Jumat, 23 Februari 2018

KERJA, IBADAH DAN JIHAD


Suatu ketika, seseorang berjalan melintasi tempat Rasulullah Saw., orang itu terlihat sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkomentar, “Ya Rasulullah, andai kata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan fî sabîlillâh, alangkah baiknya.” Lalu, Rasulullah menjawab, “Kalau dia itu bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu adalah fî sabîlillâh; kalau ia bekerja untuk membela kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, maka itu pun fî sabîlillâh; bahkan kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fî sabîlillâh,” (HR At-Tabrani).

Salahlah orang yang mengira bahwa agama hanya melulu mengurusi halal-haram, surga-neraka, tahlil dan zikir di masjid tanpa konsep wirausaha dan kerja keras. Agama tak hanya mengurusi jenazah, masjid, kenduri atau kegiatan formalitas simbolik lainnya.
Agama justru mengajarkan tentang etos kerja dan daya juang menghadapi hidup. Maka, salahlah orang yang hanya berdoa di masjid setiap hari, tanpa berbuat banyak untuk mencari nafkah bagi anak, istri dan keluarganya. Islam tidak mengajarkan orang untuk menjadi petapa yang tinggal di gua gelap selama berhari-hari dan mengandalkan orang untuk bersimpati kepadanya.
Rasulullah mengatakan, sungguh, Allah sangat senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan dengan terus menerus dan sangat bersungguh-sungguh, (HR Muslim).
Tanpa konsistensi, kerja yang berkesinambungan, disiplin dan kesungguhan, amat sukar bagi seseorang untuk mendapatkan keinginan yang mau dicapai. Jauh-jauh hari Rasul telah memberi dasar-dasar etos kerja bagi setiap Muslim. Rasul mengatakan, apabila engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Pergunakan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu, (HR Bukhari).
Kebahagian hidup di dunia tak akan bisa dicapai hanya dengan berdiam diri di rumah, tanpa usaha. Tuhan dan rasul-rasul-Nya tak pernah melarang kita menjadi kaya raya, karena bukan kekayaan yang dilarang, tapi ketamakan dan kerakusan manusianya yang dilarang. Bahkan, kemiskinanlah yang sangat dikhawatirkan oleh Sang Rasul, karena akan mendekatkan seseorang pada kekufuran.
Makanya, Nabi selalu mengingatkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. 
Rasulullah membuat ilustrasi, seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang-kadang pula ditolak,” (HR Bukhari dan Muslim).

Allah Swt. juga pernah mengingatkan Nabi, katakan kepada kaummu: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,’” (QS A-Zumar [39]: 39).
Seluruh nabi dan rasul yang diutus ke muka bumi ini adalah pekerja keras. Tak ada yang mendapatkan harta dengan lamunan atau kemalasan. Rasulullah sendiri adalah penggembala kambing, sudagar kaya, bahkan bisa disebut pengekspor-impor, karena pernah berdagang hingga Yaman dan Syria. Nabi Musa a.s., Sulaiman a.s., Dawud a.s., Ibrahim a.s. dan nabi-nabi yang lain pun dikisahkan dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai pekerja keras, penggembala (peternak) dan saudagar sukses.
Dalam Islam, kerja adalah ibadah. Kerja merupakan jihad yang sangat dihormati Tuhan. Orangtua yang bekerja, banting tulang mencari nafkah untuk anak, istri dan keluarganya merupakan syuhada-syuhada yang dimuliakan Tuhan. Mereka layak dikatakan sebagai pahlawan, minimal pahlawan bagi anak dan istrinya. Setiap tetes keringat yang mengucur dari jerih payahnya akan bernilai ibadah dan dicatat sebagai pahala, yang kelak di akhirat akan mendapatkan imbalannya.
Orientasi kerja seorang Muslim tidak hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai bekal ukhrawi. Karena itu, agama melarang seseorang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan sesuatu. Islam telah mengatur hubungan muamalat manusia, baik dalam kegiatan ekonomi, perbankan, asuransi, jasa, pertanian, perdagangan dan kegiatan lainnya. Kesungguhan dan kerja keras seseorang tak hanya bertujuan untuk investasi duniawi, tetapi juga ukhrawi sekaligus.
Salam Perjuangan!


QANA'AH MEMBUAT HATI TENANG DAN DAMAI


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Wahai saudaraku, mengertikah engkau apakah yang dimaksud dengan qana'ah? Qana'ah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas dengan memperbanyak bersyukur dan menghindari sifat rakus. Itulah yang disebut qana'ah. Berhentinya keinginan terhadap ара yang sudah diberikan kepadamu, dan tidak ada lagi keinginan untuk memintah tambahan lagi, maka itulah sikap orang arif (ma'rifat).

Hendaknya engkau yakin bahwa qana'ah adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim, sebab dengan qana'ah hatimu menjadi tenang. Bahkan sifat itu merupakan modal yang tak bisa habis dalarn kondisi ара pun.
Rasulullah Saw. bersabda: “Qana 'ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tak akan lenyap,” (HR. At Thabarani). Syaikh Abu Zakaria Al-Anshari berkata, "Qana'ah itu adalah merasa cukup dengan ара yang sudah diterima dan memenuhi kepentingannya, baik berupa makanan, minuman, pakaian atau yang lainnya. Sedangkan Abu Sulaiman Darani berkata, "Qana'ah adalah merupakan bagian dari ridha, dan wara' adalah merupakan bagian dari zuhud."
Ketahuilah bahwa sifat qana'ah merupakan sifat yang didambakan oleh kaum sufi. Karena dengan sifat itu, mereka berharap bisa terhindar dari bahaya hawa nafsunya. Di mana hawa nafsu itu selalu mengejar dan mendambakan kesenangan duniawi. Keinginan nafsu terhadap duniawi tidak akan pernah berhenti, bahkan membawa manusia menjadi sibuk dengan urusan duniawi yang tak berarti. Jika manusia telah tenggelam dalam kesibukan duniawi, maka ia cenderung lupa untuk mempersiapkan bekal buat kehidupan akhirat. Dan tentunya lupa pula ia kepada Tuhan-Nya.
Wahai saudaraku, sifat qana'ah dapat mendidikmu untuk pandai bersyukur. Artinya, dengan sifat qana'ah itu engkau akan senantiasa mensyukuri kenikmatan Allah yang telah diberikan kepadamu. Jika manusia banyak bersyukur, tentu akan memiliki gairah dalam beribadah. Nabi Saw. bersabda: “Jadilah kamu orang yang wara' pasti kamu menjadi orang yang banyak beribadah, dan jadilah kamu orang yang qana 'ah pasti kamu menjadi orang yang banyak bersyukur.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar Al-Maghribi berpendapat, "Orang yang berakal ialah yang dapat mengatur urusan dunianya dengan sikap qana'ah dan urusan akhirat dengan keinginan yang menggelora; urusan agamanya dengan ilmu dan ijtihad. Sedangkan, Muhammad bin Tirmidzi mengatakan, "Qana'ah adalah jiwa merasa lapang dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya dan menghilangkan rasa tamak terhadap yang tidak tercapai."
Wahai saudaraku, engkau tidak dilarang mencari rezeki. Juga tidak disuruh bermalas-malasan dan berpangku tangan. Namun ketahuilah bahwa Allah menyuruhmu berikhtiar, bekerja, karena manusia hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Bekerja merupakan amal ibadah. Engkau harus yakin dalam bekerja ada kalah dan ada menang. Kalah dalam menghadapi rayuan dan menang dalam melawan ajakan setan. Karenanya, bekerjalah dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Hati-hatilah terhadap tipu daya nafsumu dan tipu daya setanmu agar tidak terjerumus mengais rezeki haram.
Wahai saudaraku, Islam mengharapkan engkau menjadi manusia cerdas. Mampu menggunakan akal pikiranmu. Islam tidak ingin pemeluknya bodoh. Oleh karena itu jangan seperti orang awam yang menganggap ibadah hanyalah tepekur di masjid, shalat dan berzikir. Mereka menganggap Islam memundurkan akal pikiran manusia dalam bekerja. Padahal orang Islam harus cerdas dan harus bekerja, sebab bekerja merupakan ibadah. Islam tidak menyukai orang muslim menjadi pemalas.
Anggapan yang demikian itu salah besar, mereka menyangka bahwa yang disebut qana'ah itu adalah menerima ара saja yang ada, sehingga mereka tidak berusaha dan berikhtiar lagi, padahal agama menyuruh manusia agar bekerja keras mencari keutamaan Ilahi, agar bisa bersedekah, berinfak, bisa membangun masjid, membangun pondok-pondok pesantren, dan membangun majelis-majelis ta'lim dan lain-lain. agar umat Islam tidak terbelakang. Ingat sejarah perjuangan Nabi dan para sahabatnya, mereka berusaha dan bekerja mencari rezeki. Bahkan mereka bersifat dermawan terhadap sesamanya meskipun harta yang di dapatnya cukup bagi keluarganya saja. Wahai manusia, sesungguhnya agama menyuruh umatnya untuk qana'ah (qana'ah hati bukan qana'ah ikhtiar/ usaha).
Wahai saudaraku, makna qana'ah itu amat luas. Qana'ah menyuruh manusia agar benar-benar percaya terhadap 'kekuasaan' yang melebihi kekuasaan manusia. Qana'ah menyuruh manusia untuk bersabar menerima ketentuan Allah swt. Jika ketentuan itu tidak menyenangkan, maka Allah tetap menyuruhnya untuk menerimanya, karena itulah cobaan dari-Nya.
Dalam keadaan demikian, manusia masih tetap disuruh untuk berikhtiar dan berdaya upaya sekuat tenaganya. Selama nyawa dikandung badan, engkau wajib berusaha mencari rezeki. Engkau bekerja bukan berarti minta tambahan yang telah engkau terima, dan bukan berarti merasa tidak cukup dari ара yang telah engkau terima, melainkan engkau bekerja sebab masih hidup. Inilah yang dimaksudkan dengan qana'ah.
Jelaslah bagimu sekarang, bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa sifat qana'ah dapat melemahkan hati dan pikiran, itu salah. Qana'ah merupakan modal yang tidak pernah hilang. Qana'ah bisa membangkitkan kesungguhan hidup. Qana'ah tidak mengenal takut dan gentar, tidak mengenal ragu dan bimbang.
Allah swt. berfirman: “Tiada sesuatu yang melata di bumi, melainkan di tangan Allahlah rezekinya.” (QS Hûd (11) : 6). Rasulullah Saw. bersabda: “Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta benda, tapi kekayaan yang sebenarnya itu adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup, dan merasa cukup dengan apa-apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa Hakim bin Hizam ra. berkata, "Aku memohon kepada Rasulullah. Kemudian beliau mengabulkan permohonanku (permintaanku). Lalu aku meminta lagi, beliau juga mengabulkannya. Kemudian beliau bersabda, "Wahai Hakim bin Hizam, harta memang indah dan manis, maka barangsiapa mengambilnya dengan lapang dada, maka ia mendapat berkah. Sebaliknya, barangsiapa menerimanya dengan kerakusan, maka harta itu tidak akan memberi berkah kepadanya; bagaikan orang makan yang tak pernah merasa kenyang. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang berada di bawah". Kemudian Hakim bin Hazim berkata: "Ya Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq aku tidak akan menerima apapun dari seseorang sepeninggalmu sampai akhir hayatku."

Rasulullah SAW bersabda, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah, dahulukanlah dalam bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu, sebaik-baik sedekah itu adalah yang masih ada kekayaan. Dan barangsiapayang sopan, maka Allah akan memelihara kesopanannya. Dan barangsiapayang mencukupkan dengan kekayaannya yang ada maka Allah akan mencukupkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai saudaraku, Islam mendidik umatnya untuk bersifat qana'ah dan tidak rakus, Islam menyuruh umatnya untuk maju, dengan kemajuan itu akan bisa memberikan sesuatu kepada sesamanya, bukan meminta-minta. Sebab tiada kekayaan yang dihasilkan tanpa disertai dengan ikhtiar atau usaha, tak menjadi orang yang berilmu bila ia tidak menuntut ilmu.
Perhatikanlah kisah Maryam, tatkala hendak melahirkan Nabi Isa a.s. di tengah-tengah padang pasir, dia diperintahkan oleh Allah untuk menggapai dahan pohon kurma agar buahnya tersebut jatuh. Kalau Allah menyuruh qana'ah dengan hanya menunggu tanpa berusaha tentunya Siti Maryam selamanya akan merasa haus dan lapar.
Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian disuruh untuk menunaikan pada hari Jum'at, maka segeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di atas bumi, dan carilah anugerah Allah sebanyak-banyaknya agar supaya kamu semua beruntung.” (QS. Al Jumu'ah (62) : 9-10).
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya Allah menyuruhmu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan syarat harus dilakukan setelah shalat. Carilah kehidupan kembali sambil mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam melakukan segala pekerjaan agar kamu mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

PESAN HIKMAH SYEKH ABDUL QADIR JAILANI


Syekh Abdul Qadir Jailani bercerita:
"Suatu ketika seorang laki-laki membeli seorang budak, dan budak itu kebetulan adalah salah seorang yang taat beragama dan saleh.
“Wahai budak,” kata laki-laki itu kepadanya, “Kamu ingin makan apa?”
“Apa pun yang Tuan berikan kepada saya maka akan saya makan.”

“Pakaian macam apa yang ingin kamu pakai?”
“Apa pun yang Tuan berikan kepada saya untuk saya pakai.”
“Di mana kamu ingin tinggal di dalam rumahku?”
“Di tempat mana pun Tuan menempatkan saya.”
“Pekerjaan apa yang kamu suka kerjakan?”
“Apa pun yang Tuan perintahkan kepada saya untuk saya kerjakan.”

Laki-laki itu menangis dan berkata: “Alangkah besar berkah yang akan kuterima, seandainya aku bisa bersikap di sisi Tuhanku sebagaimana sikapmu terhadapku!”
“Wahai Tuanku,” kata si budak, “Apakah seorang hamba, di sisi tuannya, memiliki kehendak atau pilihan sendiri?”
Kemudian laki-laki itu berkata kepadanya: “Engkau adalah orang merdeka demi Allah, dan aku ingin agar engkau tinggal bersamaku, agar aku bisa melayanimu dengan diriku (nafs) dan hartaku.”
Siapa pun yang benar-benar mengenal Allah tidaklah memiliki kehendak atau pun pilihan sendiri, dan dia akan mengatakan: “Apa peduliku terhadap diriku sendiri?” Engkau tidak boleh menantang takdir (qadar) mengenai urusan-urusanmu ataupun urusan-urusan orang lain.
Dengarkanlah kata-kataku, wahai para pemprotes, wahai orang-orang yang berkeberatan, wahai orang-orang yang berperilaku buruk! Berilah perhatian kepadaku, sebab aku berbicara sebagai salah seorang agen pengiklan umat para nabi (munâdî ummat al-anbiyâ’), sebagai salah seorang pengikut mereka dan sebagai salah seorang calo mereka. Aku mendasarkan penilaianku pada Al-Kitab dan Sunnah. Maka, tak seorang pun yang kalbunya telah didekatkan kepada Allah akan merasa takut terhadap apa yang kukatakan.
Di antara hamba-hamba Allah ada sedikit individu yang menghindari berteman dengan makhluk dan menemukan persahabatan yang akrab di tempat-tempat menyepi (khalawât).
Mereka menikmati keakraban seperti itu dalam membaca Alquran dan membaca sabda-sabda Rasul Saw. maka mereka lalu memiliki kalbu yang sangat akrab dengan makhluk dan dekat dengan mereka, dan yang dengannya mereka melihat diri rendah mereka sendiri (nufûs) dan diri-diri rendah orang lain.
Kalbu mereka sehat, sehingga tak sesuatu pun yang engkau kejar tersembunyi dari mereka. Mereka bisa berbicara tentang apa yang kalian pikirkan dan kalian rasakan, dan mereka bisa mengatakan kepada kalian mengenai situasi di rumah-rumah kalian.
Celakalah kalian! Gunakanlah akal sehat kalian! Janganlah kalian bersaing dengan manusia-manusia (pilihan Tuhan) dalam kejahilan kalian. Setelah kalian selesai dari (mengkaji) Al-Kitab, kalian akan bangun dan berbicara kepada orang banyak.
Setelah hitamnya tinta mengenai pakaian dan badan kalian, dan setelah merenung dengan cermat, kalian akan berbicara kepada orang banyak. Ini adalah maslaah yang menuntut kemampuan lahir dan kemampuan batin, kemudian kebebasan dari semua keterikatan.
Wahai kalian yang begitu lalai akan apa yang dituntut dari kalian, ingatlah akan Kiamat Khusus (al-qiyâmat al-khâshshah) dan Kiamat Umum (al-qiyâmat al-ʽâmmah).
Kiamat Khusus adalah kematian masing-masing kalian sebagai individu, sedangkan Kiamat Umum adalah kiamat yang telah dijanjikan Allah kepada semua makhluk-Nya. Kalian harus ingat dan merenungkan firman Allah: "Pada hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada (Tuhan)Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat; dan Kami akan menggiring orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga (QS 19:85-86)."
---Syekh Abdul Qadir l-Jailani dalam Jala Al-Khawathir

Jumat, 02 Februari 2018

MARI MENGHIDUPKAN KALBU

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan:
"Wahai kalian yang kalbunya mati, kalian harus senantiasa mengingat Tuhan kalian, membaca Kitab-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya, dan menghadiri majelis-majelis dzikir. Dengan demikian kalbu kalian akan hidup kembali, sebagaimana bumi yang mati dihidupkan kembali dengan hujan yang menyegarkan.
Dzikir yang terus-menerus adalah penyebab kebaikan yang terus-menerus di dunia ini dan di akhirat nanti. Apabila kalbu seseorang sehat, maka zikir akan menjadi hal yang terus-menerus terjadi di dalamnya. Dzikir terukir di seputarnya dan di seluruh ruangnya, sehingga matanya boleh saja tertidur, tetapi kalbunya akan selalu mengingat Tuhannya. Dia mewarisi ini dari Nabinya Saw., yang biasa mengingat Allah di setiap saat.
Hamba-hamba Tuhan secara normal akan tidur hanya jika kantuk menguasai mereka secara tak tertahankan lagi, meskipun ada sebagian orang di antara mereka yang dengan sengaja tidur satu jam di malam hari, sebagai cara untuk membantu diri mereka agar bisa bangun sepenuhnya sepanjang sisa malamnya. Dengan memberikan sedikit kelonggaran ini kepada kepada kebutuhan diri rendahnya (nafs), mereka akan menenangkannya dan mencegahnya dari mendatangkan kesulitan serius kepada mereka.
Alkisah, diceritakan bagaiman seorang yang saleh—semoga Allah Yang Mahatinggi melimpahkan rahmat-Nya kepadanya—sedang memegang seuntai tasbih dan menggunakannya untuk menghitung puji-pujiannya kepada Tuhan, sampai suatu saat dia tertidur.
Kemudian dia terbangun dan melihat bahwa biji-biji tasbihnya masih berputar di tangnnya, sementara lidahnya masih mengucapkan dzikir kepada Tuhannya.
Seorang saleh yang lain lagi biasa memaksa dirinya untuk tidur di sebagian malam, dan akan mendapati dirinya siap untuk itu tanpa betul-betul membutuhkan istirahat. Ketika ditanya tentang hal itu, dia berkata: “Kalbuku melihat Tuhanku.” Dia mengatakan kebenaran dalam apa yang dikatakannya, sebab mimpi yang benar (manâm shâdiq) adalah wahyu dari Allah. Apa yang dia sukai ada di dalam tidurnya.
Apabila seseorang dekat kepada Allah, maka malaikat-malaikat-Nya akan diberi tugas mengawasinya setiap saat. Jika dia tidur, mereka akan duduk di arah kepalanya dan di arah kakinya; mereka menjaganya baik di depannya maupun di belakangnya. Setan mungkin akan mencoba menggodanya, tetapi dia tidak akan merasakan kedekatannya, sebab dia tidur dalam penjagaan Allah, dan dalam penjagaan-Nya dia akhirnya akan terjaga kembali. Apakah dia bergerak ataukah diam, dia selalu dalam penjagaan Allah Yaang Mahatinggi.
Ya Allah, jagalah kami dari semua keadaan, dan :Berilah kami kebaikan di dunia ini, dan kebaikan di akhirat juga, dan jagalah kami dari siksa neraka! (QS 2:201)."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khawathir