Sabtu, 26 Desember 2015

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH 
MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada pembukaan tafsir Surah Al-Fatihah mengungkapkan: “Sungguh sangat jelas bagi siapapun yang telah Allah Ta'ala bangkitkan dari tidur kelalaian dan kantuk kealpaan, bahwa seluruh alam semesta dan isinya tidak lain adalah mazhhar (manifestasi) dari berbagai sifat-sifat Allah yang lahir dari nama-nama Dzat-Nya. Hal itu karena, di setiap martabat dari Martabat-martabat Wujud, Dzat memiliki nama dan sifat khusus yang masing-masing memiliki atsar (impresi) tersendiri. Maka demikianlah semua Martabat Wujud. Meski wujud itu hanya sebutir zarah, sekerjap mata, atau secercah bersitan dalam hati.
Sedangkan, martabah (martabat) yang disebut dengan Ahadiyah yang tidak berbilang atau disebut juga al-‘ama’ adalah martabat yang tidak ada ruang bagi auliya’ dan ulama (untuk menggapainya), melainkan hanya al-hasrah (pilu hati), al-hairah (rasa kacau) al-walah (kebingungan) dan al-haiman (kehausan cinta).
Martabat Ahadiyah merupakan martabat yang menjadi puncak tertinggi pencapaian para nabi dan ujung suluk para wali. Setelah (sampai di martabat) itu, mereka akan “berjalan” di dalamnya dan pasti akan menuju kepada Allah, hingga mereka semua akan mengalami istighrâq (tenggelam secara total mengingat Allah) sampai mengalami al-hairah (kebingungan/keterpanaan spiritual) dan fana’. Tiada Tuhan selain Dia (lâ ilâha illâ huwa). Segalanya musnah kecuali Wajah-Nya (kullu syai` hâlik illâ wajhah).
Kemudian, ketika Allah ingin membimbing hamba-hamba-Nya ke Martabat Ahadiyah tersebut—yakni agar mereka dapat kian dekat dan bertawajuh kepada-Nya hingga tawajuh dan taqarub mereka berakhir pada ‘isyq (rindu) dan mahabbah (cinta) yang paling hakiki (al-haqîqah al-haqqiyyah) saja, yang akan menyebabkan runtuhnya penyematan (al-idhafat) yang melahirkan kesan kepada keberbilangan atau dualitas terhadap Allah, yang setelah itu niat mereka menjadi murni dan layak untuk fana’—Allah menarik perhatian manusia untuk bergerak menuju ke jalan-Nya—sebagai bentuk bimbingan dan pengajaran kepada mereka—melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya serta dalam munajat-munajat bersama-Nya, yang dalam doa-doa dan munajat-munajat itu tersirat (isyarat akan) kembalinya yang banyak menuju tunggal yang sempurna, yakni ketunggalan sempurna (kamal al-wihdah) yang mengenyahkan keberbilangan (nihayah al-katsrah).”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan surah Al-Fatihah, satu per satu:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
“Dengan nama “Allah” yang merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tanazzul-Nya (turunnya wujud dengan penyngkapan Tuhan) dari Martabat Ahadiyah, karena tidaklah mungkin untuk mengistilahkan Dzat-Nya dengan martabat asli-Nya; 2) Berdasarkan pada ketidakterbatasan dan kemencakupan-Nya atas segala asma dan sifat Ilahi yang kepadanya segala mazhhar bersandar, yang menurut ahli kasyf diistilahkan dengan al-a’yân ats-tsâbitah, dan menurut ahli syariat disebut dengan Lauh al-Mahfûzh dan al-Kitâb al-Mubîn.
Kata “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada; 1) Berdasarkan tajalliyat-Nya pada lembaran alam semesta dan perkembangan-Nya dalam mulabas al-wujub dan al-imkan; 2) Berdasarkan tanazzul-Nya dari Martabat Ahadiyah kepada Martabat Al-‘Adadiyah (martabat keberbilangan); ta’ayyunat-Nya terhadap berbagai manifestasi ilmiah dan esensi; serta pengejawantahan-Nya melalui citra eksistensial.
Kata “Ar-Rahim” (Maha Penyayang) merupakan istilah bagi Dzat Ahadiyah yang diekspresikan melalui tauhid terhadap-Nya setelah disebutkan keberbilangannya; melalui penyatuannya setelah pemisahannya; penggabungannya setelah penghamparannya; pengangkatannya setelah penundukannya; dan tajrid-nya setelah taqyid-nya.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”
Segala puji dan pemuliaan yang menghimpun segala pujian dan pengharagaan yang lahir dari bahasa semua entitas semesta yang selalu bertawajuh kepada Penciptanya dengan ketaatan yang mengakui penghargaannya dengan cara bersyukur kepada Pemberi nikmat, baik melalui gerak maupun kata-kata, sejak azali, abadi, secara khusus dan ajek hanya untuk Allah, Dzat yang Menghimpun semua asma dan sifat yang melahirkan dan memelihara alam semesta seluruhnya karena Dia adalah Rabb semesta alam, yang jika saja pemeliharaan dan pelestaran Dia terhadap alam semesta hilang meski sesaat, niscaya alam semesta akan musnah sekaligus.
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Maha Pengasih dan Maha Penyayang”
“Ar-Rahman (Maha Pengasih) yang Maha Memulai dan Maha Mencipta kehidupan dunia dengan merentangkan bayang-bayang asma-Nya yang baik dan sifat-Nya yang luhur di atas mir’ah al-‘adam yang darinya terlukis alam semesta dan segenap bagiannya; baik yang tampak maupun yang gaib; baik yang awal maupun yang akhir; serta segenap bagiannya tanpa terkecuali. Ar-Rahim (Maha Penyayang), yaitu Dzat yang berjanji kepada segala sesuatu atas kembangkitan kembali setelah langit ketinggian dan bumi kerendahan digulung kembali ke titik permulaan dan akhirnya (Allah) karena Dia adalah,
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Penguasa Hari Pembalasan”
Dia adalah Penguasa Hari Pembalasan dan ganjaran, yang menurut syariat disebut dengan istilah Hari Kimat atau al-Thâmmah al-Kubrâ. Pada hari inilah seluruh bumi dan langit akan hancur untuk kemudian semua catatan dari awal sampai akhir di bumi akan digulung.
Pada hari ini semua pandangan dan pikiran lenyap. Segala hijab dan tirai penghalang tersingkap. Semua entitas selain Allah akan sirna. Yang ada hanyalah Allah yang Mahaesa dan Mahapenakluk.
Ketika hamba telah sampai pada maqam dan tujuan ini, serta menyerahkan segala urusan kepada Allah, maka ia berhak selalu bersama Rabb-nya sebagai penyempurna martabat ubudiyah, sehingga tidak ada lagi khitab yang menjelaskan antara “aku dan kamu” dan tersingkap huruf “ghain” dan “’ain”. Pada saat itulah ucapan hamba akan selaras dengan bahasa tindakannya,
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Ini adalah kesaksian bahwa hanya kepada-Mu, Ya Allah, bukan kepada selain Engkau. Karena tidak ada yang lain bersama-Mu di alam wujud-Mu kami menyembah, bertawajuh dan menempuh suluk secara hina dan tunduk. Karena tidak ada sesembahan yang kami miliki selain Engkau, sebagaimana tidak ada tujuan selain hanya kepada-Mu dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Maksudnya, kami tidak memohon pertolongan dan kemampuan untuk menyembah-Mu, kecuali hanya pada-Mu, karena tidak ada tempat kami kembali selain Engkau.
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ۹ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۗلِّيْنَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ya Allah, tunjukilah kami dengan kelembutan-Mu, jalan yang lurus, yang dapat menghantarkan kami kepada puncak tauhid-Mu, yakni jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, dari kalangan para nabi, shiddiqun, syuhada, dan orang-orang saleh, yang menjadi teman-teman terbaik.
Bukan orang-orang yang Engkau murkai, yaitu orang-orang yang ragu dan lari dari jalan kebenaran yang terang, karena mengikuti akal yang penuh dengan ilusi. Dan bukan orang-orang yang sesat, disebabkan fatamorgana dunia yang hina dan godaan setan yang menyimpang dari jalan kebenaran dan hujah yang meyakinkan. Âmin... kami berharap ijabah dari-Mu wahai Dzat yang paling penyayang di antara para penyayang.

Selasa, 08 Desember 2015

QANA'AH MEMBUAT HATI TENANG DAN DAMAI


 
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Wahai saudaraku, mengertikah engkau apakah yang dimaksud dengan qana'ah? Qana'ah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas dengan memperbanyak bersyukur dan menghindari sifat rakus. Itulah yang disebut qana'ah. Berhentinya keinginan terhadap ара yang sudah diberikan kepadamu, dan tidak ada lagi keinginan untuk memintah tambahan lagi, maka itulah sikap orang arif (ma'rifat).
Hendaknya engkau yakin bahwa qana'ah adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim, sebab dengan qana'ah hatimu menjadi tenang. Bahkan sifat itu merupakan modal yang tak bisa habis dalarn kondisi ара pun.
Rasulullah Saw. bersabda: “Qana 'ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tak akan lenyap,” (HR. At Thabarani). Syaikh Abu Zakaria Al-Anshari berkata, "Qana'ah itu adalah merasa cukup dengan ара yang sudah diterima dan memenuhi kepentingannya, baik berupa makanan, minuman, pakaian atau yang lainnya. Sedangkan Abu Sulaiman Darani berkata, "Qana'ah adalah merupakan bagian dari ridha, dan wara' adalah merupakan bagian dari zuhud."
Ketahuilah bahwa sifat qana'ah merupakan sifat yang didambakan oleh kaum sufi. Karena dengan sifat itu, mereka berharap bisa terhindar dari bahaya hawa nafsunya. Di mana hawa nafsu itu selalu mengejar dan mendambakan kesenangan duniawi. Keinginan nafsu terhadap duniawi tidak akan pernah berhenti, bahkan membawa manusia menjadi sibuk dengan urusan duniawi yang tak berarti. Jika manusia telah tenggelam dalam kesibukan duniawi, maka ia cenderung lupa untuk mempersiapkan bekal buat kehidupan akhirat. Dan tentunya lupa pula ia kepada Tuhan-Nya.
Wahai saudaraku, sifat qana'ah dapat mendidikmu untuk pandai bersyukur. Artinya, dengan sifat qana'ah itu engkau akan senantiasa mensyukuri kenikmatan Allah yang telah diberikan kepadamu. Jika manusia banyak bersyukur, tentu akan memiliki gairah dalam beribadah. Nabi Saw. bersabda: “Jadilah kamu orang yang wara' pasti kamu menjadi orang yang banyak beribadah, dan jadilah kamu orang yang qana 'ah pasti kamu menjadi orang yang banyak bersyukur.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar Al-Maghribi berpendapat, "Orang yang berakal ialah yang dapat mengatur urusan dunianya dengan sikap qana'ah dan urusan akhirat dengan keinginan yang menggelora; urusan agamanya dengan ilmu dan ijtihad. Sedangkan, Muhammad bin Tirmidzi mengatakan, "Qana'ah adalah jiwa merasa lapang dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya dan menghilangkan rasa tamak terhadap yang tidak tercapai."
Wahai saudaraku, engkau tidak dilarang mencari rezeki. Juga tidak disuruh bermalas-malasan dan berpangku tangan. Namun ketahuilah bahwa Allah menyuruhmu berikhtiar, bekerja, karena manusia hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Bekerja merupakan amal ibadah. Engkau harus yakin dalam bekerja ada kalah dan ada menang. Kalah dalam menghadapi rayuan dan menang dalam melawan ajakan setan. Karenanya, bekerjalah dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Hati-hatilah terhadap tipu daya nafsumu dan tipu daya setanmu agar tidak terjerumus mengais rezeki haram.
Wahai saudaraku, Islam mengharapkan engkau menjadi manusia cerdas. Mampu menggunakan akal pikiranmu. Islam tidak ingin pemeluknya bodoh. Oleh karena itu jangan seperti orang awam yang menganggap ibadah hanyalah tepekur di masjid, shalat dan berzikir. Mereka menganggap Islam memundurkan akal pikiran manusia dalam bekerja. Padahal orang Islam harus cerdas dan harus bekerja, sebab bekerja merupakan ibadah. Islam tidak menyukai orang muslim menjadi pemalas.
Anggapan yang demikian itu salah besar, mereka menyangka bahwa yang disebut qana'ah itu adalah menerima ара saja yang ada, sehingga mereka tidak berusaha dan berikhtiar lagi, padahal agama menyuruh manusia agar bekerja keras mencari keutamaan Ilahi, agar bisa bersedekah, berinfak, bisa membangun masjid, membangun pondok-pondok pesantren, dan membangun majelis-majelis ta'lim dan lain-lain. agar umat Islam tidak terbelakang. Ingat sejarah perjuangan Nabi dan para sahabatnya, mereka berusaha dan bekerja mencari rezeki. Bahkan mereka bersifat dermawan terhadap sesamanya meskipun harta yang di dapatnya cukup bagi keluarganya saja. Wahai manusia, sesungguhnya agama menyuruh umatnya untuk qana'ah (qana'ah hati bukan qana'ah ikhtiar/ usaha).
Wahai saudaraku, makna qana'ah itu amat luas. Qana'ah menyuruh manusia agar benar-benar percaya terhadap 'kekuasaan' yang melebihi kekuasaan manusia. Qana'ah menyuruh manusia untuk bersabar menerima ketentuan Allah swt. Jika ketentuan itu tidak menyenangkan, maka Allah tetap menyuruhnya untuk menerimanya, karena itulah cobaan dari-Nya.
Dalam keadaan demikian, manusia masih tetap disuruh untuk berikhtiar dan berdaya upaya sekuat tenaganya. Selama nyawa dikandung badan, engkau wajib berusaha mencari rezeki. Engkau bekerja bukan berarti minta tambahan yang telah engkau terima, dan bukan berarti merasa tidak cukup dari ара yang telah engkau terima, melainkan engkau bekerja sebab masih hidup. Inilah yang dimaksudkan dengan qana'ah.

Jelaslah bagimu sekarang, bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa sifat qana'ah dapat melemahkan hati dan pikiran, itu salah. Qana'ah merupakan modal yang tidak pernah hilang. Qana'ah bisa membangkitkan kesungguhan hidup. Qana'ah tidak mengenal takut dan gentar, tidak mengenal ragu dan bimbang.
Allah swt. berfirman: “Tiada sesuatu yang melata di bumi, melainkan di tangan Allahlah rezekinya.” (QS Hûd (11) : 6). Rasulullah Saw. bersabda: “Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tapi kekayaan yang sebenarnya itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup, dan merasa cukup dengan apa-apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Hakim bin Hizam ra. berkata, "Aku memohon kepada Rasulullah. Kemudian beliau mengabulkan permohonanku (permintaanku). Lalu aku meminta lagi, beliau juga mengabulkannya. Kemudian beliau bersabda, "Wahai Hakim bin Hizam, harta memang indah dan manis, maka barangsiapa mengambilnya dengan lapang dada, maka ia mendapat berkah. Sebaliknya, barangsiapa menerimanya dengan kerakusan, maka harta itu tidak akan memberi berkah kepadanya; bagaikan orang makan yang tak pernah merasa kenyang. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang berada di bawah". Kemudian Hakim bin Hazim berkata: "Ya Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq aku tidak akan menerima apapun dari seseorang sepeninggalmu sampai akhir hayatku."
Rasulullah SAW bersabda, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dahulukanlah dalam bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu, sebaik-baik sedekah itu adalah yang masih ada kekayaan. Dan barangsiapayang sopan, maka Allah akan memelihara kesopanannya. Dan barangsiapayang mencukupkan dengan kekayaannya yang ada maka Allah akan mencukupkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai saudaraku, Islam mendidik umatnya untuk bersifat qana'ah dan tidak rakus, Islam menyuruh umatnya untuk maju, dengan kemajuan itu akan bisa memberikan sesuatu kepada sesamanya, bukan meminta-minta. Sebab tiada kekayaan yang dihasilkan tanpa disertai dengan ikhtiar atau usaha, tak menjadi orang yang berilmu bila ia tidak menuntut ilmu.
Perhatikanlah kisah Maryam, tatkala hendak melahirkan Nabi Isa a.s. di tengah-tengah padang pasir, dia diperintahkan oleh Allah untuk menggapai dahan pohon kurma agar buahnya tersebut jatuh. Kalau Allah menyuruh qana'ah dengan hanya menunggu tanpa berusaha tentunya Siti Maryam selamanya akan merasa haus dan lapar.
Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian disuruh untuk menunaikan pada hari Jum'at, maka segeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di atas bumi, dan carilah anugerah Allah sebanyak-banyaknya agar supaya kamu semua beruntung.” (QS. Al Jumu'ah (62) : 9-10).
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya Allah menyuruhmu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan syarat harus dilakukan setelah shalat. Carilah kehidupan kembali sambil mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam melakukan segala pekerjaan agar kamu mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

ALLAH MENYUKAI HATI YANG TAK MENDUA



Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan: “Pahamilah firman Allah, ‘Yaitu di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat,”(QS Asy-Syu’ara [26]: 88-89). Kalbu yang sehat adalah yang hanya bergantung kepada Allah.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya engkau datang kepada Kami sendiri-sendiri seperti pertama kali Kami ciptakan. Lalu, Kami tinggalkan di belakangmu (di dunia) ini seperti apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.’
Dapat dipahami bahwa engkau baru bisa datang kepada Allah dan sampai kepada-Nya jika engkau sendirian tanpa apa pun selain Dia. Allah SWT berfirman, “Bukankah Dia mendatangimu sebagai yatim, lalu Dia memberikan perlindungan?” (QS Ad-Duha [93]: 6). Maksudnya, Allah akan melindungimu jika engkau benar-benar yatim dari segala sesuatu selain Dia.
Nabi SAW bersabda, “Allah ganjil (tunggal), senang pada yang ganjil.” (HR At-Tirmidzi). Artinya, Dia menyukai dan menyenangi hati yang tidak menerima dualisme. Hati itu hanya untuk Allah. Dengan pertolongan Allah, orang yang berada di hadapan-Nya dan mendapat curahan nikmat-Nya dapat memahami. Maka, bagaimana mungkin mereka akan bersandar kepada selain Dia, sementara mereka telah menyaksikan wujud keesaan-Nya?!”
--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Taj Al-‘Arus
------
Sahabatku, hati yang sehat adalah yang mampu memutuskan harapannya kepada makhluk dan hanya mau bergantung kepada Allah SWT. Hati yang sehat meyakini bahwa semua wujud selain Allah laksana debu. Karena itu, lupakanlah janji dan harapan makhluk, serta lupakanlah pujian mereka! Janganlah mengharap manfaat dari mereka, dan jangan pernah merasa takut pada bahaya yang berasal dari mereka!
Jika engkau mampu memberi sesuatu kepada orang lain, maka pemberianmu itu hanya untuk Allah, bukan agar manusia menyebutmu dermawan atau pemurah.Sama halnya ketika engkau tidak memberi, maka lakukanlah itu untuk Allah, bukan karena ingin memenuhi hasrat balas dendam, kedengkian dan kekikiranmu.
Jika engkau mencintai, maka cintailah hanya karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi yang murah! Jika engkau membenci, maka bencilah karena Allah, bukan karena dengki dan ketidaksukaanmu! Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang cinta karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah,dan tidak memberi karena Allah, berarti imannya telah sempurna.” (HR Abu Dawud)

Kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Dia, baik itu berupa segala sesuatu yang menggiurkan, syahwat, harta, dan kedudukan. Jika hatimu telah kosong, pasti rahmat, taufik, dan bantuan Allah akan menjaga dan memeliharamu setiap waktu, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang yang shaleh.”
Hati menjadi rusak apabila di dalamnya terdapat sesembahan selain Allah, sebagaimana langit dan bumi yang akan hancur bila ada tuhan-tuhan selain Allah; “Kalau pada keduanya terdapat tuhan-tuhan selain Allah, niscaya ia hancur.” (QS Al-Anbiya [21]: 22).

Begitu pula keadaan hati yang diisi sesembahan selain Allah. Hati itu akan menjadi sangat rusak dan sulit diharapkan sembuh, kecuali dengan menyingkirkan sesembahan tersebut dan menjadikan Allah semata satu-satunya Tuhan dan sesembahannya yang dicintai, diharapkan, ditakuti, dan dijadikan tempat bergantung, serta tempat kembali. Demikian penjelasan Dr. Muhammad Najdat.
Semoga bermanfaat!

PERJALANAN RUHANI PARA PENCARI TUHAN



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan bahwa Nabi Saw. diriwayatkan telah bersabda: “Dalam setiap keahilan khusus, engkau harus mencari bantuan dari ahlinya yang memenuhi syarat.”
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Ibadah adalah keahlian khusus, dan ahli-ahlinya yang memenuhi syarat adalah mereka yang tulus (mukhlishîn) berkenaan dengan pekerjaan mereka, mereka yang berilmu tentang hukum dan yang mempraktikkannya, mereka yang mengucapkan selamat tinggal kepada makhluk-makhluk setelah maʽrifah mereka tentang-Nya, mereka yang lari dari diri mereka sendiri, dari harta dan anak-anak mereka dan dari segala sesuatu selain Tuhan mereka, yang lari dengan kaki hati mereka dan wujud terdalam mereka (asrâr) menuju hadirat Rabb Al-Haqq. Allah SWT telah berfirman:
وَإِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ. [ص: ٤٧
“Dan sesungguhnya mereka di mata Kami termasuk orang-orang pilihan yang paling baik,” (QS Shâd (38) : 47)
Seorang yang beriman tak pernah berhenti merasa takut sampai jaminan kemanan (kitâb al-amân) diberikan kepada wujud terdalamnya (sirr), yang kemudian menyembunyikannya dari hatinya dan tidak membiarkannya menjadi sadar akannya. Tetapi ini hanya diberikan kepada segelintir individu saja.”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Celakalah engkau, wahai orang yang musyrik terhadap makhluk! Seberapa sering engkau akan mengetuk pintu-pintu yang tak dimiliki rumah-rumahmu sendiri di belakangnya? Seberapa sering engkau akan menempa besi tanpa api (untuk melelehkannya)? Engkau tidak punya akal sehat; engkau tidak punya fakultas nalar; engkau tidak punya kesadaran akan ketertiban dan arah. Celakalah engkau! Mendekatlah kepadaku, dan makanlah makanan yang bukan milikku (tapi milik Allah). Jika engkau pernah mencicipi makanan Sang Pencipta, maka hati dan wujud terdalammu (sirr) pasti akan menghindari makanan makhluk.
Ini adalah sesuatu yang hanya bisa dialami dalam hati di belakang pakaian, bukan oleh daging dan bukan oleh kulit. Tetapi hati ini tidak cocok untuk apa pun selama ia masih terikat kepada makhluk. Keyakinan masih belum pasti selama hati masih mengandung satu zarah pun dari rasa cinta kepada dunia ini. Manakala iman telah menjadi keyakinan, keyakinan telah menjadi maʽrifah dan maʽrifah telah menjadi pengetahuan (‘ilm), maka engkau akan menjadi seorang ahli (jahbadz), demi Allah.
Engkau akan mengambil dari tangan orang-orang kaya dan memberi kepada orang-orang miskin. Engkau akan menjadi pemilik rumah makan, memberikan makanan bergizi dengan tanganmu, hatimu dan wujud terdalammu (sirr). Engkau tak layak mendapat penghormatan sama sekali, wahai munafik, sampai engkau seperti ini. Aduhai engkau! Engkau belum menerima pengajaran dari seorang syaikh yang takwa dan zuhud, yang berilmu dalam syariat Allah.
Aduhai engkau! Engkau menginginkan sesuatu dengan gratis. Itu tidak akan jatuh ke tanganmu. Jika hal-hal duniawi tidak bisa diperoleh tanpa upaya yang keras, bagaimana dengan sesuatu yang berada di hadirat Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung? Di mana engkau berdiri berkenaan dengan mereka yang telah dipuji oleh Allah dengan kata-kata yang tepat dalam kitab-Nya, karena mereka begitu sering beribadah kepada-Nya?
Mengenai mereka Allah SWT berfirman:

كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ الَّيلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالۡاَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُوۡنَ. [الذاريات :١٧ـ١٨]

“Mereka biasa tidur hanya sedikit di malam hari, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan,” (QS Adz-Dzariyat [51]:17-18)
Apabila Dia melihat ketulusan (shidq) pengabdian mereka kepada-Nya, maka Dia lalu menunjuk seorang perantara untuk membangunkan mereka dari tempat tidur mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi Saw.: “Allah akan berkata: ‘Wahai Jibril, bangunkanlah si fulan, dan biarkanlah orang lainnya tidur.”
Mengenai manusia-manusia (pilihan Tuhan), manakala langkah-langkah kaki dari hati-hati mereka akhirnya telah membawa mereka kepada Tuhan mereka, maka mereka akan melihat dalam mimpi apa yang tidak pernah mereka lihat dalam keadaan jaga. Hati dan wujud terdalam mereka akan melihat sesuatu yang tidak mereka lihat ketika mereka dalam keadaan bangun.
Mereka telah berpuasa dan shalat, mereka telah menerangi diri rendah mereka dengan mengenakan kepadanya rasa lapar dan kehinaan, dan mereka telah bekerja keras siang dan malam untuk melaksanakan segala macam ibadah, sampai surga menjadi milik mereka. Tetapi setelah ia menjadi milik mereka, kepada mereka akan dikatakan: “Jalan itu bukanlah ini. Ia adalah pencarian kepada yang Maha Benar.” Kerja mereka harus dilakukan dalam ranah hati mereka. Maka apabila kerja itu mencapai-Nya, maka ia akan dikukuhkan dan diotentikkan dalam pandangan-Nya.
Apabila seseorang tahu apa yang dicarinya, maka dia akan menganggap kurang penting energi dan upaya yang dicurahkannya untuk mengabdi dan melayani Tuhannya. Seorang mukmin tidak akan pernah berhenti bekerja keras sampai dia bertemu dengan Tuhannya.
Nabi SAW telah bersabda:
“Apabila seorang manusia mati dan memasuki kuburnya, dan manakala dia sudah ditanyai oleh dua orang malaikat yang bernama Munkar dan Nakir, dan manakala dia telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, maka ruhnya akan diizinkan naik kepada Allah dan bersujud di hadapan-Nya, bersama kumpulan malaikat. Dengan demikian ruh-Nya akan berjumpa dengan-Nya, dan untuknya akan dibuka semua yang sebelumnya ditabiri dari penglihatannya. Kemudian ruh itu akan dibawa ke Surga, untuk bergabung dengan ruh-ruh orang-orang yang saleh. Berbagai ruh akan maju ke depan dan mengucapkan selamat datang kepadanya. Mereka akan menanyakan kepadanya tentang situasi dan kondisinya dan tentang urusan-urusan dunia di bawah sana. Maka, ia akan menceritakan kepada mereka segala sesuatu yang diketahuinya. Kemudian mereka akan bertanya kepada ruh yang baru tiba itu: ‘Apa yang dilakukan si fulan?’ dan ruh itu akan menjawab: ‘Dia mati sebelum aku.’ Mendengar jawaban itu, ruh-ruh itu akan berkata: ‘Dia tidak pernah mencapai kami. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang tentunya sudah mengirimnya langsung kepada ibunya, Neraka Hawiyah.”
Kemudian ruh-ruh itu akan ditempatkan di tembolok salah seekor burung hijau yang makan dari tanam-tanaman di surga, dan yang mengungsi ke sebuah lampu yang tergantung di bawah Arasy. 
Sebuah penuturan yang lebih lengkap mengenai burung-burung hijau dari Surga telah diberikan oleh Syaikh Abdul Qâdir dalam kitab Al-Ghuniyah Tharîq al-Haqq, di mana beliau menulis:
“Kami juga tahu bahwa ruh-ruh para syuhada dan semua orang beriman akan ditempatkan di dalam tembolok-tembolok burung-burung hujau, yang terbang bebas di Surga, dan mereka akan mengungsi ke lampu-lampu yang terang benderang di bawah Arasy. Kemudian, manakala tiupan sangkakala yang kedua terdengar, mereka akan kembali bergabung dengan jasad-jasad mereka di bumi, untuk menghadapi hisab dan perhitungan pada Hari Kebangkitan.
Kami mengetahui semua ini dari hadis yang telah sampai kepada kita melalui riwayat Ibn ‘Abbâs r.a., yang menurutnya Rasulullah Saw. pernah berkata: “Manakala saudara-saudaramu (yang beriman) dibunuh oleh seseorang (dari pihak kaum kafir), maka Allah akan menempatkan ruh-ruh mereka di dalam tembolok burung-burung hijau, yang terbang bebas di Surga, dan mereka akan mengungsi ke lampu-lampu yang terbuat dari emas dalam bayang-bayang ‘Arsyi. Kemudian, ketika mereka menemukan kualitas kenikmatan makanan, minuman dan tempat tinggal mereka, mereka akan berkata: ‘Siapa yang akan memberitahukan kepada saudara-saudara kita bahwa kita sebenarnya hidup, menikmati rezeki di Surga, sehingga mereka tidak menghindari jihad, sehingga mereka tidak lari dari peperangan suci?’ Maka Allah (Yang Maha Kuasa dan Maha Agung) akan mengatakan kepada mereka, sebab Dia adalah Yang Maha Benar di antara orang-orang yang berkata (Huwa ashdaqyl qâ’ilîn): ‘Aku akan memberitahu mereka!”
Di sini kita mendapatkan gambaran tentang perjumpaan seperti yang akan dialami oleh kebanyakan orang beriman. Semoga kedamaian Allah dilimpahkan kepada mereka semua, dan juga sambutan selamat datang dari-Nya! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan mereka! Hidupkanlah kami dengan kehidupan yang mereka jalani, dan matikanlah kami dengan kematian seperti yang mereka alami! Amin.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir


Jumat, 20 November 2015

MEMAHAMI DUNIA DAN TUJUAN AKHIRAT



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Engkau celaka jika tidak merasa malu kepada Allah SWT, jika engkau telah menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu. Sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali. Sungguh takdirmu telah dekat!
Karena itu, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, dan hatimu tetap bertawakal kepada Allah. Jadi, carilah rezekimu dan rezeki untuk keluargamu hanya dari Allah, bukan dari harta dan kedai-kedaimu. Maka, Allah SWT akan menjadikan untukmu karunia, kedekatan, dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi kebutuhan keluargamu dan kebutuhanmu melalui dirimu sendiri.
Dia akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Lalu akan dikatakan kepadamu, “Ini adalah untukmu dan untuk keluargamu.” Namun, bagaimana mungkin engkau dapat menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik? Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu hatimu 
dan segala sesuatu tak akan bisa memasukinya. Dia menurunkan peringatan-Nya dalam kalbumu.
Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan bersungguh-sungguh. Hendaklah engkau menangisi rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlak burukmu. Hendaklah kau menangisi semua perkara yang telah terjadi menimpamu. Bantulah orang-orang yang fakir dan miskin dengan hartamu, dan janganlah berbuat kikir! Sebab, tak lama lagi engkau akan berpisah dengan harta bendamu. Mukmin yang meyakini adanya penggantian di dunia dan akhirat tentu tak akan bersikap kikir atau bakhil!
Nabi Isya a.s. pernah bertanya kepada Iblis, “Siapakah makhluk yang paling kau sukai?” 
Lalu, Iblis pun menjawab, “Mukmin yang kikir.”
“Siapa yang paling kau benci?” tanya Nabi Isya.
“Orang fasik yang dermawan,” jawab Iblis.
“Mengapa begitu?”
“Sebab aku berharap agar Mukmin yang kikir itu terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sebab kekikirannya. Sebaliknya, aku takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena kedermawanannya.”
Maka, sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT. Sedangkan, apabila engkau bekerja dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat, berarti engkau berada dalam kemaksiatan bukan dalam ketaatan. Tidak akan lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu, berbahagialah orang yang Mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik.”

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wa Al-Faidh Ar-Rahmani--


Minggu, 18 Oktober 2015

MENGENAL KESADARAN JIWA DENGAN AL-QU’RAN



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada penutup Surah Al-Baqarah dalam Tafsir Al-Jailani mengatakan:

“Wahai pengikut Muhammad yang selalu bertawajuh menuju tauhid Dzat Allah, semoga Allah melapangkan dadamu dan memudahkan urusanmu. Sesuai kemampuanmu, engkau harus mengambil sesuatu untuk dirimu dari Surah (Al-Baqarah dalam Al-Qur’an) yang mencakup semua tuntutan agama dan martabah yaqin. 

Pertama, engkau harus berusaha menyingkirkan ketergantunganmu dari dunia dan isinya. Engkau harus menolak segala kelezatan dan syahwatnya, lalu bertawajuhlah kepada Allah dengan segenap kalbumu menuju tauhid Tuhanmu. Sembari membuka khazanah kemurahan-Nya dan wujud-Nya yang ada di dalam kalbumu. Engkau harus mampu menundukkan keadaan dan tindakanmu dari segala hal yang tidak berguna bagimu.
Engkau harus lari dari pertemanan dengan siapapun yang dapat membahayakan dan menyesatkanmu! Engkau harus mengejar pencapaian tangga tauhid, tangga tajrid (penyucian zahir-batin menggapai ridha-Nya), dan tangga tafrid (penguatan kesadaran keesaan Tuhan dari segala sesuatu selain-Nya), serta sambil menyingkirkan semua keberbilangan dan belenggu selain al-Haqq.
Engkau harus menghirup embusan kelembutan-Nya dan tiupan kekudusan-Nya, menenangkan diri dengan napas rahmat-Nya, menyingkap berbagai rahasia rububiyah-Nya, dan mengikuti petunjuk-Nya dengan mengikuti Nabi-Nya yang diciptakan dengan citra-Nya, yang diutus kepada semua makhluk-Nya. Nabimu yang telah menuntun makhluk menggunakan kitab-Nya yang diturunkan kepadanya, yang menghimpun semua hikmah, pelajaran, ibarat, simbol-simbol, dan berbagai isyarat yang ada di dalam kitab-kitab terdahulu. Semua yang ada pada Nabimu berasal dari-Nya, untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang tersesat dalam cakrawala wujudnya sendiri, dan bagi orang-orang yang tenggelam dalam gelombang samudera kebaikan dan kemurahan-Nya.
Wahai murid yang menempuh suluk jalan kebenaran, engkau harus selalu berpegang pada kitab Al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalam petunjuknya ini. Kitab yang tak ada keraguan sedikit pun bagi siapa saja yang beriman kepada diri yang gaib, senantiasa bertawajuh kepada-Nya, dengan selalu menghindarkan hasratmu dari segala hal yang dapat membuatmu lupa kepada Tuhanmu.
Engkau harus selalu bergerak menuju tujuan dan keinginanmu. Dengan segenap jati dirimu, engkau harus mampu menunjukkan semua hakikat, makrifat, hikmah, hukum, kisah-kisah, dan peringatan yang ada di dalam Kitab Al-Qur’an. Karena, tidak ada satu huruf pun dari semua huruf yang ada di dalam Kitab ini, melainkan ia mengandung makna yang jangkauannya hanya diketahui Allah; tanpa ada kebatilan yang menyusup ke dalamnya, baik dari depan maupun dari belakangnya, karena semuanya turun dari Sang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Ketika membaca Al-Qur`an, engkau harus menyucikan lahir dan batinmu dari segala bentuk kemanusiaanmu, sehingga engkau akan menghilang dari dirimu sendiri dan seluruh jati diri dan keberadaanmu akan fana, sehingga Tuhanmu dapat langsung berbicara kepadamu lewat ucapan dan firman-Nya.

Ketika hâl semacam ini telah melingkupi dirimu, dan ia telah menjadi akhlak-perilakumu, maka engkau pasti akan mendapatkan anugerah dari bacaanmu itu.
Ketika engkau membaca Al-Qur`an, janganlah engkau lalai dari inti isyarat yang disampaikannya dan berusahalah kau teliti setiap riwayat dan kandungannya.

Jika engkau berhasil membersihkan dirimu dari segala bentuk penghalang, dan engkau berhasil menjernihkan jiwamu dari segala penghalang, niscaya engkau akan mendapatkan bimbingan dari Al-Qur`an sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan bagi-Mu dalam ilmu-Nya. Karena Dia Mahakuasa atas segala yang Dia kehendaki, sehingga engkau berhak dan layak atas ijabah dari-Nya.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, terj. Tim Markaz Al-Jailani.


MENGENALI WANGI AROMA PARA WALI



Sayyid Yahya bin Mu’adz Ar-Razi mengatakan, “Wali adalah wewangian Allah di bumi. Tidak ada yang mampu mengenali aromnya kecuali orang-orang yang bergelar ash-shiddiqûn.” 
اَلْوَلِيُّ رَيْحَانُ اللهِ تَعَالَى فِيْ أَرْضِهِ، يَشُمُهُ الصِّدِّيْقُوْنَ
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Bagi ash-shiddiqûn, aroma wangi sang wali akan tercium hingga lubuk hatinya. Aroma itu lantas menimbulkan gairah rindu mereka pada Tuhannya. Sehingga, ibadahnya semakin meningkat menurut kadar dan derajat akhlak dan kefanaan mereka. Ini karena, makin tinggi qurbah-nya makin bertambah pula fananya. 
Dan, wali adalah orang yang ada dalam keadaan fana dan selalu musyâhadah kepada Allah. Bahkan, dirinya tidak punya kemampuan memilih dan tidak ada “tempat” yang tenang baginya selain Allah. Mereka adalah orang-orang yang diperkuat dengan karamah, tetapi mereka sendiri “tertutup” dari karamah karena tidak diberi izin untuk menjelaskannya. Sebab menjelaskan rahasia ketuhanan adalah kufur.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar, terjmh KH Zezen ZA Bazul Asyhab, wakil talqin Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya.

TEKNIK SHALAT KHUSYUK DAN TAWAJJUH



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pada penutup Surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al-Jailani mengatakan: “Wahai para pengikut Muhammad yang selalu menuju pengesaan Dzat, semoga Allah memudahkan urusanmu, hendaklah engkau merenungkan tujuh samudera yang meliputi tujuh ayat yang diulang-ulang dalam Al-Qur`an Al-Azhim yang merupakan cabang dari tujuh sifat Dzat Ilahi yang setara dengan tujuh lapis langit dan tujuh bintang semesta.
Renungkanlah ayat-ayat ini dengan sungguh-sungguh, lalu jadikanlah dirimu seperti yang dilambangkan di dalamnya, niscaya engkau akan selamat dari tujuh jurang jahanam yang menghalangi manusia mencapai surga Dzat, yang menjadi tempat musnahnya semua atribut dan keberbilangan.
Tentu saja perenungan dan tadabur seperti itu tidaklah mudah bagi mu kecuali setelah engkau membersihkan lahiriahmu dengan syariat Rasulullah yang bersumber dari Al-Qur`an, serta membersihkan batiniahmu dengan mengikuti akhlak Rasulullah SAW yang berasal dari kandungan Al-Qur`an. Karena Al-Qur`an adalah yang menjadi penyatu kedua sisi akhlak Rasulullah, lahir dan batin; serta turun dari Rabb-nya yang telah menunjuknya sebagai khalifah di bumi.
Al-Qur`an adalah akhlak Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya. Maka siapapun yang berakhlak dengan Al-Qur`an, pasti akan beruntung seperti beruntungnya Rasulullah SAW. Itulah sebabnya Rasulullah bersabda: "Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah",karena memang itulah yang diingatkan di dalam Al-Qur`an.
Surah al-Fathihah menjadi bagian paling terpilih dari seluruh isi al-Qur`an dengan bentuk yang paling gamblang dan pemaparan yang paling jelas. Siapapun yang merenungi surah ini pasti akan mendapatkan apa yang dapat didapatkannya dari seluruh isi Al-Qur`an. Itulah sebabnya surah ini wajib dibaca ketika hamba bertawajuh kepada Dzat Tunggal yang oleh syariat disebut dengan istilah "shalâh". Shalat merupakan mi'raj bagi mereka yang menuju kepada-Nya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Shalat adalah mi'raj orang mukmin." Rasulullah juga bersabda: "Tidak sah shalat kecuali dengan membaca Fâtihah al-Kitâb."
Oleh sebab itu, maka bagi engkau yang sedang melakukan shalat dengan menghadap ke arah ka'bah yang sejati atau kiblat yang asli, hendaklah engkau melaksanakan shalat wajib dengan tekun yang dapat mendekatkan Anda kepada kiblat sejati, sehingga engkau dapat meraih hikmah dan rahasia-rahasia yang terkandung di penetapan kewajiban shalat oleh syariat. Karena jika engkau ingin mendekatinya atau menghadap ke pintu kiblat sejati itu, engkau harus terlebih dulu berwudhu dan menyucikan diri dari segala kotoran baik yang lahir maupun yang batin.
Kemudian engkau harus membersihkan dirimu dari segala bentuk syahwat, sehingga engkau akan dapat memulai takbiratul ihram tanpa waswas setan yang membaca hawa nafsu yang menyesatkan. Ketika Anda merapalkan takbiratul ihram, ingatlah bahwa engkau telah mengharamkan terhadap dirimu segala kehidupan dunia yang engkau miliki:
Bacaan "Allahu akbar" harus engkau perhatikan maknanya. Yaitu bahwa Dia adalah Dzat Mahaagung Mahabesar di dalam Dzat-Nya yang tidak dinisbahkan kepada yang selain Dia, karena mereka tidak ada yang selain Dia. Lakukan ini sebagai karaktermu, bukan untuk mencari keutamaan. Jadikanlah ia sebagai pusat dari konsentrasimu dan inti dari semua tujuan yang engkau inginkan.
Ketika engkau merapalkan "bismillâh" demi mencari anugerah dan berkah, maka gerakkanlah hasrat dan mahabah engkau hanya kepada Allah.
Ketika engkau merapalkan "ar-rahmân", engkau sedang menghirupnya dari nafas kasih sayang Allah yang akan membantu engkau untuk naik ke sisi-Nya.
Ketika engkau mengucapkan "ar-rahîm", Anda merasa nyaman dengan embusan kelembutan dan semilir rahmat-Nya. Engkau datang dengan maqam memohon kelembutan Allah SWT sembari menghitung nikmat yang sudah Dia berikan kepada Anda.

Ketika engkau bersyukur atas nikmat Allah dengan merapalkan "al-hamdulillâh", engkau telah bertawasul kepada-Nya dengan bersyukur atas nikmat-Nya.
Ketika engkau merapalkan "rabb al-'âlamîn", engkau mengakui sepenuhnya atas kemencakupan, kemeliputan, dan pelantanan-Nya terhadap seluruh semesta.
Ketika engkau merapalkan "ar-rahmân", engkau memohon keluasan rahmat Allah dan keumuman kasih sayang-Nya. Ketika engkau merapalkan "ar-rahîm", engkau selamat dari azab yang pedih berupa sikap berpaling kepada yang selain Allah yang Mahabenar. Engkau telah sampai kepada-Nya setelah sebelumnya terpidah dari-Nya. Bahkan engkau telah berhubunganya dengan-Nya.
Ketika engkau merapalkan "mâliki yaum ad-dîn", engkau telah memutuskan hubungan dengan asbâb (kausalitas) secara mutlak dan engkau teguhkan maqam kasyf (penyingkapan) dan syuhûd (kesaksian). Ketika tampak kepada engkau sesuatu yang tampak bagi engkau, maka di maqam itu engkau boleh berkata dengan segenap jiwa-raga: "Iyyâka na'buku", hanya kepada-Mu kami menyembah; "wa iyyâka nasta'în", hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Ketika engkau merapalkan "ihdina-sh-shirâth al-mustaqîm", engkau telah meneguhkan maqam ubudiyyah (penghambaan).

Ketika Anda merapalkan "shirath al-ladzîna an'amta 'alaihim", engkau telah meneguhkan maqam al-jam' (penyatuan).
Ketika engkau merapalkan "ghair al-maghdhûb 'alaihim", engkau telah menyatakan takut dari kekuatan kekuasaan sifat-sifat Allah yang agung.
Ketika Anda merapalkan "walâ adh-dhâllîn", Anda menyatakan takut mundur lagi setelah sampai di tujuan.
Ketika engkau merapalkan "âmîn", engkau telah aman dari setan yang terkutuk. Hendaklah engkau shalat dengan cara seperti yang disebutkan di atas, agar shalat engkau dapat menjadi mi'raj ke puncak Dzat Tunggal dan tangga menuju Langit Keabadian; serta dapat menjadi kunci bagi khazanah azali yang abadi. Semua itu tentu tidaklah mudah kecuali setelah engkau mampu mematikan keinginan engkau dari berbagai bentuk tuntutan sifat-sifat kemanusiaan dan berakhlak dengan akhlak yang diridhai serta sifat terpuji.
Kecenderungan hati seperti ini tidak akan pernah engkau raih kecuali setelah engkau melakukan uzlah melarikan diri dari orang-orang yang tenggelam dalam kealpaan serta memutuskan diri dari mereka dan dari gangguan berikut adat-kebiasaan mereka yang buruk. Kalau itu tidak dapat engkau lakukan, maka tabiat manusia selalu ingin mencuri, penyakit selalu menyerang, dan nafsu selalu mendorong ke arah keburukan serta jauh dari sang Maula. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan nafsu serta menyelamatkan kita dari tipu-dayanya melalui anugerah-Nya.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Tafsir Al-Jailani, terj. Tim Markaz Al-Jailani.--


MATI SEBELUM MATI MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Wahai hamba Allah, sadarilah bahwa engkau hanya sebatas diberi harapan. Maka, jauhilah segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla dengan kalbumu sehingga engkau dapat dekat kepada-Nya. Matilah engkau sebelum mati. Matilah engkau dari dirimu dan makhluk. Sungguh telah diangkat berbagai hijab dari dirimu dan Allah Azza wa Jalla.”
Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mati?” Lalu beliau menjawab, “Matilah dari mengikuti kemauan, hawa nafsu, tabiat dan kebiasaan burukmu, serta matilah dari mengikuti makhluk dan dari berbagai sebab. Tinggalkanlah persekutuan dengan mereka dan berharaplah hanya kepada Allah, tidak selain-Nya. Hendaklah engkau menjadikan seluruh amalmu hanya karena Allah Azza wa Jalla dan tidak mengharap nikmat-Nya.
Hendaklah engkau bersikap ridha atas pengaturan, qadha dan tindakan-Nya. Jika engkau melakukan hal yang demikian, maka hidup dan matimu akan bersama-Nya. Kalbumu akan menjadi tentram. Dialah yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Kalbumu akan selalu menjadi dekat kepada-Nya, selalu terhubung dan bergantung kepada-Nya. Engkau akan selalu mengingat-Nya dan melupakan segala perkara selain Diri-Nya.
Kunci surga adalah ucapan La ilâha illa Allâh, Muhammadur-Rasûlullâh. Sedangkan esok,, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.
Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.
Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”
Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.
Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani--

Jumat, 11 September 2015

KULIAH DZIKIR SYEKH IBNU ATHAILLAH

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (1)

Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan:

"Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna."

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (2)

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah.

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (3)

Setiap dzikir memiliki pengaruh tertentu. Jika kita sibuk dengan dzikir, pasti akan diberi yang lebih tinggi darinya. Dzikir yang disertai kesiapan akan bisa membuka tirai, tapi hal itu disesuaikan dengan kondisi orang yang melakukannya.
Menurut Imam Ghazali, hakikat dzikir adalah berkuasanya Allah di dalam kalbu disertai kesirnaan dzikir itu sendiri. Tapi, dalam pandangannya, dzikir memiliki tiga kulit atau lapisan yang salah satunya lebih dekat kepada inti (lubb) daripada yang lainnya. Inti (lubb) tersebut berada di balik tiga kulit tadi. Kulit-kulit itu adalah sebagai jalan menuju inti (lubb). Kulit yang paling luar adalah dzikir lisan semata.
Seorang pedzikir selalu mengaplikasikan dzikir lewat gerakan lisan disertai usaha menghadirkan kalbu. Karena, kalbu perlu penyesuaian dengan lisan agar sanggup hadir dalam dzikir. Jika dibiarkan, ia akan sibuk dengan berbagai imajinasi yang melintas. 
Kondisi ini baru berakhir ketika kalbu mengikuti lisan serta cahayanya membakar syahwat dan setan. Saat itulah dzikir kalbu menguat, sementara dzikir lisan mulai melemah. Seluruh organ dan semua sisi tubuhdipenuhi cahaya, kalbu pun bersih dari hal-hal selain Tuhan, terputus dari berbagai bisikan, dan setan al-Khannas pun tak lagi tinggal di dalamnya. Dengan begitu, kalbu menjadi tempat masuknya anugerah Allah, serta cermin bagi segala manifestasi dan makrifat ilahiah. Ketika dzikir itu menyeruak masuk ke dalam kalbu dan menyebar di seluruh organ tubuh, maka semua organ itu pun berdzikir sesuai dengan kondisinya.

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (4)

Al-Jurairi menuturkan, “Salah seorang sahabat kami selalu mengucap Allah, Allah. Lalu pada suatu hari, kepalanya terkena batang pohon hingga pecah dan mengucurkan darah. Dari darah itu kemudian tertulis di atas tanah lafal Allah, Allah.” 

Dzikir laksana api yang bekerja secara aktif dan memberikan pengaruh. Ketika masuk ke dalam sebuah rumah, dzikir itu akan berucap, “Aku, tidak ada lagi selainku.” Itulah makna ungkapan la ilaha illa Allah. Jika di dalam rumah itu bertemu dengan kayu bakar, dzikir tersebut akan segera membakar. Jika rumah itu gelap, ia akan menjadi cahaya penerang. 
Jika rumah itu memang memiliki cahaya, ia akan menjadi cahaya di atas cahaya.
Dzikir berfungsi menghilangkan endapan berlebih dalam tubuh yang diakibatkan oleh makan berlebihan dan mengkonsumsi barang haram. Saat endapan kotor itu terbakar sehingga hanya yang baiklah yang bertahan, barulah ia bisa mendengar senandung dzikir dari semua organ tubuhnya. Suara dzikir itu seperti tiupan terompet. Pertama-tama, ia jatuh di sekitar kepala sehingga kau akan mendengar suara seperti terompet.
Dzikir adalah penguasa, jika singgah di suatu tempat, ia akan singgah dengan membawa terompet itu. Sebab, dzikir menghadang apa saja selain al-Haq. Ketika menempati suatu tempat, ia akan sibuk melenyapkan segala sesuatu yang menjadi lawannya laksana air bertemu api. Lalu, akan terdengar berbagai macam suara seperti desir air, deru angin, golakan api, derap kuda, dan suara dedaunan tertiup angin. Sebab, struktur tubuh manusia terdiri dari unsur mulia dan hina. Unsur yang hina meliputi tanah, air, api, udara, bumi dan langit, serta segala yang berada di antara keduanya. Jadi, semua suara itu berasal dari seluruh unsur asli di atas. Ketika suara itu terdengar, berarti ia sedang bertasbih dan mensucikan Allah dengan lisannya. Itulah hasil dari dzikir lisan yang optimal. 
---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH (5)

Boleh jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak karena rindu pada dzikir dan objeknya (Allah). 
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pedzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, berarti masih ada hijab.

Kondisi saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut kondisi fana. Dalam kondisi seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya, hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya. 
Semua itu gaib dari dirinya dan dirinya juga gaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahwa ia sedang dalam kondisi fana berarti kondisi fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya. 

---Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (6)

Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara kontinyu sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naiklah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling sucii. Gambaran alam malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian lahut tampak jelas di hadapannya. 

Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para nabi dan wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy) tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal.”

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (7)

Sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pedzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu.
Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berdzikir dengan cahaya yang mengalir darinya.
Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (8)

Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy.
Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah terwujuddengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman, “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.”
Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir beersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu.
Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu. 
Jika engkau berdzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan roh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan zat-Nya.
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (9)

Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, nafs adalah unsur (hai’ah) berjenis uap yang lembut dan membawa potensi kehidupan, perasaan, dan gerakkan kehendak. Allah Yang Mahabijaksana menyebutnya dengan roh hewani. Ia merupakan instrumen perantara antara kalbu—sebagai nafs yang berbicara—dan badan. Ada yang berpendapat bahwa nafs itulah yang dalam Al-Quran disebut dengan pohon zaitun sebagai pohon yang penuh berkah, tidak tumbuh di sebelah timur atau di sebelah barat. Sebab, dengan nafs manusia bisa bertambah mulia dan suci. Selain itu, ia tidak berasal dari penjuru timur alam ruh semata atau penjuru barat tubuh yang padat.
Nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Nafs al-ammarah bi al-su (yang memerintahkan pada keburukan) adalah nafs yang condong kepada naluri badan, menyuruh pada kesenangan dan syahwat, serta menarik kalbu kepada sesuatu yang rendah. Ia adalah jenis nafs yang buruk, sumber segala akhlak dan perbuatan tercela. Selain itu, ia adalah nafs yang dimiliki manusia pada umumnya dan merupakan kejahatan. Bagi nafs al-ammarah bi al-su ini, dzikir ibarat lampu yang menerangi rumah yang gelap gulita.
Nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu yang dengannya manusia tersadarkan dari kelalaian. Setelah itu, ia pun mulai memperbaiki diri. Ia berpindah-pindah di antara unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Setiap kali muncul perbuatan jahat yang berasal dari karakter dan tabiat buruknya, cahaya peringatan ilahi segera meluruskan. Pada saat itu ia akan mencaci dirinya seraya bertobat, memohon ampunan, dan kembali pada pintu Sang Maha Pengampun lagi Penyayang. Karena itu dalam Al-Quran Allah menjadikan Nafs lawwamah itu sebagai sandaran sumpah. Allah berfirmsn, “Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan Nafs lawwamah (yang sering mencaci).” (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

KULIAH DZIKIR DARI SYEKH IBNU ATHA’ILLAH (10)
Seperti dijelaskan sebelumnya, nafs ada yang bersifat ammarah (memerintah), lawwamah (suka mencaci), dan muthma’innah (tenteram). Menurut Ibnu Atha’illah, melalui dzikir, nafs dalam diri manusia itu seolah-olah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah rumah yang penuh dengan segala hal buruk seperti kotoran, anjing, babi, singa, macan, dan gajah.
Lalu setelah ia bergumul dengan berbagai macam keburukan itu, ia berusaha mengeluarkannya. Ia pun sempat terluka oleh binatang-binatang buas yang ada di dalamnya. Karena itu, ia segera melakukan dzikir dan munajat agar dzikir tersebut bisa mengalahkan dan mengeluarkan mereka.
Nafs lawwamah terus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan berbagai perabotan sampai akhirnya rumah itu menjadi indah. Setelah itu, barulah rumah tersebut layak dihuni dan ditempati sang penguasa (dzikir). Ketika dzikir bertempat di dalamnya dan tatkala al-Haq tampak dengan jelas, nafs itu pun kembal pada kondisi muthma’innah (tenteram). Itulah nafs yang mendapatkan cahaya kalbu secara sempurna. Nafs tersebut mengikuti kalbu untuk naik menuju surga alam kesucian yang bersih dan terhindar dari segala kotoran. Nafs muthma’innah selalu tekun mengerjakan ketaatan, serta merasa tenteram bersama Allah Dzat Yang meninggikan derajat kemuliaan. Sehingga Allah berseru kepadanya, “Wahai nafs muthma’innah, kembalilah pada Tuhanmu dalam kondisi ridha dan mendapat ridha. Masuklah sebagai hamba-Ku, serta masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr [89]: 29-30).

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah