Rabu, 03 Juni 2015

HIKMAH 8

BEKAL RUHANI DARI SANG SYEKH 
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Celakalah Engkau! Engkau membutuhkan sesuap makanan, engkau kehilangan sesuatu yang remeh, atau engkau mengalami hinaan terhadap kehormatanmu—dan bagimu itu sudah berarti kiamat! Engkau memprotes terhadap Allah. Engkau menuruti nafsu kemarahanmu dengan memukuli isteri dan anak-anakmu. Engkau mengutuk agamamu dan Nabimu. Seandainya engkau seorang yang berakal sehat, salah satu dari orang-orang berjaga dan sadar, niscaya engkau akan menahan lidahmu di hadapan Allah. Engkau akan memandang semua tindakan-Nya sebagai berkah untuk kemanfaatan dan kepentinganmu.
Engkau harus selalu ingat laparnya orang-orang yang kelaparan, telanjangnya orang-orang yang tak mempunyai pakaian, sakitnya orang-orang yang sakit, dan nestapa orang-orang yang terpenjara. Dengan demikian, engkau akan lebih memandang remeh cobaan-cobaan dan penderitaan yang kau alami sendiri. Engkau harus ingat akan ilmu yang dimiliki Allah tentang dirimu, perhatian-Nya terhadap kesejahteraanmu, dan takdir yang telah ditetapkannya bagimu.
Dengan begitu, engkau akan merasa malu di hadapan-Nya. Manakala hal-hal menjadi sangat sulit bagimu, engkau harus merenungi dosa-dosamu, berpaling darinya dan bertobat, dan berkata kepada diri rendahmu: “Karena dosamu, Tuhan Yang Maha Benar telah membuat hidup menjadi sulit bagimu. Jika engkau bertobat atas dosa-dosamu dan melaksanakan kewajibanmu, Tuhan akan menganugerahkan kepadamu jalan keluar dari setiap masalah dan setiap kesulitan yang sangat rumit; sebagaimana Dia telah mengatakan: “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mempersiap-kan jalan keluar baginya, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari sumber-sumber yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)-nya,” (QS 65:2-3).
Orang yang berakal sehat adalah orang yang benar-benar jujur, dan yang segera bisa dibedakan dari orang-orang pendusta dikarenakan keujujurannya (shidq). Engkau harus menempatkan kejujuran di tempat ketidakjujuran, ketabahan di tempat ketakutan, gerakan maju ke depan di tempat kemunduran, kesabaran di tempat kekhawatiran dan kecemasan, sikap bersyukur di tempat ketidakbersyukuran, penerimaan yang gembira di tempat ketidakpuasan, persetujuan di tempat protes, dan keyakinan di tempat keraguan. Jika engkau siap untuk tunduk dan tidak memprotes, jika engkau bersyukur dan sama sekali tidak kufur, jika engkau mudah disenangkan dan tidak suka mengomel, dan jika engkau merasa yakin dan tidak ragu: “Tidakkah Allah akan mencukupi (kebutuhan) hamba-Nya?” (QS Al-Zumar (39) :36)
Semua yang kau urusi dan engkau terlibat di dalamnya adalah kotololan yang gila. Allah tidak memberikan perhatian kepadanya. Urusan ini tidak terjadi melalui tindakan-tindakan jasad. Nabi kita Muhammad Saw. mengatakan: “Zuhud itu di sini. Takwa itu di sini. Ketulusan (ikhlâs) itu di sini.” seraya menunjuk ke dadanya. Jika seseorang menginginkan keberhasilan, hendaklah ia menjadi sepotong tanah di bawah telapak kaki para syaikh. Bagaimana sifat para syaikh ini? Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan dunia ini dan semua makhluk, yang telah mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, yang telah mengucapkan selamat tinggal kepada segala sesuatu yang ada di bawah Tahta Langit (‘arsy) hingga permukaan bumi, yang telah meninggalkan segala sesuatu dan mengucapkan kepada mereka ucapan selamat tinggal dari orang yang tidak akan kembali lagi kepada mereka.
Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada semua makhluk, termasuk diri mereka sendiri. Keberadaan mereka adalah bersama Tuhan mereka dalam semua keadaan (ahwâl) mereka. Jika orang mencari cinta Tuhan bersama dengan keberadaan dirinya sendiri, berarti dia tertipu oleh angan-angannya sendiri.
Apabila seseorang sepenuhnya murni dalam zuhudnya dan pengukuhannya atas tauhid, maka dia tidak melihat tangan-tangan makhluk ataupun keberadaan mereka. Dia tidak melihat si pemberi selain Tuhan, dan dia tidak melihat dzat yang dermawan dan pemurah hati selain dari-Nya.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

BACALAH BIMBINGAN RUHANI INI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Tak ada sesuatu pun yang akan jatuh ke tanganmu dari Tuhan Yang Maha Benar disebabkan oleh kemunafikanmu, bicaramu yang lancar dan kefasihanmu, yang membuat mukamu pucat, memunculkan tambalan-tambalan pada jubahmu yang kumal, membuat pundakmu bungkuk dan membuatmu pura-pura menangis. Semua hal itu datang dari diri rendahmu (nafs), setanmu, sikap syirikmu terhadap makhluk-makhluk dan usahamu untuk mendapatkan keuntungan duniawi dari mereka.
Engkau harus berprasangka baik terhadap orang lain dan memandang buruk terhadap dirimu sendiri. Engkau harus memandang rendah diri rendahmu (nafs) dan melakukan pengendalian terhadapnya. Ingat-ingatlah hal ini sampai dikatakan kepadamu: “Berbicaralah tentang nikmat-nikmat Tuhanmu!” Putra Syamʽûn—semoga Allah merahmatinya—biasa mengatakan, manakala dia menerima anugerah karismatik (karâmah): “Ini adalah penipuan. Ini dari setan. “Dia terus mengatakan itu sampai kepadanya dikatakan: “Siapa engkau, dan siapa ayahmu? Berbicaralah tentang anugerah Kami kepadamu!
Wahai para pecinta! Wahai para pencari! Waspadalah, jangan sampai kalian kehilangan Rabb Yang Maha Benar, sebab jika kalian kehilangan Dia, berarti kalian telah kehilangan segala-galanya. Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung mewahyukan kepada ʽȊsâ a.s : “Wahai ʽȊsâ, waspadalah, jangan sampai engkau kehilangan Aku, sebab jika engkau kehilangan Aku, berarti engkau telah kehilangan segala-galanya, tetapi jika engkau tidak kehilangan Aku, berarti engkau tidak kehilangan apa pun.”
Mûsâ a.s mengatakan kepada Tuhannya dalam munajatnya kepada-Nya: “Wahai Tuhanku, nasihatilah aku!” Maka Dia lalu menjawab: “Aku menasihatkan kepadamu agar bertawakal kepada-Ku dan mencari-Ku.” Percakapan ini diulang empat kali, setiap kali dengan permintaan yang sama dari Mûsâ a.s dan jawaban yang sama pula dari Tuhannya. Tuhan tidak mengatakan kepadanya agar mencari dunia, ataupun mencari akhirat.
Seolah-olah Dia mengatakan kepadanya: “Aku menasihatkan kepadamu agar taat kepada-Ku dan tidak membangkang kepada-Ku. Aku menasihatkan kepadamu agar mencari kedekatan-Ku. Aku menasihatkan kepadamu agar mengukuhkan keesaan-Ku (tauhîd) dan bekerja demi Aku. Aku menasihatkan kepadamu agar berpaling dari segala sesuatu selain Aku.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

NASIHAT SUFYAN ATS-TSAURI 
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir menuturkan bahwa Sufyân Ats-Tsaurî—semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya—suatu ketika ditanya seseorang: “Siapa orang yang patut disebut jahil?”  Lalu beliau menjawab: “Yang disebut orang jahil adalah orang yang sedemikian tidak sadar akan Tuhannya sehingga dia tidak meminta kepada-Nya kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Orang yang tidak meminta kepada Allah untuk kebutuhan-kebutuhan pokoknya bisa disamakan dengan seseorang yang bekerja di istana seorang raja, dengan mengerjakan tugas yang telah diperintahkan kepadanya oleh raja itu, tetapi dia meninggalkan pekerjaannya itu dan pergi ke pintu seseorang yang tinggal di lingkungan yang sama dengan raja itu, untuk meminta kepadanya sepotong roti untuk dimakan. Kita bisa membayangkan dengan mudah betapa raja itu akan merasa jijik kepadanya dan menelanjanginya, ketika hal itu diberitahukan kepadanya!”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Bagaimana engkau akan mati, sedangkan engkau belum mengenal Tuhanmu?” Kemudian beliau berdoa: “Ya Allah, anugerahilah kami makrifat kepada-Mu, beramal dengan tulus demi Engkau dan berhenti bekerja demi orang lain selain Engkau. Berkatilah kami dengan pengetahuan-Mu, baik pengetahuan tentang yang lahir maupun yang batin. Kami telah mempraktikkan kesabaran dan kerelaan. Maka maniskanlah bagi kami kepahitan cobaan-Mu, yang pengetahuan-Mu tentangnya telah mendahului pengetahuan kami. Jadikanla daging hati kami mati, sehingga kami tidak merasakan sakitnya gunting kekuasaan-Mu, dan agar kami bisa menikmati kebersamaan dengan-Mu selamanya. Ȃmîn.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

BIMBINGAN RUHANI SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Wahai kaumku! Rabb Al-Haqq melimpahkan berkah-Nya kepada kalian agar Dia bisa melihat apakah kalian akan bersyukur ataukah kufur, apakah kalian akan mengakui ataukah mengingkari, apakah kalian akan taat ataukah membangkang.
Kalian tidak boleh merasa terlalu gembira dengan situasi di mana kalian bergelimang dalam pujian orang banyak sementara kesalahan-kesalahan kalian tetap tersembunyi. Kehinaan akan datang cepat ataupun lambat kepada orang yang mengatakan: 
“Ya Allah, Engkau telah memberiku lebih dari yang patut kuterima, dan Engkau telah menyebarluaskan kemasyhuran dan reputasiku di kalangan manusia. Ya Allah, janganlah Engkau hinakan aku di hadapan mereka pada hari kebangkitan, sebab aku mempunyai kesalahan yang tersembunyi dan nama harum yang tersebar.” 
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir
BIMBINGAN RUHANI SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khathir mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah berfiman dalam salah satu firman-Nya yang diwahyukan melalui hadis qudsi: “Telah berdustalah orang yang mengaku mencintai-Ku, tetapi pergi tidur dan melupakan Aku begitu malam menjelang.”
Jika engkau adalah salah seorang dari mereka yang mencintai Allah, niscaya engkau akan tetap bangun dan berjaga malam, dan kalaupun engkau tidur, itu hanya akan terjadi karena kantuk telah menyerangmu dengan kekuatan yang tak tertahankan. Sang pencinta (muhibb) berada di bawah beban tekanan dan ketegangan, sedangkan sang kekasih (mahbûb) merasa tenang dan nyaman. Sang pencinta adalah orang yang mencari (thâlib), sedangkan sang kekasih adalah orang yang dicari (mathlûb).
Nabi Saw. diriwayatkan telah bersabda: “Allah akan mengatakan kepada Jibril: Jadikanlah si fulan tidur, dan jadikanlah si fulan (yang lain) bangun.”
Ada dua cara untuk memahami firman Allah ini. Yang pertama: “Jadikanlah orang tertentu—sang pencinta—bangun, dan jadikanlah orang yang lain—sang kekasih—tidur. Yang disebut pertama telah mengaku bahwa dia mencintaiku; jadi aku harus memeriksanya dan menempatkannya di tempatnya yang selayaknya, daun-daun keberadaanya bersama siapa pun selain Aku berguguran darinya.
Jadikanlah Dia bangun, sampai bukti pengakuannya dikukuhkan, dan cintanya dikukuhkan. Dan jadikanlah orang tertentu yang lain tidur, sebab dia adalah kekasih-Ku, dia telah lama bekerja keras. Tidak ada satu jejak pun yang tertinggal padanya dari orang selain Aku. Cintanya kepada-Ku telah menajdi tunggal, dan telah kukuhlah pengakuan, bukti dan pemenuhannya terhadap perjanjian-Ku. Sekarang adalah giliranku untuk memenuhi perjanjiannya. 
Dia adalah tamu, dan seorang tamu tidaklah disuruh bekerja dan melayani. Aku akan membiarkannya tidur di kamar penjagaan-Ku yang lemah lembut, dan aku akan membiarkannya duduk di meja anugerah-Ku. Aku akan menjamunya dalam kedekatan-Ku dan Aku akan memindahkannya dari hadapan orang-orang lain selain Aku. Cintanya telah terbukti asli, dan manakala cinta itu otentik, maka formalitas ditiadakan.”
Penafsiran yang lain adalah: “Jadikanlah si fulan tidur, karena tujuannya dalam menyembah-Ku adalah untuk memperoleh perhatian dari sesama makhluk. Dan bangunkanlah si fulan yang lain, sebab tujuannya dalam meyembah-Ku adalah untuk memperoleh anugerah-Ku. Jadikanlah si fulan tidur; sebab aku tidak menyukai suaranya, dan jadikanlah si fulan yang lain bangun, sebab Aku senang mendengar suaranya.”
Sang pencinta menjadi yang dicintai hanya apabila hatinya telah tersucikan dari segala sesuatu kecuali Junjungannya Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, hingga ia tidak memiliki keinginan untuk meninggalkan-Nya lagi dan kembali kepada yang lain. Jalan bagi hatinya untuk mencapai kedudukan (maqâm) ini adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (farâ’idh) menjauhi hal-hal yang haram dan nafsu badaniah (syahwât), memperoleh hal-hal yang diperbolehkan (mubâh) dan halal tanpa nafsu (hawâ) dan keterlibatan (wufûd), dan praktik yang sehat dalam menjauhi hal-hal yang haram (waraʽsyâfî) dan zuhud yang sempurna. Ia adalah meninggalkan segala sesuatu selain Allah, menentang diri rendah (nafs), nafsu (hawâ) dan setan, pembersihan hati dari semua makhluk, dan bersikap tak acuh baik terhadap pujian maupun celaan, terhadap penerimaan hadiah ataupun tidak menerima, dan terhadap kehidupan keras di padang pasir ataupun kenyamanan yang berperadaban.
Tahap pertama urusan ini adalah bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah, dan tahap yang terakhir adalah sikap tak acuh dan tidak membeda-bedakan antara kehidupan yang keras dan kehidupan yang berperadaban. Manakala hati seseorang sehat, maka dia begitu terkait dengan Tuhannya sehingga padang belantara dan kota, pujian dan celaan, sakit, dan sehat kekayaan dan kemiskinan, keberhasilan dan kegagalan duniawi semuanya tak ada bedanya sejauh menyangkut dirinya.
Manakala seseorang secara asli telah mencapai tahap ini, maka dia mengalami kematian diri rendahnya (nafs) dan nafsunya (hawâ), dorongan-dorongan alamiahnya berhenti bergejolak, dan setannya menjadi tunduk kepadanya. Dunia dan para pemiliknya menjadi tidak penting dalam hatinya, sementara akhirat dan para pemiliknya memperoleh kepentingan besar dalam pandangannya. 
Kemudian dia berpaling dari kedua dunia ini dan bergerak menuju Junjungannya. Hatinya menemukan jejak di tengah-tengah para makhluk (khalq) yang dengannya ia bisa sampai kepada kebenaran. Mereka menyisih untuknya ke kanan dan ke kiri, mundur dan memberikan jalan kepadanya, mereka lari menjauhi api kebenarannya (shidq) dan kemuliaan yang menggetarkan dari wujud terdalamnya (sirr). Sekarang dia dipandang besar di kerajaan spiritual. Semua makhluk berada di bawah kaki hatinya dan mendapatkan perlindungan dalam bayang-bayangnya.
Engkau tidak terbimbing dengan benar. Engkau mengklaim sesuatu yang bukan milikmu dan yang tidak engkau miliki. Diri rendahmu mengendalikanmu, dan makhluk-makhluk dan semua isi dunia ini berada dalam hatimu. Dalam hatimu, mereka lebih besar daripada Allah. Engkau berada di luar batas manusia-manusia (pilihan Tuhan) dan penilaian mereka. Jika engkau ingin mencapai apa yang telah kuisyaratkan, engkau harus memusatkan perhatianmu kepada penyucian hatimu dari segala sesuatu.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

PESAN SYEKH ABDUL QADIR UNTUK ANAK MUDA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Wahai anak muda! Engkau harus berjuang dengan sepenuh kemampuanmu untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Engkau harus melakukan setiap upaya untuk memberi kepada orang-orang yang tidak mau memberi kepadamu, menyambungkan tali silaturahim dengan orang-orang yang memutuskannya denganmu, dan memaafkan mereka yang menzalimimu.
Engkau harus melakukan sepenuh kemampuanmu setiap usaha agar berhasil, sedangkan matamu tetap berada bersama dengan hamba-hamba Allah yang taat, sedangkan kalbumu bersama Allah dan hamba-hamba itu.
Engkau harus melakukan sepenuh kemampuanmu setiap dalam setiap usaha untuk memastikan bahwa engkau selalu mengatakan kebenaran dan tidak pernah berdusta.
Engkau harus melakukan sepenuh kemampuanmu setiap dalam setiap usaha untuk memastikan bahwa engkau selalu tulus ikhlas dan tidak bersikap munafik!
Luqman Al-Hakim (semoga Allah merahmatinya) sering kali berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, janganlah engkau menyombongkan diri kepada manusia. Celakalah engkau jika engkau kelak bertemu dengan Allah SWT, sedangkan kalbumu tidak berharga di depan-Nya!"
Wahai anak muda!
Janganlah engkau menjadi orang yang bermuka dua, berlidah dua dengan dua macam prilaku, yang satu untuk berhubungan dengan si fulan dan yang lain untuk berhubungan dengan orang yang lain. Aku bisa memastikan kepadamu bahwa aku telah diberi wewenang untuk berurusan dengan setiap munafik yang berdusta dan Dajjal. Aku telah diberi wewenang untuk berurusan dengan setiap orang yang bersalah karena tidak taat kepada Allah, yang terpenting di antaranya adalah Iblis dan yang paling remeh adalah pendosa yang biasa (fasiq).
Aku memerangimu dan memerangi setiap orang yang sesaat, yang menyesatkan orang lain!”
--Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Jala al-Khawathir

DAN BILA TOBAT, SYUKUR & SABAR SAMPAI KEPADANYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Seharusnya kesibukan seorang Mukmin itu dengan berdzikir mengingat Allah, kembali kepada-Nya, mengingat dosa-dosanya, memohon ampunan-Nya, dan mencela nafsunya sendiri. Ketika selesai mengerjakan semua itu, ia akan kembali kepada qadha dan qadar Tuhannya. Lalu ia berkata,”Ini adalah qadha dan qadar-Nya. Dan, ini sudah ditetapkan Allah untukku.”
Dia akan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah di dalam kalbunyaa, bukan lisannya saja. Ketika berada dalam keadaan seperti ini dengan kedua mata tertutup, ia akan mendapati dinding itu hilang. Pada saat ia membuka kedua matanya, pintu dinding itu terbuka, segala bahaya berubah menjadi nikmat, tempat yang sempit menjadi lapang, kesakitan menjadi keselamatan, dan kehancuran menjadi istana.
Semua itu menjadi bukti kebenaran firman Allah SWT, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka..” (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3)
Seorang hamba akan tetap menerima nikmat dengan rasa syukur, menerima ujian dengan sikap ridha, mengakui segala salah dan dosa, serta mencela diri sendiri sampai langkah kalbunya berakhir kepada Rabb-nya. Dia terus melangkan dengan dengan amal kebaikan dan tobat dari segala kesalahan, sampai ia mencapai pintu Rabb-nya; mensyukuri nikmat-Nya dan bersabar menghadapi ujian sampai ia mencapai pintu Rabb-nya.
Jika telah sampai disana, dia akan melihat sesuatu yang belum pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam akal manusia. Jika kalbu seorang hamba sampai kepada Rabb-nya, maka tobat, syukur, sabar, amal baik, lelah dan rasa sakit akan sampai kepada-Nya. Seperti seorang musafir yang telah berhenti di tempat tujuan dan rumahnya kembali hingga yang tersisa adalah mujalasah, mujanasah, musyahadah, muhadatsah dan melihat segala rahasia.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Jala’ Al-Khathir

DAN BILA TOBAT, SYUKUR & SABAR SAMPAI KEPADANYA
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Seharusnya kesibukan seorang Mukmin itu dengan berdzikir mengingat Allah, kembali kepada-Nya, mengingat dosa-dosanya, memohon ampunan-Nya, dan mencela nafsunya sendiri. Ketika selesai mengerjakan semua itu, ia akan kembali kepada qadha dan qadar Tuhannya. Lalu ia berkata,”Ini adalah qadha dan qadar-Nya. Dan, ini sudah ditetapkan Allah untukku.”
Dia akan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah di dalam kalbunyaa, bukan lisannya saja. Ketika berada dalam keadaan seperti ini dengan kedua mata tertutup, ia akan mendapati dinding itu hilang. Pada saat ia membuka kedua matanya, pintu dinding itu terbuka, segala bahaya berubah menjadi nikmat, tempat yang sempit menjadi lapang, kesakitan menjadi keselamatan, dan kehancuran menjadi istana.
Semua itu menjadi bukti kebenaran firman Allah SWT, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka..” (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3)
Seorang hamba akan tetap menerima nikmat dengan rasa syukur, menerima ujian dengan sikap ridha, mengakui segala salah dan dosa, serta mencela diri sendiri sampai langkah kalbunya berakhir kepada Rabb-nya. Dia terus melangkan dengan dengan amal kebaikan dan tobat dari segala kesalahan, sampai ia mencapai pintu Rabb-nya; mensyukuri nikmat-Nya dan bersabar menghadapi ujian sampai ia mencapai pintu Rabb-nya.
Jika telah sampai disana, dia akan melihat sesuatu yang belum pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam akal manusia. Jika kalbu seorang hamba sampai kepada Rabb-nya, maka tobat, syukur, sabar, amal baik, lelah dan rasa sakit akan sampai kepada-Nya. Seperti seorang musafir yang telah berhenti di tempat tujuan dan rumahnya kembali hingga yang tersisa adalah mujalasah, mujanasah, musyahadah, muhadatsah dan melihat segala rahasia.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Jala’ Al-Khathir

PIKIR-PIKIRKANLAH...RENUNG-RENUNGKANLAH
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Wahai hamba-hamba Allah, kalian harus melaksanakan dengan setia lima kali shalat dalam sehari semalam pada waktu-waktunya yang telah ditentukan. Kalian harus melaksanakannya dengan memenuhi semua syarat-syaratnya dan semua rukun-rukunnya. Kalian tidak boleh melaksanakannya dengan lalai, kalian pasti sudah pernah mendengar kata-kata Allah: “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai akanshalat mereka (QS Al-Mâ‛ûn (107): 4-5).
Ibn ‘Abbâs r.a pernah mengatakan (untuk menjelaskan hal yang tampaknya paradoks itu): “Demi Allah! Bukanlah yang dimaksud itu adalah bahwa mereka meninggalkan shalat sama sekali, melainkan bahwa mereka menunda-nundanya hingga keluar dari batas-batas waktunya yang telah ditentukan.”
Bertobatlah, sebab dengan demikian Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian. Dan benar-benar setialah kepada kewajiban kalian begitu kalian telah diberi ganjaran atas taubat kalian. Bertaubatlah dari perilaku kalian yang salah di masa lalu. Bertaubatlah, wahai kalian yang telah menunda-nunda shalat hingga keluar batas waktunya. Wahai kalian yang melakukan penafsiran yang palsu (ta’wîl) dan mengambil argumentasi yang menipu yamg dikemukakan oleh setan! 
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

MENGENALI WANGI AROMA PARA WALI
Sayyid Yahya bin Mu’adz Ar-Razi mengatakan, “Wali adalah wewangian Allah di bumi. Tidak ada yang mampu mengenali aromnya kecuali orang-orang yang bergelar ash-shiddiqûn.”
اَلْوَلِيُّ رَيْحَانُ اللهِ تَعَالَى فِيْ أَرْضِهِ، يَشُمُهُ الصِّدِّيْقُوْنَ


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Bagi ash-shiddiqûn, aroma wangi sang wali akan tercium hingga lubuk hatinya. Aroma itu lantas menimbulkan gairah rindu mereka pada Tuhannya. Sehingga, ibadahnya semakin meningkat menurut kadar dan derajat akhlak dan kefanaan mereka. Ini karena, makin tinggi qurbah-nya makin bertambah pula fananya.
Dan, wali adalah orang yang ada dalam keadaan fana dan selalu musyâhadah kepada Allah. Bahkan, dirinya tidak punya kemampuan memilih dan tidak ada “tempat” yang tenang baginya selain Allah. Mereka adalah orang-orang yang diperkuat dengan karamah, tetapi mereka sendiri “tertutup” dari karamah karena tidak diberi izin untuk menjelaskannya. Sebab menjelaskan rahasia ketuhanan adalah kufur.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar,
 ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar