Sabtu, 01 Desember 2018

MERAIH RAHMAT DENGAN SHALAWAT NABI

Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Husaini r.a berkata,”Ibnu ‘Atha’ berkata : ‘Doa memiliki rukun-rukun tertentu, sayap-sayap, sebab-sebab, dan waktu-waktu khusus. Jika memenuhi rukun-rukunnya doa itu akan menjadi kuat, jika ia memiliki sayap-sayap ia akan terbang ke langit, jika tepat waktunya ia berjalan terus. Dan jika memenuhi sebab-sebab, doa itu akan terkabulkan.

Rukun-rukun doa adalah hati yang khusyuk, konsentrasi, lembut, pasrah diri, bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada faktor apapun. Sayap-sayap doa adalah ketulusan dan kejujuran. Waktu berdoa adalah di malam hari. Sebab-sebabnya adalah membacakan shalawat atas Nabi Saw.”

Dalam kitab Al-Ausath, Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Semua doa tertolak, kecuali dia membaca shalawat untuk Muhammad dan keluarganya.” Dan Ali bin Abu Thalib r.a berkata,”Setiap doa pasti terhalangi oleh sebuah tabir antara pemohon doa dan Allah. Kecuali orang itu membaca shalawat, maka tabir itu akan terbakar, dan doa itu pun bisa menembusnya. Jika orang itu tidak membaca shalawat, maka doanya akan terpental.”

Dalam Asy-Syifa, Ibnu Mas’ud r.a berkata,”Jika di antara kalian ada yang mengharapkan sesuatu dari Allah, maka hendaklah memulai doanya dengan puja dan puji kepada-Nya, disusul dengan membaca shalawat atas Nabi-Nya, baru kemudian menyampaikan hajatnya. Yang demikian ini lebih berpeluang besar untuk terkabulkan.”

Kesimpulannya, shalawat dapat mendatangkan pencerahan, rahasia, membersihkan batin dari segala jenis kotoran; yang mesti dibaca oleh para pemula, orang-orang yang memiliki banyak hajat, dan orang-orang yang sudah mencapai puncak perjuangan. Salik thalib, murid muqarrib, dan arif washil, mereka semua sama-sama membutuhkan shalawat.

Seorang seorang penuntut ilmu kita membutuhkan shalawat untuk peningkatan diri; seorang murid untuk bimbingan diri; dan seorang arif membutuhkan shalawat untuk membuatnya fana‘.

Dalam hal ini, shalawat dibutuhkan seorang salik untuk membantunya dalam menempuh perjalanan atau suluk, shalawat dibutuhkan oleh murid untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya, dan dibutuhkan oleh ‘arif untuk berkata begini : “Inilah Engkau, Raja-Diraja.” Shalawat membuat seorang salik mencintai amal perbuatan, membuat seorang murid meraih ahwal, dan membuat seorang ‘arif semakin kokoh berpijak pada maqam al-Inzal.

Selain itu, shalawat menjadikan seorang salik mendapatkan cahaya, shalawat membuat seorang murid memperoleh ‘ibarah, dan shalawat membuat penyaksian seorang ‘arif semakin bertambah; atau shalawat membuat seorang salik mampu berjalan, membuat seorang murid dipancari sinar-sinar, dan membuat seorang ‘arif semakin mesra dalam perjumpaan (bersama Allah); atau boleh jadi, shalawat membuat seorang salik memperoleh cahaya yang berlipat-lipat, membuat seorang murid dicurahi rahasia-rahasia gaib, dan membuat seorang ‘arif merasa tak ada bedanya antara siang dan malam; atau boleh dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik semakin bersemangat, menjaga seorang murid dari kemunduran dalam beramal, dan menjadikan seorang ‘arif semakin sederhana dalam berakhlak; atau, shalawat membuat seorang salik semakin mantap, membuat seorang murid sampai pada dunia gaib Al-Malakut.

Dapat pula dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik ingin merasakan nikmatnya perjumpaan, menjanjikan seorang murid dengan perjumpaan itu sendiri, dan membuat seorang ‘arif semakin yakin dan nyata dalam perjumpaannya.”

---Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Safinah Al-Qadiriyah.

Kamis, 01 November 2018

SEMUA INDAH PADA WAKTUNYA

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Sungguh aneh jika kau marah kepada Rabb-mu, menyalahkan-Nya dan menganggap Allah Yang Mahaberkuasa dan Mahaagung telah bertindak tak adil, dianggap telah menahan rezeki, dan tak menjauhkan dari musibah.

Tidakkah kau tahu bahwa setiap kejadian ada waktunya, dan setiap musibah ada akhirnya? Keduanya tak bisa dimajukan atau dimundurkan.

Masa-masa musibah tak berubah hingga datang kebahagiaan. Masa-masa kesulitan tak berlaku hingga datang kemudahan.

Maka, bertindaklah yang sopan di hadapan Allah. Kau harus diam, sabar, pasrah, dan ridhalah kepada Allah. Bertobatlah kepada-Nya. Di hadapan Allah tak ada tempat untuk menuntut atau membalas dendam seseorang tanpa dosa dari hawa nafsu, sebagaimana yang terjadi dalam hubungan antarhamba-Nya.

Allah Maha Berkuasa, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Dia tak melakukan sesuatu pun tanpa arti, tak ada yang sia-sia. Tak layak menyebut cacat atau salah atas tindakan dan kuasa-Nya.

Jadi, tunggulah jalan keluar dari-Nya hingga datang takdir-Nya, sebagaimana datangnya musim panas setelah musim dingin, dan sebagaimana datangnya siabg setelah berlalunya malam. Jadi, jika kau berharap dan memohon tibanya siang saat pekat dan gelapnya malam kian memuncak, maka permohonanmu sia-sia!

Kepekatan malam pun akhirnya memudar dan mendekati fajar, siang pun datang dengan kecerahan, entah kau menghendaki atau tidak. Jika kau menghendaki malam pada saat itu, maka doamu tak akan terkabul. Sebab kau telah meminta yang tak layak. Kau akan dibiarkan meratap, lunglai, jemu dan enggan.

Tinggalkanlah semua itu! Berimanlah dan patuhlah kepada Allah. Bersabarlah dengan kehendak-Nya. Segala milikmu tak akan lari darimu, dan segala yang bukan milikmu tak akan kauperoleh."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab as-Suluk wa at-Tawassul ila Manazil al-Muluk

Selasa, 23 Oktober 2018

PENUHI HATI DENGAN CINTA & DZIKR

Hati yang kering dan rapuh, maka siramilahlah dengan ketaatan dan dzikrullah. Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah lidahmu basah dengan mengingat Allah." (HR At-Tirmudzi)

Jika hati telah diisi dengan rasa cinta kepada Allah dan selalu berdzikir kepada Allah, maka ia akan menyadari bahwa Allah akan selalu melihat dan mengawasinya. Keadaan dan kesadaran semacam ini akan membantu kita untuk selalu taat kepada-Nya dan membuat kita takut bermaksiat kepada-Nya.

Haris Al-Muhasibi mengatakan:
"Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi rasa cinta pada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi perasaan itu, maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan.sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur."

Seseorang bertanya,."Lalu bagaimana bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Dan, bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota badan?"

Beliau menjawab, "Yakni ketika hati menjadi wadah bagi kerisauan, kegalauan dan kesedihan, rasa lemah dan sangat membutuhkan, penyesalan, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya, dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci pada apa yang Allah benci.

Jika ia menyikapi Allah dalam keadaan hati semacam ini, anggota badan akan ikut bergerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan seperti ini akan terwujus jika relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah."

Disarikan dari Syarah Kitab Tajul-'Arus Syekh Ibnu Atha'illah, oleh Syekh Muhammad Najdat.

Minggu, 21 Oktober 2018

MAMAHAMI REZEKI DAN TUNTUTAN NAFSU

Imam Al-Ghazali mengatakan: “Untuk mengatasi kendala rezeki, sebenarnya engkau cukup bertawakal dengan sebenar-benarnya, yakni engkau pasrahkan kepada Allah dalam urusan sumber rezeki dan kebutuhanmu, dalam semua keadaan.”
Menurutnya, ada dua alasan mengapa kita harus bertawakal kepada Allah:

1) ”Agar engkau bisa berkonsentrasi penuh beribadah dan berbuat kebaikan lainnya. Sebab, orang yang tidak bertawakal (berserahdiri) pasti lahir dan batinyya lebih sibuk pada urusan mencari rezeki dan kebutuhan dunia lainnya daripada beribadah kepada Allah. Ia menggunakan tubuhnya untuk bekera sepanjang hari untuk memperoleh nafkah, namun hati dan pikirannya selalu memikirkan rezeki dengan rasa was-was. Padahal, ibadah itu membutuhkan konsentrasi hati dan tubuh, sementara konsentrasi itu tak bakal terwujud kecuali pada orang-orang yang memasrahkan diri secara total.

2) Meninggakkan sikap tawakal itu membahayakan iman kita. Bukankah Allah telah menyertakan rezeki kepada makhluk-Nya? “Dan bertawakallah kepada Allah yang Maha Hidup kekal, yang tidak akan mati.” (QS Al-Furqan: 58). “Dan hanya kepada Allah kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah: 23)

Maka, barangsiapa yang tidak memahami ayat  ini berarti tidak merasa cukup dengan janji Allah, tidak tenang dengan jaminannya, dan tidak puas dengan pembagian rezeki-Nya. Lalu, ia lalai untuk menjalankan perintah-Nya, lupa janji ancaman-Nya. Maka, lihatlah bagaimana jadinya orang ini, ujian apa yang bakal dijalani akibat perbuatan semacam ini.

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abdullah bin Umar r.a., “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah-tengah kaum yang suka menimbun harta mereka selama setahun karena kurang percaya dan kurang bergantung kepada Allah?”

Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah SWT melaknat kaum yang tidak percaya dengan janji-Nya dalam soal rezeki.”

Diriwayatkan bahwa ada seorang penggali kubur telah bertobat dengan karena sebab Abu Yaziid al-Busthami. Abu Yazid lalu menanyakan keadaannya, dan penggali kubur itu menjawab, “Aku telah menggali seribu liang lahat dan aku tidak pernah melihat wajah mereka menghadap kiblat, kecuali dua orang lelaki.”
Abu Yazid kemudian berkata, “Sungguh kasihan mereka. Wajah mereka dipalingkan dari arah kiblat lantaran meragukan rezeki dari-Nya.”

Seorang sahabat saya menuturkan bahwa dalam mimpinya dia melihat seorang yang saleh, dan kemudian bertanya kepadanya, “Apakah engkau selamat karena imanmu?” Orang saleh itu menjawab, “Iman hanya menyelamatkan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Dia memperbaiki kita dengan anugerah-Nya dan tidak menyiksa kita walau sebenarnya kita memang pantas untuk disiksa. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”

--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali

TANPA CINTA, SEGALANYA TAK BERNILAI

Jika engkau bukan seorang pencinta,
maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan
dihitung Pada Hari Perhitungan nanti.
Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya.

Burung-burung Kesadaran telah turun dari langit
dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari.
Mereka merupakan bintang-bintang di langit
agama yang dikirim dari langit ke bumi.
Demikian pentingnya penyatuan dengan Allah
dan betapa menderitanya Keterpisahan dengan-Nya.

Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting
dalam dzikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan.
Lihatlah pepohonan ini! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan kebahagiaan
Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan?
Sang lili berbisik pada kuncup: "Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana nikmatnya Kebaikan."

Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban "YA" dalam pertanyaan:
"Bukankah Aku ini Rabbmu?"

--Maulana Jalaluddin Rumi

Jumat, 19 Oktober 2018

MAHAR CINTA UNTUK KEKASIH
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Dalam Hadis Qudsi Allah SWT berfirman, ‘Dustalah pengakuan seseorang yang mencintai-Ku, namun tatkala malam menghampiri ia malah tidur mengabaikan Aku.”

Jika engkau menjadi bagian dari orang-orang yang mencintai Allah, maka engkau akan merasa tersiksa oleh tidurmu, kecuali tidur yang tidak disengaja. Orang yang mencintai itu lelah, dan yang dicintai selalu tenang. Orang yang mencintai adalah pencari, sedangkan yang dicintai adalah yang dicari.
Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman kepada malaikat Jibril: “Wahai Jibril, tidurkanlah si Fulan dan bangunkanlah ia!”

Firman ini memiliki dua pengetian:
 Pertama, Dia berfirman “Bangunkanlah fulan yang mencintai dan tidurkanlah fulan yang dicintai. Orang yang mengakui mencintai-Ku harus Aku berikan tantangan dan menempatkannya pada posisi seharusnya agar ‘dedaunan’ yang tumbuh di dalam hatinya menjadi berguguran. Bangunkanlah dia agar jelas bukti pengakuannya serta terwujud rasa cintanya.

Dan, tidurkanlah ia, karena dia adalah orang yang dicintai yang telah lama mengalami kelelahan. Tidak ada satu pun yang tersisa baginya untuk selain diri-Ku. Aku mengambil cintanya untuk-Ku. Pengakuannya terbukti, begitu juga dengan keterangannya dan pelaksanaannya terhadap janji-Ku.

Tobatnya menghampiri-Ku, begitu juga dengan penunaiannya terhadap janji-Ku. Ia adalah tamu. Seorang tamu tidak diminta untuk melayani dan bekerja. Tidurkanlah dirinya pada meja makan karunia-Ku, serta tenangkanlah dirinya dengan kedekatan kepada-Ku. Kasih sayangnya sungguh benar. Maka, lenyaplah seluruh beban dirinya!”

 Kedua, Dia berfirman, “Tidurkanlah fulan, karena ia menginginkan ridha makhluk melalui ibadahnya kepada-Ku. Bangunkanlah fulan, karena ia mendapatkan ridha-Ku dengan cara beribadah kepada-Ku. Tidurkanlah fulan, karena Aku membenci suaranya. Bangunkanlah fulan, karena Aku ingin mendengar suaranya.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khathir

Senin, 15 Oktober 2018

ALLAH DI ANTARA LISAN DAN HATI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Jika ada seseorang bertanya: “Bagaimanakah aku harus mengeluarkan cinta dunia dari hatiku?” Maka jawabannya adalah: “Hendaklah memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya.”

Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukim atau seorang munafik? Apakah engkau seorang yang bertauhid atau seorang musyrik?

Dunia adalah fitnah yang menyibukkan, kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata untuk bagian akhirat. Jika seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, maka jadilah akhirat untuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.

Setidaknya ada dua cara untuk bersyukur: 1) Memohon pertolongan dengan nikmat itu agar kita dapat berbuat taat dan menjadi pelipur lara bagi orang yang fakir di dunia; 2) Mengakui karena nikmat itu, mengakui kepada Maha Pemberi dan bersyukur kepada Dzat yang Menurunkannya, yakni Allah Azza wa Jalla.

Seorang ulama pernah berkata: “Segala sesuatu yang dapat menyibukkanmu dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukkan yang dapat melupakanmu untuk berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Jika shalat, puasa, haji dan seluruh amal baik telah memalingkanmu dari Allah, maka itu juga akan menjadi bencana. Maka perbaikilah ibadahmu. Jika nikmat yang diberikan Allah telah menyibukkanmu untuk mengingat Allah, maka nikmat itu juga akan mencelakakanmu.

Engkau boleh jadi sedang berdusta, bahkan saat engkau sedang mengerjakan shalat. Engkau mengucapkan, “Allahu Akbar!” tetapi engkau berdusta, karena dalam hatimu masih ada tuhan lain selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu maka berarti ia adalah tuhan. Segala sesuatu yang engkau takuti dan kau harapkan adalah tuhan bagimu. Hatimu tidak selaras dengan lisanmu. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Maka, hendaklah engkau mengucapkan “Allahu Akbar” seribu kali dalam hati dan mengucapkan sekali dengan lisan. Maka, tidakkah engkau merasa malu ketika engkau mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah dalam hatimu?”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani

BERKACA PADA SEEKOR NGENGAT

Menurut Imam Al-Ghazali, perjalanan manusia di dunia bisa dibagi menjadi empat tahap, yakni: indrawi, eskperimental, instingtif dan rasional. Tahap pertama, ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama.

Tahap kedua, ia seperti seekor anjing, bila sudah sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul.

Tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba, dengan instingnya ia segera kabur saat melihat macan atau srigala, musuh alaminya. Tapi, mereka tak akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran badan keduanya lebih besar.

Tahap keempat, ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu sehingga mampu—hingga batas tertentu—meramalkan dan mempersiapkan masa depannya. Tahapannya ditempuh seperti seorang yang berjalan di atas tanah, lalu seperti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, lalu ia mulai terbiasa dengan hakikat perjalanan, hingga tahapan akhir ia seperti orang yang mampu berjalan di atas air.

Kemudian, ketika keempat tahapan ini berhasil dilalui, ada tahapan kelima yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang terbang melintasi udara.

Imam Al-Ghazali mau mengatakan bahwa manusia bisa berada bermacam tahapan, mulai dari tahapan hewan hingga tahapan malakut (sifat kemalaikatan). Atau sebaliknya, ia tak mampu menempuh keempat tahapan normal, tetap terjatuh pada tahapan yang lebih rendah dari hewan. Hanya manusia yang bisa mengubah tingkatannya dari tahapan pertama hingga keempat atau mungkin sampai kelima. Ini yang tidak bisa ditempuh oleh kekuatan malaikat dan hewan.

Bila menggunakan rumusan Imam Al-Ghazali, tahapan kita bisa jadi pada tahapan pertama dan kedua. Di tahap ini arus bolak-balik, bimbang, ragu, coba-coba dan pikiran nyeleneh sering terjadi. Iman mereka kadang terombang-ambing oleh ombak, kadang pasang, kadang surut. Mereka tak punya keyakinan yang kokoh terhadap Hari Akhir, karena itu sewaktu-waktu bisa menolak akhirat sama sekali ketika nafsu indrawi menguasainya.

Fenomena ini bisa kita jumpai dengan cara mereka memahami masalah akhirat. Mereka menganggap neraka hanya sebagai akal-akalan para teolog atau rekayasa ulama. Mereka mungkin percaya sedikit, tapi kepercayaannya tertutupi oleh pandangan yang selalu melihat sesuatu secara empirik hingga ia sering terkelabui. Orang jenis ini sangat sombong dan angkuh.

Menurut Imam Ghazali, jika menghadapi orang jenis ini, cobalah tanyakan padanya, “Apakah Anda benar-benar yakin bahwa 124.000 nabi dan wali memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah, apakah hanya Anda yang benar?”

Jika jawabannya, “Ya, aku yakin,” berarti tidak perlu diteruskan lagi. Itu berarti pikiran dan hatinya telah membatu. Dia tidak akan percaya hisab, pengadilan akhirat, pahala-siksa dan surga-neraka. Tetapi, bia ia menjawab bahwa kehidupan akhirat itu mungkin ada mungkin tidak ada atau ia masih ragu untuk memutuskan karena masih mengandung misteri, maka sebaiknya, katakan padanya, “Selesaikan saja keraguan Anda!”

---Disarikan dari Kimiya As-Sa’adah, Imam Al-Ghazali.

Jumat, 13 Juli 2018

RENUNGAN MALAM UNTUK MENGENAL DIRI

Menurut Imam Al-Ghazali, mengenal diri adalah kunci utama untuk mengenal Allah. Tanpa mengenal dan merenung tentang diri kita---dengan kedalaman rahasia batin yang ada pada diri kita sendiri-- maka mustahil dapat memahami makrifatullah.

Hal ini sesuai dengan Hadis Qudsi "Man 'arafa nafsahu 'arafa rabbahu' (Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Rabbnya). Allah SWT juga pernah berfirman, "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi mereka."(QS 41: 53)

Dalam kitab Kimiya As-Sa'adah, Imam Al-Ghazali mengatakan:
"Sungguh, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana dapat mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri, dari sisi lahir seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak mengantarmu mengenal Rabb.

Begitu juga pengetahuanmu tentang karakter fisik, seperti pengetahuanmu; jika kau lapar, kau makan, jika sedih kau menangis, dan jika kau marah kau menyerang. Itu bukanlah kunci mengenal Rabb. Sebab, bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan batin jika kau mengandalkan insting hewani seperti itu?

Jadi, pengetahuan yang benar tentang diri meliputi hal berikut ini:
Siapa aku dan dari mana aku.datang? Kemana aku pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini? Dimanakah kebahagiaan sejati dapat kutemukan?

Maka, ketahuilah, ada 3 sifat yang bersemayam dalam dirimu: sifat hewan, sifat setan dan sifat malaikat. Kau harus temukan, mana di antara ketiganya aksidental dan mana yang esensial? Tanpa mengungkap rahasia ini tak akan kau temukan kebahagiaan sejati.

Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut kalbu atau ruh. Kalbu yang saya maksud bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri, serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya.

Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib. Ia muncul ke dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang, dan kelak akan kembali ke negeri asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Allah.

Sebagai pemahaman mengenai hakikat kalbu atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan menutup matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu ia akan mengetahui keterbatasan sifat dirinya itu."

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah---

Senin, 09 Juli 2018

SELALU MENJAGA LISAN

Imam al-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Perlu diketahui, setiap muslim harus menjaga lisannya dari semua ucapan, kecuali ucapan yang maslahat. Ketika berbicara dan diam mendatangkan maslahat yang setara, dianjurkan untuk diam karena ucapan mubah bisa mengarah kepada yang haram atau makruh.  Bahkan, inilah yang sering terjadi. Sementara, keselamatan tidak bisa digantikan dengan apa pun."

Dalam Shahih al-Bukhari dan Abu Hurairah r.a.meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam."(H.R. Bukhari dan Muslim)

Sahl ibn Sa'ad r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang menjamin untukku apa yang terdapat antara jenggot dan kumisnya serta apa yang terdapat antara dua kakinya, kujaminkan untuknya surga." (H.R. Bukhari)

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Seorang hamba mengucapkan satu kata yang mendatangkan ridha Allah, niscaya Dia akan mengangkat derajatnya tanpa ia sadari. Sementara seorang hamba yang mengucapkan satu kata yang mengundang murka Allah, tanpa ia sadari ucapannya itu akan mengantarnya ke neraka Jahannam."

Diriwayatkan pula bahwa Quss ibn Saidah dan Aktsam ibn Shayfi sedang berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, "Berapa aib yang kau temukan pada manusia?" "Tidak terhitung. Yang bisa kuhitung hanya delapan ribu aib. Namun, ada satu perbuatan yang jika kau pelihara, niscaya akan menutupi semua aib yang ada." "Apakah itu?" "Menjaga lisan," ujarnya.

--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-Arus, syarah Syekh Muhammad Najdat.

ALLAH DI ANTARA LISAN DAN HATI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Jika ada seseorang bertanya: “Bagaimanakah aku harus mengeluarkan cinta dunia dari hatiku?” Maka jawabannya adalah: “Hendaklah memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya.”

Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukim atau seorang munafik? Apakah engkau seorang yang bertauhid atau seorang musyrik?

Dunia adalah fitnah yang menyibukkan, kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata untuk bagian akhirat. Jika seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, maka jadilah akhirat untuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.

Setidaknya ada dua cara untuk bersyukur: 1) Memohon pertolongan dengan nikmat itu agar kita dapat berbuat taat dan menjadi pelipur lara bagi orang yang fakir di dunia; 2) Mengakui karena nikmat itu, mengakui kepada Maha Pemberi dan bersyukur kepada Dzat yang Menurunkannya, yakni Allah Azza wa Jalla.

Seorang ulama pernah berkata: “Segala sesuatu yang dapat menyibukkanmu dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukkan yang dapat melupakanmu untuk berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Jika shalat, puasa, haji dan seluruh amal baik telah memalingkanmu dari Allah, maka itu juga akan menjadi bencana. Maka perbaikilah ibadahmu. Jika nikmat yang diberikan Allah telah menyibukkanmu untuk mengingat Allah, maka nikmat itu juga akan mencelakakanmu.

Engkau boleh jadi sedang berdusta, bahkan saat engkau sedang mengerjakan shalat. Engkau mengucapkan, “Allahu Akbar!” tetapi engkau berdusta, karena dalam hatimu masih ada tuhan lain selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu maka berarti ia adalah tuhan.

Segala  yang kau takuti dan harapkan bisa jadi  "tuhan" bagimu. Hatimu tidak selaras dengan lisanmu. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Maka, hendaklah engkau mengucapkan “Allahu Akbar” seribu kali dalam hati dan mengucapkan sekali dengan lisan. Maka, tidakkah engkau merasa malu ketika engkau mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah dalam hatimu?”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani---

MUHASABAH UNTUK PAGIMU, SAHABATKU

"Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu"
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam

Sahabatku, contoh kekurangan yang biasa bersemayam dalam diri adalah sifat riya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Jadi, engkau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus dibawah bimbingan seorang guru.

Langkah ruhani semacam ini lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Sebab, biasanya, dorongan-dorongan seperti itu semua ditunjukkan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Allah.

Maka, janganlah engkau mencari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut, karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.

Sahabatku, ketahuilah olehmu:"Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah!" Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Rabbmu menuntutmu untuk istiqamah. Karena itu, tunaikanlah hak Allah lebih dahulu daripada baik kau tunaikan keinginanmu sendiri.

Pikir-pikirkanlah...Renung-renungkanlah

Jumat, 01 Juni 2018

KETAATAN ADALAH TANDA MAKRIFAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Perbaikilah hubunganmu dengan Allah. Engkau harus takut terhadap hukum-hukum-Nya. Kemudian, tunaikanlah hak-hak-Nya. Jika engkau beramal atas dasar hukum-hukum Allah, berarti engkau telah beramal dengan jerih payah yang benar. Bahkan engkau termasuk ikut mendorong orang lain untuk berbuat amal yang baik.

Wahai saudaraku, orang yang beriman adalah yang mau mempelajari kewajiban yang datang dari Allah. Lalu ia beribadah kepada-Nya dan mengamalkan perintah-Nya. Mengenal Allah, lalu mencintai-Nya. Senantiasa berkhidmat kepada-Nya. Dan, ia juga benar-benar menyadari bahwa bahaya dan manfaat itu tiada lain datangnya hanya dari Allah SWT.

Hati yang tertuju kepada Allah itu lebih tenang daripada hati yang menuju kepada makhluk, sebab Allah itu satu sedang makhluk itu beraneka ragam. Dan orang yang hatinya itu tertuju pada makhluk, maka hidupnya tidak akan tentram, karena keterntraman hati itu bisa tercapai bila hanya tertuju kepada Allah semata. Perlu diketahui, bahwa berhenti pada satu pintu itu lebih baik daripada beberapa pintu yang beraneka ragam.

Maka, berhentilah pada pintu Allah. Maka hidupmu akan merasa tentram dan selalu tertuju kepada-Nya."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, kitab Jala A-Khathir

Jumat, 23 Februari 2018

KERJA, IBADAH DAN JIHAD


Suatu ketika, seseorang berjalan melintasi tempat Rasulullah Saw., orang itu terlihat sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkomentar, “Ya Rasulullah, andai kata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan fî sabîlillâh, alangkah baiknya.” Lalu, Rasulullah menjawab, “Kalau dia itu bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu adalah fî sabîlillâh; kalau ia bekerja untuk membela kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, maka itu pun fî sabîlillâh; bahkan kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fî sabîlillâh,” (HR At-Tabrani).

Salahlah orang yang mengira bahwa agama hanya melulu mengurusi halal-haram, surga-neraka, tahlil dan zikir di masjid tanpa konsep wirausaha dan kerja keras. Agama tak hanya mengurusi jenazah, masjid, kenduri atau kegiatan formalitas simbolik lainnya.
Agama justru mengajarkan tentang etos kerja dan daya juang menghadapi hidup. Maka, salahlah orang yang hanya berdoa di masjid setiap hari, tanpa berbuat banyak untuk mencari nafkah bagi anak, istri dan keluarganya. Islam tidak mengajarkan orang untuk menjadi petapa yang tinggal di gua gelap selama berhari-hari dan mengandalkan orang untuk bersimpati kepadanya.
Rasulullah mengatakan, sungguh, Allah sangat senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan dengan terus menerus dan sangat bersungguh-sungguh, (HR Muslim).
Tanpa konsistensi, kerja yang berkesinambungan, disiplin dan kesungguhan, amat sukar bagi seseorang untuk mendapatkan keinginan yang mau dicapai. Jauh-jauh hari Rasul telah memberi dasar-dasar etos kerja bagi setiap Muslim. Rasul mengatakan, apabila engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Pergunakan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu, (HR Bukhari).
Kebahagian hidup di dunia tak akan bisa dicapai hanya dengan berdiam diri di rumah, tanpa usaha. Tuhan dan rasul-rasul-Nya tak pernah melarang kita menjadi kaya raya, karena bukan kekayaan yang dilarang, tapi ketamakan dan kerakusan manusianya yang dilarang. Bahkan, kemiskinanlah yang sangat dikhawatirkan oleh Sang Rasul, karena akan mendekatkan seseorang pada kekufuran.
Makanya, Nabi selalu mengingatkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. 
Rasulullah membuat ilustrasi, seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang-kadang pula ditolak,” (HR Bukhari dan Muslim).

Allah Swt. juga pernah mengingatkan Nabi, katakan kepada kaummu: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,’” (QS A-Zumar [39]: 39).
Seluruh nabi dan rasul yang diutus ke muka bumi ini adalah pekerja keras. Tak ada yang mendapatkan harta dengan lamunan atau kemalasan. Rasulullah sendiri adalah penggembala kambing, sudagar kaya, bahkan bisa disebut pengekspor-impor, karena pernah berdagang hingga Yaman dan Syria. Nabi Musa a.s., Sulaiman a.s., Dawud a.s., Ibrahim a.s. dan nabi-nabi yang lain pun dikisahkan dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai pekerja keras, penggembala (peternak) dan saudagar sukses.
Dalam Islam, kerja adalah ibadah. Kerja merupakan jihad yang sangat dihormati Tuhan. Orangtua yang bekerja, banting tulang mencari nafkah untuk anak, istri dan keluarganya merupakan syuhada-syuhada yang dimuliakan Tuhan. Mereka layak dikatakan sebagai pahlawan, minimal pahlawan bagi anak dan istrinya. Setiap tetes keringat yang mengucur dari jerih payahnya akan bernilai ibadah dan dicatat sebagai pahala, yang kelak di akhirat akan mendapatkan imbalannya.
Orientasi kerja seorang Muslim tidak hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai bekal ukhrawi. Karena itu, agama melarang seseorang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan sesuatu. Islam telah mengatur hubungan muamalat manusia, baik dalam kegiatan ekonomi, perbankan, asuransi, jasa, pertanian, perdagangan dan kegiatan lainnya. Kesungguhan dan kerja keras seseorang tak hanya bertujuan untuk investasi duniawi, tetapi juga ukhrawi sekaligus.
Salam Perjuangan!


QANA'AH MEMBUAT HATI TENANG DAN DAMAI


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Wahai saudaraku, mengertikah engkau apakah yang dimaksud dengan qana'ah? Qana'ah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas dengan memperbanyak bersyukur dan menghindari sifat rakus. Itulah yang disebut qana'ah. Berhentinya keinginan terhadap ара yang sudah diberikan kepadamu, dan tidak ada lagi keinginan untuk memintah tambahan lagi, maka itulah sikap orang arif (ma'rifat).

Hendaknya engkau yakin bahwa qana'ah adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim, sebab dengan qana'ah hatimu menjadi tenang. Bahkan sifat itu merupakan modal yang tak bisa habis dalarn kondisi ара pun.
Rasulullah Saw. bersabda: “Qana 'ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tak akan lenyap,” (HR. At Thabarani). Syaikh Abu Zakaria Al-Anshari berkata, "Qana'ah itu adalah merasa cukup dengan ара yang sudah diterima dan memenuhi kepentingannya, baik berupa makanan, minuman, pakaian atau yang lainnya. Sedangkan Abu Sulaiman Darani berkata, "Qana'ah adalah merupakan bagian dari ridha, dan wara' adalah merupakan bagian dari zuhud."
Ketahuilah bahwa sifat qana'ah merupakan sifat yang didambakan oleh kaum sufi. Karena dengan sifat itu, mereka berharap bisa terhindar dari bahaya hawa nafsunya. Di mana hawa nafsu itu selalu mengejar dan mendambakan kesenangan duniawi. Keinginan nafsu terhadap duniawi tidak akan pernah berhenti, bahkan membawa manusia menjadi sibuk dengan urusan duniawi yang tak berarti. Jika manusia telah tenggelam dalam kesibukan duniawi, maka ia cenderung lupa untuk mempersiapkan bekal buat kehidupan akhirat. Dan tentunya lupa pula ia kepada Tuhan-Nya.
Wahai saudaraku, sifat qana'ah dapat mendidikmu untuk pandai bersyukur. Artinya, dengan sifat qana'ah itu engkau akan senantiasa mensyukuri kenikmatan Allah yang telah diberikan kepadamu. Jika manusia banyak bersyukur, tentu akan memiliki gairah dalam beribadah. Nabi Saw. bersabda: “Jadilah kamu orang yang wara' pasti kamu menjadi orang yang banyak beribadah, dan jadilah kamu orang yang qana 'ah pasti kamu menjadi orang yang banyak bersyukur.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar Al-Maghribi berpendapat, "Orang yang berakal ialah yang dapat mengatur urusan dunianya dengan sikap qana'ah dan urusan akhirat dengan keinginan yang menggelora; urusan agamanya dengan ilmu dan ijtihad. Sedangkan, Muhammad bin Tirmidzi mengatakan, "Qana'ah adalah jiwa merasa lapang dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya dan menghilangkan rasa tamak terhadap yang tidak tercapai."
Wahai saudaraku, engkau tidak dilarang mencari rezeki. Juga tidak disuruh bermalas-malasan dan berpangku tangan. Namun ketahuilah bahwa Allah menyuruhmu berikhtiar, bekerja, karena manusia hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Bekerja merupakan amal ibadah. Engkau harus yakin dalam bekerja ada kalah dan ada menang. Kalah dalam menghadapi rayuan dan menang dalam melawan ajakan setan. Karenanya, bekerjalah dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Hati-hatilah terhadap tipu daya nafsumu dan tipu daya setanmu agar tidak terjerumus mengais rezeki haram.
Wahai saudaraku, Islam mengharapkan engkau menjadi manusia cerdas. Mampu menggunakan akal pikiranmu. Islam tidak ingin pemeluknya bodoh. Oleh karena itu jangan seperti orang awam yang menganggap ibadah hanyalah tepekur di masjid, shalat dan berzikir. Mereka menganggap Islam memundurkan akal pikiran manusia dalam bekerja. Padahal orang Islam harus cerdas dan harus bekerja, sebab bekerja merupakan ibadah. Islam tidak menyukai orang muslim menjadi pemalas.
Anggapan yang demikian itu salah besar, mereka menyangka bahwa yang disebut qana'ah itu adalah menerima ара saja yang ada, sehingga mereka tidak berusaha dan berikhtiar lagi, padahal agama menyuruh manusia agar bekerja keras mencari keutamaan Ilahi, agar bisa bersedekah, berinfak, bisa membangun masjid, membangun pondok-pondok pesantren, dan membangun majelis-majelis ta'lim dan lain-lain. agar umat Islam tidak terbelakang. Ingat sejarah perjuangan Nabi dan para sahabatnya, mereka berusaha dan bekerja mencari rezeki. Bahkan mereka bersifat dermawan terhadap sesamanya meskipun harta yang di dapatnya cukup bagi keluarganya saja. Wahai manusia, sesungguhnya agama menyuruh umatnya untuk qana'ah (qana'ah hati bukan qana'ah ikhtiar/ usaha).
Wahai saudaraku, makna qana'ah itu amat luas. Qana'ah menyuruh manusia agar benar-benar percaya terhadap 'kekuasaan' yang melebihi kekuasaan manusia. Qana'ah menyuruh manusia untuk bersabar menerima ketentuan Allah swt. Jika ketentuan itu tidak menyenangkan, maka Allah tetap menyuruhnya untuk menerimanya, karena itulah cobaan dari-Nya.
Dalam keadaan demikian, manusia masih tetap disuruh untuk berikhtiar dan berdaya upaya sekuat tenaganya. Selama nyawa dikandung badan, engkau wajib berusaha mencari rezeki. Engkau bekerja bukan berarti minta tambahan yang telah engkau terima, dan bukan berarti merasa tidak cukup dari ара yang telah engkau terima, melainkan engkau bekerja sebab masih hidup. Inilah yang dimaksudkan dengan qana'ah.
Jelaslah bagimu sekarang, bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa sifat qana'ah dapat melemahkan hati dan pikiran, itu salah. Qana'ah merupakan modal yang tidak pernah hilang. Qana'ah bisa membangkitkan kesungguhan hidup. Qana'ah tidak mengenal takut dan gentar, tidak mengenal ragu dan bimbang.
Allah swt. berfirman: “Tiada sesuatu yang melata di bumi, melainkan di tangan Allahlah rezekinya.” (QS Hûd (11) : 6). Rasulullah Saw. bersabda: “Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tapi kekayaan yang sebenarnya itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup, dan merasa cukup dengan apa-apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Hakim bin Hizam ra. berkata, "Aku memohon kepada Rasulullah. Kemudian beliau mengabulkan permohonanku (permintaanku). Lalu aku meminta lagi, beliau juga mengabulkannya. Kemudian beliau bersabda, "Wahai Hakim bin Hizam, harta memang indah dan manis, maka barangsiapa mengambilnya dengan lapang dada, maka ia mendapat berkah. Sebaliknya, barangsiapa menerimanya dengan kerakusan, maka harta itu tidak akan memberi berkah kepadanya; bagaikan orang makan yang tak pernah merasa kenyang. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang berada di bawah". Kemudian Hakim bin Hazim berkata: "Ya Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq aku tidak akan menerima apapun dari seseorang sepeninggalmu sampai akhir hayatku."

Rasulullah SAW bersabda, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dahulukanlah dalam bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu, sebaik-baik sedekah itu adalah yang masih ada kekayaan. Dan barangsiapayang sopan, maka Allah akan memelihara kesopanannya. Dan barangsiapayang mencukupkan dengan kekayaannya yang ada maka Allah akan mencukupkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai saudaraku, Islam mendidik umatnya untuk bersifat qana'ah dan tidak rakus, Islam menyuruh umatnya untuk maju, dengan kemajuan itu akan bisa memberikan sesuatu kepada sesamanya, bukan meminta-minta. Sebab tiada kekayaan yang dihasilkan tanpa disertai dengan ikhtiar atau usaha, tak menjadi orang yang berilmu bila ia tidak menuntut ilmu.
Perhatikanlah kisah Maryam, tatkala hendak melahirkan Nabi Isa a.s. di tengah-tengah padang pasir, dia diperintahkan oleh Allah untuk menggapai dahan pohon kurma agar buahnya tersebut jatuh. Kalau Allah menyuruh qana'ah dengan hanya menunggu tanpa berusaha tentunya Siti Maryam selamanya akan merasa haus dan lapar.
Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian disuruh untuk menunaikan pada hari Jum'at, maka segeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di atas bumi, dan carilah anugerah Allah sebanyak-banyaknya agar supaya kamu semua beruntung.” (QS. Al Jumu'ah (62) : 9-10).
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya Allah menyuruhmu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan syarat harus dilakukan setelah shalat. Carilah kehidupan kembali sambil mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam melakukan segala pekerjaan agar kamu mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

PESAN HIKMAH SYEKH ABDUL QADIR JAILANI


Syekh Abdul Qadir Jailani bercerita:
"Suatu ketika seorang laki-laki membeli seorang budak, dan budak itu kebetulan adalah salah seorang yang taat beragama dan saleh.
“Wahai budak,” kata laki-laki itu kepadanya, “Kamu ingin makan apa?”
“Apa pun yang Tuan berikan kepada saya maka akan saya makan.”

“Pakaian macam apa yang ingin kamu pakai?”
“Apa pun yang Tuan berikan kepada saya untuk saya pakai.”
“Di mana kamu ingin tinggal di dalam rumahku?”
“Di tempat mana pun Tuan menempatkan saya.”
“Pekerjaan apa yang kamu suka kerjakan?”
“Apa pun yang Tuan perintahkan kepada saya untuk saya kerjakan.”

Laki-laki itu menangis dan berkata: “Alangkah besar berkah yang akan kuterima, seandainya aku bisa bersikap di sisi Tuhanku sebagaimana sikapmu terhadapku!”
“Wahai Tuanku,” kata si budak, “Apakah seorang hamba, di sisi tuannya, memiliki kehendak atau pilihan sendiri?”
Kemudian laki-laki itu berkata kepadanya: “Engkau adalah orang merdeka demi Allah, dan aku ingin agar engkau tinggal bersamaku, agar aku bisa melayanimu dengan diriku (nafs) dan hartaku.”
Siapa pun yang benar-benar mengenal Allah tidaklah memiliki kehendak atau pun pilihan sendiri, dan dia akan mengatakan: “Apa peduliku terhadap diriku sendiri?” Engkau tidak boleh menantang takdir (qadar) mengenai urusan-urusanmu ataupun urusan-urusan orang lain.
Dengarkanlah kata-kataku, wahai para pemprotes, wahai orang-orang yang berkeberatan, wahai orang-orang yang berperilaku buruk! Berilah perhatian kepadaku, sebab aku berbicara sebagai salah seorang agen pengiklan umat para nabi (munâdî ummat al-anbiyâ’), sebagai salah seorang pengikut mereka dan sebagai salah seorang calo mereka. Aku mendasarkan penilaianku pada Al-Kitab dan Sunnah. Maka, tak seorang pun yang kalbunya telah didekatkan kepada Allah akan merasa takut terhadap apa yang kukatakan.
Di antara hamba-hamba Allah ada sedikit individu yang menghindari berteman dengan makhluk dan menemukan persahabatan yang akrab di tempat-tempat menyepi (khalawât).
Mereka menikmati keakraban seperti itu dalam membaca Alquran dan membaca sabda-sabda Rasul Saw. maka mereka lalu memiliki kalbu yang sangat akrab dengan makhluk dan dekat dengan mereka, dan yang dengannya mereka melihat diri rendah mereka sendiri (nufûs) dan diri-diri rendah orang lain.
Kalbu mereka sehat, sehingga tak sesuatu pun yang engkau kejar tersembunyi dari mereka. Mereka bisa berbicara tentang apa yang kalian pikirkan dan kalian rasakan, dan mereka bisa mengatakan kepada kalian mengenai situasi di rumah-rumah kalian.
Celakalah kalian! Gunakanlah akal sehat kalian! Janganlah kalian bersaing dengan manusia-manusia (pilihan Tuhan) dalam kejahilan kalian. Setelah kalian selesai dari (mengkaji) Al-Kitab, kalian akan bangun dan berbicara kepada orang banyak.
Setelah hitamnya tinta mengenai pakaian dan badan kalian, dan setelah merenung dengan cermat, kalian akan berbicara kepada orang banyak. Ini adalah maslaah yang menuntut kemampuan lahir dan kemampuan batin, kemudian kebebasan dari semua keterikatan.
Wahai kalian yang begitu lalai akan apa yang dituntut dari kalian, ingatlah akan Kiamat Khusus (al-qiyâmat al-khâshshah) dan Kiamat Umum (al-qiyâmat al-ʽâmmah).
Kiamat Khusus adalah kematian masing-masing kalian sebagai individu, sedangkan Kiamat Umum adalah kiamat yang telah dijanjikan Allah kepada semua makhluk-Nya. Kalian harus ingat dan merenungkan firman Allah: "Pada hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada (Tuhan)Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat; dan Kami akan menggiring orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga (QS 19:85-86)."
---Syekh Abdul Qadir l-Jailani dalam Jala Al-Khawathir

Jumat, 02 Februari 2018

MARI MENGHIDUPKAN KALBU

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan:
"Wahai kalian yang kalbunya mati, kalian harus senantiasa mengingat Tuhan kalian, membaca Kitab-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya, dan menghadiri majelis-majelis dzikir. Dengan demikian kalbu kalian akan hidup kembali, sebagaimana bumi yang mati dihidupkan kembali dengan hujan yang menyegarkan.
Dzikir yang terus-menerus adalah penyebab kebaikan yang terus-menerus di dunia ini dan di akhirat nanti. Apabila kalbu seseorang sehat, maka zikir akan menjadi hal yang terus-menerus terjadi di dalamnya. Dzikir terukir di seputarnya dan di seluruh ruangnya, sehingga matanya boleh saja tertidur, tetapi kalbunya akan selalu mengingat Tuhannya. Dia mewarisi ini dari Nabinya Saw., yang biasa mengingat Allah di setiap saat.
Hamba-hamba Tuhan secara normal akan tidur hanya jika kantuk menguasai mereka secara tak tertahankan lagi, meskipun ada sebagian orang di antara mereka yang dengan sengaja tidur satu jam di malam hari, sebagai cara untuk membantu diri mereka agar bisa bangun sepenuhnya sepanjang sisa malamnya. Dengan memberikan sedikit kelonggaran ini kepada kepada kebutuhan diri rendahnya (nafs), mereka akan menenangkannya dan mencegahnya dari mendatangkan kesulitan serius kepada mereka.
Alkisah, diceritakan bagaiman seorang yang saleh—semoga Allah Yang Mahatinggi melimpahkan rahmat-Nya kepadanya—sedang memegang seuntai tasbih dan menggunakannya untuk menghitung puji-pujiannya kepada Tuhan, sampai suatu saat dia tertidur.
Kemudian dia terbangun dan melihat bahwa biji-biji tasbihnya masih berputar di tangnnya, sementara lidahnya masih mengucapkan dzikir kepada Tuhannya.
Seorang saleh yang lain lagi biasa memaksa dirinya untuk tidur di sebagian malam, dan akan mendapati dirinya siap untuk itu tanpa betul-betul membutuhkan istirahat. Ketika ditanya tentang hal itu, dia berkata: “Kalbuku melihat Tuhanku.” Dia mengatakan kebenaran dalam apa yang dikatakannya, sebab mimpi yang benar (manâm shâdiq) adalah wahyu dari Allah. Apa yang dia sukai ada di dalam tidurnya.
Apabila seseorang dekat kepada Allah, maka malaikat-malaikat-Nya akan diberi tugas mengawasinya setiap saat. Jika dia tidur, mereka akan duduk di arah kepalanya dan di arah kakinya; mereka menjaganya baik di depannya maupun di belakangnya. Setan mungkin akan mencoba menggodanya, tetapi dia tidak akan merasakan kedekatannya, sebab dia tidur dalam penjagaan Allah, dan dalam penjagaan-Nya dia akhirnya akan terjaga kembali. Apakah dia bergerak ataukah diam, dia selalu dalam penjagaan Allah Yaang Mahatinggi.
Ya Allah, jagalah kami dari semua keadaan, dan :Berilah kami kebaikan di dunia ini, dan kebaikan di akhirat juga, dan jagalah kami dari siksa neraka! (QS 2:201)."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khawathir

Minggu, 28 Januari 2018

MEMAHAMI DUNIA DAN TUJUAN AKHIRAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali.
Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah.
Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Dia akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Lalu akan dikatakan kepadamu, “Ini adalah untukmu dan untuk keluargamu.” Namun, bagaimana mungkin engkau dapat menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik? Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu hatimu dan segala sesuatu tak akan bisa memasukinya. Dia menurunkan peringatan-Nya dalam kalbumu.
Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan bersungguh-sungguh. Hendaklah engkau menangisi rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlak burukmu.
Hendaklah kau menangisi semua perkara yang telah terjadi menimpamu. Bantulah orang-orang yang fakir dan miskin dengan hartamu, dan janganlah berbuat kikir! Sebab, tak lama lagi engkau akan berpisah dengan harta bendamu. Mukmin yang meyakini adanya penggantian di dunia dan akhirat tentu tak akan bersikap kikir atau bakhil!
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?”
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”
“Sebab aku berharap agar Mukmin yang kikir itu terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sebab kekikirannya. Sebaliknya, aku takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena kedermawanannya.”
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan.
Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani

PESAN SYEKH IBNU ‘ARABI TENTANG CAHAYA ILAHI

Syekh Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa beberapa orang datang kepada Khalifah Usman r.a. dan bertanya, “Apakah ada manusia setelah pemimpin kita Rasulullah SAW yang menerima wahyu dari Allah?”
Khalifah Usman r.a. pun menjawab, “Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan menerima wahyu langsung dari Allah seperti yang beliau (Rasulullah) alami—tetapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Berhati-hatilah terhadap firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.’” Dan, dia berkata kepada orang itu, “Kulihat sinar cahaya Ilahi itu dalam matamu sendiri.”
Sinar cahaya Ilahi ini, menurut Syekh Ibnu ‘Arabi, dikaruniakan Allah kepada sebagian orang beruntung tapi yang imannya masih lemah, tujuannya agar hati mereka diperkuat dan didekatkan kepada Tuhan mereka. Namun, sinar ini tak akan tampak, kecuali ia dilindungi dan dilestarikan oleh ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka, dengarkanlah apa yang Allah firmankan kepadamu di dalam Al-Quran. Carilah di dalamnya arah bagi perbuatan dan cintamu. Hatimu akan berdegup karena cinta itu jika engkau beriman kepada apa yang kau dengar, dan membuktikannya dengan perbuatanmu.
Jika imanmu lemah dan kau lupa kepada Tuhan, berpegalah kepada tanda-tanda yang telah Allah letakkan di dalam segala sesuatu yang ada di sekitarmu untuk mengingatkan dirimu kepada-Nya. Maka, dengan penegasan dan bukti atas kebenaran tanda-tanda itu,yang diajarkan agamamu, hatimu akan menemukan kekuatan, dan imanmu akan semakin kokoh.
Lalu, jika engkau mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan di sekelilingmu, namun tidak memahami maknanya karena kau kurang melaksanakan latihan batin, maka akibatnya kau mungkin disalahkan (orang lain), bahkan oleh dirimu sendiri, karena yang kau lihat hanyalah sihir atau ilusi belaka.
Ingatlah bahwa alat penglihatan kita adalah bashirah, mata batin—dan tanda orang yang memiliki mata batin ini adalah bahwa perilaku dan akhlak yang indah terungkap dalam perbuatannya. Perbuatan ini merupakan buah dari pemahaman dan pengetahuannya.
Memikirkan tentang makna batin atau spiritualitas dengan Allah mempengaruhi indera dan menajamkan kepekaan, yang memampukan orang untuk melihat berbagai alam gaib. Kaum materialis menolak kemampuan semacam ini. Banyak di antara mereka tidak percaya hal ini. Tetapi, sebenarnya ia merupakan sebuah ilmu yang tak ubahnya seperti ilmu yang lain, yang bergantung pada latihan (riyadhah), percobaan, dan usaha yang terus menerus (mujahadah). Ia merupakan pengetahuan yang diawali dengan iman dan bergantung pada iman. Dan, kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang dari penglihatan sekilas atas kebenaran, yang dimungkinkan oleh firasat bawaan, karunia Allah, yang dimiliki setiap orang.
Orang yang melihat dengan mata batin ini berarti melihat dengan cahaya Tuhan. Cahaya Tuhan hanya mengungkapkan kebenaran saja. Kenyataan ini, dan pengakuan atasanya, hanya terungkapkan jika firasat bawaan dilengkapi dengan hukum-hukum agama.
Semoga bermanfaat!

--Syekh Ibnu ‘Arabi dalam Kitab Tadbirat al-Ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyah.


BERHATI-HATI DARI AURAT DUNIA

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani mengatakan, “Jika engkau melihat dunia berada di tangan pemiliknya dengan segala perhiasan, kebatilan, tipu daya, tempat pencariannya, dan racunnya yang sangat mematikan, disertai dengan lembutnya sentuhan lahirnya, tersembunyi batinnya, cepatnya dalam merusak sesuatu, cepatnya dalam membunuh orang yang mencoba untuk menyentuhnya, lalu dia tertipu dan terlalaikan dengan dunia tersebut dari Sang Pemiliknya dan merusak janjinya, maka jadilah kau itu seperti orang yang melihat aurat orang lain yang sedang buang hajat di padang dan mencium baunya yang tidak sedap.
Tentunya, engkau akan menundukkan pandanganmu dari auratnya dan menutup hidungmu agar tidak mencium baunya yang kurang enak. Seperti itulah kamu seharusnya bersikap ketika melihat dunia.
Apabila kamu melihat dunia, tundukkan pandanganmu dari segala bentuk perhiasannya dan tutuplah hidungmu dari bau segala bentuk kesenangan dan kenikmatannya, agar kamu selamat darinya dan dari segala bentuk kejahatannya. Kamu akan didatangi bagian dari dunia dengan sendirinya, sedangkan kau tetap merasa tenang dan nyaman.
Allah SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, “Dan janganlah tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu itu lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Thaha: 131)


Kamis, 18 Januari 2018

CINTA KEPADA ALLAH DIAWALI DENGAN TOBAT & TALQIN

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengungkapkan pentingnya ber-talqin kepada wali Musryid sebelum melakukan proses lebih lanjut dalam bimbingan ruhani tarekat/tasawuf, sebab menurutnya, Allah SWT telah berfirman, “Dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa.” (QS. Al-Fath [48]: 26), yakni kalimat Lâ Ilâha Illallâh, dengan syarat kalimat tersebut (sebagai talqin) diambil dari orang yang kalbunya bertakwa sempurna dan suci dari segala sesuatu selain Allah.
Bukan sekadar kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang diambil dari mulut orang awam. Meski lafadznya satu, tetapi bobotnya berbeda. Bibit Tauhid yang hidup tentu saja diambil dari hati yang hidup, sehingga bibitnya berkualitas. Sedangkan, bibit yang tidak berkualitas tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Maka, kalimat tauhid yang diturunkan dalam Al-Qur’an memiliki dua makna.
Pertama, kalimat tauhid, Lâ Ilâha Illallâh yang memiliki makna lahir saja. Sebagaimana, firman Allah SWT,“Apabila dikatakan kepada mereka, Lâ Ilâha Illallâh mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shâffât [37]: 35) Kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang dimaksud dalam ayat ini merupakan hak bagi orang awam.
Kedua, Allah SWT menurunkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh disertai dengan pengetahuan yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ayat ini menjadi Sababun Nuzul bagi adanya talqin zikir untuk orang-orang khusus yang ingin wushûl kepada Allah. Sebagaimana yang diungkapkan pengarang Kitab “Bustân Asy-Syâri’ah” diterangkan, “Orang yang pertama kali menginginkan jalan terdekat kepada Allah, terunggul, tetapi termudah melalui Nabi SAW ialah Ali bin Abi Thalib RA. Ketika Sayyidina Ali RA meminta, Rasulullah tidak langsung menjawab tetapi menunggu wahyu. Maka, datanglah Jibril dan menalqinkan kalimah Lâ Ilâha Illallâh 3 kali dan Nabi mengucapkannya tiga kali. Selanjutnya, Nabi SAW mendatangi para Sahabat dan Nabi SAW menalqin para Sahabat secara berjamaah.”
Nabi SAW bersabda, “Kita telah kembali dari perang kecil ke perang besar yakni perang melawan hawa nafsu.” (HR. Al-Baihaqi). Rasulullah SAW juga bersabda, “Musuhmu yang paling utama ialah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.” (HR. Al-Baihaqi)
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Mahabbah (cinta) kepada Allah tidak akan tercapai, kecuali setelah engkau melumpuhkan musuh-musuh-Nya yang ada di dalam wujudmu sendiri.. Seperti halnya, nafsu amarah, lawamah, dan mulhamah, setelah terlumpuhkan maka lantas membersihkan diri dari sifat-sifat bahimiyah (binatang jinak) yang tercela, seperti makan, minum, tidur dan bercanda yang berlebihan.
Juga membersihkan hati dari sifat-sifat sabu’iyyah (binatang buas), seperti marah, mencaci, memukul, memaksa. Juga membersihkan diri dari dari sifat syaitaniyah (sifat-sifat setan), seperti sombong, ujub, hasad, dengki, dendam, dan dari sifat-sifat badan dan hati yang tercela lainnya.
Jika Anda sudah bersih dari sifat-sifat tercela tadi, berarti Anda sudah bersih dari sumber dosa. Maka Anda termasuk orang-orang suci dan ahli tobat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Adapun orang yang hanya bertobat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung ayat ini. Meskipun dia bisa juga disebut tâ’ibun (orang yang bertobat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertobat dengan sebenar-benarnya). Kata tawwâb dalam bahasa Arab ini menggunakan shigah mubâlaghah atau superlatif yang dimaksud adalah tobatnya orang-orang yang khusus (al-khawwâsh).
Perumpamaan orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi di batangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabutnya dari akar. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertobat secara sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya. Maka, dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi, kalaupun ada itu termasuk kasus yang langka.”
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, posisi talqin di sini—seperti orang memotong rumput—adalah alat untuk “memotong” segala sesuatu selain Allah SWT dari hati orang yang di-talqin. Seperti yang kita ketahui, orang yang tidak mau “memotong” “pohon pahit” (tidak mau menempuh perjalanan pahit) tidak akan mampu sampai pada tempat “pohon manis”.
Berpikirlah wahai manusia yang memiliki pandangan hati. Semoga engkau berbahagia (dan wushûl kepada Allah).
Allah SWT berfirman, “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahn-kesalahan.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 25) Allah SWT juga berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh maka kesalahan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqân [25]: 70)”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar,


Selasa, 16 Januari 2018

KURANGI TIDUR DAN BERDZIKIRLAH!

Tidur memang misteri. Sebagaian sufi mampu menjadikan tidur sebagai dzikir. Tapi, hatinya tetap terjaga dan sadar bahwa dia sedang bertawajjuh kepada Allah. Namun bagi Salik, memperbanyak tidur dan tidak berdzikir justru hanya menimbulkan sifat malas, serta dapat melalaikannya dari amalan-amalan sunah di malam hari, seperti shalat dan dzikir.

Maka dari itu, wajar saja jika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendirikan shalat di malam hari, berdzikir, bermunajat, tafakur dan mengerjakan amalan nawafil agar kita selalu terjaga dan mampu menumbuhkan sifat kemalaikatan dalam diri. Mereka yang kuat shalat dan dzikir di malam hari adalah orang yang hatinya senantiasa terjaga dan mampu menahan kantuk agar dirinya selalu menghadap Allah.
Penjelasan dan nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang mengurangi kebiasaan tidur dapat menjadi pelajaran berharga. Ini adalah riyadhah yang harus dijalani para salik.
Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan: 
"Barangsiapa yang memilih tidur dan mengalahkan hal-hal yang dapat menyebabkan keterjagaan, sungguh dia telah memilih sesuatu yang paling kurang, paling rendah, pertemuan dengan kematian, serta melalaikan seluruh kemaslahatan.

Karena sesungguhnya, tidur adalah saudaranya kematian. Karena alasan inilah, sifat tidur itu tidak boleh melekat pada Dzat Allah swt, karena di dalamnya terdapat semua sifat-sifat kekurangan.
Begitu juga para malaikat, karena kedekatan mereka kepada Allah swt, maka sifat tidur dinafikan dalam diri mereka. Begitu juga penghuni surga, karena mereka berada di tempat yang paling tinggi, paling suci, paling berharga, dan paling mulia, maka sifat tidur juga dinafikan dari dalam diri mereka semua.
Karena sifat tidur itu adalah sifat yang menunjukkan kekurangan di dalam keadaan mereka. Maka, kebaikan yang paling sempurna adalah di dalam keadaan sadar. Adapun keburukan yang sempurna itu terdapat dalam sifat tidur dan lalai. Maka, barangsiapa yang makan dengan menuruti hawa nafsu, dia akan banyak makan, banyak minum, banyak tidur dengan waktu yang sangat lama, dan dia akan menyesal dan akan kehilangan banyak kebaikan.
Barangsiapa yang makan sedikit dari barang haram itu seperti orang yang makan barang yang halal, tetapi banyak dengan menuruti hawa nafsunya. Karena sesungguhnya, barang yang haram itu akan menutupi keimanan dan membuatnya menjadi gelap, sebagaimana arak itu dapat menutupi akal dan membuatnya menjadi gelap.
Apabila keimanan sudah menjadi gelap, tidak akan ada lagi shalat, ibadah, dan keikhlasan yang baik. Barangsiapa makan barang halal dalam jumlah yang banyak karena adanya perintah, dia seperti orang yang makan barang halal dengan jumlah sedikit, dan kuat menunaikan ibadah.
Barang yang halal itu ibarat cahaya di dalam cahaya. Adapun barang yang haram itu ibarat kegelapan di dalam kegelapan. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Makan makanan yang halal dengan menuruti hawa nafsu tanpa adanya perintah dan makan makanan yang haram itu dapat menyebabkan cepat tidur. Dengan demikian, tidak ada kebaikan di dalamnya.”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib--