Minggu, 28 Januari 2018

MEMAHAMI DUNIA DAN TUJUAN AKHIRAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali.
Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah.
Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Dia akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Lalu akan dikatakan kepadamu, “Ini adalah untukmu dan untuk keluargamu.” Namun, bagaimana mungkin engkau dapat menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik? Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu hatimu dan segala sesuatu tak akan bisa memasukinya. Dia menurunkan peringatan-Nya dalam kalbumu.
Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan bersungguh-sungguh. Hendaklah engkau menangisi rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlak burukmu.
Hendaklah kau menangisi semua perkara yang telah terjadi menimpamu. Bantulah orang-orang yang fakir dan miskin dengan hartamu, dan janganlah berbuat kikir! Sebab, tak lama lagi engkau akan berpisah dengan harta bendamu. Mukmin yang meyakini adanya penggantian di dunia dan akhirat tentu tak akan bersikap kikir atau bakhil!
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?”
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”
“Sebab aku berharap agar Mukmin yang kikir itu terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sebab kekikirannya. Sebaliknya, aku takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena kedermawanannya.”
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan.
Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani

PESAN SYEKH IBNU ‘ARABI TENTANG CAHAYA ILAHI

Syekh Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa beberapa orang datang kepada Khalifah Usman r.a. dan bertanya, “Apakah ada manusia setelah pemimpin kita Rasulullah SAW yang menerima wahyu dari Allah?”
Khalifah Usman r.a. pun menjawab, “Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan menerima wahyu langsung dari Allah seperti yang beliau (Rasulullah) alami—tetapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Berhati-hatilah terhadap firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.’” Dan, dia berkata kepada orang itu, “Kulihat sinar cahaya Ilahi itu dalam matamu sendiri.”
Sinar cahaya Ilahi ini, menurut Syekh Ibnu ‘Arabi, dikaruniakan Allah kepada sebagian orang beruntung tapi yang imannya masih lemah, tujuannya agar hati mereka diperkuat dan didekatkan kepada Tuhan mereka. Namun, sinar ini tak akan tampak, kecuali ia dilindungi dan dilestarikan oleh ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka, dengarkanlah apa yang Allah firmankan kepadamu di dalam Al-Quran. Carilah di dalamnya arah bagi perbuatan dan cintamu. Hatimu akan berdegup karena cinta itu jika engkau beriman kepada apa yang kau dengar, dan membuktikannya dengan perbuatanmu.
Jika imanmu lemah dan kau lupa kepada Tuhan, berpegalah kepada tanda-tanda yang telah Allah letakkan di dalam segala sesuatu yang ada di sekitarmu untuk mengingatkan dirimu kepada-Nya. Maka, dengan penegasan dan bukti atas kebenaran tanda-tanda itu,yang diajarkan agamamu, hatimu akan menemukan kekuatan, dan imanmu akan semakin kokoh.
Lalu, jika engkau mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan di sekelilingmu, namun tidak memahami maknanya karena kau kurang melaksanakan latihan batin, maka akibatnya kau mungkin disalahkan (orang lain), bahkan oleh dirimu sendiri, karena yang kau lihat hanyalah sihir atau ilusi belaka.
Ingatlah bahwa alat penglihatan kita adalah bashirah, mata batin—dan tanda orang yang memiliki mata batin ini adalah bahwa perilaku dan akhlak yang indah terungkap dalam perbuatannya. Perbuatan ini merupakan buah dari pemahaman dan pengetahuannya.
Memikirkan tentang makna batin atau spiritualitas dengan Allah mempengaruhi indera dan menajamkan kepekaan, yang memampukan orang untuk melihat berbagai alam gaib. Kaum materialis menolak kemampuan semacam ini. Banyak di antara mereka tidak percaya hal ini. Tetapi, sebenarnya ia merupakan sebuah ilmu yang tak ubahnya seperti ilmu yang lain, yang bergantung pada latihan (riyadhah), percobaan, dan usaha yang terus menerus (mujahadah). Ia merupakan pengetahuan yang diawali dengan iman dan bergantung pada iman. Dan, kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang dari penglihatan sekilas atas kebenaran, yang dimungkinkan oleh firasat bawaan, karunia Allah, yang dimiliki setiap orang.
Orang yang melihat dengan mata batin ini berarti melihat dengan cahaya Tuhan. Cahaya Tuhan hanya mengungkapkan kebenaran saja. Kenyataan ini, dan pengakuan atasanya, hanya terungkapkan jika firasat bawaan dilengkapi dengan hukum-hukum agama.
Semoga bermanfaat!

--Syekh Ibnu ‘Arabi dalam Kitab Tadbirat al-Ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyah.


BERHATI-HATI DARI AURAT DUNIA

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani mengatakan, “Jika engkau melihat dunia berada di tangan pemiliknya dengan segala perhiasan, kebatilan, tipu daya, tempat pencariannya, dan racunnya yang sangat mematikan, disertai dengan lembutnya sentuhan lahirnya, tersembunyi batinnya, cepatnya dalam merusak sesuatu, cepatnya dalam membunuh orang yang mencoba untuk menyentuhnya, lalu dia tertipu dan terlalaikan dengan dunia tersebut dari Sang Pemiliknya dan merusak janjinya, maka jadilah kau itu seperti orang yang melihat aurat orang lain yang sedang buang hajat di padang dan mencium baunya yang tidak sedap.
Tentunya, engkau akan menundukkan pandanganmu dari auratnya dan menutup hidungmu agar tidak mencium baunya yang kurang enak. Seperti itulah kamu seharusnya bersikap ketika melihat dunia.
Apabila kamu melihat dunia, tundukkan pandanganmu dari segala bentuk perhiasannya dan tutuplah hidungmu dari bau segala bentuk kesenangan dan kenikmatannya, agar kamu selamat darinya dan dari segala bentuk kejahatannya. Kamu akan didatangi bagian dari dunia dengan sendirinya, sedangkan kau tetap merasa tenang dan nyaman.
Allah SWT berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, “Dan janganlah tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu itu lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Thaha: 131)


Kamis, 18 Januari 2018

CINTA KEPADA ALLAH DIAWALI DENGAN TOBAT & TALQIN

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengungkapkan pentingnya ber-talqin kepada wali Musryid sebelum melakukan proses lebih lanjut dalam bimbingan ruhani tarekat/tasawuf, sebab menurutnya, Allah SWT telah berfirman, “Dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa.” (QS. Al-Fath [48]: 26), yakni kalimat Lâ Ilâha Illallâh, dengan syarat kalimat tersebut (sebagai talqin) diambil dari orang yang kalbunya bertakwa sempurna dan suci dari segala sesuatu selain Allah.
Bukan sekadar kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang diambil dari mulut orang awam. Meski lafadznya satu, tetapi bobotnya berbeda. Bibit Tauhid yang hidup tentu saja diambil dari hati yang hidup, sehingga bibitnya berkualitas. Sedangkan, bibit yang tidak berkualitas tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Maka, kalimat tauhid yang diturunkan dalam Al-Qur’an memiliki dua makna.
Pertama, kalimat tauhid, Lâ Ilâha Illallâh yang memiliki makna lahir saja. Sebagaimana, firman Allah SWT,“Apabila dikatakan kepada mereka, Lâ Ilâha Illallâh mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shâffât [37]: 35) Kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang dimaksud dalam ayat ini merupakan hak bagi orang awam.
Kedua, Allah SWT menurunkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh disertai dengan pengetahuan yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ayat ini menjadi Sababun Nuzul bagi adanya talqin zikir untuk orang-orang khusus yang ingin wushûl kepada Allah. Sebagaimana yang diungkapkan pengarang Kitab “Bustân Asy-Syâri’ah” diterangkan, “Orang yang pertama kali menginginkan jalan terdekat kepada Allah, terunggul, tetapi termudah melalui Nabi SAW ialah Ali bin Abi Thalib RA. Ketika Sayyidina Ali RA meminta, Rasulullah tidak langsung menjawab tetapi menunggu wahyu. Maka, datanglah Jibril dan menalqinkan kalimah Lâ Ilâha Illallâh 3 kali dan Nabi mengucapkannya tiga kali. Selanjutnya, Nabi SAW mendatangi para Sahabat dan Nabi SAW menalqin para Sahabat secara berjamaah.”
Nabi SAW bersabda, “Kita telah kembali dari perang kecil ke perang besar yakni perang melawan hawa nafsu.” (HR. Al-Baihaqi). Rasulullah SAW juga bersabda, “Musuhmu yang paling utama ialah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.” (HR. Al-Baihaqi)
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Mahabbah (cinta) kepada Allah tidak akan tercapai, kecuali setelah engkau melumpuhkan musuh-musuh-Nya yang ada di dalam wujudmu sendiri.. Seperti halnya, nafsu amarah, lawamah, dan mulhamah, setelah terlumpuhkan maka lantas membersihkan diri dari sifat-sifat bahimiyah (binatang jinak) yang tercela, seperti makan, minum, tidur dan bercanda yang berlebihan.
Juga membersihkan hati dari sifat-sifat sabu’iyyah (binatang buas), seperti marah, mencaci, memukul, memaksa. Juga membersihkan diri dari dari sifat syaitaniyah (sifat-sifat setan), seperti sombong, ujub, hasad, dengki, dendam, dan dari sifat-sifat badan dan hati yang tercela lainnya.
Jika Anda sudah bersih dari sifat-sifat tercela tadi, berarti Anda sudah bersih dari sumber dosa. Maka Anda termasuk orang-orang suci dan ahli tobat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Adapun orang yang hanya bertobat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung ayat ini. Meskipun dia bisa juga disebut tâ’ibun (orang yang bertobat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertobat dengan sebenar-benarnya). Kata tawwâb dalam bahasa Arab ini menggunakan shigah mubâlaghah atau superlatif yang dimaksud adalah tobatnya orang-orang yang khusus (al-khawwâsh).
Perumpamaan orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi di batangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabutnya dari akar. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertobat secara sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya. Maka, dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi, kalaupun ada itu termasuk kasus yang langka.”
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, posisi talqin di sini—seperti orang memotong rumput—adalah alat untuk “memotong” segala sesuatu selain Allah SWT dari hati orang yang di-talqin. Seperti yang kita ketahui, orang yang tidak mau “memotong” “pohon pahit” (tidak mau menempuh perjalanan pahit) tidak akan mampu sampai pada tempat “pohon manis”.
Berpikirlah wahai manusia yang memiliki pandangan hati. Semoga engkau berbahagia (dan wushûl kepada Allah).
Allah SWT berfirman, “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahn-kesalahan.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 25) Allah SWT juga berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh maka kesalahan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqân [25]: 70)”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar,


Selasa, 16 Januari 2018

KURANGI TIDUR DAN BERDZIKIRLAH!

Tidur memang misteri. Sebagaian sufi mampu menjadikan tidur sebagai dzikir. Tapi, hatinya tetap terjaga dan sadar bahwa dia sedang bertawajjuh kepada Allah. Namun bagi Salik, memperbanyak tidur dan tidak berdzikir justru hanya menimbulkan sifat malas, serta dapat melalaikannya dari amalan-amalan sunah di malam hari, seperti shalat dan dzikir.

Maka dari itu, wajar saja jika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendirikan shalat di malam hari, berdzikir, bermunajat, tafakur dan mengerjakan amalan nawafil agar kita selalu terjaga dan mampu menumbuhkan sifat kemalaikatan dalam diri. Mereka yang kuat shalat dan dzikir di malam hari adalah orang yang hatinya senantiasa terjaga dan mampu menahan kantuk agar dirinya selalu menghadap Allah.
Penjelasan dan nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang mengurangi kebiasaan tidur dapat menjadi pelajaran berharga. Ini adalah riyadhah yang harus dijalani para salik.
Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan: 
"Barangsiapa yang memilih tidur dan mengalahkan hal-hal yang dapat menyebabkan keterjagaan, sungguh dia telah memilih sesuatu yang paling kurang, paling rendah, pertemuan dengan kematian, serta melalaikan seluruh kemaslahatan.

Karena sesungguhnya, tidur adalah saudaranya kematian. Karena alasan inilah, sifat tidur itu tidak boleh melekat pada Dzat Allah swt, karena di dalamnya terdapat semua sifat-sifat kekurangan.
Begitu juga para malaikat, karena kedekatan mereka kepada Allah swt, maka sifat tidur dinafikan dalam diri mereka. Begitu juga penghuni surga, karena mereka berada di tempat yang paling tinggi, paling suci, paling berharga, dan paling mulia, maka sifat tidur juga dinafikan dari dalam diri mereka semua.
Karena sifat tidur itu adalah sifat yang menunjukkan kekurangan di dalam keadaan mereka. Maka, kebaikan yang paling sempurna adalah di dalam keadaan sadar. Adapun keburukan yang sempurna itu terdapat dalam sifat tidur dan lalai. Maka, barangsiapa yang makan dengan menuruti hawa nafsu, dia akan banyak makan, banyak minum, banyak tidur dengan waktu yang sangat lama, dan dia akan menyesal dan akan kehilangan banyak kebaikan.
Barangsiapa yang makan sedikit dari barang haram itu seperti orang yang makan barang yang halal, tetapi banyak dengan menuruti hawa nafsunya. Karena sesungguhnya, barang yang haram itu akan menutupi keimanan dan membuatnya menjadi gelap, sebagaimana arak itu dapat menutupi akal dan membuatnya menjadi gelap.
Apabila keimanan sudah menjadi gelap, tidak akan ada lagi shalat, ibadah, dan keikhlasan yang baik. Barangsiapa makan barang halal dalam jumlah yang banyak karena adanya perintah, dia seperti orang yang makan barang halal dengan jumlah sedikit, dan kuat menunaikan ibadah.
Barang yang halal itu ibarat cahaya di dalam cahaya. Adapun barang yang haram itu ibarat kegelapan di dalam kegelapan. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Makan makanan yang halal dengan menuruti hawa nafsu tanpa adanya perintah dan makan makanan yang haram itu dapat menyebabkan cepat tidur. Dengan demikian, tidak ada kebaikan di dalamnya.”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib--

NASIHAT IMAM AL-GHAZALI TENTANG REZEKI

Kita memang diperintahkan oleh Allah SWT untuk berikhtiar, berusaha dan bekerja untuk mencari nafkah. Namun, seberapa besar rezeki yang kita peroleh sudah ditentukan dan telah dijamin oleh Allah. Maka, penting bagi kita untuk memahami konsep tawakal kepada Allah dan meyakini tentang jaminan Allah untuk makhluk-Nya.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Hendaklah engkau tahu bahwa rezeki manusia itu telah dibagikan oleh Allah sebelum kita dilahirkan. Hal ini telah disebut secara jelas dalam Al-Kitab dan Hadis-hadis Rasulullah SAW. Bahkan, engkau pun tahu bahwa apa yang dibagikan-Nya tidak dapat diganti dan tidak pula diubah. Jika engkau menolak pembagian tersebut dan berharap agar diubah, maka berarti engkau mendekati kekufuran. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari pikiran semacam itu.”
Jika engkau mengetahui pembagian rezeki dari Allah itu benar adanya dan tidak mungkin berubah karena suatu hal, lalu mengapa kita menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki, hingga lupa halal dan haram? Bahkan, melupakan kewajiban untuk beribadah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sudah tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rezeki si fulan. Maka, orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain dari kepayahannya sendiri.”
Gurunya Imam Al-Ghazali memberi nasihat, “Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Karena itu, makanlah bagian rezekimu itu dengan mulia, janganlah engkau memakannya dengan hina!”

--Disarikan dari Imam Al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin --

Kamis, 11 Januari 2018

CARA MENJERNIHKAN HATI

Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Taj al-'Arus mengatakan: "Terdapat empat perkara yang dapat membantu membeningkan hati:
1) Banyak berdzikir.
2) Banyak diam.
3) Banyak khalwat.
4) Mengurangi makan dan minum."
Menurut Dr. Muhammad Najdat, sebenarnya Syekh Ibnu Atha'illah mengenalkan kita bagaimana membersihkan dan membeningkan hati.
Pertama, dzikir kepada Allah akan membersihkan hati dari kesesatan dari kebergantungan kepada selain Dia.

Hati yang biasa dan mudah berdzikir adalah hati yang mengenali iman, mengenal nikmat ibadah, merasakan manisnya ketaatan, dan memiliki rasa takut kepada Allah. Hati yang selalu mengingat Allah akan bergetar ketika mendengar nama-Nya disebut, hati pun semakin lembut dan bersih dari kotoran.
للَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًا مُّتَشَٰبِهًا مَّثَانِىَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَاءُ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ
Allah SWT berfirman,:
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." (QS Az-Zumar (39): 23)

Orang yang berdzikir mengingat Allah dengan lisannya tidak disebut berdzikir jika hatinya tidak ikut nerdzikir. Hati harus menjadi sumber dzikur untuk lisan dan bagian tubuh lainnya.
Kedua, memperbanyak diam. Tergelincirnya lisan akibat terlalu banyak berbicara dapat berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain. Diam adalah emas. Di dalamnya terkandung hikmah yang sangat dalam. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan yang baik atau diam."
Imam Syafii r.a. mengatakan:
Mereka bertanya, "Mengapa kau diam saja saat kau dicaci."
Maka kukatakan padanya: "Menjawab adalah kunci pintu keburukan. Sedangkan diam di depan orang bodoh adalah kemuliaan. Di dalamnya juga terdapat upaya menjaga kehormatan. Bukankah singa ditakuti meski dalam keadaan diam. Sedangkan anjing tak diacuhkan, meski terus menggonggong."

Ketiga, memperbanyak khalwat atau menyendiri. Dalam khalwat kita merenung dan terus berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi dan membersihkan hati dari kotoran dunia. Merasa lemah dan tak berdaya, serta merasa hanya Allahlah satu-satunya tempat bergantung. Hatinya hanya dipenuhi tasbih, takbir, tahlil, serta shalawat Nabi.
Keempat, mengurangi makan dan minum atau dengan memperbanyak puasa sunnah. Dengan begitu kita mematahkan hasrat hawa nafsu, dan melunakkan hati yang keras. Dengan mengurangi makan dan minum sebenarnya kita belajar mengendalikan nafsu badani, mengawal emosi, belajar qanaah dan zuhud.
Imam Al-Ghazali rahimahullah menjelaskan bahwa rasa lapar akan membersihkan hati, membangkitkan tekad, dan menajamkan mata hati. Sebaliknya, rasa kenyang dapat melahirkan ketumpulan dan membutakan hati, dan mengganggu pikiran.
Menurut beliau, rasa lapar juga dapat menghaluskan hati dan menjernihkannya, sebab hanya dengan hati yang dapat meraih nikmatnya ketaatan, merasakan manfaat dzikir dan nikmatnya bermunajat kepada Allah SWT.
---Disarikan dari Kitab Taj Al-'Arus karya Syekh Ibnu Atha'illah, dengan syarah Dr. Muhammad Najdat.


OBAT HATI DARI SYEKH ABDUL QADIR JAILANI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Hati itu berkarat kecuali apabila pemiliknya rajin merawatnya seperti yang disebutkan oleh sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya hati itu dapat berkarat dan yang dapat menggosok (karat itu) adalah dengan membaca Al-Qur’an dan mengingat kematian serta menghadiri majelis-majelis dzikir.”
Hati itu hitam karena cintanya yang begitu besar oada dunia dan rakus terhadapnya, tanpa sifat wara’ sedikitpun. Sebab, barangsiapa yang hatinya telah dikuasai oleh kecintaan pada dunia, maka wara’-nya akan hilang. Ia akan terus kumpulkan dunia itu, baik dari sumber yang halal maupun yang haram. Ia tidak mampu lagi membedakannya, tak lagi punya rasa malu. Dan muraqabah-nya kepada Allah Azza wa Jalla akan hilang.
Wahai kaum Muslimin, terimalah apa yang disampaikan oleh Nabi kalian itu, dan bersihkan kembali karat hati kalian dengan resep yang telah diberikan oleh beliau. Seandainya seorang dari kalian mengidap suatu penyakit, lalu seorang dokter memberinya resep sebagai obatnya, tentu ia tidak akan merasa nyaman hidupnya sebelum memakan obat itu bukan?”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Rabbani

Sabtu, 06 Januari 2018

PENUHI HATI DENGAN CINTA & DZIKIR

Jika hatimu kering dan rapuh, maka siramilahlah dengan ketaatan dan dzikrullah. Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah lidahmu basah dengan mengingat Allah." (HR At-Tirmudzi)

Jika hati telah diisi dengan rasa cinta kepada Allah dan selalu berdzikir kepada Allah, maka ia akan menyadari bahwa Allah akan selalu melihat dan mengawasinya. Keadaan dan kesadaran semacam ini akan membantu kita untuk selalu taat kepada-Nya dan membuat kita takut bermaksiat kepada-Nya.
Haris Al-Muhasibi mengatakan:
"Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi rasa cinta pada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi perasaan itu, maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan.sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur."

Seseorang bertanya,."Lalu bagaimana bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Dan, bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota badan?"
Beliau menjawab, "Yakni ketika hati menjadi wadah bagi kerisauan, kegalauan dan kesedihan, rasa lemah dan sangat membutuhkan, penyesalan, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya, dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci pada apa yang Allah benci.
Jika ia menyikapi Allah dalam keadaan hati semacam ini, anggota badan akan ikut bergerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan seperti ini akan terwujus jika relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah."

Disarikan dari Syarah Kitab Tajul-'Arus Syekh Ibnu Atha'illah, oleh Syekh Muhammad Najdat.
Semoga bermanfaat

TAHAPAN RUHANI SEORANG HAMBA

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani mengatakan tentang sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis Qudsi: “Barangsiapa yang disibukkan berdzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Menurut Syekh, hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya seorang Mukmin itu jika dia menginginkan Allah swt, maka Allah akan menyucikan dan memilihnya. Semua keadaan akan dijalaninya dengan pertolongan Allah SWT. Dan, Allah juga akan memberikan ujian kepadanya dengan berbagai macam ujian dan cobaan. Maka, orang tersebut akan menjadi miskin setelah dia kaya. Dia terpaksa meminta rezeki kepada makhluk ketika semua usahanya sudah buntu.
Kemudian, Allah akan menjaganya untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepada mereka. Allah swt kemudian akan menjaganya untuk tidak berutang kepada mereka dan memaksanya untuk berusaha, memberikan kemudahan dan kelonggaran dalam usaha tersebut.
Akhirnya, seorang hamba tadi dapat makan dengan usahanya sendiri, sedangkan hal tersebut adalah sunnah. Allah pun akan memberikan kesulitan kepadanya dan memberikan petunjuk kepadanya untuk meminta kepada makhluk. Lalu, Allah akan memerintahkan kepadanya untuk meminta dengan perintah batin (yang tersembunyi), yakni Allah akan mengajarkan dan memberitahukan kepadanya, dan menjadikan ibadah dalam perintah tersebut, dan kemaksiatan dalam meninggalkannya.
Agar dengan hal tersebut, hawa nafsunya menjadi hilang dan nafsunya akan terbalik. Inilah yang dinamakan keadaan riyadhah. Maka, seorang hamba yang meminta tadi adalah karena keterpaksaan, bukan sebagai bentuk menyekutukan Allah.
Kemudian, Allah akan menjaganya lagi untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepadanya dengan perintah yang keras, yakni hamba tadi tidak mungkin meninggalkannya, sebagaimana perintah untuk meminta sebelumnya.
Lalu, Allah akan memindahkannya lagi dan memutuskan semua hubungannya dengan sesama makhluk dan interaksi dengan mereka. Akhirnya, Allah menjadikan rezekinya hanya ketika dia meminta kepada Allah saja. Hamba tadi akan selalu meminta yang dia butuhkan kepada Allah, kemudian Allah juga akan memberikan yang diminta tersebut, dan tidak akan memutuskannya, meskipun dia tidak meminta dan berpaling dari pemintaan tersebut.
Allah akan memindah keadaan hamba tadi dari meminta dengan lisan menuju meminta dengan hati. Maka hamba tadi akan meminta semua yang ia butuhkan dengan hatinya, dan Allah akan memberikan kepadanya yang dia minta tersebut sehingga jika hamba tadi meminta dengan lisannya, Allah tidak akan memberikan yang dia minta tersebut atau dia meminta kepada makhluk, dan mereka juga tidak akan memberikannya. Allah akan mencukupkan sesuatu bagi dirinya agar dia tidak meminta secara keseluruhan, baik secara lahir maupun batin.
Lalu, Allah juga akan memanggilnya dengan semua yang menjadi kemaslahatannya dan apa saja yang mencukupi kebutuhannya berupa pakaian, makanan, minuman, dan semua kebutuhan manusia yang tidak pernah terlintas dalam hatinya, dan tidak pernah ada dalam dirinya. Pada saat itulah Allah akan melindungi dirinya. Inilah yang dimaksud firman Allah:
“Sesungguhnya Pelindungku adalah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an), dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Q.S. Al-A’raaf: 196).

Maka akan menjadi nyatalah firman Allah dalam hadits Qudsi, “Barangsiapa yang disibukkan oleh dzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Ini adalah keadaan fana, yaitu keadaan yang menjadi tujuan akhir para wali dan abdal. Terkadang terdapat dalam diri mereka takwin (penambahan karunia dari Allah swt). Semua yang mereka butuhkan adalah dengan seizin Allah, sebagaimana firman Allah swt dalam sebagian kitab-Nya, “Wahai anak Adam, Aku adalah Allah swt yang tidak ada tuhan selain Aku. Jika Aku mengatakan kepada sesuatu, ‘Jadilah!’ maka jadilah ia. Taatlah kepada-Ku, maka Aku akan menjadikan dirimu jika mengatakan kepada sesuatu, ‘jadilah!’ maka jadilah ia.”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib---

Pilihan Dan Takdir

Felix Siau
Terlahir sebagai keturunan Cina, di kota Palembang, penduduk Indonesia, sebagai lelaki, anak kedua, adalah bagian takdir, saya tak pernah memilih sama sekali
Dalam Islam, yang Allah perintah berkaitan dengan takdir ini adalah menerimanya, mengimaninya, sebagai bagian pemberian Allah yang pasti baik bagi manusia
Dalam perkara ini, kita tak perlu lagi mengubah, menambah apalagi protes, inilah yang dinamakan beriman pada takdir, sebagai bagian daripada rukun iman
Konsekuensinya, karena kita tidak pernah memilih soalan takdir ini, maka kita di hadapan Allah kelak tidak akan ditanya tentang takdir, sebab Allah yang menentukan bagi kita semua itu
Beda dengan iman atau kafir, berbuat baik atau buruk, mau berusaha atau tidak, rajin atau malas, beribadah atau bermaksiat, itu semua pilihan, yang kelak akan dimintai pertanggungan
Beriman itu perlu usaha, memahami agama itu perlu jerih payah, apalagi membela agama. Karena itulah ada ganjaran yang Allah siapkan disana, sesuai usaha kita
Sebab itu, kelak di yaumil hisab, manusia tidak dikelompokkan berdasar suku atau kulit, negara atau bangsa. Tapi berdasar iman, sebab itu yang Allah lihat
Maka seorang Muslim, apapun sukunya, dimanapun tinggalnya, apapun negerinya, tetap akan menjadikan ketaatan pada Allah sebagai yang utama
Sebab ketaatan pada Allah itulah yang akan jadi pembeda kelak. Adapun suku, ras, etnis, negara, itu semua adalah ketentuan Allah yang tidak akan dihisab

Maka saya berarti bukan karena saya Cina, bukan karena saya lelaki, bukan karena saya Indonesia. Tapi saya berarti, karena saya Muslim. Sebab itu pilihan, dan layak dibanggakan sampai akhir hayat
.
"Dan janganlah kalian mati, melainkan kalian mati dalam keadaan Muslim". Begitu singkat Allah dalam ayat-Nya 

.
Tulisan diatas, Siauw Cen Kwok, nama yang diberikan ayah saya saat lahir

Kamis, 04 Januari 2018

RENUNGAN MALAM PENERANG JIWA

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Ketika kalbu bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi., maka ia menjadi dekat kepada Rabb-nya. Dan, ketika ia telah dekat, maka ia akan memperoleh pengetahuan. Kini kalbu dapat membedakan mana yang benar-benar menjadi milik-Nya dan apa yang dituntut darinya; apa yang menjadi milik Allah dan apa yang menjadi milik selain-Nya; apa yang termasuk kebenaran (haqq) dan apa yang termasuk kebatilan. Sebab, seorang Mukmin dianugerahi cahaya yang dengannya dia bisa melihat, demikian pula halnya dengan sang penjuang kebenaran yang dekat dengan Allah (ash-shiddîq al-muqarrab).
Orang Mukmin memiliki cahaya yang dengannya dia bisa melihat, dan itulah sebabnya Nabi SAW memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap firasat orang Mukmin. Beliau bersabda, “Berati-hatilah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.”
Orang yang ʽarîf dan dekat (kepada Allah) juga diberi cahaya yang dengannya dia dapat melihat betapa dekatnya Tuhannya yang Maha Kuasa dengan kalbunya. Dia dapat melihat ruh-ruh (arwâh), para malaikat dan para nabi, dapat melihat kalbu dan ruh-ruh para pejuang kebenaran (shiddîqîn). 
Dia bisa melihat keadaan-keadaan spiritual (ahwâl) dan kedudukan-kedudukan (maqâmat). Semua ini berada dalam lipatan-lipatan terdalam kalbuya (suwaidâ’ qalbihi) dan kejernihan wujud terdalamnya (sirr). Dia selalu berada dalam kebahagiaan bersama Rabb-nya Yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Dia adalah perantara, yang menerima dari-Nya dan membagi-bagikan kepada manusia.

Ada orang-orang yang berilmu (ʽâlim) dengan lidah maupun kalbunya, sementara sebagian orang berilmu dalam kalbunya saja, tetapi kikuk dengan lidahnya. Mengenai orang munafik, dia pandai dengan lidahnya, namun tidak sesuai dengan kalbunya. Semua ilmunya hanya pada lidahnya saja, dan itulah sebabnya Nabi SAW bersabda, “Apa yang paling kutakutkan atas umatku adalah seorang munafik dengan lidah yang pandai.”
Wahai anak muda! Apabila engkau datang ke hadapaku, engkau harus membungkus kegiatan pribadimu dan kepedulian-kepedulianmu yang egois. Engkau harus masuk tanpa membawa apa-apa, seperti seorang yang sama sekali bangkrut (muflis). Jika engkau datang ke sini sementara engkau masih memikirkan pekerjaanmu dan kepentinganmu, engkau akan terhalang dari menerima petunjuk yang kusampaikan. Celakalah engkau! Engkau membenciku karena aku mengatakan kebenaran dan menghadapkanmu pada kebenaran. Tak seorang pun yang membenciku kecuali musuh Allah, dan tak seorang pun mengabaikan aku kecuali dia jahil terhadap Allah, suka banyak bicara dan sedikit beramal. Tak seorang pun mencintaiku kecuali dia sadar akan Allah, banyak beramal dan sedikit bicara.

Orang yang tulus (mukhlish) akan mencintaiku dan orang yang munafik akan membenciku. Aku dicintai para pengikut Sunnah Nabi SAW dan aku dibenci oleh kaum yang lebih suka mengikuti bidʽah. Jika engkau mencintaiku, manfaat dari semua ini akan datang kepadamu. Tetapi, jika engkau membenciku, maka efeknya kepadamu akan merusak. Aku tidak terjerat oleh pujian dan celaan sesama makhluk. Tidak ada satu spesies apa pun di muka bumi yang kutakuti atau yang kepadanya kutanamkan harapan-harapanku, baik ia itu salah satu dari bangsa jin ataupun anggota ras manusia, baik binatang ataupun serangga ataupun jenis makhluk yang lain. Aku tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Semakin banyak Dia menganugerahiku anugerah-Nya yang penuh berkah, semakin besar rasa takutku, sebab Dia: “Melakukan apa yang dikehendaki-Nya” (QS Hûd (11) :107). “Dia tidak akan ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanyai,” (QS Al-Anbiyâ ( 21) :23)
Wahai anak muda! Janganlah berkonsentrasi pada mencuci pakaian jasadmu, sementara pakaian kalbumu kotor. Engkau berada dalam keadaan kotor. Engkau harus mencuci kalbu terlebih dahulu, kemudian baru mencuci pakaianmu yang biasa. Engkau harus melaksanakan kedua tindak pencucian itu. Cucilah pakaianmu dari kotoran, dan cucilah kalbumu dari dosa-dosa!
Engkau tidak boleh membiarkan dirimu silau oleh apa pun, sebab Tuhanmu “melakukan apa yang dikehendaki-Nya” (QS 11:107).

Itulah sebabnya diceritakan sebuah kisah tentang seorang saleh, bagaimana suatu ketika ia mengunjungi saudaranya seiman kepada Allah. “Wahai saudaraku,” katanya kepada saudaranya itu. “Marilah kita menangis atas pengetahuan Allah tentang kita!” Alangkah bagusnya ucapan orang saleh ini! Dia adalah orang yang memiliki pengenalan (‘ârîf) tentang Allah dan telah mendengat kata-kata Nabi SAW: “Salah seorang di antara kalian mungkin beramal dengan amalan ahli surga, sampai tak ada jarak antara dia dan surga itu kecuali satu jengkal saja, kemudian kemalangan menimpanya dan dia menjadi salah seorang penghuni neraka, sampai tak ada jarak antara dia dan neraka kecuali satu jengkal saja, kemudian keberuntungan mengenainya dan dia menjadi salah seorang penghuni surga.”
Pengetahuan Allah tentang dirimu hanya akan tampak kepadamu manakala engkau berpaling lagi kepada-Nya dengan segenap hati dan aspirasimu, manakala engkau tidak pernah menjauhi pintu rahmat-Nya, manakala engkau memasang penghalang dari besi antara hatimu dan nafsu badaniahmu, dan manakala engkau menjadikan maut dan kuburan sebagai titik pusat perhatian bagi mata kepala dan mata hatimu.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir--

Senin, 01 Januari 2018

HIDUPKAN KALBU, MESKI DALAM KEADAAN TIDUR

Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan bahwa jalan untuk wushul (sampai) kepada Allah adalah dengan menjaga amalan badan tetap berada di jalan yang benar dengan melakukan semua hukum syariat, baik di siang hari atau malam.
Menurut beliau, kita harus mendisiplinkan diri dengan berdzikir, baik secara jahr atau khafi (secara terang atau secara samar). Hukum berdzikir menurut Syekh adalah wajib dan harus dilakukan oleh semua manusia yang ingin dekat kepada Allah.
Allah SWT berfirman:
"Ingatlah Allah dalam keadaan berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (QS Ali Imran (3): 191).
Dzikir harus disertai dengan kesucian lahir dan batin agar menghasilkan cahaya dzikir di dalam batin. Dzikir dilakukan dalam kesadaran yang terus menerus. Bahkan, saat kita dalam keadaan tidur. Karena itu, sebelum tidur pun kita diperintahkan berdoa, berdzikir, bertasbih, dan membaca ayat Al-Quran. Kita harus tetap menghidupkan kalbu setiap saat meskipun dalam keadaan tidur.
Menurut Syekh, sebagaimana kalbu yang hidup, ia tidak pernah tidur, maka janganlah mengira bahwa kalbu itu akan mati. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
"Kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur,"(HR Al-Bukhari)
Maka, mari niatkan diri kita untuk berdzikir dalam setiap keadaan, selalu menghidupkan kalbu dengan kesadaran ruhani yang selalu merindukan pertemuaan dengan Rabb. Mari menghidupkan kalbu dengan tahlil, tasbih, tahmid, istighfar dan shalawat Nabi.
Semoga bermanfaat


JAWABAN CINTA SANG MAHA CINTA

Diriwayatkan bahwa setelah Nabi Dawud a.s. menyaksikan sendiri betapa hebat dan dahsyat balasan cinta Allah SWT kepada para wali-wali-Nya—para pecinta Allah merindukan perjumpaan dengan-Nya—beliau pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dengan apa mereka memperoleh anugerah ini dari-Mu?
Allah SWT menjawab, “Dengan berbaik sangka, mencegah diri dari dunia dan penghuninya, mengasingkan diri bersama-Ku dan munajat mereka kepada-Ku. Ini adalah peringkat yang tidak mudah dicapai oleh siapa pun kecuali orang yang bersungguh-sungguh menutup mata terhadap dunia dan penghuninya, juga sedikit pun tidak disibukkan olehnya, bahkan tidak terlintas dalam ingatannya.
Ia mengosongkan dirinya hanya untuk-Ku dan hanya memilih-Ku di antara seluruh makhluk-Ku. Ketika itulah Aku bersimpati kepadanya. Aku kosongkan jiwanya dan Aku singkapkan tirai antara Aku dengannya hingga ia melihat-Ku sebagaimana mata melihat sesuatu. Aku perlihatkan kepadanya kemuliaan-Ku setiap waktu. Aku dekatkan dia pada cahaya ‘wajah’-Ku.
Jika ia jatuh sakit, maka Akulah yang merawat dan mengobatinya, persis seperti seorang ibu yang penuh kasih merawat anaknya. Jika ia haus, maka Aku memberikan minum dan Aku cicikan padanya kelezatan mengingat-Ku. Aku berbuat begitu kepadanya, maka ia buta akan dunia dan seluruh penghuninya. Aku jadikan ia tidak berselera kepadanya. Ia pun tidak susah-payah sibuk dengan-Ku. Lalu, ia pun ingin cepat-cepat mendatangi-Ku.
Aku tak ingin cepat-cepat mencabut nyawanya, sebab ia tidak melihat apa pun selain Aku. Hal yang sama pun terjadi pada-Ku. Aku tak melihat selain darinya. Jika Aku melihatnya, maka melelehlah dirinya, kuruslah badanya, dan berhamburlah organ-organ tubuhnya.
Ketika ia mendengar Aku menyebutnya, kalbunya langsung tercerabut. Aku banggakan ia pada malaikat-malaikat-Ku dan para penghuni langit-Ku. Lalu, rasa takut dan ibadahnya pada-Ku pun semakin bertambah. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan dudukkan dia di Surga Firdaus, Aku akan menyembuhkan dadanya dengan melihat-Ku sampai ia rela dan benar-benar rela!”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha


MEMAHAMI ISYARAT CINTA ILAHI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai anak muda! Waspadalah jika Allah melihat di dalam hatimu ada selain Diri-Nya. Waspadalah bahwa Allah melihat di dalam hatimu ada rasa takut kepada selain Diri-Nya, ada harapan kepada selain-Nya, dan ada kecintaan kepada selain kepada-Nya. Maka, hendaklah engkau berusaha membersihkan kalbumu dari selain Diri-Nya. Hendaklah engkau tidak memandang kemudaratan ataupun manfaat kecuali bahwa itu datang dari Allah. Engkau selalu dalam rumah-Nya dan menjadi tamu-Nya.
Wahai anak muda! Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kau lihat berupa wajah-wajah yang dipoles dan kau cintai adalah cinta yang semu, yang menyebabkanmu dikenai hukuman. Sebab, cinta yang benar dan tidak akan mengalami perubahan adalah cinta kepada Allah Azza wa Jalla.
Dialah yang seharusnya kau lihat dengan kedua mataharimu. Itulah cinta orang-orang Shiddiq yang dipenuhi limpahan keruhaniaan. Mereka tidak mencintai dengan keimanan, tetapi dengan keyakinan dan kesaksian. Hijab mereka tersingkap dari mataharimu sehingga engkau melihat perkara-perkara yang gaib. Engkau melihat apa yang tidak mungkin dapat mereka jelaskan!”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

DAHSYAT!!! ANAK JALANAN PUN BERSEDEKAH

Jika melihat orang kaya suka bersedekah itu hal biasa. Melihat orang berpendidikan peduli kepada sesama itu hal wajar. Melihat pejabat suka membantu itu lumrah. Tapi, jika melihat anak Punk dan jalanan yang miskin, terbuang, terhina, dan terlunta-lunta di jalanan, lalu peduli kepada nilai kemanusiaan, maka itu adalah hal luar biasa.
Inilah salah satu yang membuat saya terharu dan bangga melihat anak Punk dan jalanan di Gaplek memiliki sikap kepedulian kepada sesama.
Suatu siang di Perempatan, saya berkunjung menemui anak Punk dan jalanan. Saya lihat Roni, Regi dan Irwan sedang duduk santai di sudut trotoar. Tiba-tiba, Irwan alias Mok-Mok mengedipkan mata kepada Regi sambil menunjukkan satu kaleng kecil. Awalnya, saya pikir itu kaleng yang biasa mereka tabuh untuk mengamen. Namun, setelah diperhatikan ternyata terdapat lubang kecil seukuran koin. Hingga terbersit dalam hati saya: "Mengapa mereka membawa celengan ke jalanan?!"
"Ente bawa harta karun kemana-mana, Bro?" tanyaku kepada Mok-Mok.
"Hahaha. Ini yang saya bilang kemaren, Pak," jawabnya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Kami sering menyisihkan uang koin recehan di kaleng ini untuk disumbangkan ke Panti Asuhan," jawab Mok-Mok.
Saya kaget dibuatnya. "Subhanallah...Luar biasa," bisikku dalam hati. Aku merinding dibuatnya. Mereka punya kebiasaan mengagumkan.
"Kalian wajibkan atau semacam iuaran?"
"Tidak. Ini kesadaran kita sendiri. Ini murni sedekah. Berbeda dengan iuran untuk beli kaos, sumbangan anak yang sakit atau yang lain. Ini khusus untuk anak yatim piatu," jelas Mok-Mok.
Untuk tidur saja, mereka harus berteduh di depan ruko, berselimut kardus dan koran, tapi mereka mampu memikirkan saudara mereka yang lain.
Kadang, mereka terusir dari satu tempat ke tempat lain. Untuk mandi dan buang hajat, mereka harus merengek satpam untuk meminta izin menggunakan WC, tapi sempat-sempatnya mereka bersedekah untuk yatim piatu.
Bahkan, seingatku, di antara mereka ada yang tak mengenal siapa orangtua mereka. Untuk makan setiap hari, mereka harus tahan panas, mengamen dari satu angkot ke angkot lain, atau menunggu perempatan Gaplek macet, baru beroperasi. Tapi, sempat-sempatnya mereka bersedekah.
"Pasti ada anak-anak lain di luar sana yang nasibnya lebih buruk dari kita. Semoga saja sedekah kita yang ikhlas bisa meringankan mereka," tutur Regi.
Menurut Mok-Mok, mereka menyisihkan uang receh itu hingga penuh satu kaling. Hampir setiap hari, mereka menyisihkan uang hasil mengamen,Rp 200, Rp 500, Rp 1000, pokoknya sekemampuan mereka. Ketika kaleng itu penuh, mereka langsung menyerahkan kepada adik Regi untuk diserahkan ke panti asuhan. Dan, mereka tak pernah menghitung berapa jumlahnya. Yang penting, jika seminggu atau dua minggu celengen penuh, langsung disedekahkan.
Sungguh mulia hati mereka. Saya yakin, nilai Rp 1000 yang mereka sumbangkan berbeda dengan Rp 1000 yang disedekahkan oleh TNI, Polisi, PNS, pegawai bank, pengacara, dan penguasaha. Boleh jadi, nilai Rp 1000 yang mereka sumbangkan setara dengan Rp 1.000.000 yang disumbangkan oleh kaum profesional yang memiliki pekerjaan tetap. Apalagi jika dibandingkan dengan pengusaha kaya.
Sebab, perjuangan untuk mendapatkan Rp 1000 bagi anak jalanan berbeda dengan kita. Mereka harus mengamen, di bawah terik matahari, di perempatan panas, bising dan berdebu.
Semoga cerita ini dapat menjadi pelajaran buat kita semua. Semoga langkah mereka untuk berbenah dimudahkan oleh Allah SWT. Bersedekah tak harus menunggu kita kaya. Tak perlu menunggu memiliki pekerjaan tetap lalu bersedekah. Tak perlu menunggu seluruh kebutuhan terpenuhi baru menyisihkan sumbangan. Tapi, kapan pun jiwa ini ingin mendekat kepada Alllah, ingin bertobat, ingin berbenah dan menyicikan batin, maka bersedekahlah. Bahkan boleh jadi, sedekah kita itu yang kelak membuka pintu makrifat, membuat kita mencapai kebahagiaan dunia-akhirat dan menyelamatkan kita dari neraka.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api“.(HR. At-Tirmidzi).
Nabi SAW juga bersabda: “Sesungguhnya sedekahnya orang Muslim itu dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang buruk (su’ul khotimah), Allah akan menghilangkan darinya sifat sombong, kefakiran dan sifat bangga pada diri sendiri“. (HR. Thabrani).
Semoga bermanfaat


TAK ADA BATAS UJUNG MAKRIFAT

Allah SWT berfirman kepada Dawud a.s.:
"Aku bersumpah pada diri-Ku sendiri bahwa Aku tidak akan memberi pahala kecuali kepada hamba yang sudah Aku ketahui semangat pencarian dan kehendaknya untuk memeluk-Ku dan terus menerus membutuhkan Aku. Jika engkau melakukan itu, maka Aku akan mencabut kehinaan dan kebringasan dari dirimu. Aku pun menjadikan hatimu kaya raya.

Aku bersumpah pada diri-Ku sendiri bahwa hamba-Ku tidak akan pernah merasa tentram melihat semua perbuatannya sendiri sampai Aku menunjuknya sebagai wakil-Ku yang mengerjakan semua perbuatan itu.
Sandarkanlah semua urusan kepada-Ku. Janganlah engkau berbuat sesuatu yang berlawanan agar engkau tidak merasa lelah.
Siapa pun teman yang bersamamu tidak akan memberimu manfaat apa-apa. Engkau tak akan pernah menemukan batas akhir makrifat, sebab memang tidak ada batas ujungnya.
Jika engkau terus menerus meminta tambahan makrifat, maka pasti Aku berikan juga. Sayangnya, kau tak akan pernah mencapai batas akhir tambahan-Ku itu."

--Dikutip dari Kitab Mahabbah, Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazal