Rabu, 03 Juni 2015

HIKMAH 7

MELURUSKAN KIBLAT CINTA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan:
“Jika Allah telah memberi harta benda kepada engkau, lalu kau sibuk dengannya dan melupakan ketaatan kepada Allah SWT, maka Dia akan membuat penghalang antara engkau dan Dia dengan harta benda tersebut di dunia dan akhirat.  Boleh jadi, Allah SWT akan mencabut harta benda itu darimu, mengubah nasibmu dan membuatmu menjadi miskin karena engkau telah disibukkan dengan nikmat benda dan melupakan Dzat Yang Maha Memberi.
Namun, jika engkau sibuk dengan ketaatan kepada-Nya dan melupakan harta benda itu, Allah SWT akan menjadikannya sebagai pemberian, serta tak akan mengurangi sedikit pun dari harta itu.
Harta tersebut akan menjadi pelayanmu dan engkau akan menjadi pelayan bagi Rabbmu. Akhirnya, engkau pun akan hidup di dunia ini dalam keadaan berkecukupan dan dimanjakan oleh kebutuhan yang terpenuhi. Dan, di akhirat kelak akan diberikan kemuliaan dan ditempatkan di Surga Ma’wa bersama Shiddiqiin, syuhada dan orang-orang yang shaleh.”
----Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib.----

HADIS QUDSI UNTUK KEDAMAIAN HATI
Allah SWT berfirman, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aku, tiada sekutu bagi-Ku dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Ku. Barangsiapa yang tak rela dengan ketentuan-Ku, tidak sabar terhadap ujian-Ku, tidak mensyukuri nikmat-Ku, dan tidak puas dengan pemberian-Ku, maka hendaknya ia menyembah tuhan selain-Ku.
Barangsiapa yang sedih terhadap kehidupan dunianya, seolah-olah ia sedang murka kepada-Ku. Siapa yang mengeluh atas suatu musibah, berarti ia telah mengeluhkan-Ku. Siapa yang mendatangi orang kaya, lalu ia merendahkan diri karena kekayaannya, maka hilanglah dua pertiga agamanya.
Siapa yang memukul wajahnya karena kematian seseorang, seolah-olah ia telah mengambil tembok untuk memerangi-Ku. Siapa yang mematahkan kayu di atas kubur, seolah-olah ia telah menghancurkah Ka'bah-Ku dengan tangannya. Siapa yang tak peduli darimana ia mendapat makanan, maka Allah juga tak peduli dari pintu mana ia akan dimasukkan ke neraka Jahanam. Siapa yang tak bertambah agamanya, berarti ia merugi. Sedangakan orang yang merugi, mati adalah lebih baik baginya. Barangsiapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan mewariskan untuknya ilmu yang tidak ia ketahui. Serta siapa yang panjang angan-angan, maka amalnya tidak akan ikhlas."
--Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa'adah---
HADIS QUDSI TANDA CINTA
Allah Swt berfirman, “Wahai anak Adam, Aku tidak menciptakan kalian untuk memperbanyak jumlah kalian dari yang tadinya sedikit, tidak untuk berteman dengan kalian setelah tadinya kesepian, tidak untuk meminta bantuan kalian atas sesuatu yang Aku tidak mampu kerjakan, juga tidak untuk memetik manfaat dan menolak mudarat. 
Tapi, Aku menciptakan kalian agar kalian terus mengabdi kepada-Ku, agar banyak bersyukur kepada-Ku dan agar bertasbih kepada-Ku, baikpagi maupun petang. 
Wahai anak Adam! Seandainya generasi dahulu dan kemudian dari kalian, jin dan manusia, yang kecil dan yang besar, yang merdeka dan yang menjadi hamba, semuanya berkumpul untuk taat kepada-Ku, hal itu takkan menambah kerajaanku sedikit pun.
Siapa yang berjihad, sebenarnya ia berjihad untuk dirinya sendiri. Allah Mahakaya, tidak butuh atas seluruh isi alam. Wahai anak Adam! Engkau akan disakiti sebagaimana engkau menyakiti. Dan engkau akan diperlakukan sebagaimana engkau berbuat.” 
---Kitab Kimiya As-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali



MAKNA ZIKIR DAN PAHALANYA
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan Rasulullah Saw. bersabda, “Membaca, “Subhânallâh, Al-hamdulillâh, Lâ Ilâha Illallâh, Allâhu Akbar lebih aku cintai dari segala sesuatu yang tersinari matahari,” (HR Muslim).

Di samping mendapatkan pahala seperti mengurbankan 100 unta gemuk, membaca takbir juga bisa membuat kita mendapatkan pahala mengerjakan 10 kebaikan, sekaligus menghapus dosa 10 kesalahan. Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah Saw. bersabda, “Allah menyaring empat kalimat. Yaitu Subhânallâh, Al-hamdulillâh, Lâ Ilâha Illallâh, dan Allâhu Akbar. Orang yang membaca Subhânallâh, maka 20 kebaikan ditetapkan baginya, dan 20 keburukan dihapus darinya. Orang yang membaca Allâhu Akbar mendapatkan seperti itu juga. Orang yang membaca Lâ Ilâha Illallâh mendapatkan seperti itu juga. Dan orang membaca Alhamdulillâh rabbi-l-‘âlamin, maka 30 kebaikan ditetapkan untuknya, dan 30 kesalahan dihapus darinya,” (HR Ahmad dan Hakim).
Sebanarnya, yang dimaksud menghapus dosa 10 kesalahan dalam hadis ini adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar seperti durhaka kepada orangtua, mencuri, berzina, merampas hak orang lain, ingkar janji, korupsi, berbuat maksiat, dan lain sebaginya. Untuk dosa-dosa seperti ini, kita harus bertobat kepada Allah Swt. setelah meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Hal ini sudah diterangkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. “Salat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dan dari Ramadhan ke Ramadhan, semuanya melebur dosa di antara keduanya apabila dosa-dosa besar dihindari,” (HR Muslim).
Karena takbir bisa menghapus dosa-dosa kecil, bukan berarti lantas kita bisa seenaknya melakukan dosa yang tergolong kecil itu, seraya meyakini bahwa dosa itu akan terhapus dengan sendirinya jika kita rajin bertakbir memuji keagungan-Nya. Contohnya, kita membiarkan mata kita melihat hal-hal yang dilarang oleh agama, membiarkan telinga menyimak maksiat yang dapat menjauhkan kita dari-Nya, dan perkara-perkara lain yang kita anggap sepele.
Pahala dan dosa adalah urusan Tuhan secara mutlak. Boleh jadi, karena terlalu meremehkan dosa-dosa kecil dan keenakan melakukannya, dosa-dosa itu malah menumpuk sehingga tidak bisa dihapus dengan membaca kalimat takbir. Jadi, kendati Rasulullah Saw. sudah menerangkan keutamaan kalimat ini dalam melebur dosa, hal itu bukan berarti angin segar bagi kita untuk larut dan terlena dalam buaian dosa! Apa pun alasannya dosa dan kesalahan harus dihindari sekuat tenaga.
Manfaat takbir dan kalimat zikir lainnya tidak hanya berlaku di dunia, tapi juga di akhirat. Rasulullah Saw. menegaskan bahwa tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil bisa membuat seseorang terhindar dari neraka. Ia ibarat tameng yang melindungi pembacanya dari sergapan siksa yang sangat pedih. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan Rasulullah Saw. bersabda, “Ambillah tameng kalian.” “Rasulullah, tameng dari musuh yang telah tiba?” tanya sahabat. “Tidak, tetapi tameng dari neraka. Bacalah Subhânallâh, Al-hamdulillâh, Lâ Ilâha Illallâh, dan Allâhu Akbar, karena kalimat-kalimat ini akan datang pada Hari Kiamat sebagai penyelamat dan penuntun,” (HR Hakim dan Nasa’i).
Adakah musuh yang lebih menakutkan bagi seorang Muslim dari api neraka? Adakah kecelakaan yang lebih menyedihkan dari siksaan yang harus diterima dalam neraka? Sejarah sudah membuktikan bahwa kaum Muslimin sedikit pun tidak pernah gentar dengan musuh yang tampak; yaitu orang-orang kafir. Sebaliknya, musuh yang seperti itu dijadikan hiburan untuk meraih surga dan terhindar dari api neraka. Di medan Badar misalnya, kaum Muslimin yang hanya berjumlah 300 orang tidak lari ketika harus menghadapi musuh yang tiga kali lipat lebih banyak. Beragam siksaan fisik yang harus dialami kaum Muslimin di dunia juga sedikit pun tidak mengubah pendirian mereka. Ada Bilal bin Rabah yang dipanggang di bawah terik matahari Mekah dan masih ditindih dengan batu oleh majikannya supaya dia meninggalkan agama Islam.
----Dikutip dari Buku Zikir Setelah Shalat, Luqman Junaedi, Hikmah, Mizan.

KEMANA ROH SAAT KITA MATI?

Ketika roh dicabut, ia berada dalam satu dari dua kemungkinan. Roh orang yang beriman akan berbahagia. Para malaikat akan mengangkat dan membawanya menemui Tuhannya, bersama roh kaum beriman lainnya. Kemudian, Allah menanyai roh itu satu per satu, kemudian bertitah kepada para malaikat, “Bawalah roh-roh ini dan perlihatkan tempat tinggalnya di surga.” Lalu, para malaikat itu menerbangkan mereka ke surga selama mayatnya dimandikan. Setelah dimandikan dan dikafani, roh itu dikembalikan dan dimasukkan di antara kain kafan dan jasadnya. Ketika jenazahnya dibawa di atas keranda mayat, ia dapat mendengar pembicaraan manusia, baik yang membicarakan kebaikan maupun keburukan.
Rasulullah Saw bersabda, “Ketika jenazah dibawa di atas keranda, rohnya akan menggeliat. Lalu ia berkata, “Wahai keluargaku, wahai anakku. Janganlah diperdaya dunia seperti aku telah diperdayanya. Aku telah mengumpulkan harta dari sumber yang halal dan yang tidak halal. Kemudian aku meninggalkan semua harta itu, sementara dosanya tetap mengikutiku. Karena itu, waspadalah terhadap apa yang menimpaku.” (HR Ibn Abi Dunya dala kitab Al-Qubur dan Ad-Dailami dalam Zuhrah Al-Firdaus )
--Manazil Al-Arwah karya Ibn Sulaiman al-Hanafi


CARA MENGHADAPI KEMATIAN

Dalam kitab Al-Bidâyah, Ibnu Katsir bercerita bahwa Umar bin Abdul Azis melewati kuburan seraya berkata, "Wahai maut, apa yang engkau lakukan pada orang-orang yang aku cintai? Di mana engkau sembunyikan orang-orang yang aku sayangi, saudara, teman, serta kerabatku? Wahai maut, apa yang telah engkau perbuat terhadap mereka?"
Saat itu, suasana sangat hening, karena tak ada yang menjawab ratapannya. "Tahukah kalian apa yang dikatakan maut?" tanya Umar pada kesempatan lain sambil menangis. "Tidak!" jawab orang-orang disekitarnya. "Maut berkata, 'Aku lumat kedua mata, butakan pandangan, aku lepas kedua telapak dari hasta, aku tarik kedua hasta dari pangkal lengan, dan aku pisahkan kedua pangkal lengan dari pundak."
Bagi orang yang beriman, kematian tidaklah menyurutkan langkahnya untuk terus-menerus mengingat Allah. Mereka tidak akan lari darinya, tapi mereka justru menyiapkan dirinya dengan bekal keimanan dan baju ketakwaan saat menghadapi Malaikat Maut. 
Mereka hampir tak pernah melalaikan maut, karena fase itu merupakan fase yang harus dilalui oleh setiap insan dan pasti akan menimpa setiap mahluk-Nya, sebagiamana firman-Nya: "Tiap-tiap (yang berjiwa) pasti akan merasakan mati. Sesungguhnya kamu akan diberi pahala yang sempurna pada Hari Kiamat. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh ia sangat beruntung. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu," (QS Ali-'Imran [3]: 185).
Salah satu cara mengingat kematian adalah melakukan ziarah kubur. Dulu memang Rasulullah SAW pernah melarang umatnya melakukan ziarah kubur, namun kemudian larangan itu dicabut. Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku melarang kalian ziarah ke kuburan. Sekarang, silahkan kalian melakukannya! Sebab, hal itu dapat mengingatkan kalian pada kematian," (Al-Hadis).
Ibnu Umar r.a. menuturkan, “Saya pernah menemui Rasulullah Saw. yang sedang dikelilingi sekelompok orang. Seseorang dari kaum Anshar bertanya, 'Siapakah orang yang paling bijak dan paling mulia, ya Rasulullah?' Rasulullah Saw. menjawab, ”Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling tekun melakukan persiapan untuk Akhirat. Mereka itulah orang yang bijak yang memperoleh kemuliaan dunia dan keagungan Akhirat.”
Cara serupa juga sering kali dilakukan oleh Sayidina Usman bin Affan r.a. Adalah Hani’, salah seorang hamba sahaya beliau bercerita, bahwa Usman sering berdiri seorang diri di atas kuburan sambil menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Ketika ingat surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi ketika ingat kuburan engkau menangis.”
Usman ra mengatakan, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kuburan merupakan salah satu tempat tinggal Akhirat yang pertama. Jika selamat darinya, maka setelahnya akan lebih mudah darinya. Tetapi jika tidak selamat darinya, maka setelahnya akan lebih parah dan pedih darinya.”
----Dikutip dari buku Sebening Mata Hati karya Asfa Davy Bya, Hikmah, Mizan.

MENGHADAPI MUSIBAH DAN KESULITAN HIDUP 
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Untuk mengatasi kendala yang disebabkan oleh musibah dan kesulitan hidup yang menimpa, cukup bagimu untuk bersabar. Bersabarlah dalam semua ikhwal kehidupan!
Pentingnya bersabar didorong oleh dua alasan:
Pertama, agar sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab, fondasi ibadah adalah kesabaran dan tahan terhadap berbagai kesulitan hidup. Siapa yang tak mampu bersabar, maka dia tidak akan sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala pasti menghadapi berbagai kesukaran hidup, ujian dan musibah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
1)    Setiap bentuk ibadah dan ketaatan itu sendiri mengandung berbagai kesukaran. Tak ada ibadah yang dilakukan tanpa menekan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu selalu berusaha mencegah seseorang untuk beribadah dan taat kepada Allah.
2)     Setelah mengerjakan kebaikan dengan susah payah, seorang hamba harus berhati-hati menjaganya, agar ibadahnya itu tidak rusak. Karena, istikamah dan menjaga amal ibadah itu lebih sukar daripada mengerjakan amal pada kali pertama.
3)    Dunia ini tempat ujian, maka siapa saja yang berada di dalamnya pasti akan mendapat ujian dengan berbagai kesulitan dan musibah.
4)    Orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia itu akan mengalami cobaan yang lebih parah dan lebih banyak. Semakin ia dekat kepada Allah, maka musibah dan ujian dunia akan lebih banyak dan lebih keras menerpanya. Sebagaimana sabda Rasul, “Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para ulama, kemudian orang yang terbaik dan kemudian orang yang terbaik di bawahnya.” Allah SWT berfirman, “Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan (juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian serta dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak, yang akan menyakitkan hati,”(QS Ali Imran: 186). Maka persiapkan diri kalian karena pasti kalian akan mengalami banyak ujian!
Kedua, karena di dalam kesabaran terkandung nilai kebaikan dunia dan akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan kesuksesan. Siapa yang bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan menjadikan jalan keluar bagi hamba tersebut dari berbagai bentuk kesukaran yang menimpanya. Keuntungan lain yang diperoleh dari sikap sabar adalah ia akan lebih mudah untuk diterima menjadi pemimpin ataupun pembimbing di masyarakat luas.
Allah juga berfirman, “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Huud: 49) Allah berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yangmemberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabdar,” (QS As-Sajdah: 24)
Sesorang yang bersabar juga akan memperoleh kabar gembira, doa dan rahmat dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun/ sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 155-156)
Orang yang bersabar akan mendapat pujian khusus dari Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Ayyub. Mereka yang bersabar juga akan sangat dicintai Allah Azza wa Jalla. “Allah mencintai orang-orang yang bersabar,” (QS Ali Imran: 146). Mereka akan hidup dalam kemuliaan yang besar di sisi Allah, mendapat pahala yang berlimpah, tak terbatas dan di luar yang dibayangkan oleh manusia. 
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahala mereka tanpa batas, “ (QS Az-Zumar: 10)
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang mampu bersabar! Setelah mengetahui kebaikan dan manfaat dari sabar ini, maka tanamkanlah kebaikan sabar itu dalam kalbumu! Cobalah dengan keras untuk bisa memiliki sifat mulia ini sehingga kalian menjadi orang yang sukses (beruntung). Semoga Allah SWT memberi kalian taufik.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidiin

NASIHAT LUQMAN AL-HAKIM UNTUK ANAKNYA
Anakku, jangan sampai ayam itu lebih cerdas daripada kamu ketika ia berkokok di waktu sahur dan engkau masih tertidur pulas.
Sungguh tepat dan bagus orang yang menyenandungkan syair ini:
Seekor merpati di halaman berkicau di ujung malam
Sementara aku disini masih tertidur
Demi rumah Allah
Aku telah berdusta jika mengatakan sebagai perindu Allah
Kala merpati-merpati itu selalu mendahuliku menangis
Aku pikir, aku ini seorang Pecinta Berat Tuhanku
Namun aku tidak menangis
Anakku, inti dari ilmu adalah ketika kamu tahu apa itu ketaatan dan ibadah.
---Majmu’ah Rasail Al-Imam Al-Ghazali

QASIDAH CINTA PARA PECINTA
Dikisahkan bahwa Nabi Dawud a.s. diperintahkan oleh Allah SWT untuk menemui 14 orang suci di Gunung Libanon. Mereka adalah para pencinta Allah sejati. Mereka terdiri dari anak muda, orang setengah baya dan orang tua. Nabi Dawud diutus untuk memberi kabar gembira kepada mereka.
“Kalau sudah sampai disana, sampaikan salam-Ku kepada mereka, ‘Tuhan kalian mengucapkan salam untuk kalian.’ Katakan juga pesan-Ku, ‘Apakah kalian tidak meminta sesuatu? Kalian adalah para pecinta-Ku, para sahabat-Ku, dan para kekesih-Ku. Aku senang jika kalian senang. Aku pun segera mencintai kalian!”
Nabi Dawud a.s. pun datang menemui mereka. Beliau menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada mereka saat berjumpa. Setiap mata mereka terlihat larut dalam perenungan tentang kebesaran Allah Azza wa Jalla. Tapi, begitu melihat ada yang datang, mereka bangkit hendak meninggalkan Nabi Dawud. Maka, beliau langsung berkata, “Aku adalah utusan Allah untuk kalian. Aku datang untuk menyampaikan risalah Rabb kalian.”
Mereka lalu menghampirinya, mengarahkan pendengaran kepadanya, dan menurunkan pandangan ke bumi. Nabi Dawud pun bersabda, “Aku utusan Allah untuk kalian. Dia menitipkan salam untuk kalian dan menanyakanm ‘Apakah kalian tidak meminta sesuatu yang kalian butuhkan? Apakah kalian tidak meminta kepada-Ku? Aku pasti mendengarkan suara dan ucapan kalian, karena kalian adalah para pecinta-Ku, para sahabat-Ku, dan para kekasih-Ku. Aku senang jika kalian senang. Aku pun segera mencintai kalian. Setiap saat aku memperhatikan kalian, perhatian-Ku persis seperti perhatian seorang ibu yang penuh kelembutan pada anaknya.”
Mendengar hal tersebut, bulir-bulir airmata mengalir deras di pipi mereka. Salah seorang dari mereka yang telah berusia tua berkata: “Mahasuci Engkau! Mahasuci Engkau! Kami ini hanyalah hamba-Mu yang kecil dari keturunan hamba-Mu yang juga kecil. Ampunilah kami. Kami lalui umur kami dengan hati mengingat-Mu tak henti-hentinya.”
“Mahasuci Engkau! Mahasuci Engkau! Kami ini hanyalah hamba-Mu yang kecil dari keturunan hamba-Mu yang juga kecil. Apakah kami harus lancang berdoa, sementara Engkau tahu kami sama sekali tidak memerlukan apa-apa. Abadikan kami untuk menapaki jalan menuju kepada-Mu dan sempurnakanlah karunia itu kepada kami,” ucap salah seorang dari mereka.
“Kami begitu kerdil untuk mencari ridha-Mu. Maka, berikanlah pertolongan kepada kami dengan kemurahan-Mu,” ucap yang lain lagi.
“Dari air mani Engkau ciptakan kami. Engkau beri kami anugerah berpikir tentang kebesaran-Mu. Apakah orang yang sibuk dengan kebesaran-Mu dan berpikir tentang keagungan-Mu masih bisa lancang berbicara? Bukankah Engkau meminta kami untuk mendekati cahaya-Mu?” sahut yang lain.
“Lidah kami kelu untuk berdoa kepada-Mu, lantaran keagungan dan kedekatan-Mu pada para kekasih-Mu, karena begitu melimpah karunia-Mu kepada para pecinta-Mu,” kata yang lainnya lagi.
“Engkaulah yang telah menunjukkan hati kami untuk selalu mengingat-Mu. Engkau telah meluangkan waktu kami untuk menyibukkan diri bersama-Mu. Karena itu, ampunilah kami yang tak pandai bersyukur kepada-Mu.”
“Sungguh, Engkau telah mengetahui apa yang kami butuhkan. Kebutuhan itu tak lain hanyalah memandang wajah-Mu.”
“Bagaimana mungkin seorang budak dapat berbuat lancang kepada Tuannya? Tapi, jika Engkau perintahkan kami untuk berdoa, maka dengan kemurahan-Mu berilah kami cahaya dari lapisan-lapisan langit,” kata yang lainnya lagi.
“Kami mohon kepada-Mu sempurnakanlah nikmat-nikmat-Mu. Nikmat-nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada kami dan telah Engkau utamakan kami dengan nikmat-nikmat itu.”
“Kami tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Mu. Berikanlah anugerah memandang keindahan wajah-Mu.”
“Aku memohon kepada-Mu, butakanlah mata kami untuk memandang dunia dan penghuninya. Butakan juga hati kami untuk menyibukkan diri dengan akhirat. Sungguh, aku tahu Engau Mahabaik dan Mahatinggi. Engkau mencintai para kekasih-Ku. Maka, berilah kami anugerah untuk menyibukkan hati kami dengan Engkau semata dan tak sedikit pun disibukkan oleh selain Engkau.”
Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud a.s. “Katakan kepada mereka, ‘Aku sudah mendengar apa yang kalian ucapkan. Aku telah mengabulkan semua yang kalian inginkan. Sekarang, tinggalkan kawan kalian! Menyendirilah! Sebab, Aku akan menyingkapkan tirai antara Aku dengan kalian sehingga kalian dapat memandang cahaya dan keagungan-Ku.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-syauq wa al-uns wa ar-ridha

TENTANG NUR MUHAMMAD [1]
Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir Al-Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36 saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”. [1] Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwir Al-Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat. 
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini. Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’ sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam kitabnya “Ta’jil Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3] Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.
Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa Al-‘Uyun, Marah Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu Abdi As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li Ibni Adil, dan Tafsir As-Siraj Al-Munir—yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8 surah Ash-Shaff, sebagai berikut:

حكاه عطاء عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطأ عليه الوحي أربعين يوماً، فقال كعب بن الأشرف يا معشر اليهود ابشروا فقد أطفأ الله نور محمد فيما كان ينزل عليه، وما كان الله ليتم أمره

Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4] Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang kafir membencinya.”
Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad.
Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad atau Ruh Muhammad,

كُنْتُ أَوَّلُ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ

“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”
Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita tidak menakwilkan hadis di atas dengan memahami secara literlek bahwa memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan, selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana? Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadits seperti Tamam dalam “Al-Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dala’il, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya. Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’da’u as-sunnah (orang-orang tasawuf musuhnya sunah).”

TENTANG NUR MUHAMMAD [2]
Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadis di atas meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits, tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadis tersebut, 

كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.” Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tarikh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai berikut, 

حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتُ نَبِيًّا؟ قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.

Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan hadis berikut, 

مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ

“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi SAW, 
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا

“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)
Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada beberapa hadis lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara literlek lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis, khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang mengharuskan adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.
Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadis. Sungguh tidak sopan, diluar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti hadis. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadis. Mereka tidak bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW. 
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-qalam” dalam hadis sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadis Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut, 
حدثنا أحمد بن علي بن العلاء وأبو بكر محمد بن محمود السراج قال حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام العجلي قال حدثنا المعتمر بن سليمان قال حدثنا عصمة أبو عاصم عن عطاء بن السائب عن مقسم عن ابن عباس قال إن أول ما خلق الله عز وجل القلم فخلقه عن هجاء فقال قلم فتصور قلما من نور ظله ما بين السماء والأرض فقال اجر في اللوح المحفوظ (رواه الآجري(

Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat. Wallahu A’lam.

Foot Note
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296. 
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385. 
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568. 
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530. 
Semoga bermanfaat!

BELAJAR MAKRIFAT DARI ASMA ALLAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Makrifat adalah hasil dari asma-asma tauhid. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إِنَّ لِلهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعِيْنَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ(رواه الترمذي) 
“Allah memiliki 99 nama. Orang yang menguasainya akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi)
Beliau juga bersabda, “Belajar itu sebanding dengan satu huruf, sedang mengulang-ulangnya (dalam zikir) sebanding dengan 1000 huruf.” 
Yang dimaksud dengan, “Ihsha’” atau menghitung (al-asmâ’ al-husnâ) pada hadis di atas adalah menerapkan substansi al-asmâ’ al-husnâ itu ke dalam diri dan berakhlak sesuai dengan akhlak yang terkandung dalam al-asmâ’ al-husnâ. Dua belas asma Allah yang disebut di atas merupakan sumber dari seluruh asma Allah. Jumlahnya yang 12 itu, sesuai dengan jumlah huruf dalam kalimat “Lâ Ilâha Illallâh”. 
Oleh karena itu, Allah SWT juga menetapkan tiap satu huruf dari 12 huruf (dalam kalimat “Lâ ilâha illâllâh) itu satu asma-Nya bagi fase-fase perjalanan hati. Dan, pada tiap alam (yang berjumlah 4) Allah SWT menetapkan tiga asma-Nya. Allah menetapkan asma-asma tersebut pada hati orang-orang yang cinta kepada Allah SWT (al-muhibbûn). Sebagaimana firman Allah SWT, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrâhîm [14]: 27)
Lalu, Allah menurunkan ketenangan dalam berhubungan dengan-Nya. Kemudian, dalam hati mereka Allah menumbuhkan pohon tauhid yang akarnya tertancap di tujuh lapis bumi hingga yang paling dasar, sedangkan cabangnya menjulang ke langit saf tujuh hingga di atas ‘Arsy. Sebagaimana firman Allah SWT, “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit,” (QS. Ibrâhîm [14]: 24) 
Keuntungan dari penggalian potensi Ruh Ruhani adalah hidupnya kalbu dan musyâhadah di Alam Malakut, seperti menyaksikan surga, penduduknya, cahayanya dan malaikat-malaikatnya. Keuntungan lainnya adalah mudahnya melafadzkan Asmâ’ al-Batin dengan lisan batin, tanpa suara dan huruf.”


“Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan dzikir tak berkesudahan mencerminkan suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia harus memusnahkan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah. Namun, pemuasan hasrat tubuh tersebut harus dibatasi dengan ketat.”

MENGENALI WANGI AROMA PARA WALI
Sayyid Yahya bin Mu’adz Ar-Razi mengatakan, “Wali adalah wewangian Allah di bumi. Tidak ada yang mampu mengenali aromnya kecuali orang-orang yang bergelar ash-shiddiqûn.” 
اَلْوَلِيُّ رَيْحَانُ اللهِ تَعَالَى فِيْ أَرْضِهِ، يَشُمُهُ الصِّدِّيْقُوْنَ
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Bagi ash-shiddiqûn, aroma wangi sang wali akan tercium hingga lubuk hatinya. Aroma itu lantas menimbulkan gairah rindu mereka pada Tuhannya. Sehingga, ibadahnya semakin meningkat menurut kadar dan derajat akhlak dan kefanaan mereka. Ini karena, makin tinggi qurbah-nya makin bertambah pula fananya. 
Dan, wali adalah orang yang ada dalam keadaan fana dan selalu musyâhadah kepada Allah. Bahkan, dirinya tidak punya kemampuan memilih dan tidak ada “tempat” yang tenang baginya selain Allah. Mereka adalah orang-orang yang diperkuat dengan karamah, tetapi mereka sendiri “tertutup” dari karamah karena tidak diberi izin untuk menjelaskannya. Sebab menjelaskan rahasia ketuhanan adalah kufur.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar, terjmh KH Zezen ZA Bazul Asyhab, wakil talqin Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya.

BERITA TENTANG ALAM KUBUR DARI ORANG SALEH
Seorang saleh telah bermimpi berjumpa Imam Sofyan Ats-Tsauri, setelah ulama besar ini meninggal dunia. Dalam mimpinya, orang saleh ini bertanya kepada Sofyan, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdullah?”
Tapi, Sofyan Ats-Tsauri berpaling darinya dan berkata, “Ini bukan masanya lagi memanggilku dengan nama panggilan seperti itu (panggilan ‘Abu’).” Lalu, aku mengubah pertanyaanku, “Bagaimana keadaanmu, wahai Sofyan Ats-Tsauri?”
Lalu, Imam Sofyan Ats-Tsauri menjawab dengan bersyair:
“Aku melihat Rabb-ku dengan mataku, lalu Dia berfirman: ‘Bersenang-senanglah dengan keridhan-Ku terhadapmu wahai Abu Said. Engkau bangun ketika malam telah gelap. Dengan air mata kerinduan dan hati yang pasrah. Maka, pilihlah istana mana yang engkau mau, dan kunjungi Aku, karena AKu tidak jauh darimu.”
Orang saleh lain menuturkan, “Aku memiliki seorang anak yang mati syahid, namun aku tidak pernah memimpikannya. Hingga pada suatu malam saat Khalifaah Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, maka aku bermimpi berjumpa anakku.
“Hai anakku, bukankah kau sudah mati?” tanyaku.
“Tidak ayah! Aku belum mati. Aku telah syahid. Aku hidup di sisi Allah , dan Dia memberiku rezeki,” jawabnya.
“Lalu, kenapa sekarang engkau datang?” tanyaku lagi.
“Telah diumumkan kepada seluruh penduduk surga, agar seluruh orang jujur dan para syahid ikut menshalatkan jenazah Umar bin Abdul ‘Aziz,” jawab anakku.
Maka, aku pun bergegas datang untuk ikut menshalatkan jenazah Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu. Lalu, aku datang kepada kalian untuk mengucapkan salam.”
Hisyam bin Hasan menuturkan, “Anakku telah meninggal ketika masih bayi. Kemudian aku melihatnya dalam mimpi. Tapi, dalam mimpi itu dia telah beruban. Aku bertanya, ‘Wahai anakku, kenapa engkau jadi beruban?”
“Ketika si fulan datang kepada kami, seketika Nereka Jahanam mengeluarkan bunyi dentuman yang sangat keras, hingga setiap yang mendengar menjadi beruban (karena takutnya),” jawabnya.
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhajul ‘Abidin

TANDA CINTA ALLAH UNTUK PARA PECINTA
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, menuturkan bahwa Harm Ibn Hayyan mengatakan, “Ketika seorang Mukmin mengenal Rabb-nya, pasti ia akan mencintai-Nya. Ketika sudah mencintai-Nya, dia pasti akan datang menghadap kepada-Nya. Ketika merasakan manisnya menghadap kepada-Nya, dia pasti tidak akan memandang dunia dengan nafsu dan memandang akhirat dengan berbunga-bunga. Sungguh, hidup di dunia sangat melalahkan, tetapi di akhirat begitu menyenangkan.”
Abdullah bin Muhammad bertutur, “Aku pernah mendengar seorang wanita ahli ibadah berkata dalam isak tangis dan air mata bercucuran di pipinya, “Demi Allah, aku sudah bosan hidup. Andai maut diperjual-belikan, pasti sudah aku beli, demi cinta dan kerinduanku bertemu dengan-Nya.” Lalu, aku bertanya, “Mengapa engkau begitu percaya dengan amalmu?” Maka kemudia dia menjawab, “Tidak. Sungguh aku hanya mencintai-Nya dan berbaik sangka kepada-Nya. Aku biarkan Dia menyiksaku, yang penting aku mencintai-Nya.”
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Jika saja orang yang merenungkan Aku itu tahu, betapa Aku menunggu kedatangan mereka, betapa Aku selalu menemani mereka, dan betapa Aku rindu untuk menyingkirkan kemaksiatan dari mereka, maka pastilah mereka akan mati karena rindu bertemu Aku. Tulang belulang mereka pasti terpotong-potong karena kecintaan mereka kepada-Ku. Wahai Dawud, inilah kehendak-Ku kepada orang-orang yang merenungkan Aku. Bayangkan, bagaimana kehendak-Ku kepada orang-orang yang merenungkan Aku? Wahai Dawud, sesuatu yang paling Aku sayangi pada hamba-Ku adalah ketika ia merenungkan Aku. Dan, sesuatu yang paling besar bagiku adalah ketika ia kembali kepada-Ku.”
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin

UNGKAPAN CINTA PARA PECINTA
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, menuturkan:
“Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Adam a.s., “Wahai Adam, siapa yang mencintai Sang Kekasih, maka dia pasti membenarkan apa yang diucapkan-Nya. Siapa yang merasa damai bersama Sang Kekasih, maka dia pasti ridha terhadap apa pun yang dilakukan Sang Kekasih. Siapa yang benar-benar merindukan-Nya, maka dia pasti akan berjalan menemui-Nya tanpa kenal lelah.”
Al-Khawash r.a. memukul-mukul dadanya dan berkata, “Alangkah rindunya hati ini kepada Dzat yang melihatku, tetapi aku tak melihat-Nya.”
Imam Al-Junaed r.a. bertutur, “Nabi Yunus a.s. menangis hingga buta, berdiri hingga doyong dan bershalat sampat terduduk, seraya berkata, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, andaikan saja antara aku dan Engkau terbentang lautan api, maka pasti kulewati demi kerinduanku kepada-Mu.”
Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menuturkan, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sunnah beliau. Beliau menjawab, “Makrifat adalah harta kekayaanku, akal adalah pangkal agamaku, cinta adalah asasku, kerinduan adalah kendaraanku, dzikir mengingat Allah adalah kedamaianku, kepeecayaan adalah harta simpananku, kesedihan adalah sahabatku, ilmu adalah senjataku, kesabaran adalah selendangku, ridha adalah harta rampasan perangku, kelemahan adalah kebanggaanku, zuhud adalah mata pencaharianku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan adalah kecintaanku, perjuangan adalah akhlakku, dan puncak kesenanganku adalah shalat.” (HR Qadhi Iyadh melalui jalur Ali bin Abi Thalib)”
--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin.

WASIAT IBN ‘ARABI
“Pergaulilah orang-orang yang disifati Allah dalam kitab-Nya sebagai ahli takwa yang berada di jalan tengah. Mudah-mudahan engkau naik ke kerajaan langit. Jadilah engkau teman duduk orang-orang yang berbuat kebaikan, dan bersikap ramah kepada orang-orang yang baik demi keamanan di tempat istirahat (al-maqil). Jika engkau berketetapan hati dalam ketakwaan kepada Allah, maka yang demikian itu adalah keselamatan bagi sisa umurmu.
Bekalilah di dunia untuk kehidupan akhirat dan di jalan menuju kehidupan akhirat. Maka sebaik-baik bekal adalah ketakwaan, bersegeralah kepada kebaikan, berusaha mencapai derajat (yang tinggi) sebelum habis umur dan mendekatnya ajal serta kematian.”
---Ibn ‘Arabi, Al-Wushaya li Ibn ‘Arabi

NASIHAT IBN ATHA’ILLAH TENTANG REZEKI
“Alangkah banyaknya sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu!Jika engkau mau mengamati dengan seksama maka pasti akan tampak. Dan, hal yang paling berbahaya adalah dosa keraguan kepada Allah SWT. Sebab, ragu terhadap rezeki berarti ragu terhadap Dzat Sang Pemberi rezeki. Dan sesungguhnya, dunia ini terlalu hina untuk kau risaukan!
Jika engkau mempunyai perhatian tinggi pastilah engkau akan merisaukan sesuatu yang lebih besar, yaitu masalah akhirat. Orang yang merisaukan hal-hal yang kecil, lalu melupakan sesuatu yang lebih besar, maka berarti dia adalah orang yang paling bodoh.
Karena itu, kerjakanlah kewajiba untuk melaksanakan ibadah dan semua perintah Allah. Dia pun akan menjalankan apa yang menjadi kewajiban-Nya untukmu. Jika kumbang, cicak-tokek, dan cacing saja diberi rezeki oleh Allah, apa mungkin engkau akan dilupakan?
Allah SWT berfirman, “Suruhlah keluargamu untuk shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak menuntut rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki. Balasan yang baik akan diberikan kepada orang yang bertakwa.” (QS Tha Ha: 132)
Jika engkau melihat ada orang yang risau karena rezeki, maka ketahuilah bahwa sebenarnya dia jauh dari Allah. Seandainya ada yang berkata kepadamu, “Besok kamu tak perlu kerja! Cukup kamu kerjakan ini saja! Saya akan memberimu Rp 2 juta,” pastilah engkau akan percaya dan mematuhi perintahnya. Padahal, dia itu makhluk yang fakir, tak bisa memberi manfaat atau madarat. Lalu, mengapa engkau merasa cukup dengan Allah Yang Mahakaya dan Mahamulia, yang menjamin rezekimu sepanjang hidup?
Allah SWT berfirman, “Tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lawh Mahfuzh).” (QS Hud [11]: 6)
 ---Ibnu Atha’illah dalam Bahjat An-Nufus
MENJALIN HUBUNGAN DENGAN ALLAH
Seorang shaleh pernah berwasiat kepada seseorang, “Berhati-hatilah engkau agar tidak terputus dari-Nya. (Karena jika engkau terputus dari-Nya), maka engkau akan tertipu.” Orang itu bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”
Orang yang shaleh itu menjawab, “Karena, orang yang tertipu adalah orang yang memandang anugerah-Nya saja, Ia terputus dan tak bisa memandang-Nya. Manusia terikat dengan kesenangan dunia, sedangkan orang-orang tulus dan benar (Shiddiqin) terikat dengan Pemberi anugerah.”
Selanjutnya, seorang shaleh iu berkata, “Tanda terikatnya hati mereka dengan anugerah-Nya adalah permohonan mereka kepada anugerah-Nya. Dan, di antara tanda-tanda terikatnya kalbu orang-orang yang tulus dan benar (Shiddiqin) dengan Pemberi anugerah ialah bahwa anugerah tercurah kepada mereka, tetapi mereka justru melupakannya. Jadikanlah sandaranmu kepada Allah di dalam keadaan itu, dan bukan atas keadaan itu. Pahamilah, kerena itu ini termasuk tauhid pilihan.”
---Syekh Ibn ‘Arabi dalam Al-Washaya

SARAPAN PAGI BAGI JIWAMU
Imam Al-Ghazali mengatakan: "Siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah SAW ketika beliau bersabda,"Shalatlah seperti shalatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia)." 
Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang menyadari dalam setiap shalatnya bahwa shalat yang ia kerjakan merupakan shalat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnya tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya ridha dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia."

--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul-Hidayah

PESAN SYEKH IBNU ‘ARABI TENTANG CAHAYA ILAHI

Syekh Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa beberapa orang datang kepada Khalifah Usman r.a. dan bertanya, “Apakah ada manusia setelah pemimpin kita Rasulullah SAW yang menerima wahyu dari Allah?”
Khalifah Usman r.a. pun menjawab, “Ketahuilah bahwa tak seorang pun akan menerima wahyu langsung dari Allah seperti yang beliau (Rasulullah) alami—tetapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Berhati-hatilah terhadap firasat orang yang beriman, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.’” Dan, dia berkata kepada orang itu, “Kulihat sinar cahaya Ilahi itu dalam matamu sendiri.”
Sinar cahaya Ilahi ini, menurut Syekh Ibnu ‘Arabi, dikaruniakan Allah kepada sebagian orang beruntung tapi yang imannya masih lemah, tujuannya agar hati mereka diperkuat dan didekatkan kepada Tuhan mereka. Namun, sinar ini tak akan tampak, kecuali ia dilindungi dan dilestarikan oleh ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka, dengarkanlah apa yang Allah firmankan kepadamu di dalam Al-Quran. Carilah di dalamnya arah bagi perbuatan dan cintamu. Hatimu akan berdegup karena cinta itu jika engkau beriman kepada apa yang kau dengar, dan membuktikannya dengan perbuatanmu.
Jika imanmu lemah dan kau lupa kepada Tuhan, berpegalah kepada tanda-tanda yang telah Allah letakkan di dalam segala sesuatu yang ada di sekitarmu untuk mengingatkan dirimu kepada-Nya. Maka, dengan penegasan dan bukti atas kebenaran tanda-tanda itu,yang diajarkan agamamu, hatimu akan menemukan kekuatan, dan imanmu akan semakin kokoh.
Lalu, jika engkau mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan di sekelilingmu, namun tidak memahami maknanya karena kau kurang melaksanakan latihan batin, maka akibatnya kau mungkin disalahkan (orang lain), bahkan oleh dirimu sendiri, karena yang kau lihat hanyalah sihir atau ilusi belaka.
Ingatlah bahwa alat penglihatan kita adalah bashirah, mata batin—dan tanda orang yang memiliki mata batin ini adalah bahwa perilaku dan akhlak yang indah terungkap dalam perbuatannya. Perbuatan ini merupakan buah dari pemahaman dan pengetahuannya.
Memikirkan tentang makna batin atau spiritualitas dengan Allah mempengaruhi indera dan menajamkan kepekaan, yang memampukan orang untuk melihat berbagai alam gaib. Kaum materialis menolak kemampuan semacam ini. Banyak di antara mereka tidak percaya hal ini. Tetapi, sebenarnya ia merupakan sebuah ilmu yang tak ubahnya seperti ilmu yang lain, yang bergantung pada latihan (riyadhah), percobaan, dan usaha yang terus menerus (mujahadah). Ia merupakan pengetahuan yang diawali dengan iman dan bergantung pada iman. Dan, kebahagiaan yang diperoleh oleh seseorang dari penglihatan sekilas atas kebenaran, yang dimungkinkan oleh firasat bawaan, karunia Allah, yang dimiliki setiap orang.
Orang yang melihat dengan mata batin ini berarti melihat dengan cahaya Tuhan. Cahaya Tuhan hanya mengungkapkan kebenaran saja. Kenyataan ini, dan pengakuan atasanya, hanya terungkapkan jika firasat bawaan dilengkapi dengan hukum-hukum agama.
Semoga bermanfaat!
--Syekh Ibnu ‘Arabi dalam Kitab Tadbirat al-Ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyah.

PERUMPAMAAN HATI MANUSIA
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Hati manusia lebih bergolak daripada kuali yang sedang mendidih di atas api.’ (HR Ahmad dan Al-Hakim) Betapa banyak manusia yang kadang-kadang hatinya menyatu dengan Allah, tetapi sebentar kemudian berpisah. Betapa banyak yang menghabiskan malam dalam ketaatan kepada Allah, tetapi ketika matahari terbit, ia tak ingat lagi kepada-Nya. Hati sama seperti mata. Bukan keseluruhan mata yang bisa melihat, melainkan sebagian lensanya saja. Begitu juga dengan keadaan hati. Jadi, bagian hati yang memandang bukanlah bagian lahiriahnya yang berupa gumpalan daging, melainkan unsur lembut yang Allah letakkan di dalamnya. Unsur itulah yang bisa memandang dan menangkap.
Allah sengaja menempatkan hati bergantung kepada dada bagian kiri seperti ember. Jika dibebani oleh syahwat, maka ia akan bergerak dan kalau dibebani ketakwaan juga bergerak. Kadang-kadang lintasan nafsu atau syahwat yang lebih dominan, dan kadang-kadang lintasan takwa yang lebih dominan. Karena itulah kadang-kadang hati menyadari dan menerima karunia Allah dan kekuasaan-Nya. Kadang-kadang pada saat tertentu lintasan nafsu dapat dikalahkan oleh lintasan takwa sehingga hati pun memujimu.
Tetapi, di saat yang lain, lintasan takwa dikalahkan oleh lintasan nafsu sehingga hati pun mencelamu. Kedudukan hati bagaikan atap rumah. Jika engkau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke atap hingga membuatnya hitam. Seperti itulah api syahwat. Jika api syahwat berkobar dalam tubuh, maka asap-asap dosanya akan naik memenuhi hati dan menghitamkannya.”
---Ibnu Atha’illah dalam Taj Al-‘Arus

PEMBAGIAN REZEKI DAN RAHASIA TAWAKAL

Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal itu digunakan dalam tiga tempat:
1) Tawakal kepada keputusan Allah. Maksudnya, engkau harus memiliki keyakinan penuh dan merasa puas dengan keputusan apa pun dari Allah. Hukum Allah tak akan berubah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran dan hadis.
2) Tawakal kepada pertolongan Allah. Engkau harus bersandar dan percaya penuh pada pertolongan Allah Azza wa Jalla. Jika engkau menyandarkan diri pada pertolongan Allah dalam dakwah dan perjuangan bagi agama Allah, maka Allah pasti akan menolongmu.
3) Tawakal berkaitan dengan pembagian rezeki yang diberikan oleh Allah. Engkau harus yakin bahwa Allah Azza wa Jalla akan mencukup nafkah dan keperluan kita sehari-hari.
Rasulullah SAW bersabda, “JIka kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal kepada-Nya, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung itu keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan perut terisi penuh.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS Ath-Thalaq: 3)
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Rezeki itu ada empat macam, yakni rezeki yang dijamin, rezeki yang dibagikan, rezeki yang dimiliki, dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Rezeki yang dijamin merujuk kepada makanan dan segala apa yang menopang tubuh dan jiwamu. Jenis rezeki seperti itu tak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan syar’i. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk mengabdi kepada-Nya dan mentaati-Nya dengan tubuh kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya.
Rezeki yang dibagi adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauwhun Mahfuzh secara detail. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu.
Rasulullah SAW bersabda, “Rezeki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.”
Sedangkan rezeki yang dimiliki adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah. Allah berfirman, “Belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 254).
Adapun rezeki yang dijanjikan adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, tanpa didahului oleh usaha yang bersusah payah. Sebagaimana firman Allah SWT, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagianya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq : 2-3)
Inilah beberapa jenis rezeki dari Allah, dan wajib bagi kita untuk bersikap tawakal dengan rezeki yang dijamin oleh-Nya. Maka, perhatikan hal ini dengan seksama.”
--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali
--





Hati yang baik tidak dilalaikan dari Allah oleh sesuatu yang baik. Jika ingin sembuhkan hatimu, keluarlah menuju medan tobat. Ubahlah keadaanmu dari yang sebelumnya jauh dari Allah menjadi dekat kepada hadirat-Nya. Gunakan pakaian kerendahan dan kehinaan. Ketahuilah, hati dapat disembuhkan dari segala penyakitnya. Namun, engkau terus menerus memenuhi perutmu dan membanggakan kegemukanmu. Engkau tak ubahnya seperti domba yang digemukkan untuk disembelih. Tidak sadarkah sebenarnya engkau telah menyembelih dirimu sendiri?!”
--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Taj Al-‘Arus
NAFSUMU SENDIRI YANG MENYALAKAN KOBARAN!

Sahabatku, Imam Al-Ghazali memberi nasihat bahwa jika kita telah menyadari kebebalan jiwa kita dan merasa sulit untuk mendisiplinkan diri, kita harus menyertai orang-orang yang terbiasa mempraktikkan muhasabah agar semangat dan kegairahan spiritualnya menulari kita.

Seorang wali biasa berkata, “Jika aku lalai mendisiplinkan diri, aku menatap Muhammad Ibn Wasi hanya dengan memandangnya. Gairah ruhaniku seketika itu bangkit, setidaknya untuk seminggu.”
Jika kita tidak bisa menemukan orang yang dapat diteladani, maka pelajarilah kehidupan para wali. Selain itu, kita harus mendorong jiwa agar tetap bersemangat. Lalu, katakan kepada jiwa kita: “Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan kau marah jika disebut bodoh. Sebetulnya kau ini siapa? Kau siapkan pakaian untuk menutupi tubuh dari gigitan musim dingin, tetapi tak kausiapkan diri untuk akhirat.”
Katakan juga kepada jiwa: “Sungguh, kau seperti seseorang yang, saat musim dingin berkata, ‘Aku tak akan memakai pakaian hangat. Aku percaya rahmat Tuhan akan melindungiku dari rasa dingin.’ Tapi ia lupa bahwa selain menciptakan dingin, Allah juga menunjukkai manusia cara membuat pakaian untuk melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu.” Katakan juga kepada jiwa:
“Ingatlah wahai jiwa! Kau dihukum di akhirat bukan karena Allah murka akibat ketidaktaatanmu; jangan pernah berpikir, ‘Bagaimana mungkin dosa-dosaku mengganggu Allah? Nafsumu sendirilah yang akan menyalakan kobaran neraka dalam dirimu! Tubuhmu sakit karena kau makan makanan yang tidak sehat, bukan karena dokter kesal karena kau melanggar nasihatnya!”
---Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah

AJARAN RIDHA RABI’AH ADAWIYAH
Seorang ulama salaf mengatakan, “Sungguh, apabila Allah telah membuat ketentuan di langit, maka Dia ingin agar penduduk bumi ridha dengan ketentuan-Nya tersebut.” Abu Darda juga menuturkan, “Titik puncak sebuah iman adalah sabar menghadapi apa yang Dia tetapkan dan ridha menerima takdir yang Dia tentukan.” Sahabat Umar Bin Khattab r.a. mengatakan,”Aku nggak mau pusing dengan keadaanku di waktu pagi dan sore! Aku tak peduli, susah atau bahagia.” Alkisah. Suatu hari Sofyan As-Tsawri berkata di dekat Rabi’ah Adawiyah, “Ya Allah, berikanlah ridha-Mu kepadaku!” Lalu, tiba-tiba Rabi’ah menegurnya, “Apa engkau tidak malu kepada Allah untuk meminta ridha-Nya, padahal engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya.”Maka, secara spontan, Sofyan As-Tsawri langsung menyebut, “Astagfirullah...”Melihat kejadian ini, Ja’far Ibn Sulaiman Ad-Dhibi bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah, “Kapan seorang hamba dikatakan ridha kepada-Nya?” Rabi’ah menjawab, “Ketika kebahagiaannya saat ditimpa musibah sama dengan kebahagiaannya saat diberi nikmat.”
--Dikutip dari Kitab Mahabbah karya Imam Al-Ghazali

22 NASIHAT JIWA DARI TAURAT

Wahab bin Munabbih menuturkan, “Aku mendapatkan catatan pinggir dalam kitab Taurat yang berisi 22 huruf (kalimat nasihat/wasiat), yang biasa dibaca dan dipelajari oleh orang-orang shaleh kaum Bani Israil. Kalimat-kalimat nasihat tersebut adalah:
1. Tak ada gudang simpanan yang lebih bermanfaat daripada ilmu.
2. Tak ada harta yang lebih menguntungkan daripada meredam kemarahan.
3. Tak ada perhitungan yang lebih rendah daripada cepat marah.
4. Tak ada kawan yang lebih menghiasi daripada amal kebaikan.
5. Tak ada kawan yang lebih memalukan daripada kebodohan.
6. Tak ada kehormatan yang lebih mulia daripada ketakwaan.
7. Tak ada kemurahan yang lebih sempurna daripada meninggalkan hawa nafsu.
8. Tak ada amal yang lebih utama daripada berfikir.
9. Tak ada kebaikan yang lebih tinggi daripada bersabar.
10. Tak ada kejahatan yang lebih keji daripada sombong.
11. Tak ada obat yang lebih lembut daripada kasih sayang.
12. Tak ada penyakit yang lebih pedih daripada lemah pikiran.
13. Tak ada pemberi kabar yang lebih adil daripada kebenaran.
14. Tak ada pembimbing yang lebih tulus daripada kejujuran.
15. Tak ada kemiskinan yang lebih hina daripada rakus.
16. Tak ada kekayaan yang lebih mencelakakan daripada menimbun (menumpuk-numpuk) harta.
17. Tak ada kehidupan yang lebih indah daripada kesehatan.
18. Tak ada penghidupan yang lebih tentram daripada menjaga kesucian.
19. Tak ada ibadah yang lebih baik daripada khusyuk.
20. Tak ada zuhud yang lebih baik daripada sikap qana’ah.
21. Tak ada penjaga yang lebih memelihara daripada sikap diam.
22. Tak ada perkara gaib yang lebih dekat daripada kematian.
--Dikutip dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali

TAKDIR MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Seorang hamba wajib menerima dengan ridha dan lapang dada terhadap urut takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun tidak boleh menjadikannya sebagai alasan untuk menyerah pada nasib dan tidak boleh pula menyalahkan takdir Allah. Sebab, kita juga diperintahkan untuk bekerja dan berusaha, selalu berprasangka baik kepada Allah dan selalu bertawakal dengan penuh keyakinan kepada-Nya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita, maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an, “Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”
--Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar; Rasaning Rasa karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjemah KH Zezen ZA Bazul Ashab, Salima dan Pustaka Zainiyyah, Juni 2013.

MENGENAL BISIKAN DALAM JIWA (AL-KHATHIR)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pernah ditanya muridnya tentang al-khathir (bisikan jiwa), lalu beliau menjawab:
“Memang apa yang engkau ketahui tentang al-khathir? Al-khathir itu bisa berasal dari setan, bisa berasal dari tabiat buruk, bisa pula berasal dari hawa nafsu dan dunia. Perhatianmu akan dicurahkan kepada apa yang dianggap penting. Dan, ingatlah bahwa sebenarnya bisikan jiwa yang datang kepadamu juga selalu berhubungan dengan perhatianmu.
Sedangkan bisikan jiwa (al-khathir) yang berasal dari Allah SWT tidak akan datang, kecuali kepada kalbu yang kosong dari selain Allah SWT. Contohnya seperti firman-Nya saat menjelaskan tentang sikap Nabi Yusuf a.s. Allah SWT berfirman, “Aku memohon perlindungan dari Allah daripada mengambil (menahan) seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya,” (QS Yusuf: 79)
Jika engkau banyak menyebut nama Allah, tentu saja kalbumu akan penuh dengan al-khathir yang berasal dari Allah karena engkau dekat dengan-Nya. Sedangkan al-khathir yang berasal dari setan, hawa nafsu, dan dunia akan menjauh darimu.
Sekali lagi ditegaskan bahwa ada khathir yang berasal dari dunia, ada khathir yang berasal dari akhirat, ada khathir yang bersumber dari al-mulk (kerajaan Allah), ada yang berasal dari hawa nafsu, ada yang berasal dari kalbu dan ada yang berasal dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).
Wahai orang yang berada di jalan kebenaran, yang engkau perlukan adalah membuang dan mengusir semua al-khathir tersebut dan merasa tentram dengan hanya satu kehadiran khathir saja, yakni khathir yang berasal dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).
Jika engkau berpaling dan mengabaikan khathir yang berasal dari nafsu, setan dan dunia, maka engkau akan dihampiri oleh khathir yang berasal dari akhirat, kemudian disusul pula dengan kehadiran khathir yang berasal dari al-mulk (kerajaan Allah), akhirnya pada puncaknya, engkau akan merasakah kehadiran khathir dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).
Jika kalbumu bening dan jernih, maka ia akan berdiri menghadang dan mengintrogasi setiap khathir yang datang kepadanya. “Kamu khathir yang mana? Berasal darimana?” maka khathir itu akan menjawab, “Aku adalah khathir begini dan begitu. Aku khathir yang berasal dari Allah yang Mahabenar (Al-Haqq). Aku adalah pemberi nasihat dan pecinta. Allah Al-Haqq mencintaimu. Aku adalah utusan. Aku adalah jatah (bahagian) dari hal nubuwwah (sebagian kecil dari karunia Allah yang dianugerahkan kepada nabi).”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Mawa’izh Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

NASIHAT IBN ATHA’ILLAH TENTANG REZEKI

“Alangkah banyaknya sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu!Jika engkau mau mengamati dengan seksama maka pasti akan tampak. Dan, hal yang paling berbahaya adalah dosa keraguan kepada Allah SWT. Sebab, ragu terhadap rezeki berarti ragu terhadap Dzat Sang Pemberi rezeki. Dan sesungguhnya, dunia ini terlalu hina untuk kau risaukan!
Jika engkau mempunyai perhatian tinggi pastilah engkau akan merisaukan sesuatu yang lebih besar, yaitu masalah akhirat. Orang yang merisaukan hal-hal yang kecil, lalu melupakan sesuatu yang lebih besar, maka berarti dia adalah orang yang paling bodoh.
Karena itu, kerjakanlah kewajiban untuk melaksanakan ibadah dan semua perintah Allah. Dia pun akan menjalankan apa yang menjadi kewajiban-Nya untukmu. Jika kumbang, cicak-tokek, dan cacing saja diberi rezeki oleh Allah, apa mungkin engkau akan dilupakan?
Allah SWT berfirman, “Suruhlah keluargamu untuk shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak menuntut rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki. Balasan yang baik akan diberikan kepada orang yang bertakwa.” (QS Tha Ha: 132)
Jika engkau melihat ada orang yang risau karena rezeki, maka ketahuilah bahwa sebenarnya dia jauh dari Allah. Seandainya ada yang berkata kepadamu, “Besok kamu tak perlu kerja! Cukup kamu kerjakan ini saja! Saya akan memberimu Rp 2 juta,” pastilah engkau akan percaya dan mematuhi perintahnya. Padahal, dia itu makhluk yang fakir, tak bisa memberi manfaat atau madarat. Lalu, mengapa engkau merasa cukup dengan Allah Yang Mahakaya dan Mahamulia, yang menjamin rezekimu sepanjang hidup?
Allah SWT berfirman, “Tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lawh Mahfuzh).” (QS Hud [11]: 6)

---Ibnu Atha’illah dalam Bahjat An-Nufus

BISIKAN JIWA (AL-KHATHIR) ORANG YANG WUSHUL

Sayyid Abu Bakar bin Syaikh Al-Saqqaf Ba Alawi bertanya, “Bagaimanakah hukum bisikan-bisikan yang melintas di hati orang yang washil (sudah sampai kepada Allah mendapat kedudukan di sisi Allah)? Apakah ia harus menolak bisikan-bisikan tersebut dan hanya bersandar kepada bisikan Allah, atau apa yang mesti ia lakukan?”
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, menjawab: “Pemilik kedudukan (washil) itu berbeda-beda tingkatan mereka. Orang yang mencapai kedudukan ini memiliki dua keadaan. Pertama disebut al-jama’; Kedua disebut al-farq. Jika seseorang mengalami keadaan yang pertama, yaitu al-jama’, ia akan fana terhadap dirinya dan orang lain, ia akan asyik tenggelam bersama Tuhannya dengan seluruh raganya. Saat itu, tidak ada lagi bisikan-bisikan yang datang, yang ada hanya Allah, Dzat Yang Mahaada.
Seseorang yang sudah mencapai kedudukan ini berkata,“Jika pada diriku terdapat bisikan keinginan selain kepada-Mu, yang muncul karena kealpaanku, maka kuputuskan kemurtadan diriku.” Maksud dari “kemurtadan” di sini adalah ‘Aku tidak tenggelam dan hanyut di dalam diri-Mu. Berarti dia tak lagi di maqam ini. 
Seseorang yang lain juga berkata, “Hatiku dipenuhi keinginan beragam lalu menyatu sejak mata keinginanku memandang-Mu.”
Adapun bisikan yang bermacam-macam itu muncul disebabkan oleh pikiran yang bercabang dan halangan yang banyak di dalam diri. Hal yang seperti ini tidak dialami oleh seseorang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah, karena ia telah menyatukan pikiran dan kalbunya hanya kepada Allah semata. Keadaan ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, “Aku memiliki satu waktu yang aku isi hanya bersama Tuhanku.”
Keadaan semacam ini amatlah jarang dialami oleh seseorang, saat itu terjadi maka akan tampak hal-hal yang mengagumkan dan menakjubkan. Keadaan ini pernah dialami oleh beberapa masyayikh (para syekh besar) di Irak selama 7 tahun lamanya, lalu ia tersadar sejenak sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam keadaan ini selama 7 tahun berikutnya. Selama berada pada maqam ini, ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak shalat, akan tetapi tetap berdiri tegak di tanah lapang sambil menengadahkan pandangan matanya ke arah langit.
Kami juga pernah mendengar cerita tentang beberapa masyayikh di Mesir yang berwudhu lalu berbaring seraya berkata pada pendampingnya, “Jangan engkau bangunkan aku dari tidurku sampai aku sendiri yang akan bangun.” Ia pun tertidur hingga 17 tahun lamanya, lalu ia bangkit dari tidurnya dan shalat dengan wudhunya tersebut.
Para ‘arif billah merindukan keadaan al-jama’ ini. Sedangkan Allah SWT, karena rasa kasih sayang-Nya, memindahkan mereka dari keadaan ini. Agar mereka tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dan terhindar dari rusaknya fisik dan hancurnya persendian mereka. Karena, anugerah Allah berupa ilmu dan hikmah, jika sudah menguat dan menguasai, tidak akan sanggup kekuatan fisik manusia menanggungnya. Bukankah Gunung Al-Thur terbakar dan menjadi debu ketika cahaya anugerah Allah bersinar di atasnya?
Tidak benar pengakuan sebagian orang yang telah dikuasai oleh setan yang menyatakan bahwa mereka telah mencapai maqam al-jama’ ini. Sehingga kita menyaksikan mereka meninggalkan ibadah dan melalaikan kewajiban-kewajiban agama seperti puasa dan shalat. Di samping itu, mereka juga memperturutkan syahwat dan keinginan nafsu mereka serta melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Seandainya mereka adalah para wali Allah, seperti pengakuan mereka, niscaya Allah akan memelihara mereka dari hal-hal tersebut. Dan, seandainya mereka benar-benar hanyut dalam kefanaannya dengan Allah, niscaya mereka akan lenyap dari selain diri-Nya.
Kami tidak akan memperpanjang pembicaraan, walaupun masalah ini adalah masalah yang sangat luas pembahasannya. Bahkan, banyak orang yang tergelincir pemahamannya saat membahas hal ini. Karena, ini termasuk masalah yang sangat rumit dan sulit dipahami oleh akal manusia, apalagi hanya dengan pikiran-pikiran belaka.
Mengenai keadaan farq, seseorang yang telah mencapai akan selalu mendapatkan perlindungan dari Allah dan penglihatan dengan pandangan inayah-Nya. Saat itulah, akan muncul bisikan Rabbani, yang disebut di kalangan sufi dengan istilah idzn (izin), dan bisikan malaikat, mereka menyebutnya sebagai ilham. Dan, mereka tidak melaksanakan bisikan-bisikan itu kecuali yang sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan hadis.
Adapun Al-khathir asy-syaaithani (bisikan setan), hal itu tidak ada pada diri mereka. Karena setan tidak sanggup mendekati hati orang yang sudah wushul (sampai) kepada Allah dan selalu disinari dengan cahaya makrifat kepada-Nya.
Bahkan, terkadang setan justru tunduk kepada orang-orang yang telah washil kepada Allah, seperti yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Rasul bersabda, “Aku juga mendapat (godaan) setan, namun Allah SWT menolongku atasnya, hingga ia menyerah dan tidak memerintah kecuali suatu kebaikan.” Sedangkan mengenai al-khathir an-nafsani (bisikan nafsu), hal ini amat mustahil ada pada diri orang yang telah sampai (washul) kepada Allah. Karena jiwa orang yang wahsil, telah merasa tentram dan tenang bersama Allah, serta senantiasa dekat dan tunduk hanya kepada-Nya. Allah menyeru serta memanggilnya, hingga jiwa itu datang dan kembali kepada-Nya. Lalu, Allah memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya dan menempatkan mereka di dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan hanya disedikan untuk hamba-hamba yang bertakwa.”
-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.

MARI MEMBERSIHKAN DIRI SEBELUM TERLAMBAT
Syekh Ibnu ‘Atha’illah mengatakan:
“Siapa saja yang mencintai dunia dengan hatinya, maka ia bagaikan orang yang mendirikan bangunan yang indah, namun toilet di atasnya terus menerus menetesinya. Keadaannya tetap seperti itu hingga bagian luarnya tampak seperti bagian dalamnya.
Di antara mereka ada yang selalu membersihkan diri sehingga hatinya tetap putih bersih. Cara membersihkannya adalah dengan tobat, dzikir, menyesal dan beristigfar. Begitu pula dirimu ketika berada di hadapan Allah SWT. Keadaanmu kotor akibat maksiatyang selalu kau lakukan. Engkau memakan yang haram dan melihat segala sesuatu yang terlarang. Barangsiapa melakukan pelanggaran dan mengikuti syahwat, hatinya akan menjadi gelap. Jika ia tidak bertobat di saat sehat, boleh jadi ia diuji dengan berbagai penyakit dan ujian sehingga keluar dari dosa laksana pakaian saat dicuci.”
--Syekh Ibnu ‘Atha’illah dalam Taj Al-‘Arus

MARI SHALAT TAHAJUD

Dzun-Nun Al-Mishri memberi wasiat kepada seorang pemuda, “Hai anak muda! Ambilah senjata celaan bagi dirimu, dan gabungkanlah dengan menolak kezaliman, maka di Hari Kiamat engkau akan memakai jubah keselamatan. Tahanlah dirimu dalam taman ketentraman, rasakanlah pedihnya fardhu-fardhu keimanan, maka engkau akan memperoleh kenikmatan surgawi. Teguklah cawan kesabaran dan persiapkan ia untuk kefakiran hingga engkau menjadi orang yang sempurna.” Lalu pemuda itu bertanya, “Diri mana yang sanggup melakukan itu?”Dzun-Nun Al-Mishri menjawab, “Diri yang bersabar atas lapar, yang teringat pada jubah kezaliman, diri yang membeli akhirat dengan dunia tanpa syarat dan tanpa kecuali, dan diri yang memperisaikan kerisauan, yang mengiringi kegelapan pada kejelasan.Diri yang merasa cukup dengan makanan sedikit, menundukkan pasukan nafsu, dan bersinar dalam kegelapan. Ia bercadarkan kudung berhias, dan menuju kemuliaan dalam kegelapan. Ia meninggalkan penghidupan. Inilah diri yang berkhidmat, yang mengetahui hari yang akan datang. Semua itu dengan taufik Allah yang Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri.”
---Dikutip dari Al-Washaya li Ibn ‘Arabi

7 PRINSIP TAREKAT MENURUT SYEKH ABDUL QADIR JAILANI
Menurut Sulthanul Auliya, terdapat 7 prinsip dasar bagi salik dalam bertarekat, yakni:
1. Mujahadah
Allah SWT berfirman,, “Orang-orang yag berjihad (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami,” (Al-‘Ankabut [29]: 69).
Imam Juneid Al-Baghdadi mengatakan, “Aku mendengar As-Sari As-Saqathi berkata, ‘Wahai anak muda! Bekerja keraslah sebelum kalian mencapai usia sepertiku yang lemah dan tak bisa melakukan amal secara optimal.’ Hal ini dikatakan beliau setelah melihat tidak ada anak-anak muda yang gigih beribadah seperti dirinya.”
Ibrahim bin Adham menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai derajat orang-orang yang shaleh hingga ia melawati enam perkara: 1) Menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesusahan; 2) Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan; 3) Menutup pintu istirahat dan membuka pintu kerja keras; 4) Menutup pintu tidur dan membuka pintu begadang; 5) Menutup pintu kekayaan dan membuka pintu kemiskinan; 6) Menutup pintu harapan dan membuka pintu persiapan menyambut kematian.
2. Tawakal
Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi keperluannya (QS Ath-Thalaq [65]: 3). Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah [5]: 23)
Anas ibn Malik r.a. meriwayatkan, seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dengan mengendarai seekor unta. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membiarkan untaku tanpa diikat, lalu aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikat dulu untamu! Lalu bertawakal!”
Abu Turab Al-Nakhsyabi mengatakan, tawakal adala melemparkan badan dalam penghambaan (‘ubudiyyah) dan mengaitkan kalbu dengan ketuhanan (rububiyyah), serta merasa tenang dengan apa yang ada. Jadi, jika diber, dia bersyukur dan jika tidak diberi, dia bersabar.”
3. Akhlak
Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak agung,” (Al-Qalam [68]: 4). Anas ibn Malik ra. berkata bahwa Rasullah Saw. pernah ditanya tentang orang mukmin yang imannya paling utama. Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.”
Akhlak adalah hal yang paling utama karena akhlak mencerminkan jati diri yang sebenarnya. Manusia terkubur oleh kelakuannya dan terkenal karena kelakuannya juga. Ada yang mengatakan, akhlak yang baik diberikan secara khusus oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana mukjizat dan keutamaan yang Dia berikan kepadanya. Namun, Allah tidak memuji beliau karena prestasi beliau seperti pujian-Nya kepada beliau karena akhlak beliau. Ada yang berpendapat, Allah memuji Nabi Muhammad karena akhlaknya yang agung karena beliau adalah orang yang mendermakan dunia dan akhirat (jad bi al-kaunain) dan mencukupkan diri dengan Allah. Budi pekerti yang agung berarti tidak memusuhi dan tidak layak dimusuhi karena makrifat yang mendalam akan Allah.
4. Syukur
Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)mu,” (Ibrahim [14]: 7). Menurut ahli hakikat, syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh pemberi nikmat secara khusus. Allah menyebut dirinya sebagai “Yang Maha Mensyukuri” (al-Syakur) dalam arti yang meluas. Maksudnya, dia akan membalas para hamba atas syukur mereka. 
Ada yang mengatakan, hakikat syukur adalah memuji orang yang telah berbaik hati memberi (al-muhsin) dengan mengingat-ingat kebaikannya. Syukur hamba kepada Allah berarti memuji-Nya dengan mengingat-ingat kebaikan yang Dia berikan. Sementara, syukur Allah kepada hamba adalah pujian-Nya atas si hamba dengan menyebut kebaikannya kepada-Nya. Selanjutnya, kebaikan budi hamba adalah ketaatannya kepada Allah, dan kebaikan budi Allah adalah kemurahan-Nya memberikan nikmat kepada hamba.
5. Sabar
Allah berfirman, “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,” (An-Nahl [16]: 127). Aisyah ra meriwayatkan, Nabi Saw. bersabda, “Sabar yang sesungguhnya adalah sabar ketika menghadapi guncangan yang pertama.” Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, hartaku telah habis dan tubuhku digerogoti penyakit.” Nabi Saw. menukas, “Tidak ada kebaikan pada hamba yang tidak kehilangan hartanya dan tidak sakit tubuhnya. Sesungguhnya jika Allah SWT. mencintai seorang hamba, maka Dia timpakan cobaan kepadanya. Jika Dia menimpakan cobaan kepadanya maka Dia akan membuatnya bersabar.”
Sabar ada tiga macam, 1) Sabar karena Allah, yakni sabar dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 2) Sabar bersama Allah, yakni sabar menerim qadha dan skenario Allah pada dirimu berupa cobaan dan kesulitan. 3) Sabar atas Allah, yakni bersabar menanti apa yang dijanjikan Allah berupa rezeki, bebas dari masalah, kecukupan, pertolongan, dan ganjaran di akhirat.
6. Ridha
Allah berfirman, “Allah meridai mereka dan mereka pun meridai Allah,” (Al-Maidah [5]: 119). Rasulullah bersabda, “(Manis) rasa keimanan hanya bisa dicicipi oleh orang yang rida menerima Allah sebagai Tuhan.” Allah juga berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (Al-Baqarah [2]: 216).
Abu Ali Al-Daqqaq ra mengatakan, rida bukanlah tidak merasakan cobaan, akan tetapi rida sesungguhnya adalah tidak memprotes ketentuan dan qadha. Apakah seseorang bisa mengetahui bahwa Allah meridainya? Dia bisa mengetahuinya. Jika seseorang merasakan hatinya rida kepada Allah maka dia tahu bahwa Allah rida kepadanya.
7. Jujur (Shiddiq)
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar,” (At-Taubah [9]: 119). Diriwayatkan Abdullah ibn Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang hamba selalu berkata benar dan terus bergiat mengupayakan kebenaran, maka Allah akan menetapkannya sebagai shiddiq (orang yang selalu berkata benar).”  Shidq adalah pilar dan penyempurna segala hal. Ia merupakan derajat kedua setelah derajat kenabian. Shadiq adalah sifat yang melekat pada seseorang yang jujur/berlaku benar. Sedangkan shiddiq adalah bentuk mubalaghah (hiperbola), diberikan kepada orang yang terus-menerus melakukan kejujuran/kebenaran, sehingga menjadi kebiasaan dan karakternya. Ada tiga hal yang menjadi buah manis orang yang berlaku shidq dan tidak akan lepas darinya: kenikmatan, wibawa, dan keramahan.
--Disarikan dari At-Tasawwuf dalam kitab Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq karya Syekh Abdul Qadir Jailani

KEBAHAGIAN SEJATI DAN HAKIKAT CINTA KEPADA ALLAH

Menurut Imam Al-Ghazali, bagi orang yang sudah sangat mendalam pengetahuan makrifatnya dan sudah menyingkap rahasia kekuasaan Allah walaupun hanya sedikit, maka hatinya akan diliputi perasaan bahagia yang tak terhingga. Karena begitu bahagianya, dia akan menemukan dirinya seolah-olah terbang. Dia juga akan terheran-heran dan takjub menyaksikan keadaan dirinya. Ini termasuk hal-hal yang tak dapat dipersepsi kecuali dengan cita rasa (dzawq). Bahkan, kadang cerita-cerita sufi pun tak banyak membantu. Semuanya tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Ini juga membuktikan bahwa makrifat kepada Allah merupakan puncak dari segala kenikmatan. Tak ada kenikmatan lain yang dapat mengalahkannya.
Abu Sulaiman Ad-Darani pernah mengatakan, “Allah memiliki beberapa orang hamba, mereka menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah, bukan karena takut neraka atau berharap surga. Lalu, bagaimana mungkin mereka disibukkan oleh dunia dan meninggalkan Allah?”
Maka, wajar saja jika ada seorang murid dari Ma’ruf Al-Karkhi bertanya kepada gurunya, “Apa yang membuatmu beribadah dan meninggalkan pergaulan dengan manusia yang lain?”
Sejenak Ma’ruf Al-Karkhi terdiam. Lalu menjawab, “Aku ingat mati.”
“Ingat apanya?” tanya muridnya lagi.
“Aku ingat kuburan dan barzakhnya,” jawab Al-Karkhi.
“Ingat kuburan? Bagian yang mana?” tanya murid itu lagi.
“Rasa takut pada neraka dan berharap surga,” jawab Al-Karkhi.
“Bagaimana bisa begitu?”
“Sesungguhnya dua malaikat ini ada dalam kekuasaan-Nya. Jika engkau mencintai-Nya, maka engkau akan melupakan itu semua. Jika engkau mengenal-Nya, maka cukuplah itu semua!”
Ma’ruf Al-Karkhi mengingatkan kita bahwa perasaan takut dan berharap masuk surga adalah harapan rendah bagi orang yang beribadah. Sebab, orang yang benar-benar beribadah kepada Allah dan mengharap perjumpaan dengan-Nya, pasti merindukan-Nya dengan penuh cinta, dan pasti akan melupakan segalanya. Dia hanya berharap memandang wajah-Nya. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Nabi Isya a.s. bersabda, “Jika engkau melihat seorang pemuda mencari Tuhannya, maka sungguh dia akan lupa segala-galanya!”
Ali Ibnu Al-Muwaffaq mengatakan, “Aku bermimpi seolah-olah masuk surga. Aku melihat seorang lelaki duduk menghadap sebuah hidangan. Dua malaikat duduk di kanan-kirinya menyapinya makanan yang serba lezat. Dia sendiri tampak begitu menikmatinya. Aku juga melihat seorang lelaki berdiri di pintu surga sedang mengawasi wajah-wajah manusia. Sebagian dipersilahkan masuk dan sebagian lagi ditolak. Aku melewati dua orang lelaki itu menuju Hadirat-Nya yang suci. Kemudian, di tenda Arsy aku melihat seorang lelaki lagi, matanya terbuka dan tak berkedip, memandangi Allah SWT. Lalu, aku bertanya kepada Malaikat Ridwan, “Siapakah orang ini?” Lalu dia menjawab, “Dia adalah Makruf Al-Karkhi. Dia hamba Allah yang tidak takut neraka dan tidak rindu surga tetapi cinta kepada Allah SWT. Maka, dia diizinkan memandangi-Nya hingga Hari Kiamat. Dia menambahkan dua lainnya adalah Bisyr Al-Harits dan Ahmad Bin Hanbal.”
Abu Sulaiman berkata, “Siapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya sendiri, maka besok dia juga akan sibuk dengan dirinya sendiri. Siapa saja yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia akan sibuk dengan Tuhannya.”
Sofyan Ats-Tsauri suatu ketika bertanya kepada Rabi’ah Al-Adhawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Lalu dia menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga. Aku tidak seperti buruh yang jahat—jika dibayar bahagia, jika tak dibayar bersedih—Aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha

AKU MEMANGGILMU DALAM RAMAI & SENYAP
" Ya Tuhanku, aku memanggil-Mu di tengah keramaian sebagaimana memanggil para tuan, dan aku memanggil-Mu di kala sepi, sebagaimana memanggil para kekasih.
Ya Allah, jika Engkau menyiksaku dengan suatu siksaan, maka janganlah Engkau menyiksaku dengan hijab yang menghalangiku menatap wajah-Mu.
Ya Allah, ya Tuhanku, kurangilah kebutuhan hidupku dan perbaikilah pertolongan-Mu kepada-Ku. Tolonglah aku dalam urusan dunia dan akhirat."
--Doa sufi Sari As-Saqathi dan Abu Ubaid al-Buhri.
RASAKAN ANUGERAH ALLAH DENGAN SHALAT TAHAJUD
"Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat saat memperolehnya, ia akan mengetahui ketika sudah lepas dari dirinya."
---Ibn Atha'illah dalam Al-Hikam
Sahabatku, kadang-kadang kita memang tidak menyadari kenikmatan dan anugerah yang Allah berikan kepada kita pada saat memperolehnya. Namun, saat kita menderita, sakit, terjerat masalah, terkena musibah dan sebagainya, kita baru menyadari betapa besarnya nikmat-Nya. Nikmat sehat, justru kita rasakan ketika kita sakit. Nikmat kaya dan berlimpah rezeki justru terasa saat kita miskin. Nikmat hidup rukun dan damai, justru akan terasa saat kita sedang mengalami konflik. Demikian seterusnya.
Maka, seorang salik sudah seharusnya untuk selalu berdoa kepada Allah dan bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya.
HATI YANG KERING BUAHNYA AKAN RONTOK
“Hati tak ubahnya seperti sebatang pohon yang disirami air ketaatan. Keadaan hati mempengaruhi buah yang dihasilkan anggota tubuh. Buah dari mata adalah perhatian untuk mengambil pelajaran. Buah dari telinga adalah perhatian terhadap Al-Quran. Buah dari lidah adalah dzikir. Kedua tangan dan kaki membuahkan amal-amal kebajikan. Sedangkan, jika hati dalam keadaan kering, buah-buahnya pun akan rontok dan manfaatnya hilang. Karena itu, ketika hati itu kering, siramilah dengan memperbanyak dzikir.”
---Ibnu Atha’illah dalam Taj A-‘Arus Al-Hawi li Tahdzib An-Nufus
RASAKAN KEHADIRAN NABIMU DENGAN JIWA-RAGAMU!
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, qaddasallah sirrahu, memberi nasihat:
“Ketahuilah membaca selawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah salah satu ibadah paling mulia, bentuk ketaatan paling luhur, ibadah yang paling tinggi nilainya yang diperintahkan Allah SWT kepada kita, sebagai bentuk penghormatan, pemuliaan dan pengagungan terhadap derajat beliau. Orang yang membaca selawat dijanjikan akan mendapatkan tempat paling indah di akhirat dan pahala paling besar.
Membaca selawat adalah amal perbuatan yang menyelamatkan, ucapan paling utama, ibadah yang menguntungkan, mengandung barokah paling banyak, dan ahwal yang paling kokoh.
Dengan membaca selawat, seorang hamba bisa meraih keridhaan Tuhan yang Maha Penyayang. Memperoleh kebahagiaan dan restu Allah SWT, barokah-barokah yang dapat dipetik, doa-doa yang terkabulkan, bahkan dia bisa naik ke tingkatan derajat yang lebih tinggi, serta mampu mengobati penyakit hati,dan diampuni dosa-dosa besarnya.
Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىِّ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (QS Al-Ahzab [ 33]: 56)
Dalam Kitab As-Safinah Al-Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan tentang keutamaan-keutaman berselawat kepada Rasulullah SAW dengan merujuk apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Furhan dalam kitab Haqa’iq Al-Anwar. Beliau menyebut 42 keutamaan dan keuntungan berselawat kepada Nabi. Menurutnya, “Membaca selawat kepada Nabi membuahkan banyak faedah yang bisa dipetik oleh seorang hamba:
1. Berselawat untuk Nabi berarti melaksanakan perintah Allah SWT.
2. Berselawat untuk Nabi berarti meniru Allah yang berselawat kepada Nabi.
3. Berselawat untuk Nabi berarti meniru malaikat-malaikat-Nya yang berselawat kepada Nabi.
4. Mendapat balasan 10 kali lipat selawat dari Allah SWT untuk diri kita pada setiap selawat yang kita ucapkan.
5. Allah akan mengangkat derajat orang yang membaca selawat 10 tingkat lebih tinggi..
6. Mendapat 10 catatan kebaikan.
7. Allah SWT menghapuskan 10 dosa keburukan.
8. Berpeluang besar doanya akan dikabulkan Allah SWT.
9. Selawat adalah syarat utama mendapat syafaat dari Rasulullah SAW.
10. Selawat adalah syarat untuk mendapat ampunan Allah dan akan ditutup segala aib.
11. Selawat adalah syarat untuk memperoleh perlindungan dari segala hal yang ditakutinya.
12. Selawat adalah syarat seseorang dapat dekat kepada Rasulullah SAW.
13. Nilai selawat sama dengan nilai sedekah.
14. Selawat adalah alasan bagi Allah dan para malaikat untuk membacakan selawat balasan.
15. Selawat adalah syarat kesucian jiwa dan raga bagi pembacanya.
16. Terpenuhinya segala keinginan.
17. Selawat adalah alasan seseorang mendapat kabar baik bahwa dirinya kelak akan memperoleh surga.
18. Selawat adalah faktor memperoleh keselamatan di Hari Kiamat.
19. Selawat adalah alasan bagi Rasulullah SAW untuk mengucapkan selawat balasan.
20. Selawat dapat membuat pembacanya teringat akan semua hal yang dilupakannya.
21. Selawat dapat membuat harumnya sebuah majelis pertemuan dan orang-orang yang hadir tidak mendapat kerugian di Hari Kiamat kelak.
22. Selawat dapat menghilangkan kemiskinan dan kefakiran bagi pembacanya.
23. Selawat dapat menghapus julukan orang kikir ketika selawat dibacakan.
24. Selawat menjadi penyelamat dari doa ancaman Rasulullah bagi orang yang membaca selawat ketika namanya disebutkan.
25. Selawat akan mengiringi perjalanan pembacanya kelak di atas jembatan menuju surga dan akan menjauh dari orang yang tidak membacanya.
26. Selawat akan menghilangkan keburukan-keburukan di suatu majelis pertemuan yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan Rasul-Nya.
27. Selawat adalah penyempurna pahala dari sebuah percakapan yang dimulai dengan menyebut nama Allah dan membaca selawat kepada Rasul-Nya.
28. Selawat adalah faktor yang dapat menyelematkan seorang hamba ketika berada di atas jembatan menuju surga.
29. Selawat menghapus status sebagai pembenci selawat.
30. Selawat adalah alasan bagi Allah untuk mengumumkan pujian baiknya kepada pembaca selawat tersebut di hadapan semua makhluk, baik di bumi maupun di langit.
31. Selawat dapat mendatangkan rahmat Allah.
32. Selawat dapat mendatangkan berkah.
33. Selawat dapat melanggengkan dan mempertebal cinta kepada Rasulullah SAW dimana cinta ini merupakan simpul pokok keimanan.Dan, keimanan seseorang belum sempurna tanpa adanya cinta kepada Nabi.
34. Selawat dapat memikat hati Rasulullah agar mencintai dirinya.
35. Selawat mendatangkan hidayah dan menghidupkan hati yang telah mati.
36. Selawat adalah syarat agar nama pembacanya disebut-sebut di hadapan Rasulullah SAW.
37. Selawat dapat memantapkan iman dan Islam serta membacanya sama dengan memberi hak yang layak diterima oleh Rasulullah SAW.
38. Selawat merupakan bentuk syukur kita atas segala nikmat dari Allah SWT.
39. Bacaan selawat mengandung dzikir, syukur dan pengakuan atas nikmat Allah SWT.
40. Selawat yang dibaca seorang hamba adalah bentuk doa dan permohonan kepada Allah, terkadang doa itu dipersembahkan kepada Nabi SAW dan tak jarang pula untuk dirinya sendiri, karena selawat dapat mendatangkan tambahan pahala.
41. Selawat adalah buah yang paling manis dan faedah paling utama yang dapat didatangkan dari pembacaan selawat atas Nabi adalah melekatnya gambaran seorang Nabi yang mulia di dalam jiwa pembacanya.
42. Memperbanyak bacaan selawat atas Nabi SAW menjadikan dirinya satu tingkatan dengan derajat seorang Syekh Murabbi (guru spiritual).
--As-Safinah Al-Qadiriyah Li Asy-Syaikh ‘Abd Qadir Al-Jailani Al-Hasani
--------------------------------------------

PEMBAGIAN REZEKI DAN RAHASIA TAWAKAL
Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal itu digunakan dalam tiga tempat:
1) Tawakal kepada keputusan Allah. Maksudnya, engkau harus memiliki keyakinan penuh dan merasa puas dengan keputusan apa pun dari Allah. Hukum Allah tak akan berubah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran dan hadis.
2) Tawakal kepada pertolongan Allah. Engkau harus bersandar dan percaya penuh pada pertolongan Allah Azza wa Jalla. Jika engkau menyandarkan diri pada pertolongan Allah dalam dakwah dan perjuangan bagi agama Allah, maka Allah pasti akan menolongmu.
3) Tawakal berkaitan dengan pembagian rezeki yang diberikan oleh Allah. Engkau harus yakin bahwa Allah Azza wa Jalla akan mencukup nafkah dan keperluan kita sehari-hari.
Rasulullah SAW bersabda, “JIka kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal kepada-Nya, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung itu keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan perut terisi penuh.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS Ath-Thalaq: 3)
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Rezeki itu ada empat macam, yakni rezeki yang dijamin, rezeki yang dibagikan, rezeki yang dimiliki, dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Rezeki yang dijamin merujuk kepada makanan dan segala apa yang menopang tubuh dan jiwamu. Jenis rezeki seperti itu tak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan syar’i. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk mengabdi kepada-Nya dan mentaati-Nya dengan tubuh kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya.
Rezeki yang dibagi adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauwhun Mahfuzh secara detail. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu. Rasulullah SAW bersabda, “Rezeki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.”
Sedangkan rezeki yang dimiliki adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah. Allah berfirman, “Belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 254).

Adapun rezeki yang dijanjikan adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, tanpa didahului oleh usaha yang bersusah payah.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagianya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq : 2-3)

Inilah beberapa jenis rezeki dari Allah, dan wajib bagi kita untuk bersikap tawakal dengan rezeki yang dijamin oleh-Nya. Maka, perhatikan hal ini dengan seksama.”
--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali

MENGHADAPI MUSIBAH DAN KESULITAN HIDUP 

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Untuk mengatasi kendala yang disebabkan oleh musibah dan kesulitan hidup yang menimpa, cukup bagimu untuk bersabar. Bersabarlah dalam semua ikhwal kehidupan!
Pentingnya bersabar didorong oleh dua alasan:
Pertama, agar sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab, fondasi ibadah adalah kesabaran dan tahan terhadap berbagai kesulitan hidup. Siapa yang tak mampu bersabar, maka dia tidak akan sampai kepada hakikat dan tujuan ibadah. Sebab orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala pasti menghadapi berbagai kesukaran hidup, ujian dan musibah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
1)    Setiap bentuk ibadah dan ketaatan itu sendiri mengandung berbagai kesukaran. Tak ada ibadah yang dilakukan tanpa menekan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu selalu berusaha mencegah seseorang untuk beribadah dan taat kepada Allah.
2)    Setelah mengerjakan kebaikan dengan susah payah, seorang hamba harus berhati-hati menjaganya, agar ibadahnya itu tidak rusak. Karena, istikamah dan menjaga amal ibadah itu lebih sukar daripada mengerjakan amal pada kali pertama.
3)    Dunia ini tempat ujian, maka siapa saja yang berada di dalamnya pasti akan mendapat ujian dengan berbagai kesulitan dan musibah.
4)    Orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia itu akan mengalami cobaan yang lebih parah dan lebih banyak. Semakin ia dekat kepada Allah, maka musibah dan ujian dunia akan lebih banyak dan lebih keras menerpanya. Sebagaimana sabda Rasul, “Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para ulama, kemudian orang yang terbaik dan kemudian orang yang terbaik di bawahnya.” Allah SWT berfirman, “Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian. Dan (juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian serta dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak, yang akan menyakitkan hati,”(QS Ali Imran: 186). Maka persiapkan diri kalian karena pasti kalian akan mengalami banyak ujian!
Kedua, karena di dalam kesabaran terkandung nilai kebaikan dunia dan akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan kesuksesan. Siapa yang bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, maka Dia akan menjadikan jalan keluar bagi hamba tersebut dari berbagai bentuk kesukaran yang menimpanya. Keuntungan lain yang diperoleh dari sikap sabar adalah ia akan lebih mudah untuk diterima menjadi pemimpin ataupun pembimbing di masyarakat luas.
 Allah juga berfirman, “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Huud: 49) Allah berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yangmemberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabdar,” (QS As-Sajdah: 24)
Sesorang yang bersabar juga akan memperoleh kabar gembira, doa dan rahmat dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun/ sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 155-156)
Orang yang bersabar akan mendapat pujian khusus dari Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Ayyub. Mereka yang bersabar juga akan sangat dicintai Allah Azza wa Jalla. “Allah mencintai orang-orang yang bersabar,” (QS Ali Imran: 146). Mereka akan hidup dalam kemuliaan yang besar di sisi Allah, mendapat pahala yang berlimpah, tak terbatas dan di luar yang dibayangkan oleh manusia. 
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahala mereka tanpa batas, “ (QS Az-Zumar: 10)
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang mampu bersabar! Setelah mengetahui kebaikan dan manfaat dari sabar ini, maka tanamkanlah kebaikan sabar itu dalam kalbumu! Cobalah dengan keras untuk bisa memiliki sifat mulia ini sehingga kalian menjadi orang yang sukses (beruntung). Semoga Allah SWT memberi kalian taufik.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidiin

MIMPI BERTEMU NABI DAN CIRI-CIRI BELIAU
Abu Qatadah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Mimpi yang benar berasal dari Allah, sedangkan al-hulmu (lamunan dalam tidur) berasal dari setan. Barangsiapa bermimpi (melihat) sesuatu yang tidak disukainya, maka meludahlah ke arah kirinya tiga kali dan meminta perlindungan (Allah) dari setan, karena (dengan begitu) ia tidak dapat membuat si orang itu bahaya. Dan bahwasanya setan tidak akan terlihat seperti diriku.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat dari Abu Qatadah yang lain yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam kitab Al-Fath-nya dikatakan, “Bahwasanya setan tidak yatazaya (tidak menggunakan pakaian resmi)-ku.” (HR Bukhari dan disebutkan dalam kitab Al-Jami Ash-Shagir karya As-Suyuti)
Dari Jabir ra. ia menuturkan; bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku dengan benar. Karena tidak layak bagi setan untuk menampakkan dirinya dalam wujud diriku.” (HR Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan, “Karena sesungguhnya tidak layak bagi setan untuk menyerupaiku.”
Dari Auf bin Jamilah, dari Yazid Al-Farisi (seorang penulis mushaf) meriwayatkan, “Aku bermimpi melihat Nabi SAW di zaman Ibnu Abbas. Lalu, aku berkata kepada Ibnu Abbas, “Aku telah bermimpi melihat Nabi.” Ibnu Abbas menjawab, “Rasulullah telah bersabda,’Sesungguhnya setan tak akan mampu menyerupaiku, maka barangsiapa yang melihatku dalam tidurnya, ia telah benar-benar melihatku.’Apakah engkau dapat menceritakan sifat-sifat orang yang engkau lihat dalam mimpimu itu?”
Lalu, Yazid menjawab: “Ya. Dia adalah seorang laki-laki yang badan dan kulitnya kuning keputih-putihan. Matanya bercelak, tersenyum manis, bentuk mukanya indah, jenggotnya memenuhi antara ini dan ini sampai ke bagian atas dadanya.” 
Auf menuturkan, “Aku tak tahu tambahan-tambahan (ciri) yang lainnya lagi.”
Ibnu Abbas lalu berkata, “Jika engkau melihatnya sewaktu bangun (terjaga), maka engkau tidak akan mampu mensifatinya lebih dari itu.” (HR At-Tirmidzi)
Ashim bin Kulaib menuturkan, “Bapakku menceritaan kepadaku bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa melihatky dalam tidurnya, maka ia benar-benar telah melihatku, karena setan tidak menyerupaiku.”
Bapakku berkata, “Aku lalu membicarakan hadis ini dengan Ibnu Abbas. Aku berkata, “Aku telah bermimpi melihat beliau dan aku menceritakannya kepada Hasan bin Ali. Aku katakan kepadanya bahwa “Aku menyerupakan beliau dengan Hasan.” 
Ibnu Abbas lalu berkata, “Sesungguhnya Hasan memang menyerupai beliau.” (HR Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan All-Hakim)
Hammad bin Zaid, dari Ayyub menuturkan, “Muhammad nama lain dari Ibnu Sirrin jika mendengar seseorang mengaku melihat Nabi SAW, maka ia berkata “Sebutkanlah sifat-sifat orang yang engkau lihat itu. Jika orang yang bermimpi itu menyipati Nabi dengan sifat-sifat yang tidak sesuai dengan yang diketahui Ibnu Sirrin, maka ia akan mengatakan, ‘Aku tidak melihat beliau seperti itu.’” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari)
Rabi’ah bin Abi Abdirrahman menuturkan, “Aku mendengar Anas bin Malik menyebutkan sifat-sifat Nabi SAW dengan mengatakan, “Tinggi beliau sangat ideal. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Berkulit kuning langsat, tidak terlalu putih dan tidak terlalu sawo matang, tidak terlalu keriting, dan tidak pula terlalu panjang rambutnya. Beliau menerima wahyu di umur 40 tahun dan mendakwahkan apa yang diturunkan kepadanya itu di Mekkah selama sepuluh tahun dan di Madinah selama sepuluh tahun. Ketika beliau meninggal, rambut kepala dan jenggotnya tidak lebih dari dua puluh yang memutih.” (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Bara bin Azib r.a. menuturkan, “Nabi adalah orang yang lebar pundaknya, rambutnya hingga ke telinga. Ketika aku melihat beliau, dengan pakaian kemerah-merahannya, maka belum pernah aku melihat orang yang lebih tampan daripada beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat disebutkan, “Rambutnya memanjang sampai ke pundaknya.”
sayyidina Ali r.a. mengatakan, “Nabi bukanlah orang yang terlalu tinggi dan bukan pula orang yang terlalu pendek. Tebal telapak tangannya dan telapak kakinya, kepalanya besar, besar pula tulang persendiannya, yang agak membungkuk ke depan ketika berjalan seperti turun dari tempat yang tinggi. Dan, aku tidak pernah melihat orang yang seperti beliau, sebelum maupun sesudahnya.” (HR At-Tirmidzi)
---Ru’yatun-Nabi fil-manam karya Syekh Muhammad Syuman Ar-Ramli

TAKDIR MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Seorang hamba wajib menerima dengan ridha dan lapang dada terhadap urut takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun tidak boleh menjadikannya sebagai alasan untuk menyerah pada nasib dan tidak boleh pula menyalahkan takdir Allah. Sebab, kita juga diperintahkan untuk bekerja dan berusaha, selalu berprasangka baik kepada Allah dan selalu bertawakal dengan penuh keyakinan kepada-Nya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita, maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”
Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).
Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”
Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an, “Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 135)
Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.”
--Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar; Rasaning Rasa karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjemah KH Zezen ZA Bazul Ashab, Salima dan Pustaka Zainiyyah, Juni 2013.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar