Rabu, 28 Desember 2016

33 TAHUN "HANYA" DAPAT 8 HAL



Suatu hari, Imam Syaqiq Al Balkhi bertanya kepada muridnya yang bernama Hatim Al Ashom :
Imam syaqiq : "Sudah berapa lama engkau menuntut ilmu dariku?".
"Sudah 33 tahun", jawab Hatim.
"Apa yang telah kau pelajari, selama 33 th ini?", tanya Imam Syaqiq.
"Hanya 8 hal ", jawab Hatim.
" Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun ! Kuhabiskan umurku untuk mendidikmu, namun kau hanya mempelajari 8 hal dariku?", Ucap Imam Syaqiq heran.
"Benar Yaa Syeikh, aku hanya mempelajari 8 hal saja, aku tidak mau mendustai anda", jawab Hatim.
"Coba sebutkan 8 hal yang telah kau pelajari itu ! ". pinta Imam Syaqiq.
Hatim Al Ashom pun berkata :
      Pertama : "Kulihat setiap manusia memiliki seorang kekasih. Ketika dia mati, kekasihnya ikut mengantarkannya hingga ke kuburan, lalu meninggalkannya sendirian di sana. ○Maka, Aku lebih memilih amal kebajikan sebagai kekasihku, Sehingga ketika nanti Aku masuk liang kubur, amalku akan ikut bersamaku".
   
     Kedua : "Aku merenungkan Wahyu Alloh SWT : "Dan Adapun orang2 yang takut kepada Kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surga lah yang akan menjadi tempat tinggalnya". (QS. An Naazi'aat,79:40-41). ○Aku sadar, Bahwa Firman Alloh pasti lah benar, Maka Aku pun berjuang untuk melawan keinginan nafsuku, hingga nafsuku tunduk kepada Alloh SWT ".
     
      Ketiga : "Ku perhatikan manusia selalu memulyakan dan menyimpan harta benda berharga yang mereka miliki, lalu Kupelajari Firman Alloh swt : "Apa yang ada disisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Alloh akan kekal". (QS. An Nahl,16:96). ○Maka setiap kali Aku memperoleh sesuatu yg berharga, Aku pun menyedekahkannya dijalan Alloh swt, agar hartaku selalu tetap terjaga di sisi-Nya".
     
     Keempat : "Aku melihat setiap manusia mengejar harta, kedudukan, kehormatan dan kemulyaan nasab. Namun setelah aku mempelajarinya, ternyata semua itu tidak ada apa2nya, saat Aku membaca Wahyu Alloh swt : "Sesungguhnya, orang yg paling mulia disisi Alloh, adalah orang yg paling bertaqwa (kepada Alloh) di antara kalian". (QS. Al Hujuroot,49:13). ○Karena itulah, Aku pun beramal utk mewujudkan Taqwa, agar Aku memperoleh kedudukan yang Mulia di sisi Alloh SWT.
    
      Kelima : "Aku melihat manusia saling mencela dan melaknat, dan sumber semua itu adalah hasad (kedengkian). Lalu aku mempelajari Wahyu Alloh SWT : "Kami telah membagikan utk penghidupan mereka di alam dunia". (QS. Az Zukhruf,43:32). ○Akupun sadar, Bahwa semuanya telah dibagi oleh Alloh swt. Maka aku tinggalkan sifat Hasad (dengki), kujauhi manusia, dan aku tidak bermusuhan dengan seorang pun".

      Keenam : "Kulihat manusia saling menganiaya dan saling membunuh, padahal Alloh SWT berfirman : "Sesungguhnya syeitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh(mu)". (QS. Al Fathir,35:6). ○Oleh sebab itu, Kutinggalkan permusuhan dengan manusia dan Kujadikan Syeitan sebagai satu2nya musuhku. Aku selalu mewaspadainya dengsn sekuat tenaga, sebab Alloh swt sendiri yg telah menjadikan Syeitan sebagai musuhku".

      Ketujuh : "Aku melihat setiap orang hanya demi sepotong roti (harta), mereka rela menghinakan diri mereka sendiri dengan melakukan hal2 yg diharamkan oleh Alloh swt. Lalu kuperhatikan Firman Alloh SWT : "Dan tiada satupun binatang melata dibumi, melainkan Alloh telah menanggung rezeki nya". (QS. Hud,11:6). ○Aku sadar, Bahwa diriku adalah salah satu dari yang melata itu, dan Alloh swt telah menjamin Rezeki ku. Oleh karena itu, kusibukkan diriku untuk menunaikan kewajiban yang telah di berikan oleh Alloh swt dan aku tidak pernah merisaukan sesuatu yang telah dijamin oleh Alloh swt untukku".

     Kedelapan : "Aku melihat semua org bergantung kepada Makhluq Alloh swt. Ada yg bergantung kepada ladangnya, bergantung kepada perniagaannya, bergantung kepada pekerjaannya, dan bergantung kepada kesehatan jasmaninya. Akupun kembali kepada Firman Alloh : "Dan barang siapa yg bertawakkal kepada Alloh, maka Alloh akan mencukupkan (segala keperluan) nya". (QS. Ath Tholaaq,65:3). ○Oleh karena itulah, Aku pun bertawakkal (bergantung) kepada Alloh swt yang Maha Perkasa dan Maha Agung, dan Alloh swt pun mencukupi semua kebutuhanku".

Mendengar jawaban dari Hatim Al Ashom, Imam Syaqiq Al Balkhi berkata : "Wahai Hatim, semoga Alloh memberimu Taufiq. Aku telah mempelajari Zabur, Taurot, Injil dan Al Qur'an. Dan kutemukan bahwa semua jenis kebaikan dan ajaran Agama, berkisar pada 8 hal yang tadi telah kau sampaikan. Barang siapa mengamalkan 8 hal tersebut. Maka berarti, dia telah mengamalkan isi dari 4 kitab suci". LALU........

Berapa lama kita menuntut ilmu?
Apa yang kita dapatkan?
Adakah pelajaran penting yang meresap kedalam hati kita dan selalu kita amalkan?

Atau semua itu hanya sekedar penghibur telinga kita? Semoga Alloh SWT, memberi kita Taufiq dan Hidayah, Sehingga kita dapat mengamalkan apa yang kita dengar, kita lihat dan kita baca..... آمِيّنْ... آمِيّنْ آمِّيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ...

Kamis, 06 Oktober 2016

CARA MENJERNIHKAN HATI


Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Taj al-'Arus mengatakan: "Terdapat empat perkara yang dapat membantu membeningkan hati: 
1) Banyak berdzikir.
2) Banyak diam.
3) Banyak khalwat.
4) Mengurangi makan dan minum."
Menurut Dr. Muhammad Najdat, sebenarnya Syekh Ibnu Atha'illah mengenalkan kita bagaimana membersihkan dan membeningkan hati.
Pertama, dzikir kepada Allah akan membersihkan hati dari kesesatan dari kebergantungan kepada selain Dia.
Hati yang biasa dan mudah berdzikir adalah hati yang mengenali iman, mengenal nikmat ibadah, merasakan manisnya ketaatan, dan memiliki rasa takut kepada Allah. Hati yang selalu mengingat Allah akan bergetar ketika mendengar nama-Nya disebut, hati pun semakin lembut dan bersih dari kotoran.
للَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًا مُّتَشَٰبِهًا مَّثَانِىَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ
Allah SWT berfirman,:
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya." (QS Az-Zumar (39): 23)
Orang yang berdzikir mengingat Allah dengan lisannya tidak disebut berdzikir jika hatinya tidak ikut nerdzikir. Hati harus menjadi sumber dzikur untuk lisan dan bagian tubuh lainnya.
Kedua, memperbanyak diam. Tergelincirnya lisan akibat terlalu banyak berbicara dapat berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain. Diam adalah emas. Di dalamnya terkandung hikmah yang sangat dalam. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan yang baik atau diam."
Imam Syafii r.a. mengatakan:
Mereka bertanya, "Mengapa kau diam saja saat kau dicaci."
Maka kukatakan padanya: "Menjawab adalah kunci pintu keburukan. Sedangkan diam di depan orang bodoh adalah kemuliaan. Di dalamnya juga terdapat upaya menjaga kehormatan. Bukankah singa ditakuti meski dalam keadaan diam. Sedangkan anjing tak diacuhkan, meski terus menggonggong."
Ketiga, memperbanyak khalwat atau menyendiri. Dalam khalwat kita merenung dan terus berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi dan membersihkan hati dari kotoran dunia. Merasa lemah dan tak berdaya, serta merasa hanya Allahlah satu-satunya tempat bergantung. Hatinya hanya dipenuhi tasbih, takbir, tahlil, serta shalawat Nabi.
Keempat, mengurangi makan dan minum atau dengan memperbanyak puasa sunnah. Dengan begitu kita mematahkan hasrat hawa nafsu, dan melunakkan hati yang keras. Dengan mengurangi makan dan minum sebenarnya kita belajar mengendalikan nafsu badani, mengawal emosi, belajar qanaah dan zuhud.
Imam Al-Ghazali rahimahullah menjelaskan bahwa rasa lapar akan membersihkan hati, membangkitkan tekad, dan menajamkan mata hati. Sebaliknya, rasa kenyang dapat melahirkan ketumpulan dan membutakan hati, dan mengganggu pikiran.
Menurut beliau, rasa lapar juga dapat menghaluskan hati dan menjernihkannya, sebab hanya dengan hati yang dapat meraih nikmatnya ketaatan, merasakan manfaat dzikir dan nikmatnya bermunajat kepada Allah SWT.

