Rabu, 03 Juni 2015

HIKMAH 4

AJARAN RIDHA SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai orang-orang yang bertawajuh kepada-Nya, salah satu konsekuensi dari tauhid adalah kalian tidak boleh menampakkan dan menumpahkan keluhan kepada Allah dalam hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi. Kalian tidak boleh memaksa dalam munajat dan doa. Karena yang kalian kritik itu Maha Melihat semua kebutuhan kalian. Jadi kalian harus ridha atas semua ketetapan yang kalian jalani. Ridha memang pendamping yang terbaik. Karena itu Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menyukai keterusterangan dengan (perkataan) buruk, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kalian menampakkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau kalian memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Berkuasa. (QS An-Nisa 148-149)
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Allah yang Maha Bertajalli dengan nama-Nya "Ar-Rahmân" di setiap butir zarah semesta dengan seimbang dan lurus tanpa kerancuan, sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang diucapkan secara blak-blakkan dan “gembar-gembor” tentang keburukan, sungguh Dia tidak menyukai hal-hal buruk yang diucapkan secara terang-terangan, apalagi hal-hal yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan syariat.
Allah juga sangat peduli pada urusan ini dan menyampaikan seruan mengenai hal tersebut. Karena di dalam kerajaan-Nya memang tidak boleh ada sesuatu pun yang terjadi, melainkan hanya keadilan dan kebaikan. Khusus untuk keterusterangan dari ucapan atau pengaduan orang yang telah dizalimi, sesungguhnya Allah sangat menyukai pengaduan orang yang terzalimi, karena Dia akan bersegera untuk mengabulkan permohonannya. Sebab bagi Allah, orang yang zalim itu telah keluar dari keadilan-Nya dan keluar dari jalan-Nya yang lurus.

Allah yang Maha Bertajalli di atas keadilan yang lurus Maha Mendengar ucapan korban kezaliman yang berterus-terang, Dialah Dzat yang Maha Mengetahui tentang kezaliman dan para pelaku penzaliman, serta Maha Mengetahui balasan apa yang layak. Dia akan memberi balasan kepada pelaku kezaliman sesuai pengetahuan-Nya. Wahai  orang-orang Mukmin, jika kalian menampakkan dan menunjukkan sesuatu kebaikan kepada semua makhluk atau menyembunyikannya tanpa diketahui orang banyak, atau kalian memaafkan suatu kesalahan orang, mengampuni pelaku kezaliman, tidak membalasnya dan tidak mengadu kepada Allah Sang Maha Pembalas, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat berbagai rahasia dan niat kalian, dan Dia Maha Pemaaf terhadap kalian, Maha Menghapus dosa-dosa kalian, meski Dia juga Maha Berkuasa untuk membalas perbuatan si penzalim demi membela kalian.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani –

TENGGELAM DAN FANA DALAM SAMUDRA TAUHID
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada penutup surah An-Nisa dalam Tafsir Al-Jailani mengatakan:
“Wahai engkau yang selalu berusaha mewujudkan kebenaran, yang selalu bergerak menuju keesaan Allah –semoga Allah menghantarkanmu ke puncak tujuanmu—engkau harus berpegang pada semua bukti yang jelas, yang sampai kepadamu dari Rasulullah SAW yang menunjukkan tauhid al-Haqq. Engkau juga harus mengambil cahaya Al-Qur`an yang membedakan antara yang hak dan batil yang ada di jalan-Nya, lalu kau laksanakanlah berbagai hal yang dapat mengantarkan kepada Allah, yang engkau temukan di jalan itu.
Engkau harus menghindari semua larangan-Nya yang akan menyesatkanmu dan menjauhkanmu dari-Nya. Engkau harus berakhlak dengan berbagai kandungan yang terdapat di dalam semua hukum dan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya; agar engkau dapat mewujudkan rahasia tauhid yang disimbolkannya dan sinar keeesaan Allah dalam kemasan keberbilangan. Engkau harus teguh bersemayam di wilayah keesaan Dzat yang akan mengenyahkan semua hasrat batil yang musnah dalam seluruh diri-Nya.
Semua ini tentu tidak mudah untuk engkau lakukan, kecuali dengan melakukan khidmat panjang kepada sang Mursyid al-Kâmil al-Mukammil (yang sempurna dan menyempurnakan) yang membimbingmu kepada Allah, sebagai bentuk uluran dari Tali Allah yang terentang dari keazalian Dzat sampai keabadian asma dan sifat-sifat-Nya. Ketahuilah bahwa "Tali Allah" itu adalah al-Qur`an yang diturunkan kepada sang Makhluk Terbaik Muhammad SAW yang telah bersabda: "Al-Qur`an adalah Tali Allah yang terentang dari langit sampai ke bumi."
Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah hidangan Allah. Maka ambillah dari hidangan-Nya semampu kalian. Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah Tali Allah dan Cahaya yang Menjelaskan (an-Nûr al-Mubîn) dan Penyembuh yang Bermanfaat (asy-Syifâ` an-Nâfi'), yang menjadi 'ishmah (pelindung dari dosa) bagi siapapun yang berpegang kepadanya, dan menjadi keselamatan bagi siapapun yang mengikutinya. Ia tidak menyimpang sehingga perlu dikecam, dan ia tidak bengkok sehingga perlu diluruskan. Keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis, dan ia tidak diciptakan disebabkan banyaknya bantahan. Bacalah ia, karena sesungguhnya Allah memberi kalian pahala atas bacaannya dengan ganjaran satu huruf dibalas sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwa alif lâm mîm adalah satu huruf, melainkan alif, dan lâm, dan mîm …"(HR Al-Hakim dan Ibn Syaibah)
Jadi siapapun yang ingin menyelami gelombang samudera Al-Qur`an untuk mengeluarkan mutiara-mutiara keyakinan dan 'irfan, maka ia harus lebih dulu berpegang pada hukum-hukum syariat cabang (furu’iyah) yang digali oleh para Pemilik Tekad yang Benar (arbab al-‘azaim ash-shahihah), dari pengertian lahiriah ayat-ayat Al-Qur`an. Tujuannya adalah agar ia dapat menangkap aspek lahiriah dari para Ashhâb al-Yaqazhah (para Pemilik Kesadaran) dari kalangan Ahl ath-Thalab wa al-Irâdah (salik) agar jiwa mereka siap melakukan semua itu, dan batinnya menjadi jernih, sehingga aliran dari Lautan Tauhid dapat mengalirinya.
Ketika itu terjadi, maka ia akan siap menjadi tempat bagi sang Penguasa Kerinduan dan Cinta (Sulthân al-'Isyq wa al-Mahabbah). Karena perlindungan bagi inti tauhid tidak lain adalah berupa hukum-hukum syariah dan adab thariqah bagi para salik yang bergerak menuju hakikat melalui suluk dan mujahadah.
Adapun berkenaan dengan para budalâ` (para wali abdâl) yang selalu tenggelam dalam Lautan Dzat dan terpesona oleh penglihatan pada keindahan Ilahi, yaitu mereka yang fana` di dalam Allah secara mutlak –sehingga "mereka" adalah "Dia" dan "Dia" adalah "mereka"- maka kita dan mereka berada pada posisi masing-masing, sehingga kita tidak layak membicarakan tentang mereka. Semoga Allah menjadikan kita termasuk para pelayan dan debu di kaki mereka.
Wahai murid yang bertekad menempuh suluk jalan fana` dengan tekad yang kuat, dalam tekadmu ini engkau terlebih dulu harus menjernihkan sirr dan isi kalbumu dari segala bentuk tawajuh kepada yang selain al-Haqq. Engkau juga harus menjadikan tuntutan dan maksudmu hanyalah untuk tenggelam (istighrâq) dan fana (fana`) di dalam Lautan Keesaan.
Semua ini sama sekali tidaklah mudah bagimu, kecuali jika kau berhasil menghancurkan bahtera dirimu yang batil. Tapi untuk menghancurkannya pun tidaklah mudah bagimu, kecuali jika kau melakukan riyadhah yang berat, dalam bentuk lapar, haus, begadang pajang, pemutusan semua kelezatan inderawi dan syahwat nafsu untuk kemudian beralih kepada kelezatan cinta, fana, sabar terhadap bala, dan ridha atas semua ketetapan Allah yang kau alami. Jika kau berhasil mewujudkan semua ini di dalam dirimu, niscaya dirimu akan melemah dan bahteramu akan melamban. Pada saat itu, engkau akan mudah untuk menghancurkannya, cukup dengan kau berdiri di atasnya.
Ya Allah, ya Tuhan kami. Dengan kelembutan-Mu, hiasilah lahiriah kami dengan syariat-Mu; hiasilah batiniah kami dengan hakikat-Mu; hiasilah hati kami dengan musyahadah-Mu; hiasilah arwah kami dengan mu'ayanah-Mu; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala yang Engkau kehendaki, dan Engkau layak menjadi tumpuan harapan orang-orang yang beriman.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Tafsir Al-Jailani.

DOA SYEKH ABDUL QADIR UNTUK HATI YANG GUNDAH
Wahai Tuhan kami, wahai Dzat yang telah memelihara kami dengan kelembutan untuk dapat menerima taklif dari-Mu agar kami dapat mencapai kejernihan tauhid-Mu dan penyucian-Mu, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa untuk melaksanakan taklif disebabkan imkân (kelemahan sebagai makhluk) atau kami bersalah dalam pelaksanaan taklif itu disebabkan kebodohan kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban berat berupa tirai tebal dan penutup yang membutakan mata hati kami sehingga kami tidak dapat melihat cahaya tauhid-Mu sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami berbagai kelelahan riyadhah dan kesulitan taklif disebabkan kotoran imkân dan noda ketergantungan kepada yang selain Engkau apa yang tak sanggup kami memikulnya, dan maafkanlah dan hapuskanlah dengan anugerah-Mu dari berbagai hal yang muncul disebabkan sifat-sifat imkân yang kami miliki.
Ampunilah kami, wahai Tuhan kami, hapuskanlah egoisme dalam diri kami dari pandangan kami sendiri danrahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang luas. Engkaulah Penolong kami, penolong dengan segala nikmat yang kami terima, maka tolonglah kami dengan bantuan dan pertolongan-Mu dalam tauhid-Mu terhadap kaum yang kafir, yang Huwiyah mereka sendiri yang bathil telah menutupi mereka daro Syams Al-Haqq yang terang menyinari seluruh cakrawala. Teguhkanlah kami dengan kelembutan-Mu, kebenaran-Mu, tauhid-Mu, wahai penolong yang terbaik, wahai pemberi petunjuk kepada orang-orang sesat.
Doa ini dikutip dari penafsiran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang QS Al-Baqarah ayat 286 dalam Kitab Tafsir Al-Jailani:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۭ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۭرَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَاْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَاعْفُ عَنَّا ۪ وَاغْفِرْ لَنَا ۪ وَارْحَمْنَا ۪ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْــصُرْنَا عَلَي الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ٢٨٦؀ۧ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Baginya pahala (dari kebajikan) yang dilakukannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, dan janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Dan maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Allah tidak membebani para hamba-Nya. Allah yang Maha Memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya untuk menuju kepada-Nya. Allah tidak memberi beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya.
Allah tidak memberi beban melainkan sesuai kemampuan dan kesiapannya, dan apa yang telah ditetapkan Allah baginya sejak jauh sebelumnya, dengan Ilmu Hudhuri yang dimiliki-Nya sehingga tampaklah bahwa baginya pahala (dari) yang dilakukannya, berupa kebajikan dengan kesiapan fitrah-naluriahnya dan ia mendapat siksa (dari) yang dikerjakannya, berupa kejahatan, karena mengikuti nafsu dalam imkân yang menjadi sumber dari segala kerusakan. Kemudian ketika Allah menunjukkan rahasia dari taklif,
Dia juga ingin menunjukkan bahwa semua taklif yang dapat dilakukan hamba-Nya sebenarnya hanya dapat dilakukan berkat taufik dan jadzb (gaya tarik) dari-Nya. Itulah sebabnya Allah mengajarkan sebuah doa mohon pertolongan dan keselamatan kepada mereka seperti doa di atas.


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar