Kamis, 28 September 2017

AJARAN RIDHA SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Wahai orang-orang yang bertawajuh kepada-Nya, salah satu konsekuensi dari tauhid adalah kalian tidak boleh menampakkan dan menumpahkan keluhan kepada Allah dalam hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi. Kalian tidak boleh memaksa dalam munajat dan doa. Karena yang kalian kritik itu Maha Melihat semua kebutuhan kalian. Jadi kalian harus ridha atas semua ketetapan yang kalian jalani. Ridha memang pendamping yang terbaik.

Karena itu Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menyukai keterusterangan dengan (perkataan) buruk, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kalian menampakkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau kalian memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Berkuasa. (QS An-Nisa 148-149)

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Allah yang Maha Bertajalli dengan nama-Nya "Ar-Rahmân" di setiap butir zarah semesta dengan seimbang dan lurus tanpa kerancuan, sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang diucapkan secara blak-blakkan dan “gembar-gembor” tentang keburukan, sungguh Dia tidak menyukai hal-hal buruk yang diucapkan secara terang-terangan, apalagi hal-hal yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan syariat.
Allah juga sangat peduli pada urusan ini dan menyampaikan seruan mengenai hal tersebut. Karena di dalam kerajaan-Nya memang tidak boleh ada sesuatu pun yang terjadi, melainkan hanya keadilan dan kebaikan. Khusus untuk keterusterangan dari ucapan atau pengaduan orang yang telah dizalimi, sesungguhnya Allah sangat menyukai pengaduan orang yang terzalimi, karena Dia akan bersegera untuk mengabulkan permohonannya.
Sebab bagi Allah, orang yang zalim itu telah keluar dari keadilan-Nya dan keluar dari jalan-Nya yang lurus.
Allah yang Maha Bertajalli di atas keadilan yang lurus Maha Mendengar ucapan korban kezaliman yang berterus-terang, Dialah Dzat yang Maha Mengetahui tentang kezaliman dan para pelaku penzaliman, serta Maha Mengetahui balasan apa yang layak. Dia akan memberi balasan kepada pelaku kezaliman sesuai pengetahuan-Nya.

Wahai orang-orang Mukmin, jika kalian menampakkan dan menunjukkan sesuatu kebaikan kepada semua makhluk atau menyembunyikannya tanpa diketahui orang banyak, atau kalian memaafkan suatu kesalahan orang, mengampuni pelaku kezaliman, tidak membalasnya dan tidak mengadu kepada Allah Sang Maha Pembalas, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat berbagai rahasia dan niat kalian, dan Dia Maha Pemaaf terhadap kalian, Maha Menghapus dosa-dosa kalian, meski Dia juga Maha Berkuasa untuk membalas perbuatan si penzalim demi membela kalian.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, terj. Tim Markaz Al-Jailani.

Rabu, 27 September 2017

IKHLAS MENGHADAPI TAKDIR ALLAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberi nasehat:
“Barang siapa yang memperlakukan Allah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, berarti ia telah mencampakkan segala sesuatu selain-Nya di pagi dan sore. Wahai manusia, jangan engkau mengaku-aku apa yang tidak engkau miliki. Tauhidkanlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan sesuatu pun! Demi Allah, sesungguhnya panah takdir-Nya hanya membuatmu lecet saja dan tak akan sampai mematikanmu. Dan, siapa pun yang mem-fana-kan diri demi Allah, maka ia akan memperoleh ganti dari-Nya.
Ketahuilah, jika kalian tidak mengakui qadha dan takdir, ia tetap akan mengenaimu. Ia tak akan memilah-milah kalbu sampai ia terpilih dan menjadi seperti anjing yang terus menunggu di depan pintu dan berseru: “Wahai jiwa yang tenang, kembalikah pada Rabbmu dengan keridhaan dan ridha-Nya.”
Ketika itulah kau akan masuk ke Hadirat Allah dan Dia menjadi Ka’bah dalam thawaf. Allah pun akan menyingkapkan kebesaran Kerajaan-Nya di hadapannya, menempatkannya di kemah kedekatan dan memancangkannya di samping kerajaan. Ia disalami dan disapa selalu, dan mendengar panggilan di Ar-Rafiq al-‘Ala’: “Hamba-Ku dan seluruh hamba-Ku, engkau adalah untuk-Ku dan Aku adalah untukmu.”
Jika persandingan bersama Sang Raja berlangsung lama, maka ia pun akan diangkat menjadi tangan kanan Raja (Bithanah Al-Mulk) dan khalifah-Nya dalam mengurusi rakyatnya, juga menyimpan rahasia-rahasianya. Dia akan mengirimnya ke lautan untuk menyelamatkan orang-orang yang tenggelam, atau mengirim ke daratan untuk membimbing orang-orang yang tersesat.
Jika ada mayat yang lewat di hadapannya, maka ia bisa menghidupkannya. Jika ada seorang pemaksiat, maka ia akan mengingatkannya. Jika ada orang yang jauh dari Allah, maka ia akan mendekatkannya. Jika melewati orang yang menderita, maka ia akan membahagiakannya.
Wali adalah ghulam (anak muda) Badal. Badal adalah ghulam Nabi, lalu Nabi adalah ghulam Rasulullah SAW. Permisalan perwalian seperti hulubalang-hulubalang kerajaan dan tangan kanan Raja yang terus mendampinginya, kecuali ia ingin memilih kesendiriannya, maka pengantin mereka pun berlalu.
Malam adalah ranjang raja mereka. Siang mengagungkan mereka.
Anakku, jangan engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu! “

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab As-Suluk wa At-Tawassul ila Manazil Al-Muluk

Senin, 25 September 2017

RAHASIA DZIKIR MENURUT SYEKH IBNU ATHA'ILLAH

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah--

Jumat, 22 September 2017

TAFAKUR SETIAP SAAT


Tafakur bisa dilakukan setiap saat. Setiap kali ada kesempatan. Bahkan saat kerja dengan berbagai kesibukan. Karena ia akan melahirkan kekuatan iman, cinta,syukur, waspada dan takut kepada Allah.
Jumhur Ulama mengatakan, "Tafakur itu ada lima macam, yakni:
1.Tafakur tentang ayat-ayat Allah;buahnya adalah tauhid dan yakin kepada Allah.
2.Tafakur tentang nikmat-nikmat Allah;buahnya adalah rasa cinta dan syukur kepada Allah.
3.Tafakur tentang janji-janji Allah;buahnya adalah rasa cinta kepada kebahagiaan akhirat.
4.Tafakur tentang ancaman Allah;buahnya adalah kewaspadaan dalam menjauhkan maksiat dan mengagungkan Allah.
5.Tafakur tentang sejauh mana ketaatan kepada Allah dan kebaikan Allah kepada diri kita;buahnya adalah rasa takut kepada Allah."

---Nashaihul Ibad,Imam Nawawi Al-Bantani

JALAN PENDAKIAN RUHANI


Sisi lahir dan batin manusia adalah anugerah terbesar yang telah diberikan Allah. Karena cinta, Dia mencipta. Karena cinta pula Dia ingin dikenal. Dan, hati manusia adalah misteri terdalam yang menyimpan rahasia-Nya.

"Apa tidak cukup dengan pengamalan syariat kita mengenal Allah," tanya sahabatku di sebuah warung kopi .Silaturahmi kami terasa begitu akrab.
"Syariat itu rahasia dari sisi lahir untuk mengenal Allah. Dengan pengamalan syariat, seorang dapat mengenal-Nya pada aspek penghambaan lahir," jawabku.
"Berarti tidak perlu belajar makrifatullah atau tasawuf dong, cukup amalan syariat?" tanyanya lagi.
"Harus diakui, meski hanya gerak simbolik dalam ibadah, kalau itu dikerjakan dengan tulus dan istiqamah, murni menjalankan ibadah, maka itu pun pengenalan makrifatullah di tingkat tertentu," jawab saya.
"Berarti pelaksanaan syariat juga sudah masuk kategori makrifatullah?" desaknya.
"Betul. Mana ada sih, ulama, guru dan orangtua kita menyuruh kita shalat tidak dengan khusyuk atau melibatkan aspek lahir dan batin? Pasti, ahli fiqih pun punya pemahaman batin. Tapi, tentu dengan tingkat makrifat sesuai tingkatannya," jawabku.
"Iya...Betul. Tapi, apakah semua aspek ibadah lahir harus juga dipahami secara batin?"
"Semua ibadah punya sisi lahir dan batin, ia bisa vertikal dan horizontal, berdimensi ruhani dan sosial. Semua harus melekat pada pelaksanaan ibadah. Baik implikasinya langsung atau tidak langsung."
"Maksud implikasi langsung atau tidak langsung itu apa?"
"Begini. Mungkin seseorang itu hanya mampu melaksanakan syariat sesuai tingkat kemampuan dan keawaman makrifatnya. Tapi, bukan berarti tak punya implikasinya pada aspek psikologis dan sosial. Misalnya, boleh jadi dengan istiqamah melakukan shalat, ia bisa merasa tenang, tidak gampang marah, mencintai keluarganya, hati-hati dalam bicara dan bergaul, peduli terhadap sesama, dan lain-lain."
"Lalu, sudah nggak penting dong belajar tasawuf, sebab ulama fiqih pun biasa jelaskan itu?!"
"Pemahaman makna batin dalam shalat kan bukan hanya implikasi seperti itu saja."
"Apa ada yang lebih dalam?" tanyanya lagi.
"Shalat itu mikraj bagi seorang Mukmin. Ia juga munajat seseorang kepada Allah. Di dalamnya kita melakukan komunikasi lahir dan batin. Secara lahir kita melakukan gerak shalat syariat, lalu batin kita menghadap Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Kita memasuki dimensi "barzakh" dimana para nabi, rasul, wali, orang-orang shaleh, dan kakek buyut atau saudara kita yang telah meninggal berada di alam itu. Saya berusaha membawa kesadaran batin shalat saat di luar shalat."
"Subhanallah. Bagaimana bisa shalat seperti itu?"
"Saya juga masih belajar. Kadang ya bingung juga. hehehe.Saya hanya berusaha istiqamah. Merenungi tentang diri dengan penghayatan makna gerak dan makna bacaan doa dalam shalat. Malah kadang saya seperti wayang."
"Tiap hari belajar, 5 kali?"
"Iya. Latihan batin. Sambil menjalani peran kita sebagai hamba. Bagaimana dengan pengalamanmu saat shalat?" tanyaku.
"Saya juga bingung nih. Apakah saya itu merasakan khusuk atau apa. Saya cuma GR memahami makna ihsan dalam shalat. Kadang, saat sujud, saat doa munajat diungkapkan, saya merasa damai, seperti sedang menyampaikan proposal. Kadang, saat duduk tahiyat, saya merasakan kesadaran ruhani yang kuat, seolah-olah Rasul duduk bersamaku," katanya.
"Subhanallah. Mantaffff, Bro."
Semakin terasa hangat di sore hari. Obrolan di warung kopi tentang makna ibadah semakin mengentalkan persahabatan. Kita hanyalah pendaki, pejalan, yang hanya sesekali singgah. Hidup begitu singkat. Maka, di sudut warung kopi, di setiap tegukan kopi yang pahit, kami sempatkan untuk sekadar mengingat jalan kembali.

Salam

ENAM KEGAGALAN MENGENAL ALLAH


Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah menjelaskan tentang 6 aspek kegagalan manusia dalam mengenal Allah. Bahkan, menurutnya, meski pernyataan Al-Quran telah sangat jelas, namun masih banyak orang yang karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut.Diantara beberapa penyebab kebodohan dan kegagalan mereka adalah:

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan dan pemikiran, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada yang menyebutnya dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan bermanfaat sedikit pun.
Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah begitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.
Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beribadah atau tidak.” Pikiran mereka itu seperti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, "Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."
Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, tetapi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah berfirman, “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.”
Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya.” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

Kelima, kelompok orang yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras.
Meski Alquran mengatakan: “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.” (Q. 53: 39).
Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya.
Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi – manusia paling mulia – pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.

---Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah--

Minggu, 17 September 2017

MAKNA BERGANTUNG KEPADA ALLAH


"Mengapa Ustaz selalu posting tentang zuhud? Mengapa selalu kita disuruh untuk membenci dunia? Bukankah kita harus seimbang dunia-akhirat? Bukankah ini sama saja mengajak umat menjadi malas? Tasawuf bisa merusak mental generasi!" ujar salah seorang sahabat melalui pesan teks di selularku 6 bulan lalu.
"Bu, yang saya jelaskan itu bab hati. Agar manusia tetap menggantungkan harapan tetap kepada Allah. Kerja dan usaha tetap harus dilakukan, tapi iringi dengan tawakal," jawabku.
Saya faham protes yang dia layangkan itu. Saya tahu persis bahwa dia adalah pekerja keras, memiliki karier yang bagus, dan berpendidikan tinggi. Dia bahkan pernah mengatakan, "Imam Al-Ghazali harus bertanggungjawab atas kemunduran Islam," tegasnya.
Saya sebenarnya tak mau berdebat panjang tentang tema ini melalui SMS. Tapi, pesannya menjadi semacam teror. "Tasawuf bisa jadi racun bagi masyarakat!" katanya lagi.
"Silakan fahami baik-baik makna hikmah dari setiap tulisan di Tasawuf Underground. Itu buat bahan renungan hati. Bagi saya, tasawuf bisa jadi motivasi kerja yang dahsyat, bisa jadi semangat, berpikir positif dan selalu tawakal dalam keadaan apa pun. Mendekat kepada Allah itu tidak perlu menunggu sebab. Tidak perlu menunggu musibah datang baru kita bertawakal. Tidak perlu menunggu bencana kita baru mendekat kepada Allah," kataku mengakhiri dialog panjang.
Setelah beberapa bulan berikutnya, dia mulai SMS berbeda. "Ustaz, suami saya selingkuh. Sudah 2 minggu nggak pulang ke rumah," katanya.
Dia telpon sambil menangis. Saya hanya bisa berucap "Sabar...sabar. Bicara baik-baik dengan suami ya," jawabku.
Kehidupan ekonominya mulai goyah. Anak pertamanya tergoda narkotika. Dan, anak keduanya terkena asma. Rumah tangga di ujung tanduk hanya dalam beberapa bulan berselang. Kini, pekerjaannya pun terancam hilang. Galau dan sedih jadi menu hariannya.
Kadang kerja keras dan perhitungan matematis manusia bukan menjadi ukuran. Meskipun rencana sudah disusun masak, tapi keberhasilan usaha tetap saja bukan wewenang manusia. Itulah mengapa sikap tawakal itu harus disertai sejak awal melangkah.
"Ustazzz. Saya..." katanya melalui SMS.
"Sudahlah, silakan baca dan fahami saja tulisan-tulisan saya di Tasawuf Underground. Insya Allah bermanfaat," jawabku.
Dua minggu berikutnya, dia menelpon dengan suara lirih. Dia bercerita apa yang terjadi. Neraka keluarganya semakin membara.
"Bergantung kepada Allah itu syarat penghambaan. Berusaha dan bekerja itu wajib. Tapi, gantungkan semua harapanmu hanya kepada Allah. Berharap kepada makhluk hanya membuatmu kecewa dan semakin terpuruk. Letakkan dunia itu di tangan, jangan di hatimu!" jawabku tegas.
Keberkahan hidup itu memang tak bisa dihitung dengan logika manusia. Ia menjadi aliran darah dan gerak nafas kita, namun kita tak menyadarinya. Tuhan selalu hadir mengawasi, memelihara dan memberi rezeki kepada kita, tapi kita selalu buta. Kita selalu terpaku pada sebab-akibat, seolah-olah sebab dirimu bisa mengatur urut-duduk takdir.
"Terima kasih, Ustaz. Maafkan perkataanku tempo dulu. Saya sekarang baru faham," katanya dengan isak tangis di ujung telpon.
Kadang musibah dan cobaan hidup bisa datang kapan saja di luar nalar. Dalam hitungan hari ditenggelamkan, lalu dalam hitungan hari pula kita belajar berenang ke tepian. Alhamdulillah, kesadaran ruhani keluarga ini mulai pulih. Suaminya kembali ke pangkuannya. Dia mulai bisa move on.a
"Pada tiap hembusan nafasmu yang berdzikir dan berharap kepada Allah, akan selalu ada berkah dan rahmat. Maka, maknai penghambaanmu dengan sikap tawakal dan berharaplah kepada-Nya dalam setiap keadaan," kataku.

Semoga bermanfaat.

KEMATIAN PASTI AKAN DATANG


Ummu Al-Mundzir menuturkan, “Pada suatu sore Rasulullah SAW muncul di tengah-tengah para sahabat, lalu beliau bersabda, ‘Wahai manusia, apakah kalian tidak merasa malu kepada Allah?’ Mereka bertanya, “Mengapa kami harus merasa malu, Ya Rasulullah?’
Beliau bersabda, “Kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan, kalian mengangan-angankan sesuatu yang tak dapat kalian jangkau, dan kalian membangun sesuatu yang tidak kalian tempati?’” (HR Ibu Abi Dunya)
Rasulullah SAW juga bersabda, “Wahai anak cucu Adam, jika kalian berakal, maka anggaplah diri kalian termasuk orang-orang yang sudah mati. Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, ‘Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang, dan kamu sekalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri.” (HR Ibn Abi Dunya dan Ath-Thabrani)
Rasulullah SAW pernah berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” (HR Ibn Abi Dunya).

Al-Hasan menuturkan bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian semua mau masuk surga?” Lalu, para sahabat pun menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, jangan banyak angan-angan. Letakkanlah ajal kalian di depan mata. Dan, merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR Ibn Abi Dunya).

MAHADAYA CINTA DARI SYEKH ABDUL QADIR

Syekh Abdul Qador Al-Jailani mengatakan: 
“Betapa banyak Mukmin yang mengatakan, ‘Si Fulan didekatkan, aku dijauhkan. Si Fulan diberi, sedangkan aku tidak. Si Fulan diberi pujian, sedangkan aku dicela. Si Fulan dibenarkan, sedangkan aku didustakan.”

Tidakkah engkau mengetahui sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu. Sesungguhnya Dzat yang Satu itu mutlak bersifat Tunggal dan Esa dalam satu mahabbah-Nya, serta mencintai keesaan dalam Mencintai (mahabbah).
Apabila engkau diberi kedekatan melalui jalan orang lain, akan berkuranglah kecintaanmu kepada-Nya, dan engkau akan terpecah hatinya. Kadang-kadang dalam dirimu terdapat kecenderungan terhadap seseorang yang dalam genggamannya terdapat hubungan dan nikmat. Maka, akan semakin berkuranglah rasa cintamu kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Dan, Allah adalah Dzat Yang Maha Pencemburu. Dia tak mau diduakan (disekutui). Maka, Allah akan mencegah dan menghalangi setiap orang selainmu untuk mempunyai hubungan denganmu, mencegah lisanmu, menghalangi kakinya untuk berjalan menuju kepadamu supaya engkau tidak sibuk dengannya.
Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah SAW, “Hati akan ditarik pada kecintaan orang yang berbuat baik kepadanya.” (HR Abu Naim)

Allah SWT juga pernah berfirman, “Dia akan mencegah setiap makhluk untuk berbuat baik kepadamu dalam semua sisi dan sebab, sampai akhirnya engkau hanya mencintai dan mengesakan-Nya. Dan, engkau menjadi milik-Nya dari semua arah, baik lahirmu maupun batinmu, dan dalam gerakmu atau dalam diammu.
Maka, janganlah melihat kebaikan selain dalam Dzat-Nya, dan melihat keburukan pada selain-Nya. Engkau harus fana dari semua makhluk, semua jiwa, maupun hawa nafsumu sendiri. Begitu juga dari semua keinginan, cita-cita dan semuanya selain Dzat Yang Maha Menciptakan dan menjadi Tujuan Penyembahan kita.
Lalu, Dia akan membuka dan memberikan semua tangan kepadamu, menyerahkan pemberian kepadamu dan memasrahkan semuanya kepadamu.Dia akan menganugerahkan lisan-lisan yang selalu memujimu. Dia akan memberikan karunia kepadamu selamanya. Baik di dunia maupun di akhirat. Maka, janganlah berprilaku buruk!”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib.


Jumat, 15 September 2017

MEMAHAMI REZEKI DAN TUNTUTAN NAFSU

Sebagai hamba kita memang diperintahkan oleh Allah untuk bekerja dan berusaha. Ini adalah bagian dari ibadah yang harus dikerjakan seorang Muslim. Lalu, Allah SWT melalui Rasulullah SAW meletakkan dasar-dasar muamalat dalam Islam sebagai panduan. Meskipun begitu, Allah juga memerintahkan untuk bertawakal, menyerahkan kebergantungan hati kita kepada Sang Maha Pemberi Rezeki: Allah. Hanya Dialah yang memberi rezeki, kepada-Nya kita beribadah, kepada-Nya meminta.

Imam Al-Ghazali mengatakan: “Untuk mengatasi kendala rezeki, sebenarnya engkau cukup bertawakal dengan sebenar-benarnya, yakni engkau pasrahkan kepada Allah dalam urusan sumber rezeki dan kebutuhanmu, dalam semua keadaan.”
Menurutnya, ada dua alasan mengapa kita harus bertawakal kepada Allah:

1) ”Agar engkau bisa berkonsentrasi penuh beribadah dan berbuat kebaikan lainnya. Sebab, orang yang tidak bertawakal (berserahdiri) pasti lahir dan batinyya lebih sibuk pada urusan mencari rezeki dan kebutuhan dunia lainnya daripada beribadah kepada Allah. Ia menggunakan tubuhnya untuk bekera sepanjang hari untuk memperoleh nafkah, namun hati dan pikirannya selalu memikirkan rezeki dengan rasa was-was. Padahal, ibadah itu membutuhkan konsentrasi hati dan tubuh, sementara konsentrasi itu tak bakal terwujud kecuali pada orang-orang yang memasrahkan diri secara total.
2) Meninggakkan sikap tawakal itu membahayakan iman kita. Bukankah Allah telah menyertakan rezeki kepada makhluk-Nya? “Dan bertawakallah kepada Allah yang Maha Hidup kekal, yang tidak akan mati.” (QS Al-Furqan: 58). “Dan hanya kepada Allah kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah: 23) Maka, barangsiapa yang tidak memahami ayat ini berarti tidak merasa cukup dengan janji Allah, tidak tenang dengan jaminannya, dan tidak puas dengan pembagian rezeki-Nya. Lalu, ia lalai untuk menjalankan perintah-Nya, lupa janji ancaman-Nya. Maka, lihatlah bagaimana jadinya orang ini, ujian apa yang bakal dijalani akibat perbuatan semacam ini.
Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abdullah bin Umar r.a., “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah-tengah kaum yang suka menimbun harta mereka selama setahun karena kurang percaya dan kurang bergantung kepada Allah?”
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah SWT melaknat kaum yang tidak percaya dengan janji-Nya dalam soal rezeki.”
Diriwayatkan bahwa ada seorang penggali kubur telah bertobat dengan karena sebab Abu Yaziid al-Busthami. Abu Yazid lalu menanyakan keadaannya, dan penggali kubur itu menjawab, “Aku telah menggali seribu liang lahat dan aku tidak pernah melihat wajah mereka menghadap kiblat, kecuali dua orang lelaki.”
Abu Yazid kemudian berkata, “Sungguh kasihan mereka. Wajah mereka dipalingkan dari arah kiblat lantaran meragukan rezeki dari-Nya.”

Seorang sahabat saya menuturkan bahwa dalam mimpinya dia melihat seorang yang saleh, dan kemudian bertanya kepadanya, “Apakah engkau selamat karena imanmu?” Orang saleh itu menjawab, “Iman hanya menyelamatkan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Dia memperbaiki kita dengan anugerah-Nya dan tidak menyiksa kita walau sebenarnya kita memang pantas untuk disiksa. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”


--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali

MENGENALI AKHIRAT DENGAN JIWA

Imam Al-Ghazali menjelaskan:
"Hati yang tercerahkan mempunyai jendela yang terbuka ke arah dunia ruhani sehingga ia dapat mengetahui penyebab segala kerusakan dan kebahagiaan. Ia mengetahui bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan bisa dialami secara nyata. Sangat jelas dan nyata, sejelas seorang dokter yang mengetahui penyebab penyakit atau masalah kesehatan.

Ia akan mengetahui bahwa pengetahuan tentang Allah (makrifatullah) dapat menjadi obat bagi jiwa, sedangkan kejahilan dan dosa akan menjadi racun yang merusak.
Banyak orang, termasuk ulama, karena taklid buta terhadap pendapat orang lain, tak punya keyakinan yang benar mengenai kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Sedangkan, orang yang mau mempelajari hal ini dengan pikiran yang bersih dari prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang perkara ini.
Kematian akan mengakibatkan keadaan berbeda pada dua jenis jiwa yang dimiliki manusia, yakni jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani bersifat malakut. Sementara jiwa hewani bertempat di hati, dari sana menyebar seperti uap ke semua anggota tubuh, memberi tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, dan seluruh anggota tubuh lainnya sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya.
Hal ini seperti sebuah lampu di sebuah pondok yang cahayanya menyebar ke dinding-dinding. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika aliran minyaknya terputus karena suatu sebab, maka lampu ini akan mati. Seperti itulah jiwa hewani mengalami kematian.
Ini berbeda dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Jiwa ruhani tak terbagi dan dengan jiwa itulah manusia dapat mengenali Allah. Bisa dikatakan, ia merupakan pengendara bagi jiwa hewani. Dan, ketika jiwa hewani musnah, jiwa ruhani tetap ada. Keadaannya serupa dengan penunggang kuda yang telah turun atau pemburu yang tak lagi bersenjata.
Kuda dan senjata itu adalah anugerah bagi jiwa ruhani agar ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tentang Allah. Jika berhasil, ia pasti akan merasa lega dan bahagia meski senjata atau tunggangannya telah meninggalkan dirinya; ia tak akan berkeluh kesah.
Maka dari itu, Rasulullah Saw bersabda, "Kematian adalah hadiah Tuhan yang diharap-harapkan kaum beriman." Namun demikian, ia akan celaka dan menderita jika kuda atau senjata itu telah hilang sedang ia belum berhasil meraih tujuannya. Kesedihan dan penyesalannya sangat tak terbayangkan."

--Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa'adah

BUATLAH HARI KIAMAT DALAM DIRIMU

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pergaulilah seluruh manusia dengan akhlak yang baik. Jika kalian meninggal dunia, maka mereka akan memohonkan rahmat untuk kalian. Dan, bila kalian hidup, maka mereka senantiasa akan merindukan kalian.” (HR Ahmad)
Dengarkanlah nasihat tersebut dengan kalbu kalian dan janganlah melupakannya! Rasulullah SAW telah menunjukkan sebuah amalan yang mudah, namun memiliki banyak pahala. Alangkah baiknya akhlak yang baik,sebab akhlak ini akan membawa ketentraman bagii pelakunya dan orang lain di sekelilingnya. Alangkah buruknya akhlak yang tercela, karena akhlak tersebut akan menyebabkan kelelahan bagi pelakunya dan orang lain.
Selayaknya seorang Mukmin berjihad melawan hawa nafsunya agar mampu memperbaiki akhlaknya. Jejak dari hawa nafsu adalah kesombongan, kemarahan, serta menghina orang lain. Berjihadlah melawan hawa nafsu sampai nafsu merasa tenang. Jika sudah tenang, maka nafsu tersebut akan bersikap tawadhu, merasa hina, dan menjadi baik.
Wajibkanlah nafsumu untuk selalu berdzikir, mengingat kematian dan segala sesuatu yang ada di baliknya, maka nafsu itu akan merendah dan menjadi baik.
Laranglah nafsu dari segala bagian rezeki dan tuntunlah untuk menjalankan segala haknya. Peganglah nafsu dengan tangan pemikiran, masukannlah ke dalam neraka dan surga, sampai nafsu tersebut dapat melihat semua yang ada di dalamnya.
Pikirkanlah tentang hari kiamat. Buatlah hari kiamat tersebut terjadi di dalam dirimu, sebelum benar-benar terjadi. Hari Kiamat merupakan hari kebangkitan kebahagiaan bagi suatu kaum dan menjadi kegelisahan pada sebagian yang lain, menjadi hari raya bagi sebagian kaum dan menjadi hari ratapan bagian sebagian yang lainnya. Pada hari itu, seluruh amalan-amalan mereka telah menjadi nyata, zahir, dan ada cahaya tampak di wajah mereka.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Jala’ Al-Khathir

CINTA KEPADA ALLAH DIAWALI DENGAN TOBAT & TALQIN

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengungkapkan pentingnya ber-talqin kepada wali Musryid sebelum melakukan proses lebih lanjut dalam bimbingan ruhani tarekat/tasawuf, sebab menurutnya, Allah SWT telah berfirman, “Dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa.” (QS. Al-Fath [48]: 26), yakni kalimat Lâ Ilâha Illallâh, dengan syarat kalimat tersebut (sebagai talqin) diambil dari orang yang kalbunya bertakwa sempurna dan suci dari segala sesuatu selain Allah.
Bukan sekadar kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang diambil dari mulut orang awam. Meski lafadznya satu, tetapi bobotnya berbeda. Bibit Tauhid yang hidup tentu saja diambil dari hati yang hidup, sehingga bibitnya berkualitas. Sedangkan, bibit yang tidak berkualitas tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Maka, kalimat tauhid yang diturunkan dalam Al-Qur’an memiliki dua makna.
Pertama, kalimat tauhid, Lâ Ilâha Illallâh yang memiliki makna lahir saja. Sebagaimana, firman Allah SWT,“Apabila dikatakan kepada mereka, Lâ Ilâha Illallâh mereka menyombongkan diri.” (QS. Ash-Shâffât [37]: 35) Kalimat Lâ Ilâha Illallâh yang dimaksud dalam ayat ini merupakan hak bagi orang awam.
Kedua, Allah SWT menurunkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh disertai dengan pengetahuan yang hakiki. Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ayat ini menjadi Sababun Nuzul bagi adanya talqin zikir untuk orang-orang khusus yang ingin wushûl kepada Allah. Sebagaimana yang diungkapkan pengarang Kitab “Bustân Asy-Syâri’ah” diterangkan, “Orang yang pertama kali menginginkan jalan terdekat kepada Allah, terunggul, tetapi termudah melalui Nabi SAW ialah Ali bin Abi Thalib RA. Ketika Sayyidina Ali RA meminta, Rasulullah tidak langsung menjawab tetapi menunggu wahyu. Maka, datanglah Jibril dan menalqinkan kalimah Lâ Ilâha Illallâh 3 kali dan Nabi mengucapkannya tiga kali. Selanjutnya, Nabi SAW mendatangi para Sahabat dan Nabi SAW menalqin para Sahabat secara berjamaah.”
Nabi SAW bersabda, “Kita telah kembali dari perang kecil ke perang besar yakni perang melawan hawa nafsu.” (HR. Al-Baihaqi). Rasulullah SAW juga bersabda, “Musuhmu yang paling utama ialah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu.” (HR. Al-Baihaqi)
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Mahabbah (cinta) kepada Allah tidak akan tercapai, kecuali setelah engkau melumpuhkan musuh-musuh-Nya yang ada di dalam wujudmu sendiri.. Seperti halnya, nafsu amarah, lawamah, dan mulhamah, setelah terlumpuhkan maka lantas membersihkan diri dari sifat-sifat bahimiyah (binatang jinak) yang tercela, seperti makan, minum, tidur dan bercanda yang berlebihan.
Juga membersihkan hati dari sifat-sifat sabu’iyyah (binatang buas), seperti marah, mencaci, memukul, memaksa. Juga membersihkan diri dari dari sifat syaitaniyah (sifat-sifat setan), seperti sombong, ujub, hasad, dengki, dendam, dan dari sifat-sifat badan dan hati yang tercela lainnya.
Jika Anda sudah bersih dari sifat-sifat tercela tadi, berarti Anda sudah bersih dari sumber dosa. Maka Anda termasuk orang-orang suci dan ahli tobat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Adapun orang yang hanya bertobat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung ayat ini. Meskipun dia bisa juga disebut tâ’ibun (orang yang bertobat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertobat dengan sebenar-benarnya). Kata tawwâb dalam bahasa Arab ini menggunakan shigah mubâlaghah atau superlatif yang dimaksud adalah tobatnya orang-orang yang khusus (al-khawwâsh).
Perumpamaan orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi di batangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabutnya dari akar. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertobat secara sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya. Maka, dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi, kalaupun ada itu termasuk kasus yang langka.”
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, posisi talqin di sini—seperti orang memotong rumput—adalah alat untuk “memotong” segala sesuatu selain Allah SWT dari hati orang yang di-talqin. Seperti yang kita ketahui, orang yang tidak mau “memotong” “pohon pahit” (tidak mau menempuh perjalanan pahit) tidak akan mampu sampai pada tempat “pohon manis”.
Berpikirlah wahai manusia yang memiliki pandangan hati. Semoga engkau berbahagia (dan wushûl kepada Allah).
Allah SWT berfirman, “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahn-kesalahan.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 25) Allah SWT juga berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh maka kesalahan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqân [25]: 70)”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar--