Senin, 29 Juni 2015

HIKMAH

 Hikmah Sufi di Bulan Suci

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).
Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.
Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.
Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.
Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.
Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, - dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :
“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “
Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)
Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.
Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “
Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.
Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.
Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatulla
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.


Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).


MAKNA SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Menurut Imam al-Ghazali sabar adalah keteguhan yang dapat mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.Sabar merupakan kecenderungan hati pada unsur kemalaikatan dalam diri dan mampu melawan dorongan-dorongan nafsu kebinatangan dan nafsu birahi.Seperti malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah SWT sepanjang siang dan malam tiada henti.
Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan¬-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.
Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
1) Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus¬-menerus.
2) Tingakatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah.
3) Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu.
Sebagai manusia, kita memerlukan sifat dan sikap sabar dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."
Menurut Imam al-Ghazalî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:
1) Sabar dalam taat.
Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit. Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran¬-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.
2) Sabar terhadap maksiat.
Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. Jika keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

3) Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.
Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah. Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.
--Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali--



MATI SEBELUM MATI   

MENURUT SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI



Mati Sebelum Mati, Mutlak Diperlukan bagi Salik yang Mau Menempuh Jalan Tuhan. 
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai hamba Allah, sadarilah bahwa engkau hanya sebatas diberi harapan. Maka, jauhilah segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla dengan kalbumu sehingga engkau dapat dekat kepada-Nya. Matilah engkau sebelum mati. Matilah engkau dari dirimu dan makhluk. Sungguh telah diangkat berbagai hijab dari dirimu dan Allah Azza wa Jalla.”

Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mati?” Lalu beliau menjawab, “Matilah dari mengikuti kemauan, hawa nafsu, tabiat dan kebiasaan burukmu, serta matilah dari mengikuti makhluk dan dari berbagai sebab. Tinggalkanlah persekutuan dengan mereka dan berharaplah hanya kepada Allah, tidak selain-Nya. Hendaklah engkau menjadikan seluruh amalmu hanya karena Allah Azza wa Jalla dan tidak mengharap nikmat-Nya.

Hendaklah engkau bersikap ridha atas pengaturan, qadha dan tindakan-Nya. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka hidup dan matimu akan bersama-Nya. Kalbumu akan menjadi tentram. Dialah yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Kalbumu akan selalu menjadi dekat kepada-Nya, selalu terhubung dan bergantung kepada-Nya. Engkau akan selalu mengingat-Nya dan melupakan segala perkara selain Diri-Nya.
Kunci surga adalah ucapan La ilâha illa Allâh, Muhammadur-Rasûlullâh. Sedangkan esok,, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.

Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.

Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”

Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.

Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”
--Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH MENURUT SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada pembukaan tafsir Surah Al-Fatihah mengungkapkan: “Sungguh sangat jelas bagi siapapun yang telah Allah Ta'ala bangkitkan dari tidur kelalaian dan kantuk kealpaan, bahwa seluruh alam semesta dan isinya tidak lain adalah mazhhar (manifestasi) dari berbagai sifat-sifat Allah yang lahir dari nama-nama Dzat-Nya. Hal itu karena, di setiap martabat dari Martabat-martabat Wujud, Dzat memiliki nama dan sifat khusus yang masing-masing memiliki atsar (impresi) tersendiri. Maka demikianlah semua Martabat Wujud. Meski wujud itu hanya sebutir zarah, sekerjap mata, atau secercah bersitan dalam hati.
Sedangkan, martabah (martabat) yang disebut dengan Ahadiyah yang tidak berbilang atau disebut juga al-‘ama’ adalah martabat yang tidak ada ruang bagi auliya’ dan ulama (untuk menggapainya), melainkan hanya al-hasrah (pilu hati), al-hairah (rasa kacau) al-walah (kebingungan) dan al-haiman (kehausan cinta). 
Martabat Ahadiyah merupakan martabat yang menjadi puncak tertinggi pencapaian para nabi dan ujung suluk para wali. Setelah (sampai di martabat) itu, mereka akan “berjalan” di dalamnya dan pasti akan menuju kepada Allah, hingga mereka semua akan mengalami istighrâq (tenggelam secara total mengingat Allah) sampai mengalami al-hairah (kebingungan/keterpanaan spiritual) dan fana’. Tiada Tuhan selain Dia (lâ ilâha illâ huwa). Segalanya musnah kecuali Wajah-Nya (kullu syai` hâlik illâ wajhah).
Kemudian, ketika Allah ingin membimbing hamba-hamba-Nya ke Martabat Ahadiyah tersebut—yakni agar mereka dapat kian dekat dan bertawajuh kepada-Nya hingga tawajuh dan taqarub mereka berakhir pada ‘isyq (rindu) dan mahabbah (cinta) yang paling hakiki (al-haqîqah al-haqqiyyah) saja, yang akan menyebabkan runtuhnya penyematan (al-idhafat) yang melahirkan kesan kepada keberbilangan atau dualitas terhadap Allah, yang setelah itu niat mereka menjadi murni dan layak untuk fana’—Allah menarik perhatian manusia untuk bergerak menuju ke jalan-Nya—sebagai bentuk bimbingan dan pengajaran kepada mereka—melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya serta dalam munajat-munajat bersama-Nya, yang dalam doa-doa dan munajat-munajat itu tersirat (isyarat akan) kembalinya yang banyak menuju tunggal yang sempurna, yakni ketunggalan sempurna (kamal al-wihdah) yang mengenyahkan keberbilangan (nihayah al-katsrah).”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan surah Al-Fatihah, satu per satu: 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
“Dengan nama “Allah” yang merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tanazzul-Nya (turunnya wujud dengan penyngkapan Tuhan) dari Martabat Ahadiyah, karena tidaklah mungkin untuk mengistilahkan Dzat-Nya dengan martabat asli-Nya; 2) Berdasarkan pada ketidakterbatasan dan kemencakupan-Nya atas segala asma dan sifat Ilahi yang kepadanya segala mazhhar bersandar, yang menurut ahli kasyf diistilahkan dengan al-a’yân ats-tsâbitah, dan menurut ahli syariat disebut dengan Lauh al-Mahfûzh dan al-Kitâb al-Mubîn. 
Kata “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tajalliyat-Nya pada lembaran alam semesta dan perkembangan-Nya dalam mulabas al-wujub dan al-imkan; 2) Berdasarkan tanazzul-Nya dari Martabat Ahadiyah kepada Martabat Al-‘Adadiyah (martabat keberbilangan); ta’ayyunat-Nya terhadap berbagai manifestasi ilmiah dan esensi; serta pengejawantahan-Nya melalui citra eksistensial. 
Kata “Ar-Rahim” (Maha Penyayang) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah yang diekspresikan melalui tauhid terhadap-Nya setelah disebutkan keberbilangannya; melalui penyatuannya setelah pemisahannya; penggabungannya setelah penghamparannya; pengangkatannya setelah penundukannya; dan tajrid-nya setelah taqyid-nya.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”
Segala puji dan pemuliaan yang menghimpun segala pujian dan pengharagaan yang lahir dari bahasa semua entitas semesta yang selalu bertawajuh kepada Penciptanya dengan ketaatan yang mengakui penghargaannya dengan cara bersyukur kepada Pemberi nikmat, baik melalui gerak maupun kata-kata, sejak azali, abadi, secara khusus dan ajek hanya untuk Allah, Dzat yang Menghimpun semua asma dan sifat yang melahirkan dan memelihara alam semesta seluruhnya karena Dia adalah Rabb semesta alam, yang jika saja pemeliharaan dan pelestaran Dia terhadap alam semesta hilang meski sesaat, niscaya alam semesta akan musnah sekaligus.

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Maha Pengasih dan Maha Penyayang”
“Ar-Rahman (Maha Pengasih) yang Maha Memulai dan Maha Mencipta kehidupan dunia dengan merentangkan bayang-bayang asma-Nya yang baik dan sifat-Nya yang luhur di atas mir’ah al-‘adam yang darinya terlukis alam semesta dan segenap bagiannya; baik yang tampak maupun yang gaib; baik yang awal maupun yang akhir; serta segenap bagiannya tanpa terkecuali. Ar-Rahim (Maha Penyayang), yaitu Dzat yang berjanji kepada segala sesuatu atas kembangkitan kembali setelah langit ketinggian dan bumi kerendahan digulung kembali ke titik permulaan dan akhirnya (Allah) karena Dia adalah:

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ 

“Penguasa Hari Pembalasan”
Dia adalah Penguasa Hari Pembalasan dan ganjaran, yang menurut syariat disebut dengan istilah Hari Kimat atau al-Thâmmah al-Kubrâ. Pada hari inilah seluruh bumi dan langit akan hancur untuk kemudian semua catatan dari awal sampai akhir di bumi akan digulung.
Pada hari ini semua pandangan dan pikiran lenyap. Segala hijab dan tirai penghalang tersingkap. Semua entitas selain Allah akan sirna. Yang ada hanyalah Allah yang Mahaesa dan Mahapenakluk. 
Ketika hamba telah sampai pada maqam dan tujuan ini, serta menyerahkan segala urusan kepada Allah, maka ia berhak selalu bersama Rabb-nya sebagai penyempurna martabat ubudiyah, sehingga tidak ada lagi khitab yang menjelaskan antara “aku dan kamu” dan tersingkap huruf “ghain” dan “’ain”. Pada saat itulah ucapan hamba akan selaras dengan bahasa tindakannya,

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ 

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Ini adalah kesaksian bahwa hanya kepada-Mu, Ya Allah, bukan kepada selain Engkau. Karena tidak ada yang lain bersama-Mu di alam wujud-Mu kami menyembah, bertawajuh dan menempuh suluk secara hina dan tunduk. Karena tidak ada sesembahan yang kami miliki selain Engkau, sebagaimana tidak ada tujuan selain hanya kepada-Mu dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Maksudnya, kami tidak memohon pertolongan dan kemampuan untuk menyembah-Mu, kecuali hanya pada-Mu, karena tidak ada tempat kami kembali selain Engkau.

اِھدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ  . صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ . غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ


“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ya Allah, tunjukilah kami dengan kelembutan-Mu, jalan yang lurus, yang dapat menghantarkan kami kepada puncak tauhid-Mu, yakni jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, dari kalangan para nabi, shiddiqun, syuhada, dan orang-orang saleh, yang menjadi teman-teman terbaik.
Bukan orang-orang yang Engkau murkai, yaitu orang-orang yang ragu dan lari dari jalan kebenaran yang terang, karena mengikuti akal yang penuh dengan ilusi. Dan bukan orang-orang yang sesat, disebabkan fatamorgana dunia yang hina dan godaan setan yang menyimpang dari jalan kebenaran dan hujah yang meyakinkan. Âmin... kami berharap ijabah dari-Mu wahai Dzat yang paling penyayang di antara para penyayang.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani
--

Puasa menurut AL_GHAZALI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ

Imam Al-Ghazaly tentang PUASA sufi

Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa: biasa, khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa.
Sedang puasa yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak termasuk pada yang bersifat duniawi.
Mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan hal hal yang dapat membatalkan puasa. Rasa berdosa ini bermula dari rasa takyakin terhadap karunia sertajanji Allah swt. untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.
Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya. Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).

Syarat-syarat Batin
Puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan harus pula memenuhi keenam syaratnya:

1. Tidak Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu yang dicela (makruh), atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, "pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan, sebagaimana rasa manis yang diperolehnya dari dalam hati. " (H.r. al Hakim, hadis shahih). Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu."

2. Menjaga Ucapan
Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca [mengkaji] al-Qur'an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata, "Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, 'Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong."
Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari Muslim).

3. Menjaga Pendengaran
Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al Qur'an Allah swt. berfirman, "Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal." (Q.s. 5: 42).
Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, "Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang terlarang?" (Q.s. 5: 63).
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt. berfirman dalam wahyu Nya, 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Rasulullah saw. mengatakan, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa." (H.r. at Tirmidzi).

4. Menjaga Sikap Perilaku
Menjaga semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal dan hanya berbuka dengan makanan haram. Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang membangun istana, tetapi merobohkan kota. Makanan yang halal juga akan menimbulkan kemudharatan, bukan karena mutunya tetapi karena jumlahnya. Maka puasa dimaksudkan untuk mengatasi hal tersebut. Karena didera kekhawatiran, atau karena sakit yang berkepanjangan, seseorang dapat memakan obat secara berlebihan.
Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.
Bersabda Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.

5. Menghindari Makan Berlebihan
Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal. Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari? Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang justru di hari-hari biasa tidak tersedia.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.
Oleh karena itu, barangsiapa telah "meletakkan" kantung makanan di antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya, dan titik mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.

6. Menuju kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, "Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya."
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan puasa.
Pentingnya Memenuhi Aspek aspek (Syarat) Batin
Sekarang Anda mungkin mengatakan, "Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa harus memperhatikan syarat batin itu sudah sah. Menurut pendapat para ahli fiqih juga demikian, bahwa puasa yang bersangkutan sudah dapat dikatakan memenuhi syarat, sudah sah. Lalu mengapa kita harus repot repot?"
Anda harus menyadari bahwa para ulama fiqih telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan yang sejenis. Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir, akan memperhatikan sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin, sehingga ibadahnya sah dan diterima.
Hal demikian itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat yang akan mengantarkannya pada tujuan. Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk menghayati salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah), sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin menghindari godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas dari dorongan serupa.
Sedang manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal yang dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia inferior (sedikit lebih rendah) dari malaikat, karena masih dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.
Kapan pun manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Kapan pun ia mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah. Tentu dengan segala ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya. Hanya saja bukan dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi lebih pada kedekatan sifat.
Jika demikian itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki kedalaman pemahaman spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan pada waktu berbuka, seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah demikian, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"




Rabu, 24 Juni 2015

RAHASIA KEKUATAN DZIKIR

Menurut Syekh Ibnu Atha'ilah, boleh jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah).
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, berarti masih ada hijab.
Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya.
Jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahut tampak jelas di hadapannya. 
Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.

Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy) tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwa



MEMAHAMI DUNIA DAN TUJUAN AKHIRAT
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali. Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah. Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Dia akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Lalu akan dikatakan kepadamu, “Ini adalah untukmu dan untuk keluargamu.” Namun, bagaimana mungkin engkau dapat menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik? Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu hatimu dan segala sesuatu tak akan bisa memasukinya. Dia menurunkan peringatan-Nya dalam kalbumu.
Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan bersungguh-sungguh. Hendaklah engkau menangisi rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlak burukmu. Hendaklah kau menangisi semua perkara yang telah terjadi menimpamu. Bantulah orang-orang yang fakir dan miskin dengan hartamu, dan janganlah berbuat kikir! Sebab, tak lama lagi engkau akan berpisah dengan harta bendamu. Mukmin yang meyakini adanya penggantian di dunia dan akhirat tentu tak akan bersikap kikir atau bakhil!
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?” 
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”

“Sebab aku berharap agar Mukmin yang kikir itu terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sebab kekikirannya. Sebaliknya, aku takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena kedermawanannya.”
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan. Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani


DZIKIR PEMBUKA PINTU LANGIT
Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.
Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu.

Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya."
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah


KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA'ILLAH
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan mengeluarkan mereka.

Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

RAHASIA DZIKIR MENURUT SYEKH IBNU ATHA'ILLAH
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.

Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah



KEDAHSYATAN SIKAP TAWAKAL
Tawakal merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan menderita. Sebab, tawakal tidak bukan hanya penunjukkan sikap kepasrahan yang tidak beralasan, tapi tawakal juga harus terlebih dahulu dan didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari makna tawakal itu.
Rasulullah SAW adalah pekerja keras, pemimpin yang sangat cerdas, pengusaha hebat dan panglima perang yang tangguh. Tapi, beliau selalu menggantungkan sikap tawakalnya hanya kepada Allah. Karena itu beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai rasa tawakalnya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم(
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda: 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري
 Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
Sikap tawakal yang dilakukan secara kuat dengan keyakinan dan keimanan yang hebat justru merupakan kekuatan mahadasyat. Kepasrahan kepada Allah adalah jalan satu-satunya yang dapat menyelamatkan, mengamankan, membahagiakan dan memenangkan. Alkisah. Pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Tiba-tiba datang seorang musyrik yang mengambil pedang beliau sambil berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab, “ALLAH.” Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, “sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?”
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
Usaha dan doa adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang yang mengaku bertawakal, namun tanpa memiliki usaha apa pun maka dia sebenarnya telah berdusta pada dirinya sendiri. Sebagai seorang hamba, kita tetap memiliki kewajiban untuk berusaha dan berkerja, serta menggantungkan keputusan dan hasilnya pada Allah Yang Maha Berkehendak.
Rasulullah SAW juga bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه الترمذي(

Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Renung-renungkanlah, Pikir-pikirkanlah!



MELIHAT ALLAH MELALUI SIFAT & DZATNYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Melihat Allah SWT itu bisa dilakukan dengan dua macam. Pertama, melihat jamalullah tanpa perantara cermin kalbu di akhirat (Alam Lahut). Kedua, melihat sifat Allah SWT di muka bumi dengan perantara cermin kalbu, yakni dengan penglihatan mata hati (fuad) dari pantulan cahaya jamalullah.”
Allah SWT berfirman, “hatinya tidak berdusta terhadap apa yang dilihatnya,” (QS An-Najm [53]: 11)
Rasulullah SAW bersabda, “Al-mu’minu miratul-Mu’min. (Kalbu seorang mukmin adalan cermin daei Allah yang bersifat Al-Mukmin)” -HR Abu Dawud.
Kata “mu’min” yang pertama pada hadis di atas adalah kalbu hamba Allah yang beriman, sedangkan kata “al-Mu’min” yang kedua adalah Dzat Allah yang memiliki sifat Al-Mukmin.
Penglihatan yang dimaksud di atas adalah penglihatan pada sifat-sifat Allah SWT dari segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini. Seperti hanyanya saat seseorang melihat sinar matahari dari misykat (lubang yang tidak tembus), maka bisa saja dia berkata “Aku melihat matahari dengan cara apa pun.”
Allah SWT memberi perumpamaan dalam Al-Quran:
“Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tidak tembus di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun.”(QS An-Nur [24]: 35).

Para ahli tasawuf mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat adalah kalbu orang Mukmin. Sedangkan yang dimaksud dengan Sirr Al-Fuad (rahasia mata hati) yaitu Ruh Sulthani dalam diri manusia. Adapun Fuad adalah (mata hati) yang Allah sifati dengan gemerlapan karena kekuatan yang luar biasa.
Di ayat itu pula, Allah SWT menjelaskan tentang sumber cahaya, yakni pohon talqin dan tauhid yang murni keluar dari Lisan Al-Qudsi tanpa perantara. Hal tersebut seperti saat Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran dari Allah secara utuh, kemudian malaikat Jibril menyampaikan kepada Nabi secara berangsur-angsur untuk kemaslahatan umat dan meluruskan keingkaran orang kafir dan munafik.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar--


APAKAH ALLAH DAPAT DILIHAT?
Apakah di dunia mungkin Allah dapat dilihat? Apakah Allah hanya dapat dilihat nanti di akhirat? Apakah mungkin dapat menyaksikan Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta ini? Jika memang bisa, bagaimana melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti sering muncul bagi para pencari Tuhan yang baru memulai melakukan tafakur. Ada semacam kebimbangan saat memulai perenungan. Apalagi jika merujuk pada ayat dan hadis yang masih belum dapat dipahami.
Padahal sebenarnya, setiap ruh manusia itu pernah menyaksikan dan bersaksi tentang ketuhanan. Yakni, terjadi pada alam arwah, dimana mereka telah mengaku dan berjanji untuk tunduk dan patuh terhadap Allah, mau menyembah-Nya, menjalankan perintahnya-Nya dan menjauhi larangannya. Ketika Allah bertanya, “alastu birabbikum? (Apakah Aku Tuhanmu), lalu kita mengatakan, “Bala syahidna” (Ya, kami bersaksi). Ini adalah Perjanjian Primordial manusia sebagai hamba di depan Rabb.
Namun, dalam perjalannya, saat manusia dilahirkan, manusia lupa dan lalai. Karena itu, Allah mengutus Nabi dan Rasul, serta menurunkan wahyu agar manusia dapat kembali di jalan-Nya dan mengingat kembali Perjanjian Primordialnya.
Mereka yang terbuka mata hatinya, sebenarnya selalu menyaksikan Allah setiap saat. Menyaksikan keberadaan-Nya di alam ini. Mereka juga mampu mengingat jalan kembali kepada-Nya, tempat semua ruh akan kembali. Tetapi, karena manusia dibutakan oleh sifat-sifat rendah kemanusiaannya sehingga merasa bahwa Allah tak tampak, tertutup, tersembunyi dan tak dapat dirasakan keberadaanya.
Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pernah menjelaskan hal semacam ini. Menurutnya, “Penyebab kebutaan kalbu adalah karena adanya hijab-hijab yang gelap (al-hujub azh-zhulmaniyah), lalai dan lupa karena jauhnya diri dari menepati janji pada Allah saat di Alam Arwah. Adapun sebabnya lalai adalah kebodohan seseorang terhadap masalah hakikat Ilahiah. 
Kebodohan ini timbul karena kalbu dikuasai oleh sifat-sifat tercela, seperti sombong, dendam, dengki, kikir, ‘ujub, ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), bohong dan sifat-sifat tercela lainnya. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke derajat yang paling rendah. 
Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72). Adapun yang dimaksudkan dengan buta di dunia adalah buta hati, sebagaimana firman Allah SWT, “Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Adapun cara menghilangkan sifat-sifat yang tercela tersebut adalah dengan membersihkan cermin kalbu dengan alat pembersih tauhid, ilmu dan amal; serta berjuang dengan sekuat tenaga, baik lahir maupun batin. Semua itu akan menghasilkan hidupnya kalbu dengan cahaya tauhid dan sifat-sifatnya. 
Jika seorang manusia telah berhasil menghidupkan kalbunya, maka ia akan ingat pada Negeri Asalnya (Alam Lahut). Setelah ingat ia akan rindu pulang dan ingin sampai ke negerinya yang hakiki. Maka, ia akan sampai dengan pertolongan Allah. 
Selanjutnya, setelah penghalang kegelapan (tabir) tadi hilang, maka yang tersisa adalah penghalang-penghalang atau tabir cahaya (al-hujub an-nuraniah). Dan, pada saat itu ia sudah bashirah, ia yang mampu melihat dengan penglihatan ruh dan menerima cahaya dari cahaya Asma Ash-Shifat (nama-nama sifat). Secara bertahap, penghalang-penghalang cahaya itu akan sirna dengan sendirinya dan dia akan diterangi dengan cahaya Dzat.”
--Dirujuk dari kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,

 MEMBEDAKAN MADU DAN RACUN DOSA
Menurut Imam Al-Ghazali, dalam sebuah riwayat israiliyat, Allah pernah berfirman, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika seluruh penghuni langit dan bumi memohon syafaat untuknya, Aku tetap tidak menerima tobatnya, karena manisnya perbuatan dosa yang ia lakukan masih tersisa di hatinya.”
Mungkin engkau akan berkata bahwa secara naluriah, perbuatan dosa itu umumnya sangat disukai, maka bagaimana mungkin ia merasakan pahitnya?
Imam Al-Ghazali memberi analogi yang menarik: “Ada seseorang minum madu yang mengandung racun, tapi ia tidak apa-apa saat itu, bahkan sebaliknya malah merasan lezat. Tetapi, belakangan hari, ia tiba-tiba jatuh sakit yang cukup lama akibat efek racun tersebut, sampai semua rambutnya rontok dan anggota tubuhnya lumpuh.

Dalam kondisi demikian, apabila dihidangkan jenis madu yang sama, mungkin ia akan menolak, meski sudah dijelaskan bahwa sudah tidak ada racun di dalam madu tersebut. Orang itu akan berasalan bahwa ia sama-sama madu. Begitulah perumpamaan orang yang bertobat dari dosa-dosanya, Ia merasakan betapa pahitnya dosa itu, apalagi jika ia sadar bahwa setiap perbuatan dosa rasanya seperti madu, tapi efeknya adalah racun yang sangat berbahaya. 
Maka, tobat belumlah dikatakan tulus dan benar jika tidak berdasarkan keyakinan semacam ini. Sungguh jarang orang yang punya keyakinan seperti ini. Karena itu, engkau pasti sering melihat orang yang berpaling dari Allah, menganggap sepele dosa dan keras kepala untuk terus menerus melakukannya.”
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab At-Tawbah, Ihya ‘Ulumuddin


ADAB DAN DOA SEBELUM TIDUR DARI IMAM AL-GHAZALI
Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul-Hidayah memberi nasehat bahwa jika hendak tidur, kita dianjurkan untuk menghadap kiblat. Lalu tidur di atas sisi kananmu seperti tidurnya mayit di liang kuburnya.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa tidur adalah bagaikan kematian dan terjaga adalah bagaikan bangkit dari kematian. Boleh jadi, Allah menggenggam ruhmu di malam itu. Maka dari itu, bersiap-siaplah untuk menghadapinya dengan tidur dalam ke¬adaan suci dan usahakan agar wasiatmu telah tertulis di bawah kepalamu.”
Kita juga dianjurkan untuk memulai tidur sambil bertobat dan meminta ampunan dari semua dosa dengan tekad tidak akan berbuat maksiat lagi. “Bertekadlah untuk berbuat baik kepada semua Muslim saat Allah membangunkanmu. Ingatlah bahwa engkau akan berbaring di liang kubur seperti itu seorang diri, hanya ditemani oleh amalmu. Engkau hanya akan dibalas sesuai dengan amal perbuatanmu itu.”
Jangan sampai engkau menghendaki tidur yang banyak dengan menghampar kasur empuk karena tidur adalah menghentikan kehidupan. Kecuali, jika bangunmu justru menjadi bencana bagimu sehingga tidur tersebut lebih membuat agamamu selamat.
Ketahuilah bahwa malam dan siang seluruhnya berjumlah dua pu¬luh empat jam. Jangan sampai tidurmu sepanjang siang dan malam lebih dari delapan jam. Karena, jika engkau berumur sekitar enam puluh tahun cukup bagimu membuang dua puluh tahun darinya, atau sepertiga dari umurmu itu.
Sebelum tidur, kita juga dianjurkan untuk bersiwak (menggosok gigi) dan bersuci terlebih dahulu. Kemudian bertekad untuk bangun malam atau bangun sebelum waktu shalat subuh. Dua rakaat di tengah malam merupakan salah satu harta kekayaan yang berharga mulia. Perbanyaklah harta kekayaanmu itu guna menghadapi hari miskinmu. Sebab, harta kekayaan dunia sama sekali tak akan ber-guna jika engkau binasa.”
DOA SEBELUM TIDUR
"Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, kuletakkan pung¬gungku dan dengan nama-Mu pula kuangkat serta am¬punilah dosa-dosaku. Ya Allah, lindungi aku dari siksa-Mu pada hari para hamba-Mu dibangkitkan.
Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidup dan mati. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang memiliki keburukan serta dari kejahatan setiap yang melata. Engkaulah yang menggenggam ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus.
Ya Allah, Eng¬kaulah Yang Maha Pertama yang tidak didahului oleh sesuatu dan Engkau pula Yang Maha Terakhir yang tak ada sesuatu sesudah-Mu. Engkau Mahatampak, tak ada sesuatu di atas-Mu. Engkau Maha Tersembunyi, tak ada sesuatu di bawah-Mu. Bayarkanlah hutangku dan ang¬katlah aku dari kemiskinan.
Ya Allah, Engkau yang menciptakan diriku dan engkau pula yang mewafatkannya. Kematian dan kehidupannya ada pada kekuasaanMu. Jika engkau matikan diriku ini, maka ampunilah dia, dan jika engkau hidupkan, maka jagalah dia sebagaimana engkau menjaga para hamba-Mu yang saleh. Ya Allah aku meminta pada-Mu pengampunan dan ke¬selamatan di dunia dan akhirat.
Ya Allah, bangunkan aku dalam waktu terbaik menurutmu. Buatlah aku me-lakukan perbuatan-perbuatan yang paling Kau senangi sehingga hal itu akan mendekatkan diriku pada-Mu dan menjauhkannya dari murka-Mu setelah aku meminta pada-Mu. Setelah aku meminta pada-Mu, maka Engkau memberikannya, aku meminta ampunan pada-Mu maka Kau terima, dan aku berdoa pada-Mu maka Kau ka¬bulkan untukku."
Bismika rabbii wadha’tu janbii wabismika arofa’uhu faghfirlii dzanbii. Allahumma bismika ahya wa amuut wa a’udzubika allahumma min-syarri kulli dzii syarri. Wa min syarri kullidabbatin anta akhidzdzi binashiyatiha, inni rabbi ’alaa shirath mustaqiim. Allahumma antal wali falaiisa qablaka syai’in, wa antal akhirufalaisa ba’da katsi’in Wa antazhzhihiru falaisa fauqaka syai’in Wa antal bathinu falaisa duunaka syai’in Iqdhii ‘anniid dunya wa aghninii minal faqri. Allahumma antalkhalaqta nafsii wa anta tatawwafaha, laka mamatuha wa mahyaha, in amattaha faghfirlaha wa in ahyaitaha fahfazhha bimatahfazhu bihi ‘ibadakash shalihiin. Allahumma inni as ‘alukal ‘afwa wal ‘afiyata fiiddiin waddunya wal aakhirati. Allahummaaiqithnii fii ahabiissa ‘ati ilaika was ta’malnii bi ahabbil ‘amal ilaika hatta tuqarribanii ilaika zulfa wa tub ‘idanii ‘an sakhathika ba’da an as alakafatu’thiinii wa astaghfiraka fataghfirulii wa ad’uuka fatastajiibulii.

--Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul-Hidayah--