Jumat, 15 Februari 2019

LIMA KENDALA MERAIH PENGETAHUAN ILAHI

KALBU ITU IBARAT CERMIN

Dalam kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kalbu manusia itu adalah tempat (wadah) ilmu, yakni bagian halus (al-lathifah) yang mengatur seluruh anggota tubuh manusia. Kalbu yang halus (qalb) inilah yang dipatuhi dan yang dilayani oleh seluruh anggota tubuh. Jika dikaitkan dengan hakikat segala pengetahuan, maka kalbu itu seperti cermin yang terkait dengan bentuk dan wujud sesuatu.

Dengan kata lain, gambar atau wujud tersebut akan tampak jika diletakkan di depan cermin. Dengan cara yang sama kalbu kita menerima warna atau sifat dari suatu obyek yang tidak dikenal dalam sebuah pengetahuan. Masing-masing pengetahuan memiliki hakikat. Dan, hakikat itu memiliki bentuk yang terpatri di dalam cermin kalbu, dan tampak jelas di dalamnya.

Seperti orang yang melihat atau mengetahui kobaran api, ini tidaklah berarti api itu berada di dalam kalbunya. Tapi, yang ada di kalbunya hanyalah batas dan hakikatnya sesuai dengan bentuk dan gambarnya. Karena itu, menggambarkan kalbu seperti cermin adalah sangat tepat. Sebab, zat manusia itu sendiri tidak berada di dalam cermin. Yang ada adalah bayangan yang cocok dengan manusianya. Demikian pula adanya keadaan sesuai dengan hakikat pengetahuan di dalam kalbu yang kita namakan sebagai ilmu.

Menurut Imam Al-Ghazali terdapat rintangan dan kendala yang dapat mencegah gambaran nayata di dalam cermin kalbu kita. Gambar pada cermin itu tidak tampak atau tidak begitu jelas ditangkap karena disebabkan oleh 5 (lima) perkara:
1) Cerminya tak terbuat dari bahan yang baik sehingga kurang mengkilap.
2) Terdapat karat atau kotoran yang menempel pada cermin tersebut, meskipun bentuknya tampak sempurna.
3) Karena posisi cermin yang tidak mengarah kepada objeknya.
4) Karena terdapat hijab atau tirai di antara cermin dan objeknya.
5) Objeknya tidak ditempatkan di depan cermin
Menurut Imam Al-Ghazali, sebenarnya keadaan kalbu kita seperti 5 keadaan di atas. Kalbu kita seperti layaknya sebuah cermin yang disediakan untuk menampilkan dengan jelas hakikat kebenaran dalam segala hal. Namun, ketika kalbu tak mampu menjalankan fungsinnya secara baik, maka pengetahuan pun tak sampai kepadanya. Hal ini karena terdapat 5 (lima) penghambat bagi masuknya pengetahuan:

Pertama, disebabkan karena adanya kekurangan terhadap kalbu itu sendiri. Misalnya, seperti kalbu milik anak-anak kecil. Pada kalbu mereka tak tampak adanya pengetahuan, karena kalbu mereka masih memiliki kekurangan.

Kedua, disebabkan karena kotoran maksiat dan perbuatan keji yang terakumulasi sehingga menumpuk pada permukaan kalbu. Ini terjadi karena besarnya nafsu syahwat dalam diri sehingga menghalangi kejernihan kalbu kita. Akibatnya, kebenaran di dalam kalbu pun tak tampak, karena gelapnya timbunan kotoran dan noda dosa yang berulang-ulang melapisi kalbu.

Ketiga, kalbu kita tidak tertuju kepada arah hakikat objek yang dicari. Bahkan, menurut Imam Al-Ghazali, hati seseorang yang taat dan shaleh sekali pun, meskipun kalbunya bersih, boleh jadi tidak begitu cemerlang memperlihatkan hakikat kebenaran. Hal ini terjadi karena ia tidak searah dengan cerminnya dalam menuju arah yang ia cari. Bahkan, kadang-kadang, perhatiannya disibukkan dengan detail ibadah lahiriah saja atau hanya terfokus kepaada pencarian nafkah tapi tak tertuju kepada Allah. Begitu juga dengan pikirannya, ia tidak ditujukkan ke hadirat Ilahi yang tersembunyi di dalam batin. Maka, tak akan tersingkap baginya selain apa yang ia pikirkan, dari bahaya amalan sampai berbagai hal kekurangan diri atau kepentingan hidupnya. Bagaimana mungkin bisa menangkap cahaya Ilahi, jika pandangan kalbu kita tak tertuju kepada hakikat Ilahi?
Keempat, disebabkan karena hijab atau tirai. Seseorang yang taat dan sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, dan mampu terfokus pada hakikat-hakikat kebenaran, terkadang masih tertutup dan tak mampu menyingkap tabir hakikat. Hal ini terjadi karena adanya hijab, berupa kepercayaan yang ia yakini sejak kecil secara taklid (ikut-ikutan) dan ia terima begitu saja tanpa mengetahui lebih mendalam. Sebenarnya, kepercayaan seperti ini pun dapat menghalangi kalbu dari hakikat kebenaran, dan juga dapat menghalangi terbukanya kalbu untuk menerima apa yang ia dapatkan secara taklid. Menurut Imam Al-Ghazali, tirai semacam ini banyak dialami oleh para ulama Ahli Kalam dan orang-orang yang terlalu fanatik terhadap mazhab fiqihnya saja. Bahkan, orang shaleh yang rajin tafakur tentang alam malakut, langit dan bumi, karena mereka terbungkus oleh keyakinan taklid yang telah meresap kuat dalam kalbu mereka. Ini menjadi dinding tebal yang menghalangi mereka dari hakikat kebenaran.

Kelima, disebabkan oleh kebodohan. Ia tidak mengerti arah menuju apa yang ia cari. Seseorang tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan melalui kebodohannya. Karena itu, ia harus fokus mencari ilmu-ilmu yang sesuai dengan apa yang dicarinya. Lalu, susunlah ilmu-ilmu itu secara sistematis di dalam dirinya dengan selalu merujuk kepada pemikiran dan ajaran para ulama. Dengan begitu, ia akan mendapatkan arah dalam memahami pengetahuan Ilahi.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa jika seseorang ingin menyaksikan tengkuknya melalui sebuah cermin, dan ia lalu mengangkay cermin itu di depan wajahnya, maka cermin itu tidak akan memantulkan gambar tengkuk kita, karena tidak kelihatan. Jika ia meletakkan cermin di belakang tengkuk, ia malah tidak akan bisa melihat cermin itu apalagi gambat atau bayangan tengkuknya. Karena itu, agar ia dapat melihat tengkuknya, maka ia harus menyediakan dua cermin, dimana yang satu diletakan berhadapan dengan tengkuk, dan yang satu lagi diletakkan di depan wajahnya. Aturlah posisi kedua cermin itu, sehingga gambar tengkuk dari cermin yang satu terlihat di cermin yang berada di depan matanya. Saat itulah mata baru dapat melihat dan menyaksikan gambar tengkuk tadi.

Demikian pula dalam menuntut ilmu, terdapat metode-metode yang menakjubkan untuk mengetahui hakikat kebenaran. Inilah pentingnya kita berguru kepada ahli dzkir dan ulama pewaris para nabi agar mampu mengenal hakikat kebenaran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan suatu amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulkanlah amanah itu oleh manusia,” (QS Al-Ahzab: 72)

Menurut Imam Al-Ghazali, ayat ini mengungkap keistimewaan luar biasa manusia yang terdapat dalam dirinya, yang tak dimiliki oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. Dengan keistimewaan ini manusia kuat dan mampu memikul amanah Allah. Amanah tersebut adalah makrifatullah dan tauhid. Dan, pada dasarnya, setiap diri manusia mampu memikul amanah tersebut, sebab-sebab kesalahan di atas akhirnya manusia tak sanggup mengembannya.

--Disarikan dari Kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali--

APAKAH DZIKIR BISA MENGUSIR SETAN DARI HATIMU?

Dalam kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang bisikan-bisikan setan di hati manusia saat terjaga, atau saat berdzkir dan shalat. Menurutnya, terdapat lima pendapat tentang hal tersebut. Apakah dzkir bisa mengusir setan di hati? Sampai kapan setan tetap berbisik dalam hati? Bagaimana bisikan-bisikan setan itu muncul? Bagaimana membedakan bisikan setan saat shalat dan berdzikir?

Menurut Imam Al-Ghazali, terdapat 5 golongan yang berpendapat tentang hal tersebut:
Pertama, menyebut bahwa bisikan hati yang disebabkan oleh setan itu akan berhenti jika kita melakukan dzkir kepada Allah (dzirullah). Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW, “Maka ketika seseorang mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) niscaya setan akan mengendap-endap.” (HR Ibnu Abi Dunya)

Kedua, pada dasarnya bisikan setan itu sebetulnya tidak hilang. Bisikan setan tetap berada di hati, meskipun tidak menimbulkan pengaruh. Sebab, jika hati sedang larut dalam dzikir niscaya ia akan tersekat dari pengaruh bisikan tersebut, sebagaimana orang yang sedang sibuk dengan khayalannya. Terkadang hanya bergumam sendiri dan tidak mengerti apa yang diucapkannya, walaupun sebenarnya suara itu terlintas di pendengaran.

Ketiga, bisikan yang dibangkitkan setan itu tak akan lenyap dan dampaknya tak akan hilang. Namun yang hilang itu hanya dominasinya saja terhadap hati, bisikannya tetap ada secara samar atau terdengar seperti dari kejauhan.

Keempat, bisikan setan itu lenyap sejurus seseorang berdzkir kepada Allah, meskipun kadang-kadang muncul kembali. Keduanya datang bergantian dalam waktu berdekatan, bukan dalam waktu bersamaan. Mereka yang berpendapat seperti ini dengan dalil hadis tentang mengendapnya setan ketika seseorang sedang berdzikir.

Kelima, sesungguhnya bisikan yang dibangkitkan oleh setan dan dzkir itu sendiri berjalan bersamaan tanpa pernah putus di dalam hati. Ini sama seperti seseorang yang kadang melihat dua bentuk benda dalam waktu yang sama. Demikian juga dengan hati yang kadang-kadang menjadi tempat lewatnya dua benda. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap hamba pasti memiliki dua pasang mata; yakni sepasang mata di kepalanya yang bisa ia gunakan untuk melihat urusan dunianya; dan sepasang mata di hatinya yang bisa ia gunakan untuk melihat urusan agamanya.” (HR Abu Mansur). Inilah pendapat yang diikuti oleh Al-Muhasibi.
Menurut Imam Al-Ghazali, kelima pendapat ini benar. Namun, penjelasan kelimanya belum selesai karena tidak menjelaskan seluruh jenis bisikan. Umumnya, pandangan masing-masing dari mereka hanya memandang pada satu jenis bisikan saja. Padahal, bisikan (was-was) yang dibangkitkan oleh setan itu beragam jenisnya.

Pertama, bisikan yang isinya benar, namun sebenarnya menipu. Setan kadang-kadang membisikan kalimat-kalimat yang nampaknya benar tapi sebetulnya dilakukan hanya untuk menipu. Misalnya, ia berbisik di hati seseorang, “Jangan bersenang-senang dari segala kesenangan. Usia itu panjang dan harus bersabar terhadap godaan nafsu syahwat sepanjang hidup itu sungguh-sungguh berat.”

Menurut Imam Al-Ghazali, pada saat itu, sebenarnya kalau seseorang mau berdzikir dan mengingat keagungan Allah dan besarnya pahala serta siksa-Nya, tentu ia akan berkata kepada dirinya sendiri bahwa “Bersabar dari hawa nafsu syahwat itu memang berat, tetapi bersabar dari siksa api neraka jauh lebih berat lagi.” Kita harus memilih di antara keduanya. Jika kita mengingat janji Allah berupa pahala baik dan siksa di neraka, lalu kita menguatkan keimanan dan keyakinan, maka setan akan mengendap-endap dan lari menjauh dari hati kita. Sebab, setan tak mampu berkata kepada kita bahwa siksa api neraka itu lebih ringan daripada bersabar menahan nafsu syahwat.

Menurutnya, setan juga kadang-kadang membisikan kepada seorang hamba tentang perasaan bangga atas kelebihan yang ia miliki. Misalnya, setan berbisik, “Mana ada orang yang mampu mengenal Allah seperti engkau mengenal dan menyembah-Nya dalam shalat?” Sebenarnya dengan pernyataan ini, setan sedang mengalihkan pandangan kita saat shalat.

Ketiga, adanya bisikan yang muncul dalam bentuk bersitan hati saja, mengingat hal-hal yang bersifat umum, atau misalnya mengingat hal lain saat kita shalat. Saat kita mengingat Allah kembali (dzkir) maka bisikan itu lenyap sebentar, tetapi kemudian muncul lagi, lenyap dan muncul lagi. Dalam hal ini, dzikir dan bisikan setan datang silih berganti. Lalu, tergambarlah keduanya datang beriringan. Keduanya seolah berada pada dua tempat yang berbeda di dalam hati. Maka, sulit dibayangkan bahwa setan itu bisa lenyap secara total hingga tak ada lagi terbersit di dalam hati. Namun, meskipun sukar, itu bukan sesuatu yang mustahil. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan shalat dua rakaat sedangkan hatinya tidak berkata sesuatu pun mengenai urusan dunia, niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.”

Menurut Imam Al-Ghazali, jika masalah ini tak bakal terjadi, tentu permasalahan ini tak akan menjadi perhatian Rasulullah seperti pada hadis di atas. Kecintaan kepada Allah yang sangat kuat hingga ia berhasil menghilangkan semua gambaran cinta pada selain-Nya di dalam hati.

Kita kadang-kadang melihat orang yang hatinya diliputi oleh pikiran tentang musuh, sehingga hatinya diliputi oleh pikiran tentang musuhnya, sehingga hatinya sering sakit melihat apa yang dilakukan oleh musuhnya tersebut. Kata-kata musuhnya terus terbersit dalam hatinya. Begitu pula seperti orang yang sedang dimabuk asmara. Kadang-kadang, dia memikirkan dan merenungkan ucapan kekasihnya dengan hati, sehingga ia tenggelam dalam pikirannya. Maka, yang terbersit dalam hatinya hanya ucapan sang kekasih.

Selama seseorang masih memiliki harta di luar kebutuhan, meskipun hanya uang satu dinar, ia akan terus dibisiki oleh setan untuk memikirkan dinarnya. Bisikan itu bisa tentang bagaimana menjaga harta tersebut, cara membelanjakannya, bagaimana menyembunyikannya agar tak diketahui orang lain, atau yang lainnya. Atau bagaimana ia bisa memamerkan harta itu untuk dibanggakannya.

Barangsiapa yang menancapkan kukunya pada dunia, lalu ia berharap terbebas dari setan, adalah laksana orang yang membenamkan tangannya di dalam air madu, namun mengira tidak akan ada lalat yang bakal menempel padanya. Hal ini mustahil, sebab dunia adalah pintu gerbang bagi masuknya bisikan setan. Dan, setan punya banyak pintu.

--Disarikan dari Kitab Aja’ib al-Qalb, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali.--

MEMBUKA TABIR KEGAIBAN SHALAT


RAHASIA SHALAT MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Salah satu kitab yang mengulas panjang lebar tentang rahasia shalat adalah Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali pada bab Asrarus-Shalah wa Muhimmatuha. Kitab inilah salah satu dasar pengajaran tentang teknik shalat khusyusuk yang diajarkan ulama Nusantara dari zaman ke zaman. Para wali menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama dalam menanamkan kedalaman makna batin dalam shalat sesuai ilmu syariat dan hakikat.
Menurut Imam Al-Ghazali—dengan mengutip ulama dahulu—mengatakan: “Perumpamaan seorang yang shalat adalah seperti seorang pedagang; tidak akan memperoleh laba, kecuali dia menyediakan modal untuk dagangannya itu. Demikian pula, seseorang yang mengerjakan shalat, tidak akan diterima dari shalat sunnahnya, sampai dia melaksanakan shalat fardhunya.” Sungguh, waktu shalat adalah panggilan jiwa yang harus dipersiapkan. Ini adalah waktu khusus yang diberikan oleh Allah kepada kaum beriman untuk menghadap-Nya, berkomunikasi dengan-Nya, bermunajat kepada-Nya.
Pernah diriwayatkan bahwa Sayyidna Ali bin Abi Thalib r.a. ketika tiba saat shalat, tubuhnya gemetar dan wajahnya berubah. Ketika ditanyakan mengenai hal itu, dia menjawab: “Telah tiba waktu untuk melaksanakan amanat yang ditawarkan oleh Allah pada langit, bumi dan gunung-gunung. Mereka semua menolaknya karena khawatir tidak mampu memikulnya, tetapi kini aku memikulnya.”

Sayyidna Ali bin Abi Thalib r.a. ingin mengajarkan kepada kita betapa besarnya nilai ibadah shalat, sebab ia merupakan amanat terbesar yang harus dipikul sebagai hamba. Melalui shalat diri manusia menerima kekhilafahannya di dunia. Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali r.a., ketika selesai wudhu wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Pernah suatu ketika keluarganya menanyakan hal tersebut kepadanya, “Mengapa engkau seperti itu ketika selesai wudhu?” dia menjawab, “Tidakkah kalian tahu di hadapan siapa aku akan berdiri?”

Sungguh, shalat adalah media pertemuan dengan Allah yang telah ditetapkan waktunya secara khusus. Shalat bagi hamba tertentu menjadi komunikasi rahasia tersendiri. Karenanya, bagi orang-orang tertentu merasa tak cukup untuk shalat berjamaah pada waktu shalat fardhu, dia akan menambah pertemuannya dengan Allah dengan memperbanyak shalat sunnah di waktu kesendiriannya, waktu yang sepi, waktu yang khusus antara dia dan Rabbnya. Shalatnya hanya ingin diketahui oleh Allah, malaikat, rasul dan hamba-hamba-Nya shaleh yang telah berada di alam barzakh. Secara sadar, orang jenis ini memahami dimensi barzakh yang dimasukinya di masa shalat. Sa’id bin Musayyab mengatakan, “Barangsiapa yang shalat di tempat yang sepi, maka malaikat akan berdiri shalat di samping kanannya dan di samping kirinya. Jika dia (sebelum shalat) menyerukan azan dan iqamat, maka akan bershalat di belakangnya malaikat yang banyak jumlahnya.”

Shalat adalah waktu terbayarnya kerinduan seorang hamba kepada Sang Mahacinta; Allah SWT. Shalat adalah perjumpaan dengan Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tak satu pun perangai manusia lebih disukai Allah daripada seseorang yang sangat ingin berjumpa dengan-Nya, dan tak ada saat bagi seseorang untuk lebih dekat kepada Allah daripada ketika dia bergerak menuju sujud.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Nasa’i)

Rasulullah SAW juga bersabda, “Saat seseorang sedang bersujud adalah saat paling dekat kepada Allah. Maka, perbanyaklah doa oleh kalian di waktu itu.” (HR Muslim)
Imam Al-Ghazali meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah bin Abbas, menurutnya Nabi Dawud a.s. dalam munajatnya bertanya-tanya, “Wahai Tuhanku, siapakan yang dapat menghuni rumah-Mu, dan shalat siapakah yang Engkau terima?”

Lalu, Allah SWT pun menurunkan wahyu kepadanya: “Wahai Dawud, sesungguhnya orang yang menghuni rumah-Ku dan Ku-terima shalatnya adalah orang yang merendahkan hatinya demi keagungan-Ku, melewatkan harinya dalam berdzikir kepada-Ku, mencegah dirinya dari nafsu syahwat demi menghormati-Ku, memberi makan orang yang lapar, menjamu perantau, dan mengasihani orang yang sakit. Orang seperti itulah yang cahayanya bersinar di langit dan bumi. Jika dia berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkan doanya, dan jika dia memohon dari-Ku, niscaya Aku memenuhinya. Aku akan menjadikan kebijakan dalam kejahilannya, ingat kepada-Ku dalam kelalaiannya, dan cahaya dalam kegelapannya. Perumpamaan orang itu, di antara manusia lainnya adalah seperti Taman Firdaus di Puncak Surga, yang tak akan kering sungainya dan tak akan membusuk bebuahannya.”

--Disarikan dari Kitab Asrar Ash-Shalah wa Muhimmatuha, kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.--

USIR HAWA NAFSU DARI KALBUMU!


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberi nasehat:

“Keluarkan dirimu dari nafsumu dan jauhilah ia! Lepaskan segala kepemilikanmu dan serahkan semua pada Allah. Jadilah gerbang di pintu kalbumu. Patuhilah perintah-perintah-Nya untuk memasukkan orang-orang yang memang diperintahkan dan diizinkan masuk. Patuhi pula larangan-larangan-Nya untuk mengusir orang-orang yang diperintahkan-Nya untuk kau usir. Jauhi dari pintu kalbumu!


Jangan masukkan hawa nafsu ke dalam kalbumu setelah ia terusir darinya. Pengusiran hawa nafsu dari kalbu adalah dengan menentangnya dan menolak mengikutinya dari segala kondisi. Sedangkan, memasukkannya ke dalam kalbu adalah dengan menuruti kehendaknya dan menyetujuinya.

Janganlah engkau berkehendak selain dengan Kehendak Allah Azza wa Jalla. Kehendak yang kauinginkan selain itu adalah belantara kebodohan yang akan mengantarkanmu pada malapetaka dan kebinasaanmu, juga kejatuhanmu di mata-Nya dan keterjauhanmu dari-Nya.


Maka dari itu, jagalah selalu perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya. Pasrahkan selalu dirimu kepada-Nya dalam segala ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Jangan pernah sekutukan Dia dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Karena itu, janganlah terlalu berambisi tinggi, menginginkan kesenangan dan bersyahwat besar agar dirimu tak menjadi orang yang musyrik.

Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Allah,” (QS Al-Kahfi [18]: 110).


Syirik bukan hanya terbatas pada penyembahan berhala saja, namun termasuk juga tindak kesyirikan adalah menurutkan hawa nafsumu, memilih sesuatu selain-Nya berupa dunia seisinya, dan segala sesuatu selain-Nya. Jika engkau terhanyut dengan segala sesuatu selain-Nya, maka berarti engkau telah menyekutukan-Nya. Maka, waspaadalah dan jangan terlena, takutlah selalu dan jangan merasa diri aman, telitilah selalu dan jangan lalai, niscaya engkau akan merasa tenang.”


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab As-Suluk wa At-Tawassul ila Manazil Al-Muluk--

CAHAYA CAHAYA MAKRIFAT

MACAM-MACAM CAHAYA BATIN YANG MENGGODA

“Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.”

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.


Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa ada cahaya yang menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwal (keadaan spiritual) para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq (para ahli hakikat).


Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah dan keindahan-Nya. Cahaya ini tak akan terlihat, kecuali para orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.


Syekh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya menyingkap dzat-Nya,” karena penampakkan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikan. Sebagian yang lain membenarkan kemungkinannya.


Syekh Muhyiddin Ibn Arabi menyebut penampakkan dzat Allah yang murni ini dengan bawariq (kilat), karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.”


Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam mengatakan: “Boleh jadi kalbu terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya kalbu oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.”


Menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, boleh jadi kalbu kita tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah SWT.


Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:

Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yakni ilmu dan pengetahuan. Jika hati terhenti padanya, maka ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud. Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yakni nafsu syahwat dan kebiasaanya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan, karena tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.”


--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

MENDEKATLAH KEPADA SANG MAHA PEMBERI NIKMAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberi nasehat:
“Jika Allah ‘Azza wa Jalla melimpahimu kekayaan, dan kekayaan itu kemudian menyibukkan dirimu dari berbuat ketaatan kepada-Nya, maka Dia memisahkanmu darinya, baik di dunia maupun di akhirat.

Bahkan, boleh jadi, Dia mencabut kembali karunia-Nya darimu, menelantarkanmu dan menjadikanmu miskin sebagai bentuk hukuman atas kesibukanmu dengan nikmat yang melupakanmu dari Sang Maha Pemberi nikmat.

Tetapi, jika engkau sibukkan dirimu dengan berbuat ketaatan kepada-Nya sambil berpaling dari kekayaan, maka Dia akan menjadikan kekayaan tersebut sebagai anugerah bagimu dan tidak akan berkurang sebiji pun. Harta kekayaan akan menjadi pelayanmu, sementara engkau berkhidmat menjadi pelayan Sang Mawla (Allah), sehingga engkau pun akan hidup di dunia dalam belaian kasih sayang, dan hidup di akhirat dalam nauangan kehormatan dan kemuliaan surga bersama para Shiddiq, para Syahid dan orang-orang shaleh lainnya.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab As-Suluk wa At-Tawassul ila Manazil Al-Muluk--

MEMAHAMI MAKNA RIDHA

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Kalian harus senantiasa ridha kepada Allah Azza wa Jalla dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan baik maupun buruk, sehat ataupun sakit, kaya maupun miskin, dan dalam keadaan sukses ataupun gagal. Aku tidak melihat obat yang baik bagi kalian selain berserah diri kepada-Nya.

Jika Allah menakdirkan sesuatu bagi kalian, janganlah takut. Janganlah mengeluh kepada selain-Nya, sebab itu justru bisa menyebabkan bencana bagi kalian, Tenang dan diamlah! Jika kalian ridha, Dia akan mengubah kesusahan kalian menjadi kebahagiaan!"

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

TEKNIK DÀSAR MUROQOBAH

Salik dan Matin kembali berdiskusi di Sor Baujan (di bawah Pohon Trembesi), untuk belajar hakikat sedikit demi sedikit. Sebagai pemula, Salik merasa perlu untuk menimba ilmu dari Matin.
Salik (S): Bro, ajarkan saya tentang makna ihsan!
Matin (M): Waduh, mirip pertanyaan Malaikat Jibril kepada Rasulullah?!
S: Ah...Biasa saja. Saya hanya ingin belajar dari caramu memahami.

M: Dasarnya “anta’budallaha ka’anaka tarahu fa inlam tara fa innahu yaraka” (Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika kau tak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu). Latihlah kesadaranmu ini saat shalat atau sedang berdzikir. Lalu, gunakan kesadaran ini setiap saat dalam kehidupanmu sehari-hari. Inilah makna ihsan

S: Jadi kesadaran bahwa kita selalu diawasi. Berarti muraqabah itu seperti camera CCTV?

M: Untuk lebih mudah memahami, dapat dikatakan seperti itu.
S: Maksudnya, kita harus sadar bahwa setiap saat Allah mengawasi dan melihat semua gerak, bisikan, getar hati dan seluruh pekerjaan?
M: Betul. Namun, ini hanya tingkat dasar.
S: Maksudnya?
M: Camera CCTV itu kan searah. Sebab, kita hanya menjadi objek yang dilihat. Komunikasinya pun searah. Tertuang dalam rekaman. Ada jarak, tempo dan waktu untuk memutar ulang atau disaksikan langsung. Tapi, pengertian muraqabah dalam konsep ihsan lebih daripada itu.

S: Maksudnya?

M:Muraqabah itu adalah kesadaran seorang hamba yang secara terus menerus atas pengawasan Allah terhadap semua keadaan. Juga bisa berarti komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya dalam kesadaran batin. Jadi, ada komunikasi dua arah.
S: Hmmmm. Bagaimana cara melatihnya?
M: Sebaiknya Anda belajar kepada guru tarekat/mursyid.
S: Saya sudah ikut tarekat, tapi waktu untuk bertemu guru dan bertanya tentang banyak hal tentu sukar. Para guru sufi tentu sangat sibuk, banyak urusan, saya ingin dengar dari caramu dalam memahami.
M: Hmmmm
S: Apa salahnya, memberi informasi sedikit!

M: Baiklah. Muraqabah adalah maqam seorang salik agar mencapai insan kamil (manusia sempurna). Dalam tarekat, biasanya diajarkan dengan duduk tafakur atau mengheningkan rasa dengan penuh kesungguhan hati seolah-olah engkau sedang berhadapan langsung dengan Allah. Kau harus meyakini bahwa Allah selalu mengawasi dan memperhatikan kita, hingga kau akan kau dapat mencapai ihsan yang baik dan merasakan kehadiran Allah dimana saja dan kapan saja kau berada.

S: Hmmmm

M: Engkau harus belajar dengan proses riayadhah dan mujahadah untuk mencapai kedekatan dengan Allah, karena “Sesungguhnya Allah selalu mengawasi engkau semua.” (QS Al-Ahzab: 52). Lakukan muhasabah atau evaluasi diri setiap saat. Rasakan dengan kesadaran jiwa dan ragamu akan kehadiran Allah dalam segala hal yang terbersit dalam pikiran, niscaya Allah akan selalu menjaga dirimu. Jangan terputus dengan ibadah wajib, lalu perbanyak amalan sunnah. Gunakan dzikir zahar dan khafi sebagai medianya agar engkau dapat merasakan terhadap kehadiran Allah. Rasakan agar mencapai dawam hudhur (senantiasa merasakan kehadiran Allah). Dari sini kau akan memahami bahwa sebenarnya muraqabah adalah komunikasi spiritual. 

S: Hmmm. Apakah setiap tarekat mengajarkan proses muraqabah?

M: Betul. Setiap tarekat memilik teknik muraqabah yang beragam. Misalnya, dalam tarekat Qadiriyah terdapat 4 macam muraqabah. Dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah terdapat 11 muraqabah. Dalam tarekat Chistiyah terdapat 8 jenis muraqabah. Begitu juga dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 20 macam/tingkatan muraqabah.
S: Boleh dijelaskan macam dan tingkatannya?!
M: Masuk tarekat saja! Tanya gurumu!
S: Sudahlah, bagi sedikit saja! Insya Allah bermanfaat dan sangat membantu!
M: Tapi, ingat nanti kau tanya ke mursyidmu ya!
S: Iya...Cepat ajarkan saja sedikit!

M: Baiklah. Pertama, muraqabah Ahadiyah, yakni kesadaran akan keesaan dan ketunggalan Allah dalam dzat, sifat dan af’al. Arahkan kesadaran kalbumu pada esensi Tuhan, yang memiliki sifat maha sempurna dan tak terbatas, tak terjangkau.  Kedua, muraqabah ma’iyah, yakni kesadaran bahwa kita selalu bersama Allah. Arahkan kalbumu kepada Tuhan dalam setiap keadaan, rasakan dengan panca inderamu.  Ketiga, muraqabah al-aqrabiyah, yakni mengarahkan kalbumu kepada Tuhan yang esensinya begitu dekat, sangat dekat, lebih dekat daripada indera penglihatanmu, lebih dekat daripada penciumanmu, lebih dekat daripada perabaanmu dan rasamu, lebih dekat daripada pikiran dalam hatimu, lebih dekat daripada memorimu, tetapi hanya Allah yang Maha Mengetahui akan keadaan yang sesungguhnya.
S: Hmmmm. Lalu apa lagi?
M: Cukup, 3 dulu!
S: Tambah 2-3 lagi!
M: Cukup! Boleh jadi, kamu memerlukan waktu setahun untuk mencapainya.
S: Hmmmm.
M: Moga bermanfaat!

Salam semoga bermanfaat

MENGENAL SAHABAT SEJATIMU


ما صحبك الا من صحبك وهو بعيبك عليم و ليس ذالك الا مولاك الكريم خير من تصحب من يطلبك لا لشيء يعود منك اليه

Kawan sejatimu adalah sahabat yang mengetahui aibmu. Tak lain Dia adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabat adalah yang tidak mengharap keuntungan darimu.

--Syekh Ibnu Atha'illah, Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa tak ada yang menjadi sahabatmu dengan sebenar-benarnya, kecuali Dzat yang memberimu kebaikan. Dia sangat mengetahui aib dan cela mu, tapi dia tidak pernah terhalang untuk mendekatimu dan menjadi sahabat bagimu dalam keadaan apa pun.

Padahal Dia sangat mengetahui semua rincian aibmu. Yang mau berteman seperti itu hanya Tuhanmu Yang Maha Mulia.  Seperti itulah persahabatan kaum Sufi dan orang-orang Arif yang memiliki akhlak dengan sifat-sifat Tuhannya.

Adapun orang yang menemanimu dengan kebodohannya, dia bukanlah sahabat sejati, karena dia tidak kuasa melihat kekurangan dan aibmu. Dia tak akan mampu bersabar menanggungnya, meskipun bersabar pasti ada maksud dan tujuan yang diinginkannya.

Maka sebaik-baik sahabat sejati adalah orang yang tidak menuntut apa pun darimu. Seperti itulah persahabatan Tuhanmu atau orang-orang yang berakhlak seperti akhlak-Nya.

Sedangkan orang yang bersahabat denganmu karena kebaikanmu dan manfaat yang kau berikan kepadanya, sungguh dia bukanlah sahabat sejati karena tujuannya hanya menunaikan kebutuhannya sendiri yang diharapkan dari dirimu. Namun jika tujuan itu telah terlaksana. dia akan meninggalkanmu.

Renung-renungkanlah, pikir-pikirkanlah!

--Al-Hikam, Syekh Ibnu Atha'illah, syarah Syekh Abdullah Asy-Syarqawi.

ILMU YANG BERMANFAAT BAGI KALBUMU


العلم النافع هو الذي ينبسط في الصدر شعاعه وينكشف به عن القلب قناعه

Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai kalbu.
--Syekh Ibnu Atha'illah, Al-Hikam.

 Sahabatku, menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang mengenal Allah, sifat-sifat-Nya, asma-Nya dan ilmu tentang tata cara beribadah kepada-Nya, serta ilmu adab di hadapan-Nya. Ilmu inilah yang cahayanya melapangkan dada sehingga mudah menerima Islam dan menyingkap tirai serta selubung penutup kalbu hhingga hilanglah segala macam angan dan keraguan darinya.

Malik bin Anas mengatakan, "Ilmu diraih bukan dengan banyaknya periwayatan, melainkan ilmu adalah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati."

Manfaat ilmu adalah mendekatkan diri hamba kepada Tuhannya, dan menjauhkan dari pandangan terhadap diri sendiri. Itulah Puncak kebahagiaan seorang hamba dan akhir dari keinginan dan pencariannya.

Al-Mahdawi berkata: "Ilmu yang berguna adalah ilmu tentang waktu, kejernihan hati, kezuhudan di dunia dan ilmu tentang hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkan diri dari neraka, membuat takut kepada Allah dan berharap hanya kepada-Nya, serta ilmu tentang kebersihan jiwa dan bahaya yang diakibatkannya."

Itulah ilmu yang dimaksud dengan cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bukan ilmu lisan atau ilmu logika.

Al-Junaed mengatakan, "Ilmu yang sesungguhnya adalah ilmu makrifatullah dan ilmu tentang adab dihadapan-Nya."

Syekh Ibnu Atha'illah juga mengatakan, "Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang disertai rasa takut kepada-Nya."

--Syekh Ibnu Atha'illah, Al-Hikam, syarah Syekh Abdullah Asy-Syarqawi.