---Disarikan dari Kitab Taj Al-'Arus karya Syekh Ibnu Atha'illah, dengan syarah Dr. Muhammad Najdat.

ENAM PENYEBAB KERUSAKAN HATI


Imam Hasan Basri berkata: "Kerusakan hati manusia itu disebabkan oleh enam faktor, yaitu:
1) Sengaja berbuat dosa dengan harapan dosanya nanti diampuni;
2) Memiliki ilmu, tetapi tidak diamalkannya;
3) Apabila beramal tidak ikhlas;
4) Memakan rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur;
5) Tidak ridha dengan pemberian Allah; dan 
6) Sering mengubur orang mati, namun tidak mau mengambil pelajaran dari kematian tersebut.”

Sehubungan dengan masalah keikhlasan, Imam Ahmad bin Hambal berdo’a sebagai berikut:

يَا دَلِيْلَ الْحَيَارَى دُلَّنِيْ عَلَى طَرِيْقِ الصَّادِقِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الْمُخْلَصِيْنَ
“Wahai Dzat yang memberikan petunjuk kepada orang-orang yang bingung, tunjukkanlah aku ke jalan orang-orang yang benar dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang ikhlas dalam beramal.”

Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
“Sesungguhnya kubur itu merupakan tempat yang pertama dari beberapa tempat yang ada di akhirat. Jika seseorang selamat dari siksa kubur, maka pada tempat-tempat berikutnya dia pun akan selamat dengan mudah. Jika dia tidak selamat dari siksa kubur, maka pada tempat-tempat berikutnya akan lebih berat siksanya daripada siksa di kubur.” (HR. Tirmidzi, Ibn Majah, dan Hakim)

إِنَّ لِلْمَوْتِ فَزَعًا , فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ وَفَاةَ أَخِيهِ , فَلْيَقُلْ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ , اللَّهُمَّ اكْتُبْهُ فِي الْمُحْسِنِينَ , وَاجْعَلْ كِتَابَهُ فِي عِلِّيِّينَ , وَاخْلُفْ عَقِبَهُ فِي الآخِرِينَ , اللَّهُمَّ لا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ , وَلا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
“Sesungguhnya dalam kematian itu ada suatu ketakutan. Karenanya, barang siapa mendengar berita kematian saudaranya (sesama muslim), maka hendaknya membaca do’a berikut ini: innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuun. Allahummaktubhu ‘indaka fil muhsiniin, waj’al kitaabanaa fii ‘illiyyiin, wakhluf ‘aqibahuu fil aakhiriin. Allahumma laa tahrimnaa ajrohuu walaa taftinnaa ba’dahu.”

(Sesungguhnya kami ini kepunyaan Allah dan kepada-Nyalah kami kembali, hanya kepada Rabb kami, kami dikembalikan. Ya Allah catatlah dia disisi-Mu termasuk orang-orang yang baik; dan jadikanlah catatan amalnya berada di ‘illiyyiin; dan berilah orang-orang yang ia tinggal pengganti yang lain. Ya Allah janganlah Engkau halangi kami untuk mendapatkan pahala mendo’akannya dan janganlah pula engkau timpakan kepada kami cobaan sesudahnya.” (HR. Thabarani) 


مَنْ سَمِعَ بِمَوْتِ مُسْلِمٍ فَدَعَا لَهُ بِخَيْرٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ أَجْرَ مَنْ عَادَاهُ حَيًّا وَشَيَّعَهُ مَيِّتًا
“Barang siapa yang mendengar kematian seorang muslim, kemudian dia mendo’akan kebaikan untuknya, maka Allah akan menuliskan baginya pahala sama dengan orang yang menjenguknya ketika ia masih hidup dan mengantarkan jenazahnya.” (HR. Daruquthni)

---Dikutip dari kitab Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani---

Kamis, 15 September 2016

NASIHAT RUHANI UNTUK SAHABAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Kunci surga adalah ucapan La ilâha illa Allâh, Muhammadur-Rasûlullâh. Sedangkan esok, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.
Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat.
Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.
Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”
Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.
Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani--

Kamis, 01 September 2016

TAHAPAN RUHANI SEORANG HAMBA

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani mengatakan tentang sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis Qudsi: “Barangsiapa yang disibukkan berdzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Menurut Syekh, hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya seorang Mukmin itu jika dia menginginkan Allah swt, maka Allah akan menyucikan dan memilihnya. Semua keadaan akan dijalaninya dengan pertolongan Allah SWT. Dan, Allah juga akan memberikan ujian kepadanya dengan berbagai macam ujian dan cobaan. Maka, orang tersebut akan menjadi miskin setelah dia kaya. Dia terpaksa meminta rezeki kepada makhluk ketika semua usahanya sudah buntu.
Kemudian, Allah akan menjaganya untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepada mereka. Allah swt kemudian akan menjaganya untuk tidak berutang kepada mereka dan memaksanya untuk berusaha, memberikan kemudahan dan kelonggaran dalam usaha tersebut.
Akhirnya, seorang hamba tadi dapat makan dengan usahanya sendiri, sedangkan hal tersebut adalah sunnah. Allah pun akan memberikan kesulitan kepadanya dan memberikan petunjuk kepadanya untuk meminta kepada makhluk. Lalu, Allah akan memerintahkan kepadanya untuk meminta dengan perintah batin (yang tersembunyi), yakni Allah akan mengajarkan dan memberitahukan kepadanya, dan menjadikan ibadah dalam perintah tersebut, dan kemaksiatan dalam meninggalkannya.
Agar dengan hal tersebut, hawa nafsunya menjadi hilang dan nafsunya akan terbalik. Inilah yang dinamakan keadaan riyadhah. Maka, seorang hamba yang meminta tadi adalah karena keterpaksaan, bukan sebagai bentuk menyekutukan Allah.
Kemudian, Allah akan menjaganya lagi untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepadanya dengan perintah yang keras, yakni hamba tadi tidak mungkin meninggalkannya, sebagaimana perintah untuk meminta sebelumnya.
Lalu, Allah akan memindahkannya lagi dan memutuskan semua hubungannya dengan sesama makhluk dan interaksi dengan mereka. Akhirnya, Allah menjadikan rezekinya hanya ketika dia meminta kepada Allah saja. Hamba tadi akan selalu meminta yang dia butuhkan kepada Allah, kemudian Allah juga akan memberikan yang diminta tersebut, dan tidak akan memutuskannya, meskipun dia tidak meminta dan berpaling dari pemintaan tersebut.
Allah akan memindah keadaan hamba tadi dari meminta dengan lisan menuju meminta dengan hati. Maka hamba tadi akan meminta semua yang ia butuhkan dengan hatinya, dan Allah akan memberikan kepadanya yang dia minta tersebut sehingga jika hamba tadi meminta dengan lisannya, Allah tidak akan memberikan yang dia minta tersebut atau dia meminta kepada makhluk, dan mereka juga tidak akan memberikannya. Allah akan mencukupkan sesuatu bagi dirinya agar dia tidak meminta secara keseluruhan, baik secara lahir maupun batin.
Lalu, Allah juga akan memanggilnya dengan semua yang menjadi kemaslahatannya dan apa saja yang mencukupi kebutuhannya berupa pakaian, makanan, minuman, dan semua kebutuhan manusia yang tidak pernah terlintas dalam hatinya, dan tidak pernah ada dalam dirinya. Pada saat itulah Allah akan melindungi dirinya. Inilah yang dimaksud firman Allah:
“Sesungguhnya Pelindungku adalah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an), dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Q.S. Al-A’raaf: 196).

Maka akan menjadi nyatalah firman Allah dalam hadits Qudsi, “Barangsiapa yang disibukkan oleh dzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Ini adalah keadaan fana, yaitu keadaan yang menjadi tujuan akhir para wali dan abdal. Terkadang terdapat dalam diri mereka takwin (penambahan karunia dari Allah swt). Semua yang mereka butuhkan adalah dengan seizin Allah, sebagaimana firman Allah swt dalam sebagian kitab-Nya, “Wahai anak Adam, Aku adalah Allah swt yang tidak ada tuhan selain Aku. Jika Aku mengatakan kepada sesuatu, ‘Jadilah!’ maka jadilah ia. Taatlah kepada-Ku, maka Aku akan menjadikan dirimu jika mengatakan kepada sesuatu, ‘jadilah!’ maka jadilah ia.”
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib---


Selasa, 30 Agustus 2016

MEMAHAMI AYAT ALLAH SWT DI ALAM RAYA

Dalam Alqur'an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya.

Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun. Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu "…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3:190-191)


Di banyak ayat dalam Alqur'an, pernyataan seperti, "Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal," memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini:
يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. An-Nahl, 16:11)
Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.
Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna.
Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.

Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Atau untuk lebih tepatnya, terdapat kecerdasan mengagumkan dalam apa yang dilakukan oleh biji. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa?
Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena Ilmu-Nya yang tak terbatas. Dalam sebuah ayat disebutkan:
 وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS. Al-An'aam, 6:59).
Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan menumbuhkannya sebagai tumbuh-tumbuhan baru. Dalam ayat lain Allah menyatakan:
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An'aam, 6:95)

Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah SWT.

Senin, 29 Agustus 2016

KEBAHAGIAN SEJATI DAN HAKIKAT CINTA KEPADA ALLAH

Menurut Imam Al-Ghazali, bagi orang yang sudah sangat mendalam pengetahuan makrifatnya dan sudah menyingkap rahasia kekuasaan Allah walaupun hanya sedikit, maka hatinya akan diliputi perasaan bahagia yang tak terhingga. Karena begitu bahagianya, dia akan menemukan dirinya seolah-olah terbang. Dia juga akan terheran-heran dan takjub menyaksikan keadaan dirinya. Ini termasuk hal-hal yang tak dapat dipersepsi kecuali dengan cita rasa (dzawq).
Bahkan, kadang cerita-cerita sufi pun tak banyak membantu. Semuanya tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Ini juga membuktikan bahwa makrifat kepada Allah merupakan puncak dari segala kenikmatan. Tak ada kenikmatan lain yang dapat mengalahkannya.
Abu Sulaiman Ad-Darani pernah mengatakan, “Allah memiliki beberapa orang hamba, mereka menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah, bukan karena takut neraka atau berharap surga. Lalu, bagaimana mungkin mereka disibukkan oleh dunia dan meninggalkan Allah?”
Maka, wajar saja jika ada seorang murid dari Ma’ruf Al-Karkhi bertanya kepada gurunya, “Apa yang membuatmu beribadah dan meninggalkan pergaulan dengan manusia yang lain?”
Sejenak Ma’ruf Al-Karkhi terdiam. Lalu menjawab, “Aku ingat mati.”
“Ingat apanya?” tanya muridnya lagi.
“Aku ingat kuburan dan barzakhnya,” jawab Al-Karkhi.
“Ingat kuburan? Bagian yang mana?” tanya murid itu lagi.
“Rasa takut pada neraka dan berharap surga,” jawab Al-Karkhi.
“Bagaimana bisa begitu?”
“Sesungguhnya dua malaikat ini ada dalam kekuasaan-Nya. Jika engkau mencintai-Nya, maka engkau akan melupakan itu semua. Jika engkau mengenal-Nya, maka cukuplah itu semua!”
Ma’ruf Al-Karkhi mengingatkan kita bahwa perasaan takut dan berharap masuk surga adalah harapan rendah bagi orang yang beribadah. Sebab, orang yang benar-benar beribadah kepada Allah dan mengharap perjumpaan dengan-Nya, pasti merindukan-Nya dengan penuh cinta, dan pasti akan melupakan segalanya.
Dia hanya berharap memandang wajah-Nya. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Nabi Isya a.s. bersabda, “Jika engkau melihat seorang pemuda mencari Tuhannya, maka sungguh dia akan lupa segala-galanya!”
Ali Ibnu Al-Muwaffaq mengatakan, “Aku bermimpi seolah-olah masuk surga. Aku melihat seorang lelaki duduk menghadap sebuah hidangan. Dua malaikat duduk di kanan-kirinya menyapinya makanan yang serba lezat. Dia sendiri tampak begitu menikmatinya. Aku juga melihat seorang lelaki berdiri di pintu surga sedang mengawasi wajah-wajah manusia. Sebagian dipersilahkan masuk dan sebagian lagi ditolak. Aku melewati dua orang lelaki itu menuju Hadirat-Nya yang suci. Kemudian, di tenda Arsy aku melihat seorang lelaki lagi, matanya terbuka dan tak berkedip, memandangi Allah SWT.
Lalu, aku bertanya kepada Malaikat Ridwan, “Siapakah orang ini?” Lalu dia menjawab, “Dia adalah Makruf Al-Karkhi. Dia hamba Allah yang tidak takut neraka dan tidak rindu surga tetapi cinta kepada Allah SWT. Maka, dia diizinkan memandangi-Nya hingga Hari Kiamat. Dia menambahkan dua lainnya adalah Bisyr Al-Harits dan Ahmad Bin Hanbal.”
Abu Sulaiman berkata, “Siapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya sendiri, maka besok dia juga akan sibuk dengan dirinya sendiri. Siapa saja yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia akan sibuk dengan Tuhannya.”
Sofyan Ats-Tsauri suatu ketika bertanya kepada Rabi’ah Al-Adhawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Lalu dia menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga. Aku tidak seperti buruh yang jahat—jika dibayar bahagia, jika tak dibayar bersedih—Aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha


Rabu, 24 Agustus 2016

MAKNA SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI


Menurut Imam al-Ghazali sabar adalah keteguhan yang dapat mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.Sabar merupakan kecenderungan hati pada unsur kemalaikatan dalam diri dan mampu melawan dorongan-dorongan nafsu kebinatangan dan nafsu birahi.Seperti malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu.

Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah SWT sepanjang siang dan malam tiada henti.
Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.
Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut.
Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan¬-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.
Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
1) Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus¬-menerus.

2) Tingakatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah.
3) Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu.
Sebagai manusia, kita memerlukan sifat dan sikap sabar dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."
Menurut Imam al-Ghazalî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:
1) Sabar dalam taat.
Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit. Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran¬-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

2) Sabar terhadap maksiat.
Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. Jika keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

3) Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun
dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.
Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.
--Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali

Selasa, 09 Agustus 2016

MEMAHAMI HATI NURANI

Bagi kaum sufi, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, kalbu (qalb) dalam diri manusia merupakan titik pusat pandangan Tuhan pada diri manusia. Bahkan, hal yang menjadi hakikat manusia adalah qalb (kalbu, hati)-nya. Ia adalah zat halus yang bersifat Ilahiah, yang dapat menangkap hal-hal qaib yang bersifat ruhaniah.
Dengan kalbu inilah sesunggunya Rasulullah SAW menerima wahyu.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Dia memandang hati dan perbuatanmu,” (HR Muslim).
Maka, jika akal dapat memahami adanya Tuhan secara rasional, kalbu pun dapat merasakan kehadiran Tuhan dan bahkan merasakan kedekatan dan keintiman dengan Tuhan.Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS 24:35), cahaya seperti ini pula terdapat dalam kalbu manusia, yang tentu saja berasal dari cahaya Ilahi.
Kita mengenal kata “nurani” atau “hati nurani” yang sering dikaitkan dengan hati manusia. Kata “nurani” ini sebenarnya berasal dari kata “nur” yang berarti cahaya. Jadi, istilah yang biasa kita gunakan “hati nurani” itu mengandung pengertian “hati yang bercahaya.”
Hati yang bercahayalah yang mampu membedakan hal baik dan buruk.
Lalu, jika seseorang yang memiliki hati nurani ini berbuat dosa dan kesalahan, maka ia akan menggores bekas di hatinya. Seperti bayangan hitam yang menutupi bagian kalbunya. Semakin banyak seseorang melakukan dosa, maka semakin memudarlah cahaya Ilahi di dalam dirinya.
Maka, perbuatan yang dilakukan oleh seseorang merupakan tembok pemisah antara dirinya dan Tuhan.
QAAllah SWT berfirman,
“Maka, apakah engkau tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada,” (QS 22: 46).
Rasululah SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh (manusia) terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, apabila daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh (manusia). Ingatlah bahwa daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).



MEMAHAMI 3 OBAT BAGI PENYAKIT HATI

“Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau lakukan.”
---Syekh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam
Sahabatku, setidaknya terdapat 3 penyebab utama matinya hati. Pertama, terlalu cinta kepada dunia. Kedua, kurangnya kehati-hatian dan kurang berdzikir. Ketiga, selalu menuruti hawa nafsu.
Obat untuk penyakit pertama adalah dengan menanamkan sikap sederhana, qanaah dan berhemat. Untuk obat bagi penyakit kedua adalah dengan menumbuhkan kesadaran secara terus-menurus akan kehadiran Allah disertai dengan doa dan munajat kepada-Nya. 
Dan, untuk obat penyakit ketiga adalah dengan mengikuti para guru yang telah mendapatkan cahaya Ilahi, yang telah berada di jalan kenabian, dengan nasihat, petuah, dan instruksi-instruksi mereka untuk mengolah jiwa (riyadhah) dan menundukkan hawa nafsu. Demikian menurut Syekh Fadhlalla Haeri.
Semoga bermanfaat!


Rabu, 03 Agustus 2016

CARA MENGHADAPI KEMATIAN



Dalam kitab Al-Bidâyah, Ibnu Katsir bercerita bahwa Umar bin Abdul Azis melewati kuburan seraya berkata, "Wahai maut, apa yang engkau lakukan pada orang-orang yang aku cintai? Di mana engkau sembunyikan orang-orang yang aku sayangi, saudara, teman, serta kerabatku? Wahai maut, apa yang telah engkau perbuat terhadap mereka?"
Saat itu, suasana sangat hening, karena tak ada yang menjawab ratapannya. "Tahukah kalian apa yang dikatakan maut?" tanya Umar pada kesempatan lain sambil menangis. "Tidak!" jawab orang-orang disekitarnya. "Maut berkata, 'Aku lumat kedua mata, butakan pandangan, aku lepas kedua telapak dari hasta, aku tarik kedua hasta dari pangkal lengan, dan aku pisahkan kedua pangkal lengan dari pundak."
Bagi orang yang beriman, kematian tidaklah menyurutkan langkahnya untuk terus-menerus mengingat Allah. Mereka tidak akan lari darinya, tapi mereka justru menyiapkan dirinya dengan bekal keimanan dan baju ketakwaan saat menghadapi Malaikat Maut.
Mereka hampir tak pernah melalaikan maut, karena fase itu merupakan fase yang harus dilalui oleh setiap insan dan pasti akan menimpa setiap mahluk-Nya, sebagiamana firman-Nya: "Tiap-tiap (yang berjiwa) pasti akan merasakan mati. Sesungguhnya kamu akan diberi pahala yang sempurna pada Hari Kiamat. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh ia sangat beruntung. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu," (QS Ali-'Imran [3]: 185).
Salah satu cara mengingat kematian adalah melakukan ziarah kubur. Dulu memang Rasulullah SAW pernah melarang umatnya melakukan ziarah kubur, namun kemudian larangan itu dicabut.
Rasulullah SAW bersabda, "Dahulu aku melarang kalian ziarah ke kuburan. Sekarang, silahkan kalian melakukannya! Sebab, hal itu dapat mengingatkan kalian pada kematian," (Al-Hadis).
Ibnu Umar r.a. menuturkan, “Saya pernah menemui Rasulullah Saw. yang sedang dikelilingi sekelompok orang. Seseorang dari kaum Anshar bertanya, 'Siapakah orang yang paling bijak dan paling mulia, ya Rasulullah?' Rasulullah Saw. menjawab, ”Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling tekun melakukan persiapan untuk Akhirat. Mereka itulah orang yang bijak yang memperoleh kemuliaan dunia dan keagungan Akhirat.”
Cara serupa juga sering kali dilakukan oleh Sayidina Usman bin Affan r.a. Adalah Hani’, salah seorang hamba sahaya beliau bercerita, bahwa Usman sering berdiri seorang diri di atas kuburan sambil menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Ketika ingat surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi ketika ingat kuburan engkau menangis.”
Usman ra mengatakan, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kuburan merupakan salah satu tempat tinggal Akhirat yang pertama. Jika selamat darinya, maka setelahnya akan lebih mudah darinya. Tetapi jika tidak selamat darinya, maka setelahnya akan lebih parah dan pedih darinya.”
---Dikutip dari buku Sebening Mata Hati karya Asfa Davy Bya, Hikmah, Mizan.