Selasa, 19 Juli 2016

HILANGKAN KESEDIHAN DAN KEGALAUAN DENGAN DOA

Sahabat Abu Musa al-Asy'ari r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tertimpa kesusahan atau kesedihan, maka hendaklah dia membaca doa ini:

اَللَّهُمَّ إنِّيْ عَبْدُكَ اِبْنُ عَبْدِكَ اِبْنُ أَمَتِكَ ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ، عَدْلٌ فِيَّ فَضَاؤُكَ ، أَسْأَلُكَ اَللَّهُمَّ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَلَكَ ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ ، أوِاسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ ، وَجَلاَءَ حُزْنِىْ ، وَذِهَابَ هَمِّيْ
‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu. Ubun-ubunku berada dalam genggaman ‘kekuasaan’-Mu. keputusan-Mu telah berlaku atas diriku dan setiap ketentuan-Mu adil atasku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama yang menjadi milik-Mu, yang mana Engkau telah menamakan diri-Mu dengannya, atau nama yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu,atau yang Engkau turunkan dalam kitab suci-Mu, atau yang Engkau simpan dalam pembendaharân gaib di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Quran yang agung sebagai penuntun hatiku dan cahaya penglihatanku, penghilang kesedihan dan kesusahanku.’” (HR Ahmad).


Jumat, 15 Juli 2016

MACAM-MACAM CAHAYA BATIN YANG MENGGODA

“Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa ada cahaya yang menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwal (keadaan spiritual) para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq (para ahli hakikat).
Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah dan keindahan-Nya. Cahaya ini tak akan terlihat, kecuali para orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.
Syekh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya menyingkap dzat-Nya,” karena penampakkan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikan. Sebagian yang lain membenarkan kemungkinannya.
Syekh Muhyiddin Ibn Arabi menyebut penampakkan dzat Allah yang murni ini dengan bawariq (kilat), karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.”
Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam mengatakan: “Boleh jadi kalbu terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya kalbu oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.”
Menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi, boleh jadi kalbu kita tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah SWT.
Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:
Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yakni ilmu dan pengetahuan. Jika hati terhenti padanya, maka ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud. Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yakni nafsu syahwat dan kebiasaanya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan, karena tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

MENGHIDUPKAN KALBU MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

"Wahai kalian yang kalbunya mati, kalian harus senantiasa mengingat Tuhan kalian, membaca Kitab-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya, dan menghadiri majelis-majelis zikir. Dengan demikian kalbu kalian akan hidup kembali, sebagaimana bumi yang mati dihidupkan kembali dengan hujan yang menyegarkan.
Dzikir yang terus-menerus adalah penyebab kebaikan yang terus-menerus di dunia ini dan di akhirat nanti. Apabila kalbu seseorang sehat, maka zikir akan menjadi hal yang terus-menerus terjadi di dalamnya. Zikir terukir di seputarnya dan di seluruh ruangnya, sehingga matanya boleh saja tertidur, tetapi kalbunya akan selalu mengingat Tuhannya. Dia mewarisi ini dari Nabinya Saw., yang biasa mengingat Allah di setiap saat.
Hamba-hamba Tuhan secara normal akan tidur hanya jika kantuk menguasai mereka secara tak tertahankan lagi, meskipun ada sebagian orang di antara mereka yang dengan sengaja tidur satu jam di malam hari, sebagai cara untuk membantu diri mereka agar bisa bangun sepenuhnya sepanjang sisa malamnya. Dengan memberikan sedikit kelonggaran ini kepada kepada kebutuhan diri rendahnya (nafs), mereka akan menenangkannya dan mencegahnya dari mendatangkan kesulitan serius kepada mereka.
Alkisah, diceritakan bagaiman seorang yang saleh—semoga Allah Yang Mahatinggi melimpahkan rahmat-Nya kepadanya—sedang memegang seuntai tasbih dan menggunakannya untuk menghitung puji-pujiannya kepada Tuhan, sampai suatu saat dia tertidur. Kemudian dia terbangun dan melihat bahwa biji-biji tasbihnya masih berputar di tangnnya, sementara lidahnya masih mengucapkan zikir kepada Tuhannya.
Seorang saleh yang lain lagi biasa memaksa dirinya untuk tidur di sebagian malam, dan akan mendapati dirinya siap untuk itu tanpa betul-betul membutuhkan istirahat. Ketika ditanya tentang hal itu, dia berkata: “Kalbuku melihat Tuhanku.” Dia mengatakan kebenaran dalam apa yang dikatakannya, sebab mimpi yang benar (manâm shâdiq) adalah wahyu dari Allah. Apa yang dia sukai ada di dalam tidurnya.
Apabila seseorang dekat kepada Allah, maka malaikat-malaikat-Nya akan diberi tugas mengawasinya setiap saat. Jika dia tidur, mereka akan duduk di arah kepalanya dan di arah kakinya; mereka menjaganya baik di depannya maupun di belakangnya. Setan mungkin akan mencoba menggodanya, tetapi dia tidak akan merasakan kedekatannya, sebab dia tidur dalam penjagaan Allah, dan dalam penjagaan-Nya dia akhirnya akan terjaga kembali. Apakah dia bergerak ataukah diam, dia selalu dalam penjagaan Allah Yang Mahatinggi.
Ya Allah, jagalah kami dari semua keadaan, dan :Berilah kami kebaikan di dunia ini, dan kebaikan di akhirat juga, dan jagalah kami dari siksa neraka! (QS 2:201)."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khawathir

Kamis, 14 Juli 2016

IMAN MENURUT KAUM SUFI

Imam Al-Qusyairi menjelaskan: 
Abu Abdullah bin Khafif berkata, iman adalah pembenaran hati terhadap sesuatu yang telah dijelaskan oleh al-Haqq tentang masalah-masalah gaib.
Imam Abu Abbas al-Sayyari berkata bahwa pemberian Allah ada dua: karamah (kemuliaan) dan istidraj (tipuan). Apa yang tetap dan ditetapkan al-Haqq kepadamu adalah karamah; dan apa yang lenyap darimu adalah istidraj. Karena itu, katakan, “Saya adalah orang yang mukmin insya Allah.”
Sahal bin Abdullah al-Tustari mengatakan, “Orang mukmin memandang Allah dengan mata mereka tanpa membatasi dan mengetahui batasnya. 
Abu al-Husain al-Nuri “Hati adalah saksi-saksi Allah al-Haqq. Kami belum pernah melihat hati yang lebih rindu kepada-Nya melebihi hati Muhammad SAW. Karena itu, Allah memuliakannya dengan mi’raj agar dia dapat segera memandang Dzat-Nya dan berbincang dengan-Nya.”
Abu Utsman al-Maghribi pernah berkata, “Suatu saat, saya pernah mempercayai sedikit keyakinan tentang jihah (arah) yang bersumber dari hadis. Ketika saya berkunjung ke Baghdad, kepercayaan itu hilang dari hati saya. Lalu saya menulis surat kepada teman-teman saya di Mekkah dan mengatakan, ‘Sesungguhnya sekarang saya menjadi seorang muslim yang baru.’”
Abu Utsman al-Maghribi juga pernah ditanya tentang penciptaan, lalu ia menjawab, “….segala sesuatu yang terus berubah-ubah dan ilusi-ilusi yang tunduk kepada hukum kuasa Tuhan.”
Al-Wasithi pernah berkata, “Ketika ruh-ruh dan jasad terwujud oleh kuasa Allah, maka hal itu berarti keduanya mewujud tidak dengan dzatnya sendiri. Demikian pula halnya dengan getaran-getaran hati dan gerakan-gerakan tubuh yang wujud dengan kuasa Allah, tidak dengan dzat keduanya sendiri. Karena, gerakan dan getaran hati merupakan perpanjangan bagian dari jasad dan ruh.”
—Risalah Al-Qusyariyah, Imam Al-Qusyairi An-Naisaburi


Rabu, 13 Juli 2016

ADAB AGAR SAMPAI KEPADA ALLAH

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan;
"Makna sampai (wushul) kepada Allah SWT adalah terputusnya hubunganmu dengan sesama makhluk, hawa nafsu, keinginan, dan setiap cita-cita, serta tetap istiqamah dengan apa yang ia lakukan, tanpa adanya gejolak sedikit pun dalam dirimu tentang mereka dan dalam diri mereka tentang dirimu.
Tetapi, semuanya itu menurut kehendak hukum Allah, perintah, dan ketentuan-Nya. Keadaan ini adalah suatu keadaan fana yang diungkapkan dengan kata wushul (sampai). Wushul kepada Allah SWT itu tidak sama dengan wushul kepada salah seorang makhluk yang dapat diterima akal dan dapat diketahui. 
Allah SWT berfirman,
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11).
Sungguh terlalu agung Dzat Pencipta untuk dapat diserupakan dengan makhluk-Nya atau dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Orang yang sudah sampai kepada Allah SWT itu diketahui oleh para ahli wushul dengan pemberitahuan dari Allah SWT. Masing-masing berada dalam batas yang tidak sama dengan orang lain.
Allah SWT mempunyai rahasia beserta salah seorang dari Rasul dan Nabi-Nya serta para kekasih-Nya, tidak ada orang yang tahu selain Dzat-Nya sendiri. Sampai terkadang seseorang yang sedang mengharap sampai kepada Allah SWT itu mempunyai rahasia yang tidak dapat diketahui oleh syaikhnya. Begitu juga seorang syaikh mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh muridnya.
Jika seorang murid itu sudah mencapai keadaan (hal) syaikhnya, dia dipisah dan diasingkan dari syaikh tersebut. Maka, Allah SWT yang menguasainya dan yang menghapus hubungannya dari semua makhluk secara keseluruhan. Syaikh itu ibarat seorang wanita yang menyusu atau yang baru melahirkan. Dia bertugas untuk menyusuinya selama dua tahun. Tidak ada lagi makhluk yang lain setelah hilangnya hawa nafsu dan setiap keinginan. Seorang syaikh itu dibutuhkan selagi dalam diri seorang murid itu masih terdapat hawa nafsu dan keinginan-keinginan, yang kemudian menjadi tugasnya untuk menghancurkan kedua hal itu. Adapun setelah keduanya hilang maka tidak dibutuhkan lagi—karena memang sudah tidak ada lagi sifat kotor dan sifat yang kurang. Apabila kamu telah sampai kepada Allah SWT, sebagaimana yang telah saya jelaskan, jadilah kamu seorang yang aman dari selain Allah SWT selamanya. Kamu tidak akan melihat wujud selain Allah SWT sama sekali, baik dalam kemadharatan maupun kemanfaatan. Tidak dalam keadaan diberi ataupun tidak diberi. Tidak dalam keadaan khauf ataupun raja’.
Allah SWT adalah ahli takwa dan ahli maghfirah (ampunan). Maka, jadilah kamu selamanya sebagai seorang yang selalu melihat setiap ketentuan Allah SWT, menanti dan mengamati setiap perintah-Nya, tersibukkan dengan menaati-Nya, berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain, baik di dunia maupun di akhirat. Jangan gantungkan hatimu dengan suatu apa pun dari mereka. Jadikanlah mereka seperti seorang laki-laki yang disiksa oleh seorang raja yang sangat besar kekuasaannya, keras perintahnya, sangat pedih cambukannya. Kemudian, raja itu mengikatkan belenggu di leher dan kedua kakinya, dan menyalibnya di pohon kurma di pinggir sebuah pantai yang luas membentang, dalam dasarnya, dan kuat arusnya. Kemudian sang raja duduk di atas singgasananya yang sangat agung kekuasaannya, menjulang wibawanya, sangat jauh cita-cita dan impiannya. Dia meletakkan di sampingnya senjata yang berupa anak panah, tombak, pisau kecil, dan senjata lainnya. Kemudian, dia melemparkan senjata tersebut ke arah lelaki yang disalib tadi semau dia.
Apakah baik bagi seseorang yang melihat hal tersebut untuk tidak melihat sang raja, tidak mempunyai rasa takut kepadanya, dan mengharapkan pengampunannya? Serta melihat lelaki yang disalib dan merasa kasihan kepadanya. Bukankah orang yang demikian itu, menurut ukuran akal, adalah orang yang tidak mempunyai akal dan perasaan? Tidakkah ia seorang manusia yang berhati binatang?
Kita berlindung kepada Allah SWT dari kebutaan setelah adanya penglihatan. Dari terputusnya hubungan setelah sampai kepada-Nya. Dari jauhnya jarak setelah adanya kedekatan dan keeratan. Dari kesesatan setelah adanya hidayah. Dan dari kufur setelah adanya keimanan. Dunia bagaikan sebuah aliran sungai yang besar, setiap hari airnya terus bertambah dan mengalir. Itulah syahwat seluruh anak manusia (bani Adam) dan kenikmatan yang ada di dalam dunia tersebut. Adapun berbagai macam senjata tadi, seperti cobaan dan musibah yang datang bersama qadar kepada manusia.
Maka, yang lumrah bagi seorang bani Adam adalah adanya cobaan, kemanfaatan, rasa sakit, dan segala macam bentuk ujian di dunia ini. Semua bentuk kenikmatan yang mereka dapatkan itu sebenarnya telah bercampur dengan berbagai macam malapetaka.
Jika seseorang yang mempunyai akal merenungkan dan mengambil pelajaran darinya, orang tersebut tidak akan mempunyai kehidupan, mata pencaharian, dan masa istirahat, kecuali di akhirat apabila dia seorang mukmin. Karena hal tersebut hanya khusus bagi diri seorang mukmin. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan di akhirat.” Beliau juga bersabda, “Tidak ada kata kenikmatan dan istirahat bagi seorang mukmin, kecuali bertemu dengan Tuhannya.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Dunia adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Beliau SAW bersabda, "Takwa itu seperti tali kekang.” Dengan keterangan hadits-hadits dan peristiwa ini, bagaimana bisa seseorang itu mengaku sebagai orang yang baik kehidupannya di dunia ini? Keadaan lega dan tenang itu ketika tawajjuh hanya kepada Allah SWT, menyesuaikan diri dengan-Nya, serta bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan demikian, seorang hamba akan dapat keluar dari dunia ini. Pada saat itulah, kehinaan menjadi rahmat, kelembutan, sedekah, dan anugerah. Wallahu a’lam."
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghayb


MAJELIS CINTA DZIKIR

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi Musa a.s. bertanya kepada Allah SWT, "Tuhanku, apakah balasannya bagi orang-orang yang dzikir kepada-Mu dengan lisan dan hatinya?" Allah Swt. berfirman: "Wahai Musa, Aku akan melindunginya di Hari Kiamat dengan naungan 'Arsy, dan Aku akan menjadikannya di bawah kekuasaan-Ku."
Nabi Musa a.s. bertanya lagi, "Tuhanku, siapakah hamba-Mu yang paling merugi?" Allah SWT berfirman, "Orang yang tidak mengambil manfaat dari petuah dan orang yang tidak dzikir kepada-Ku sewaktu sendirian."

Dzikir merupakan cara yang paling efektif untuk berdialog dengan Allah SWT dan membuat hamba-Nya mampu secara aktif berpartisipasi dalam komunikasi dengan Allah SWT. Tentu saja kondisi spiritual dari pikiran atau hati setiap orang akan berbeda dalam menerimanya, tergantung dari kemajuan spiritual yang dialaminya. Secara umum dzikir akan selalu melahirkan sifat al-murâqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan pelakunya ke pintu al-Ihsan. Orang-orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke derajat al-Ihsan. Dzikir juga akan melahirkan al-inabah (dorongan jiwa ingin selalu kembali kepada Allah) sehingga hanya Allah-lah yang ditakuti, dan tempat kembali serta berlindung.
Jadi sangat na’if jika masih ada orang yang gemar membid’ahkan kegiatan dzikir. Bagaimana mereka memandang Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Anbasah r.a. ini. Dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Di sebelah kanan Tuhan yang Maha Rahmân, begitu juga di hadapan-Nya, ada sekelompok manusia yang bukan para nabi dan bukan para syuhada. Sinar wajah mereka menyilaukan siapa saja yang melihatnya, sehingga para nabi dan para syuhada merasa iri atas kedudukan mereka dan dekatnya mereka di hadirat Allah Azza wa Jalla.”
Rasulullah SAW ditanya, “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab, ”Mereka adalah sekumpulan manusia dari berbagai kabillah yang berkumpul untuk melakukan dzikir kepada Allah. Mereka memelihara ucapan-ucapan yang baik seperti halnya orang yang makan kurma menjaga dan memilih hanya kurma-kurma yang baik,” (HR Thabrani).

Abdullah bin Busr r.a. mengatakan, “Sesungguhnya ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Ya Rasulullah, perintah dalam syariat Islam ini banyak. Baritahukanlah kepada kami sesuatu yang dapat kami jadikan amalan dan kesibukan.” Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian senantiasa membasahi lidahmu dengan dzikrullâh.”
Maka, mari nikmati hidangan hidayah Allah dengan berdzikir. Mari kita masuki taman-taman surga dengan berdzikir. Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya di dunia ada surga. Barangsiapa tidak masuk ke dalam surga itu, ia tidak akan masuk ke dalam surga Akhirat.” Ibnu Taimiyyah ditanya, “Apakah yang dimaksud dengan surga dunia itu?” Beliau menjawab, “Majelis-majelis dzikir.”
Pendapat ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, yang bertanya kepada Rasulullah SAW. Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah ghanimah majelis-majelis dzikir?”. Rasulullah SAW menjawab, ”Ghanimah majelis dzikir adalah surga,” (HR Ahmad).
Semoga bermanfaat!

Selasa, 12 Juli 2016

MAKNA DZIKIR MENURUT SYEKH IBNU ATHA'ILLAH


Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.

Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.
Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar. Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya). Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.
Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).” Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na...,” atau munajat lainnya.
Selain itu, terdapat pula bacaan shalawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada dzikir yang tidak disertai munajat. Sebab, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.
Dzikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandung usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu. Ia adalah dzikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapan-Nya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari setan terkutuk, dan untuk bisa khusyuk dalam ibadah."
---Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

CARA MENCARI REZEKI MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI


“Sungguh, engkau dianggap sebagai orang yang celaka jika tidak merasa malu kepada Allah Subhanahu wata’ala, jika engkau menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu, sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali! Sungguh, takdirmu telah dekat!

Maka, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta benda untuk keluargamu adalah semata-mata karena perintah syariat, namun hatimu harus tetap kokoh bertawakal kepada Allah.
Carilah rezekimu dan rezeki keluargamu hanya dari Allah SWT, bukan dari harta benda dan perniagaanmu. Dengan demikian rezekimu akan mengalir, begitu pula rezeki keluargamu. Kemudian, Allah juga akan memberimu karunia, kedekatan dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi keperluan keluargamu dan keperluanmu melalui dirimu sendiri!
Allah juga akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Akan dikatakan kepada kalbumu, “Ini adalah untukmu dan keluargamu!” Namun, bagaimana mungkin engkau bisa menerima perkataan seperti itu jika seumur hidupmu bersikap musyrik?
Engkau tidak pernah merasa kenyang dengan dunia dan terus menerus mengumpulkan harta. Allah SWT menutup pintu kalbumu dan segala sesuatu tak akan bisa masuk ke dalamnya.. Dia hanya menurunkan peringatan dalam kalbumu. Maka, bertobatlah dari amal-amal burukmu dengan sebenar tobat.
Hendaknya engkau menyesali rusaknya perjalanan hidupmu dan akhlakmu yang buruk, dan hendaklah engkau menangisi setiap perkara yang telah terjadi pada dirimu.

Lalu, bantulah orang-orang fakir dengan hartamu dan janganlah bersikap bakhil, sebab tak lama lagi engkau akan berpisah dengan hartamu. Ketahuilah, seorang Mukmin yang meyakini adanya pergantian di dunia dan akhirat, tentu dia tidak akan berlaku kikir/bakhil di dunia ini.”
-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman

LANGKAH PERTAMA MENGENAL DIRI


Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa mengenal diri adalah kunci mengenal Allah, hal ini sesuai dengan ungkapan "Man 'arafa nafsahu 'arafa rabbahu' (Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Rabbnya). Dan, Allah berfirman, "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi mereka."(QS 41: 53)

Sungguh, tak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana dapat mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri, dari sisi lahir seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak mengantarmu mengenal Rabb. Begitu juga pengetahuanmu tentang karakter fisik, seperti pengetahuanmu; jika kau lapar, kau makan, jika sedih kau menangis, dan jika kau marah kau menyerang. Itu bukanlah kunci mengenal Rabb. Sebab, bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan batin jika kau mengandalkan insting hewani seperti itu?
Jadi, pengetahuan yang benar tentang diri meliputi hal berikut ini:
Siapa aku dan dari mana aku.datang? Kemana aku pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini? Dimanakah kebahagiaan sejati dapat kutemukan?

Maka, ketahuilah, ada 3 sifat yang bersemayam dalam dirimu: sifat hewan, sifat setan dan sifat malaikat. Kau harus temukan, mana di antara ketiganya aksidental dan mana yang esensial? Tanpa mengungkap rahasia ini tak akan kau temukan kebahagiaan sejati.
Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut kalbu atau ruh. Kalbu yang saya maksud bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri, serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya.
Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indrawi, melainkan sesuatu yang gaib. Ia muncul ke dunia ini sebagai pelancong dari negeri asing untuk berdagang, dan kelak akan kembali ke negeri asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci mengenal Allah.

Sebagai pemahaman mengenai hakikat kalbu atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan menutup matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu ia akan mengetahui keterbatasan sifat dirinya itu.
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah.

INDAHNYA MA'RIFATULLAH

Suatu ketika Rabi'ah Adawiyah ditanya, "Apa pendapatmu tentang surga?" Dia menjawab, "Pasangan dan rumah." 
Lalu, Rabi'ah pun menjelaskan, "Hatiku tak pernah menoleh ke surga. Aku terfokus kepada Sang Pemilik surga. Siapa yang tidak mengenal Allah di dunia, maka ia tidak akan mengenal-Nya besok di akhirat. Siapa yang tidak memperoleh kenikmatan makrifat di dunia, maka ia tidak akan memperoleh kenikmatan menatap wajah Allah besok di akhirat. Sebab, tidak ada yang muncul tiba-tiba di akhirat. Semua harus dibawa dari dunia. Seseorang tidak akan menuai selain apa yang ia tanam.

Pada Hari Kiamat nanti setiap orang akan dikumpulkan sesuai dengan bagaimana keadaan ketika ia menyambut kematian, karena semua manusia akan mati sesuai keadaan ketika ia menjalani kehidupan." Makrifat yang dibawa serta oleh seseorang dari dunia itulah yang akan menjadi sumber kenikmatannya di akhirat. Hanya saja, dengan disibakkannya tabir itu, makrifat lalu berubah menjadi musyahadah (penyaksian). Dengan begitu, berlipatgandalah kenikmatan yang ia rasakan, seperti kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang sedang cintanya mabuk kepayang ketika melihat kekasihnya bukan hanya terbayang dalam khayal, tetapi tertangkap langsung oleh indra penglihat.
Di situlah ia menemukan puncak kenikmatan. Kenikmatan surga dapat dicapai oleh setiap orang sesuai dengan apa yang ia inginkan. Orang yang hanya menginginkan pertemuan dengan Allah SWT jelas tidak akan merasakan kenikmatan selain pertemuan itu sendiri. Bahkan, yang lain hanya akan membuat dirinya menderita. Oleh karena itu, kenikmatan surga tergantung pada kadar kecintaan seseorang terhadap Allah SWT, sementara kecintaan seseorang terhadap Allah sangat tergantung pada makrifatnya. Jadi, kebahagiaan itu bertpangkal pada makrifat, yang dalam istilah agama disebut "iman."
--Imam Al-Ghazali dalam kitab Mahabbah

Senin, 04 Juli 2016

Idul Fitri Sebagai Perjalanan Spiritual Menemui Allah

Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.
 Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW dating ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : “Apakah hari yang dua ini?” penduduk Madinah menjawab : “Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah menukar dua hari ini dengan lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”. (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam oleh sebab itu penulis mencoba membahas masalah Hakikat Idul Fitri menurut pandangan Ilmu Tasawuf.

Pengertian Idul Fitri
Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti “kembali menjadi suci”. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :
“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya”. (HR Bukhari).
Menurut penulis pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali menjadi suci” tidak sepenuhnya benar karena kata “Fithri” apabila diartikan dengan “Suci” tidaklah tepat. Sebab kata “Suci” dalam bahasa Arabnya adalah “Al Qudus” atau “Subhana”. Jadi menurut penulis istilah Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata “Id” berarti “kembali” sedangkan kata Fitri” berarti “Pencipta” atau “Ciptaan”. Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini :
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Faathir 35 : 1).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kata “Idul Fitri” mempunyai minimal dua pengertian yaitu :
1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan

Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu penulis akan mencoba menjelaskan masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an.

IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan

Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian yaitu :
1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian

Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).
“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).
Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir ata diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).
Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dala kandungan dan juga keadaan serta cirri-ciri dari bayi tersebut seperti gambar yang dapat dilihat di halaman berikutnya.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :

1. Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).
Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.

2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bias melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bias buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.

3. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.
Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.
“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).
Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal dikarenakan sifat ma’ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin. Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.

Idul Fithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta

Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan kea lam dunia ini oleh ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa “Pre Natal”.
Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.
Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu :
1. Ktika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan kapasitas rohanin

2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negative. Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. Empat indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak). Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, cirri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.
Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asalnya yati Allah SWT.

Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah (Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di aats bumi.

Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampong Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).

“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri = Pencipta).

Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :
“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).

