Sabtu, 06 Juni 2015

TERAPI KEMATIAN MENURUT IBNU MISKAWAIH



Ibn Miskawaih pernah menganalisa sebab-sebab ketakutan manusia terhadap kematian dengan penjelasan menarik. Berikut ini adalah pemaparan dari Dr Muhammad ‘Utsman Najati tentang hal tersebut:
1. Terhadap orang yang tidak memahami hakikat kematian, kita menjelaskan kepadanya bahwa kematian tidak lebih dari proses jiwa meninggalkan badan. Jiwa adalah substansi yang bersifat non-fisik yang berbeda dengan substansi badan. Jika jiwa meninggalkan badan, maka jiwa tetap hidup sebagaimana yang menjadi sifatnya; jiwa menjadi bersih dari noda, dan memperoleh kebahagiaan total.
2.  Terhadap orang yang tidak takut pada kematian karena tidak tahu nasib jiwanya, atau karena ia mengira bahwa jika badan dan strukturnya rusak dan hancur, maka jiwa dan zatnya akan hancur pula; tidak tahu tentang keabadiaan jiwa; dan metode kembalinya jiwa, maka kita harus memberitahu kepadanya tentang hakikat kematian, sebab orang semacam ini sebenarnya tidak takut pada kematian, tetapi ia tidak tahu apa yang seharusnya ia tahu. Jadi, kebodohan itulah yang ditakuti yang menyebabkan timbulnya ketakutan. Cara membebaskan diri dari kebodohan ini adalah mengetahui bahwa jiwa merupakan substansi Ilahiah yang bersifat luhur. Jika jiwa terbebas dari substansi yang bersifat fisik, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan, kembali pada malakutnya, dekat dengan Sang Pencipta, memperoleh kemenangan di sisi Tuhan semesta alam, dan bercampur dengan ruh-ruh yang baikdari bentuk dan jenis yang sama.
3.    Terhadap orang yang mengira bahwa kematian menimbulkan penderitaan yang luar biasa dan berbeda dengan penderitaan yang kebetulan mendahului dan menimbulkan kematian, maka terapinya adalah dengan menjelaskan bahwa dugaan itu salah. Sebab, kematian hanya terjadi pada orang yang hidup. Orang yang hidup adalah yang menerima pengaruh jiwa, sedangkan fisik yang tidak mengandung pengaruh jiwa tidak merasakan sakit dan penderitaan. Jadi, kematian yang merupakan proses perpisahan jiwa dan badan tidak mengandung penderitaan.
4. Terhadap orang yang takut pada kematian karena hukuman yang dijanjikan untuknya setelah kematian, maka harus dijelaskan kepadanya bahwa ia sebenarnya tidak takut pada kematian, tapi takut pada hukuman. Hukuman hanya terjadi atas sesuatu yang abadi setelah badan mengalami kehancuran. Jadi, sebenarnya ia tidak takut pada kematian tetapi takut kepada dosa-dosanya. Barangsiapa yang takut hukuman atas suatu dosa, maka ia harus berhati-hati terhadap perbuatan dosa dan menjauhinya.
5.  Orang yang takut pada kematian karena tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian, maka sebab ketakutannya adalah ketidaktahuan. Terapinya adalah mengetahui dan mempelajari perilaku jalan yang lurus yang dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan abadi.

6. Terhadap orang yang menganggap bahwa ia takut atau bersedih karena keluarga, anak, dan hartanya yang ia tinggalkan serta menyesali kenikmatan dan syahwat duniawi yang berlalu, maka ia harus mendapatkan penjelasan bahwa kesedihan merupakan sikap yang terburu-buru terhadap penderitaan dan sesuatu yang tidak menyenangkan serta mengurangi kesedihan. Kemudan ia harus mendapatkan penjelasan bahwa tujuan dan simpanan duniawi pasti mengalami kehancuran dan tidak abadi, dan dijelaskan bahwa semua itu menimbulkan nestapa besar terhadap keberadaannya dan duka lara yang mendalam ketika kehilangannya. Oleh karena itu, para ahli hikmah menghinanya dan berusaha mencapai nikmat yang abadi dan kekal.
-- Disarikan dari kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Miskawaih, yang terdapat dalam Ad-Dirasat An-Nafsiyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, karya Dr. Muhammad Utsman Najati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar