Kamis, 24 Maret 2016

BUATLAH HARI KIAMAT DALAM DIRIMU

BUATLAH HARI KIAMAT DALAM DIRIMU
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pergaulilah seluruh manusia dengan akhlak yang baik. Jika kalian meninggal dunia, maka mereka akan memohonkan rahmat untuk kalian. Dan, bila kalian hidup, maka mereka senantiasa akan merindukan kalian.” (HR Ahmad)
Dengarkanlah nasihat tersebut dengan kalbu kalian dan janganlah melupakannya! Rasulullah SAW telah menunjukkan sebuah amalan yang mudah, namun memiliki banyak pahala. Alangkah baiknya akhlak yang baik,sebab akhlak ini akan membawa ketentraman bagii pelakunya dan orang lain di sekelilingnya. Alangkah buruknya akhlak yang tercela, karena akhlak tersebut akan menyebabkan kelelahan bagi pelakunya dan orang lain.
Selayaknya seorang Mukmin berjihad melawan hawa nafsunya agar mampu memperbaiki akhlaknya. Jejak dari hawa nafsu adalah kesombongan, kemarahan, serta menghina orang lain. Berjihadlah melawan hawa nafsu sampai nafsu merasa tenang. Jika sudah tenang, maka nafsu tersebut akan bersikap tawadhu, merasa hina, dan menjadi baik. Wajibkanlah nafsumu untuk selalu berdzikir, mengingat kematian dan segala sesuatu yang ada di baliknya, maka nafsu itu akan merendah dan menjadi baik. 
Laranglah nafsu dari segala bagian rezeki dan tuntunlah untuk menjalankan segala haknya. Peganglah nafsu dengan tangan pemikiran, masukannlah ke dalam neraka dan surga, sampai nafsu tersebut dapat melihat semua yang ada di dalamnya.
Pikirkanlah tentang hari kiamat. Buatlah hari kiamat tersebut terjadi di dalam dirimu, sebelum benar-benar terjadi. Hari Kiamat merupakan hari kebangkitan kebahagiaan bagi suatu kaum dan menjadi kegelisahan pada sebagian yang lain, menjadi hari raya bagi sebagian kaum dan menjadi hari ratapan bagian sebagian yang lainnya. Pada hari itu, seluruh amalan-amalan mereka telah menjadi nyata, zahir, dan ada cahaya tampak di wajah mereka.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Jala’ Al-Khathir

BERSERAH DIRI DAN KUATKAN TAUHIDMU!
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu, memberi nasihat kepada kita agar berserahdiri kepada Allah secara total dan menguatkan keyakinan tauhid. Pengukuhan pada keesaan Allah harus menjadi gairah ruhani para salik. Beliau mengatakan, “Orang yang mengukuhkan keesaan Tuhan akan mengalami penyatuan (man wahhada tawahhada). Orang yang mencari (menuntut ilmu) dan berjuang sungguh-sungguh maka akan mendapatkan (man thalaba wa jadda wajada). Jika seseorang menyerahkan dirinya dan tunduk serta patuh kepada-Nya, maka orang itu akan aman dan selamat (man aslama wa taslama, salima).
Jika seseorang menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya, dia akan dibantu untuk berhasil (man wafaqa wuffiqa). Namun, jika seseorang “bertengkar” dengan takdir (qadar), dia akan dipukul hingga binasa. Ketika Firʽaun bertengkar dengan takdir dan menginginkan agar ilmu Allah diubah, maka Allah lalu membinasakannya dan menenggelamkannya di laut, dan menjadikan Mûsâ dan Harun tetap hidup.
Ketika ibu Mûsâ merasa takut kepada algojo-algojo yang disuruh Firʽaun menyembelih setiap bayi yang baru lahir, maka Allah lalu memberinya ilham agar dia melemparkannya ke laut. Tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Mûsâ a.s. maka kepadanya dikatakan:
وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ [القصص :٧]

“Janganlah engkau takut dan jangan bersedih, sebab Kami akan membawa dia kembali kepadamu,dan Kami akan menjadikannya salah seorang rasul,” (QS Al-Qashash (28):7).
(Dengan perkataan lain:) “Janganlah engkau takut, sebab hatimu akan ditenangkan, dan wujud terdalammu (sirr) akan diistirahatkan. Janganlah engkau takut bahwa dia akan tenggelam atau binasa, sebab Kami akan mengembalikan dia kepadamu. Melalui dia kami akan mengubah kemiskinanmu menjadi kekayaan.”
Karena itu, Ibunya Mûsâ a.s. pun mempersiapkan sebuah peti (tâbût) baginya, lalu meletakkannya di dalamnya, dan melemparkan peti itu ke laut. Lalu peti itu mengapung di atas air sampai mencapai istana, di mana ia diambil oleh pelayan-pelayan Firʽaun dan istrinya, Ȃsiyah. Segera sesudah mereka membuka peti itu, mereka pun melihat bahwa peti itu berisi seorang bayi laki-laki. Mereka semua menyukainya, dan hati mereka penuh dengan rasa sayang kepadanya. Maka mereka pun lalu menggosok bayi itu dengan minyak, mengganti popoknya dan memberinya baju baru. Dia menjadi salah seorang manusia yang paling dicintai oleh Ȃsiyah dan para pelayannya, dan dia juga dicintai oleh setiap anggota pengiring Firʽaun yang kebetulan melihatnya. Ini menjelaskan makna firman Allah Swt.:
وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي [طه: ٣٩]
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku,” (QS Thâ Hâ (20) :39)
Dikatakan bahwa siapa pun yang memandang ke mata Mûsâ pasti jatuh cinta kepadanya. Kemudian Dia mengembalikannya kepada ibunya dan membesarkannya di istana Firʽaun, bertentangan dengan kehendak Firʽaun sendiri, yang terbukti tidak mampu membinasakannya. Apabila seseorang telah dipilih dan dipelihara oleh Tuhan untuk Diri-Nya sendiri, bagaimana bisa orang membinasakannya? Bagaimana bisa orang membantainya? Bagaimana bisa air menenggelamkannya?
Dia dijaga dalam penjagaan-Nya dan berbicara dengan-Nya secara langsung. Apabila seseorang dicintai oleh Tuhan Yang Maha Benar, siapa yang bisa membencinya? Siapa yang bisa mendatangkan bahaya kepadanya? Siapa yang mampu menelantarkannya? Siapa yang bisa menjadikannya kaya? Siapa yang bisa menjadikannya miskin? Siapa yang bisa mengangkatnya ke derajat yang tinggi? Siapa yang akan mampu memecatnya? Siapa yang bisa mendekatkannya? Siapa yang akan mampu menjauhkannya?
Ya Allah, bukakanlah untuk kami pintu kedekatan-Mu. Masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang mengabdi dan taat kepada-Mu, ke dalam kalangan mereka yang bertakwa sepenuhnya kepada-Mu, dan ke dalam kalangan tentara-Mu. Izinkanlah kami duduk di tikar dimana makanan anugerah-Mu disuguhkan, dan izinkanlah kami memuaskan dahaga kami dengan minuman persahabatan akrab-Mu. “Berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di akhirat nanti, dan jagalah kami dari siksa neraka!” (QS Al-Baqarah (2) :201)
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

CARA MENCARI REZEKI MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
“Sungguh, engkau dianggap sebagai orang yang celaka jika tidak merasa malu kepada Allah Subhanahu wata’ala, jika engkau menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu, sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali! Sungguh, takdirmu telah dekat!
Maka, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta benda untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, namun hatimu harus tetap kokoh bertawakal kepada Allah.
Carilah rezekimu dan rezeki keluargamu hanya dari Allah SWT, bukan dari harta benda dan perniagaanmu. Dengan demikian rezekimu akan mengalir, begitu pula rezeki keluargamu. Kemudian, Allah juga akan memberimu karunia, kedekatan dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi keperluan keluargamu dan keperluanmu melalui dirimu sendiri!
Allah juga akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Akan dikatakan kepada kalbumu, “Ini adalah untukmu dan keluargamu!” Namun, bagaimana mungkin engkau bisa menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik?
Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus menerus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu kalbumu dan segala sesuatu tak akan bisa masuk ke dalamnya.. Dia hanya menurunkan peringatan dalam kalbumu. Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan sebenar tobat.
Hendaknya engkau menyesali rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlakmu yang buruk, dan hendaklah engkau menangisi setiap perkara yang telah terjadi pada dirimu.
Lalu, bantulah orang-orang fakir dengan hartamu dan janganlah bersikap bakhil, sebab tak lama lagi engkau akan berpisah dengan hartamu. Ketahuilah, seorang Mukmin yang meyakini adanya pergantian di dunia dan akhirat, tentu dia tidak akan berlaku kikir/bakhil di dunia ini.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman.

AKU INGIN BELAJAR MENCINTAIMU
Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika ia bersabar, maka Dia akan memilihnya. Dan, jika ia rela (menerima cobaan itu), maka Dia akan menyucikannya.” (HR Ad-Dailami melalui jalur Ali bin Abi Thalib)
Menurut Imam Al-Ghazali, indikasi paling penting tentang kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah kecintaanhamba itu sendiri kepada Allah. Hal tersebut sekaligus merupakan bukti kecintaan Allah kepada hamba itu.
Sedangkan perbuatan yang menunjukkan bahwa seorang hamba dicintai Allah adalah bahwa Dia membimbing langsung semua urusannya, baik lahir maupun batin, baik secara terang-terangan ataupun rahasia. Dialah yang memberi petunjuk kepadanya, menghiasi akhlaknya, yang menggerakkan seluruh organ tubuhnya, serta meluruskan lahir dan batinnya.
Dialah yang akan memfokuskan cita-citanya pada satu tujuan (yakni Allah SWT), menutup hatinya dari dunia, dan merasa tidak berkepentingan terhadap selain Dia.
Dialah yang menjadikan hamba tersebut merasa puas menikmati munajat dalam khalwat (kesendiriannya), juga menyingkap tabir antara Dia dan makrifat.
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin

RENUNGAN HIKMAH SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
"Orang yang benar (Shiddiq) menghabiskan waktunya dengan memperbanyak amal ibadah dan bersyukur kepada Allah, karena itulah satu-satunya pintu untuk mendekatkan diri (taqarrub). Mereka terus beribadah dan bersyukur kepada Allah, serta patuh atas segala perintah-Nya sebagai rasa syukur terhadap rahmat yang dikaruniakan Allah kepada mereka.
Wahai anak muda! Tidak ada kejayaan untukmu sehingga kamu mendapatkan rahmat dari Allah, dimana dengan rahmat itu kamu akan tenggelam dalam lautan kesadaran tauhid. Apabila kamu berada di lautan tauhid itu, niscaya kamu tidak akan melihat, selain Allah semata. Bagaimana Allah akan menyayangi orang-orang yang selalu gusar dan tidak ridha dengan takdir-Nya, selalu bertengkar dan berkelahi tentang ketetapan-Nya?
Cinta, rindu dan taqarrub itu tidak akan tercapai selagi orang itu tidak ridha dan tidak senang dengan takdir-Nya.
Jika kita benar-benar mencintai Allah, tentu kita tak akan merasa sakit dan sengsara ketika Dia menakdirkan kesengsaraan dan kedukaan terhadap kita. Apabila cinta dan rindu benar-benar menyelubungi diri kita, segala prasangka, keraguan, dan ketidaksetiaan akan sirna dari jiwa kita."
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirr Al-Asrar fi ma Yahtaj ilaihi al-Abrar.

NASIHAT SYEKH IBN ATHA’ILLAH TENTANG REZEKI
“Alangkah banyaknya sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu!Jika engkau mau mengamati dengan seksama maka pasti akan tampak. Dan, hal yang paling berbahaya adalah dosa keraguan kepada Allah SWT. Sebab, ragu terhadap rezeki berarti ragu terhadap Dzat Sang Pemberi rezeki. Dan sesungguhnya, dunia ini terlalu hina untuk kau risaukan!
Jika engkau mempunyai perhatian tinggi pastilah engkau akan merisaukan sesuatu yang lebih besar, yaitu masalah akhirat. Orang yang merisaukan hal-hal yang kecil, lalu melupakan sesuatu yang lebih besar, maka berarti dia adalah orang yang paling bodoh.
Karena itu, kerjakanlah kewajiban untuk melaksanakan ibadah dan semua perintah Allah. Dia pun akan menjalankan apa yang menjadi kewajiban-Nya untukmu. Jika kumbang, cicak-tokek, dan cacing saja diberi rezeki oleh Allah, apa mungkin engkau akan dilupakan?
Allah SWT berfirman, “Suruhlah keluargamu untuk shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak menuntut rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki. Balasan yang baik akan diberikan kepada orang yang bertakwa.” (QS Tha Ha: 132)
Jika engkau melihat ada orang yang risau karena rezeki, maka ketahuilah bahwa sebenarnya dia jauh dari Allah. Seandainya ada yang berkata kepadamu, “Besok kamu tak perlu kerja! Cukup kamu kerjakan ini saja! Saya akan memberimu Rp 2 juta,” pastilah engkau akan percaya dan mematuhi perintahnya. Padahal, dia itu makhluk yang fakir, tak bisa memberi manfaat atau madarat. Lalu, mengapa engkau merasa cukup dengan Allah Yang Mahakaya dan Mahamulia, yang menjamin rezekimu sepanjang hidup?
Allah SWT berfirman, “Tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lawh Mahfuzh).” (QS Hud [11]: 6)
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Bahjat An-Nufus

SUKA ATAU TAK SUKA, KAU HARUS MENERIMA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: "Bertumpulah pada pintu Allah dengan sungguh-sungguh. Berupayalah sekuat data mematuhi-Nya dengan tobat dan doa, dengan menunjukkan kebutuhanmu atas kepatuhan dab kerendahatian, dengan khusyuk dan ketundukkan, dengan tidak mencari pertplongan makhluk, tidak mengikuti hawa nafsu, tidak melulu meminta balasan duniawi dan ukhrawi, dan tak mengharapkan maqam yang lebih tinggi.
Ingatlah bahwa engkau adalah hamba-Nya. Ingatlah bahwa seorang hamba adalah milik Tuannya, dan ia tak boleh mengakui apa-apa yang bukan milik dirinya.
Berakhlak baiklah engkau dan jangan lakukan kesalahan! Segala sesuatu ditentukan oleh-Nya. Segala sesuatu yang Dia dahulukan, tak satu pun dapat dimundurkan. Segala yang dimundurkan oleh-Nya, tak dapat didahulukan oleh selain Nya.
Ingatlah bahwa apa yang Allah tentukan bagimu akan kau peroleh tepat pada waktunya, entah kau suka atau tidak. Maka, janganlah bersikap serakah terhadap apa yang menjadi milikmu dan jangan pernah merasa khawatir kehilangannya. Jangan pula merasa menyesal atas apa yang terjadi pada keputusan-Nya.
Apa yang tidak ada di sisimu, boleh jadi itu adalah milikmu atau mungkin milik orang lain. Jika ia sudah menjadi milikmu, maka ia akan datang kepadamu atau kau dibawa menuju kepada milikmu. Sebaliknya, apa yang bukan milikmu, ia akan dijauhkan darimu dan ia pun akan menjauh darimu."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kita Adab as-Suluk wa at-Tawassul ila Manazil al-Muluk.

Selasa, 01 Maret 2016

PELAJARAN TOBAT DARI IMAM NAWAWI


Dalam kitab Riyadhus-Shalihin, Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama berpendapat, bertobat hukumnya wajib. Kemaksiatan yang terjadi antara hamba dan Allah, maka untuk bertobatnya itu harus memenuhi tiga syarat: 1) Menghentikan kemaksiatan yang dilakukan; 2) Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan; 3) Bertekad untuk tidak akan kembali mengulanginya.
Menurutnya, jika salah satu dari tiga syarat tersebut tidak ada, maka tobatnya tidak sah.
Jika kemaksiatan yang pernah dilakukannya itu ada hubungannya dengan manusia, maka syarat tobatnya ada empat, yakni tiga syarat yang telah disebutkan di atas dan yang keempat adalah mengembalikan apa yang menjadi milik korban kejahatannya. Jika tanggungan itu berupa harta atau semisalnya, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya. Jika berupa tuduhan berbuat zina atau yang semisalnya, maka hendaklah mencabut tuduhan tersebut atau meminta maaf. Jika berupa umpatan, maka hendaklah ia meminta maaf atas umpatan tersebut kepada orang yang diumpatnya.
Seseorang itu wajiblah bertobat dari segala macam dosa. Jika seseorang bertobat dari sebagian dosanya, maka tobatnya juga sah, tetapi dosa-dosa yang lainnya masih tetap ada dan belum diampuni Allah. Dalam Al-Qur'an, sunnah dan ijma’ umat Islam bahwa bertobat itu hukumnya wajib.
Allah SWT berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang mukmin, supaya engkau semua memperoleh kebahagiaan.” (QS An-Nur: 31)
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
“Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertobatlah kepada-Nya.” (QS Hud: 3)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً
“Hai sekalian orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang nashuha, yakni yang sebenar-benarnya.” (QS At-Tahrim: 8)
Disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya:
(عَنْ أبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قالَ: سمِعتُ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقُولُ: واللَّه إِنِّي لأَسْتَغْفرُ الله، وَأَتُوبُ إِليْه، في اليَوْمِ، أَكثر مِنْ سَبْعِين مرَّةً (رواه البخاري
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya saya memohon ampunan kepada Allah serta bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”. (HR. Bukhari)
(عن الأَغَرِّ بْن يَسار المُزنِيِّ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: يَا أَيُّها النَّاس تُوبُوا إِلى اللَّهِ واسْتغْفرُوهُ فإِني أَتوبُ في اليَوْمِ مائة مَرَّة (رواه مسلم
Dari Agharr bin Yasar al-Muzani r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Wahai manusia, bertobatlah kepada Allah dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya saya bertobat dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim)
عنْ أبي حَمْزَةَ أَنَس بنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ خَادِمِ رسولِ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: للَّهُ أَفْرحُ بتْوبةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سقطَ عَلَى بعِيرِهِ وقد أَضلَّهُ في أَرضٍ فَلاةٍ
Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin Malik Al-Anshari r.a., pelayan Rasulullah s.a.w., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan tobat hamba-Nya melebihi gembiranya seorang yang jatuh di atas untanya dan Allah sesatkan dia di suatu tanah yang luas.” (Muttafaq ‘alaih)
وفي رواية لمُسْلمٍ: للَّهُ أَشدُّ فَرَحاً بِتَوْبةِ عَبْدِهِ حِين يتُوبُ إِلْيهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى راحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فلاةٍ، فانْفلتتْ مِنْهُ وعلَيْها طعامُهُ وشرَابُهُ فأَيِسَ مِنْهَا، فأَتَى شَجَرةً فاضْطَجَعَ في ظِلِّهَا، وقد أَيِسَ مِنْ رَاحِلتِهِ، فَبَيْنما هوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِها قَائِمة عِنْدَهُ، فَأَخذ بِخطامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الفَرحِ: اللَّهُمَّ أَنت عبْدِي وأَنا ربُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الفرح.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya melebihi gembiranya seorang yang berada di atas kendaraannya (untanya) dan berada di suatu tanah yang luas, kemudian ia kehilangan kendaraannya, tempat makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut. Dalam keadaan tersebut tiba-tiba kendaraannya itu tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya, lalu karena sangat gembiranya, ia berkata, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu”. Salah perkataannya karena kegembiraan yang sangat.”

---Kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi

RENUNGAN UNTUK MASA SENJAMU


Abu Sulaiman Ad-Darani pernah mengatakan, “Allah memiliki beberapa orang hamba, mereka menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah, bukan karena takut neraka atau berharap surga. Lalu, bagaimana mungkin mereka disibukkan oleh dunia dan meninggalkan Allah?”
Maka, wajar saja jika ada seorang murid dari Ma’ruf Al-Karkhi bertanya kepada gurunya, “Apa yang membuatmu beribadah dan meninggalkan pergaulan dengan manusia yang lain?”
Sejenak Ma’ruf Al-Karkhi terdiam. Lalu menjawab, “Aku ingat mati.”
“Ingat apanya?” tanya muridnya lagi.
“Aku ingat kuburan dan barzakhnya,” jawab Al-Karkhi.
“Ingat kuburan? Bagian yang mana?” tanya murid itu lagi.
“Rasa takut pada neraka dan berharap surga,” jawab Al-Karkhi.
“Bagaimana bisa begitu?”
“Sesungguhnya dua malaikat ini ada dalam kekuasaan-Nya. Jika engkau mencintai-Nya, maka engkau akan melupakan itu semua. Jika engkau mengenal-Nya, maka cukuplah itu semua!”
Ma’ruf Al-Karkhi mengingatkan kita bahwa perasaan takut dan berharap masuk surga adalah harapan rendah bagi orang yang beribadah. Sebab, orang yang benar-benar beribadah kepada Allah dan mengharap perjumpaan dengan-Nya, pasti merindukan-Nya dengan penuh cinta, dan pasti akan melupakan segalanya. Dia hanya berharap memandang wajah-Nya. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Nabi Isya a.s. bersabda, “Jika engkau melihat seorang pemuda mencari Tuhannya, maka sungguh dia akan lupa segala-galanya!”
Abu Sulaiman berkata, “Siapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya sendiri, maka besok dia juga akan sibuk dengan dirinya sendiri. Siapa saja yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia akan sibuk dengan Tuhannya.”
Sofyan Ats-Tsauri suatu ketika bertanya kepada Rabi’ah Al-Adhawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Lalu dia menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga. Aku tidak seperti buruh yang jahat—jika dibayar bahagia, jika tak dibayar bersedih—Aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha

HAKIKAT KEMATIAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI


Dalam kitab Dzikr Al-Maut, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengungkapkan, "Ketahuilah bahwa manusia memendam gagasan yang lancang dan keluru tentang hakikat kematian. Sebagian orang mengira kematian sebagai kesirnaan atau kelenyapan. Dianggap tidak.ada kebangkitan atau pengumpulan, juga tidak ada pembalasan atas kebaikan ataupun kejahatan. Kematian manusia dianggap seperti kematian hewan dan atau seperti keringnya daun atau tanaman. Ini adalah pandangan kaum ateis (al-Mulhidin) dan mereka tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Ada juga kelompok yang berpendapat bahwa manusia yang mati itu akan sirna sehingga selama tinggal di dalam kubur dia tidak menderita siksaan ataupun menikmati pahala suatu amal baik sampai dia dibangkitkan kembali di hati Pengumpulan.
Kelompok yang lain berpandangan bahwa ruh manusia itu abadi dan tidak musnah bersama kematian, bahkan ruh itulah yang menjadi objek pemberian pahala atau penjatuhan siksa tanpa jasad yang sama sekali tidak dibangkitkan kembali.
Semua anggapan ini adalah keliru dan menyimpang dari kebenaran. Hal ini karena akal sehat, ayat-ayat Al-Qur'an dan banyak Hadis bersaksi bahwa kematian berarti perubahan keadaan, dan bahwa setelah kematian jasad, ruh manusia tetap hidup dan merasakan siksaan ataupun kebahagiaan. Maka, perpisahan ruh dengan jasad adalah bahwa ruh sama sekali tidak lagi efektif bagi jasad. Karena itu, jasad pun tak lagi tunduk pada perintah-perintahnya.
Sesungguhnya, anggota badan adalah alat ruh, yang dipakai ruh untuk menggerakkan tangan, mendengar dengan telinga, melihat dengan mata, dan mengetahui hakikat dengan kalbunya. Kalbu disini hanya ungkapan lain untuk "ruh". Sedangkan ruh sendiri mampu mengungkapkan berbagai hal tanpa harus menggunakan perantara alat tertentu. Itulah sebabnya dia bisa mengenyam rasa sedih dan duka nestapa. Dengan cara yang sama, dia juga mengecap rasa senang dan gembira. Semua itu tidak bergantung pada anggota tubuh.
Jadi, semua yang inheren pada ruh akan tetap berada bersamanya setelah dipisahkan dari jasad. Sedangkan yang timbul sebagai akibat keterkaitannya dengan anggota-anggota tubuh akan lenyap bersamaan dengan matinya jasad hingga tiba saatnya ruh dikembalikan pada jasadnya.
Bukanlah hal yang mustahil untuk mengatakan bahwa di alam kubur, ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad, dan tidak mustahil pula bahwa penyatuan itu akan ditunda hingga datangnya hari kiamat. Allah lebih mengetahui hal yang telah ditetapkan-Nya atas setiap hamba.
Tidak lagi berfungsinya jasad setelah kematian sama dengan tidak berfungsinya anggota-anggota tubuh tertentu semasa hidup seseorang karena telah rusaknya daya keseimbangan, atau adanya kehancuran pada urat-urat atau sel-sel sehingga menghalangi ruh untuk meresap ke dalamnya. Dengan demikian, ruh yang mempunyai daya pengetahuan, berpikir dan merasa tetaplah ada, dan tetap memfungsikan sebagian anggota badan tapi tak mampu mengfungsikan sebagian yang lain.
Kematian adalah ungkapan tentang tak berfungsinya semua anggota tubuh yang memang merupakan alat-alat ruh. Yang dimaksud dengan ruh disini adalah abstraksi yang dengannya manusia menyarap pengetahuan, rasa sakit, dan lezatnya kebahagiaan. Lalu, meskipun daya kerjanya pada anggota-anggota badan telah hilang, namun pengetahuan dan pemahaman tersebut tidaklah rusak. Begitu pula kemampuannya mencerap rasa gembira, sedih, rasa sakit, atau senang.
Ruhlah yang menjadi esensi manusia, dan karena itu ruh bersifat abadi. Dan, pada saat kematian, ruh mengalami dua perubahan.
Pertama, ruh terpisah dari mata, telinga, kaki.dan semua anggota tubuh, seperti halnya dia terpisah dari keluarga, anak dan istri, rekan, pelayan dan semuanya. Tak.ada perbedaan antara apakah dia meninggalkan mereka atau mereka meninggalkannya.
Sesungguhnya makna kematian adalah terpisahnya seseorang dari kekayaannya sehubungan dengan perpindahannya ke alam lain yang sama sekali berbeda dengan dunia ini. Jika di dunia ini dia memiliki sesuatu yang disenangi, dia nikmati dan selalu dia cari, maka rasa sesalnya setelah mati akan bertambah besar dan perpisahan dengannya akan semakin berat.
Perubahan kedua terletak pada kenyataan bahwa dengan kematian, terungkaplah segala hal yang tidak bisa diungkapkan kepadanya pada masa hidup, seperti yang sering kali terungkap kepada orang yang terbangun dari tidur, banyak hal-hal yang masih tersembunyi baginya pada saat dia masih tertidur, karena "semua manusia dalam keadaan tidur dan kematianlah yang akan menyadarkannya."
---Imam Al-Ghazali dalam kitab Dzikr al-Mawt, Ihya Ulumuddin.