allah menyuruhmu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan syarat harus dilakukan setelah shalat. Carilah kehidupan kembali sambil mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam melakukan segala pekerjaan agar kamu mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

Minggu, 03 Desember 2017

KALAU ADA RASA, BUKTIKAN CINTAMU!

Yahya Ibn Muadz Ar-Razi mengatakan, “Siapa saja yang mencintai Allah, maka ia pasti membenci dirinya.” 
Menurut Yahya pula, siapa saja yang tidak memiliki 3 hal berikut ini, maka itu berarti ia tidak cinta. Pertama, lebih mengutamaka firman Allah SWT dibandingkan dengan ucapan manusia.

Kedua, lebih mengutamakan bertemu Allah dibandingkan dengan bertemu makhluk. Ketiga, lebih mengutamakan ibadah daripada berkhidmat kepada makhluk.
Bukti cinta yang lain adalah tidak menyesal jika ada sesuatu selain Allah yang terlewati. Sebaliknya, ia benar-benar menyesal ketika sedetik berlalu tanpa dzikir mengingat Allah dan mematuhi-Nya.
Ketika lalai, ia segera kembali kepada Allah dan memperbanyak permohonan agar dikasihani dan diridhai. Ia juga akan segera bertobat.
Salah seorang arif billah menuturkan, “Allah mempunyai beberapa orang hamba, yang mencintai-Nya dan merasa tentram bersama-Nya. Hilangkah rasa sesal terhadap segala yang telah lewat. Mereka tidak pedui mengurusi diri mereka sendiri, karena Sang Maharaja mereka begitu sempurna.
Apa pun yang Dia kehendaki, pasti terwujud. Apa yang menjadi milik mereka Dia sampaikan kepada mereka. Apa yang terlewatkan adalah cara terbaik Dia mengatur mereka. Hak setiap pecinta setelah ia kembali dari kelalaiannya sekejap mata, adalah menghadap kepada Allah dan siap menerima teguran-Nya.
Ia lalu berdoa, “Wahai Tuhanku! Dengan dosa apa Engkau putuskan kebaikan-Mu dariku, Engkau jauhkan aku dari hadirat-Mu, Engkau sibukkan aku mengurusi diri sendiri dan mengikuti setan?"
Ini akan menumbuhkan kejernihan dzikir dan kelembutan hati. Dengan begitu, tertutuplah kelalaiannya yang telah lewat. Kecepatannya untuk bersegera kembali kepada Allah akan menjadikan kesempatan untuk berdzikir lagi. Dzikir yang baru lagi. Hatinya akan kembali jernih.
Selama seorang pecinta tidak tidak melihat apa pun selain Kekasihnya, tidak melihat sesuatu pun kecuali ia sadar bahwa itu berasal dari-Nya, ia tidak akan pernah menyesal, tidak ragu, dan menghadapi semua kenyataan dengan hati penuh kerelaan. Ia tahu bahwa Kekasih harus dilihat hanya kebaikan-Nya semata.
Bukti kecintaan seorang hamba kepada Allah adalah merasa nikmat dalam ketaatan. Ia tidak merasa berat dan tidak merasa lelah dalam ketaatan kepada-Nya. Hal ini seperti pernah diungkapkan oleh orang yang pernah merasakannya: “Aku menderita sepanjang malam. Meski 20 tahun lamanya. Tapi, selama itu pula aku merasakan kenikmatan yang tiada terkira.”
Imam Al-Junaed juga menegaskan bahwa salah satu indikasi cinta adalah ketika sesorang selalu giat dan tekun melawan hawa nafsu. Fisik boleh lelah, tetapi hati tak akan pernah lelah. Karena itu, seorang sufi berkata, “Beramal atas dasar cinta tak akan pernah diliputi rasa letih. Dan, tak habis-habisnya orang mencintai Allah berbuat taat, walaupun harus menghadapi berbagai rintangan besar.”
Pikir-pikirkanlah, renung-renungkanlah!
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-ridha


Jumat, 01 Desember 2017

Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu

 DALAM banyak riwayat hadits disebutkan usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak lama.Berkisar sekitar 60-70 tahun.
Itu pun sudah tua: rambut mulai memutih, gigi mulai habis, pendengaran perlahan berkurang, dan tenaga mulai melemah.
Berbeda dengan usia umat Nabi sebelumnya yang panjang. Karena sedikitnya tempo usia umat Nabi Muhammad itu, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memuliakan diri dengan ilmu dan ibadah.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wassallam berkata: “Umur umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit dari mereka yang melampauinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Karenanya jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu akan terbuang sia-sia. Dan, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Dia akan pergi selamanya dengan segala kenangannya: baik kenangan yang penuh penyesalan atau kebahagiaan. Manusia harus memanfaatkan waktu. Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik yang akan jadi mulia.
Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat. Kita lebih banyak bermain daripada belajar. Kita lebih banyak bersendagurau daripada berfikir. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk duniawi daripada ukhrowi. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dosa ketimbang memupuk pahala. Nauzubillah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kealpaan kita. Aamiin.
Ada nasihat penting yang disampaikan Imam Al Ghazali terkait waktu. Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah. Coba bayangkan, jika rata-rata usia umat manusia di jaman Nabi Muhammad ini sekitar 60 tahun dan waktu yang digunakan untuk tidur sekitar 8 jam dalam sehari.
Seperti diketahui, kebanyakan orang—terutama di Indonesia—tidur mulai pada pukul 20.00 malam dan bangun sekitar pukul 05.00 pagi.
Iya kalau bangun tidur jam 05.00 pagi. Pasalnya, tidak sedikit di antara kita yang masih suka bangun tidur di atas jam 05.00 hingga ada yang telat dan tertinggal shalat shubuh. Nauzubillah!
Nah, kalau misalnya, rata-rata tidur 8 jam sehari itu dikali dengan masa usia rata-rata manusia yang mencapai 60 tahun, maka setidaknya kita menghabiskan masa 20 tahun untuk hanya tidur. Saya ulangi lagi: kita menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk tidur!
Sekarang, kita hitung lagi berapa banyak waktu yang kita manfaatkan untuk ibadah. Jika 20 tahun kita manfaatkan untuk tidur, maka sisa 40 tahun. Coba bayangkan berapa waktu untuk ibadah, berapa lama untuk belajar menuntut ilmu, dan berapa tahun waktu yang dihabiskan untuk main-main dan mencari kehidupan duniawi! Tentu jawabnya berbeda-beda. Tergantung pribadi masing-masing. Sebab, biasanya, manusia punya jadwal hidup (life schedule) masing-masing.
Bisa dibayangkan jika perhari kita habiskan berapa lama hanya untuk bermain atau sekedar bersendau gurau. Berapa lama waktu dihabiskan untuk membaca al-Quran, berzikir, dan belajar. Padahal, waktu itu terus berjalan dan tidak akan kembali. Waktu juga ibarat pedang tajam yang apabila tidak digunakan untuk memotong sesuatu dengan baik, maka pedang waktu tersebut akan memotong kita bahkan memutilasi kita perlahan-lahan.
Karenanya, yang membedakan kualitas kemuliaan seseorang adalah dari pemanfaatan waktu. Kalau waktunya habis dengan kerja-kerja intelektual, spiritual, dan kebermanfaatan kolektif maka dia akan menjadi pribadi yang mulia. Karenannya, seseorang akan jadi mulia dengan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar dan senantiasa berzikir pada Allah. Seseorang juga akan jadi mulia dan terhormat bila menghabiskan malam-malam yang gelap gulita itu dengan belajar, dan shalat tahajud.
Seperti kata pepatah Arab di atas: “Man tholabal ‘ula sahiral layali” (Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka seringlah bergadang pada malam hari).
Bergadang di situ tentunya bukan untuk sesuatu yang semu dan tidak manfaat. Seperti main, menonton film sepanjang malam, melihat pertandingan bola, dan hang out hingga larut malam. Tapi, bergadang di situ adalah dengan melakukan kerja-kerja spiritual dan intelektual: belajar dan beribadah.
Ada banyak kisah orang sukses yang memanfaatkan waktunya. Dan, hampir semua orang sukses adalah orang yang memanfaatkan waktunya dengan baik.
Sebaliknya, orang gagal adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Waktu-waktu yang dimanfaatkan orang beriman itu seharusnya seperti yang dilakukan para sahabat dan pejuang jaman Rasulullah. Di mana pada siang hari mereka seperti singa di padang pasir yang berjuang tanpa lelah sedangkan malam harinya dihabiskan dengan beribadah seperti rahib-rahib.
Orang besar dan sukses adalah mereka yang memanfaatkan waktunya dengan baik. Dia tidak mau ada waktu—semenit saja—yang terbuang tanpa kebaikan dan kemanfaatan.
Imam Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.”
Al Quran Surat al ‘Ashr 1-3: mengingatkan; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati dalam supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”*


DALIL TENTANG NUR MUHAMMAD

Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir Al-Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36 saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”. [1] Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwir Al-Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat. 
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini.

Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam kitabnya “Ta’jil Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3] Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.
Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa Al-‘Uyun, Marah Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu Abdi As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li Ibni Adil, dan Tafsir As-Siraj Al-Munir—yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8 surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
حكاه عطاء عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطأ عليه الوحي أربعين يوماً، فقال كعب بن الأشرف يا معشر اليهود ابشروا فقد أطفأ الله نور محمد فيما كان ينزل عليه، وما كان الله ليتم أمره
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4] Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang kafir membencinya.”

Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad.
Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad atau Ruh Muhammad,
كُنْتُ أَوَّلُ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”
Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita tidak menakwilkan hadis di atas dengan memahami secara literlek bahwa memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan, selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana?

Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya. 
Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadits seperti Tamam dalam “Al-Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dala’il, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya. Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’da’u as-sunnah (orang-orang tasawuf musuhnya sunah).”

Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadis di atas meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits, tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadis tersebut, 
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.”
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tarikh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai berikut, 
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتُ نَبِيًّا؟ قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.
Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan hadis berikut, 
مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi SAW, 
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)

Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada beberapa hadis lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara literlek lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis, khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang mengharuskan adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.
Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadis. Sungguh tidak sopan, diluar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti hadis. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadis. Mereka tidak bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW.
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-qalam” dalam hadis sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadis Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut, 
حدثنا أحمد بن علي بن العلاء وأبو بكر محمد بن محمود السراج قال حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام العجلي قال حدثنا المعتمر بن سليمان قال حدثنا عصمة أبو عاصم عن عطاء بن السائب عن مقسم عن ابن عباس قال إن أول ما خلق الله عز وجل القلم فخلقه عن هجاء فقال قلم فتصور قلما من نور ظله ما بين السماء والأرض فقال اجر في اللوح المحفوظ (رواه الآجري)
Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat. Wallahu A’lam.

Foot Note: 
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296. 
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385. 
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568. 
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530.

Semoga bermanfaat!
--Yusni Amru Ghazali, Research Fellow Tasawuf Underground