“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan. Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :

“hai orang-orang yang BERIMAN, telah diwajibkan PUASA atas kamu sebagaimana telah diwajibkan PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA”. QS Al Baqarah 2 : 183).

“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)

“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)

“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)

“…… hendaklah kamu juga MENUTUP
PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).


“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”. (QS Al Kahfi 18 : 11).

“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”. (QD An Nisaa 4 : 66-67).

“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).

“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)

Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dank e kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)

“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).

“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua”. (Hadits).

“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).

“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).

“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata hati kalian bias melihat Allah di dunia ini” (Hadits).

Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.

“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda : “Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”. (HR Al Hakim dari Ya’la bin Syidad).

Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”. Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat bertemu Tuhannya. Hadits).

Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).

“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).

‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).

“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).

“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa 4 : 1100).

“…maka masuklah ke dalam Qua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu beada di tempat Yang luas dalam Gua tersebut.


Jumat, 01 Juli 2016

KEDERMAWANAN HATI

Allah swt. berfirman :
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)>” (Qs. Al-Hasyr :9).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah saw. bersabda :
“Orang-orang  yang dermawan dekat dengan Allah swt, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari nerka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh adari manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-orang bodoh yang pemurah lebih disukai Allah swt. ketimbang orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.” (Hr. Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani.).
Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu pengetahuan antara kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan sifat sakah’ hanya karena tidak adanya ketentuan pasti dari-Nya. Hakikat murah hati (juud), manakala seseorang tidak merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya kepada orang lain.
Sementara sebagian kalangan Sufi, derma (sakha’) adalah tahap pertama, disusul oleh Juud, kemudian memprioritaskan orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakah’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.
Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, bahwa asma’ binti Kharijah al-Fazzary mengatakan : “Aku tidak mau menolak seseorang yang datang meminta kepadaku. Jika ia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia membuatku mempu menjaga kehormatanku sendiri.”
Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu pintar sekali dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada sahabat-sahabat dekatnya. Ia biasa meninggalkan uang seribu dirham kepada mereka dan berkata : “Tolong jaga uang ini sampai aku kembali!” Kemudian, ia menulis surat kepada mereka : “Uang itu boleh kalian ambil.”
Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu dengan seseorang dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang orang tersebut. “Ia dari mana?” Dikatakan kepadanya bahwa orang itu dari Madinah. “Seseorang dari kota Anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang gkepada kami dan membuat kami kaya.” Orang Madinah itu bertanya : “Bagaimana mungkin?” Ia tidak datang kepada Anda, kecuali sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij itu menjawab : “Ia tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia mengajarkan kepadakami kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami menjadi kaya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah. Sang Khalifah lalu menyuruh agar mereka dipenggal lehernya. Sementara al-Junyad terlindung oleh kedudukannya yang terhormat di lapangan fiqih. IA dapat memberikan fatwa sesuai dengan mazhab Abu Tsur.
Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury dan lain-lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk pemenggalan kepala mereka. An-Nury melangkah ke depan dan si Algojo bertanya kepadanya : “Apakah engkau sadar apa yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab : “Ya” Si Algojo bertanya lagi : “Lantas apa yang membuatmu begitu bersemangat tampil ke depan?” Ia menjawab : “Aku ingin agar kawan-kawanku dapat menikmati hidup beberapa saat lagi.”
Si Algojo merasa bingung bercampur heran atas jawaban An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang kemudian diteruskan oleh para Sufi itu kepada seorang hakim untuk diperiksa perkaranya. Sang Hakim mengajukan beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain an-Nury, dan dijawabnya semua, lantas ia mengatakan : “Di samping itu, sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang jika mereka berdiri, berdiri bersama Allah, dan apabila bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus berbicara dan kata-katanya membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu mengirim pesan kepada Khalifah : “Jika orang-orang ini dianggap zindiq, maka tidak ada lagi seorang Muslim pun di muka bumi ini.”
Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli barang-barang dari penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata : “Anda akan menghemat uang jika  mau pergi ke pasar.” Ia menjawab : “Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita denegan harapan dapat menyediaka jasa kepada kita.”
Dikatakan : “Seorang laki-laki mengirimkan seorang budak wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama murid-muridnya. Ia berkata : “Betapa buruknya bila aku menerima budak ini sementara Anda semua ada di sini. Aku tidak ingin mengisitimewakan  salah seorang dari Anda dengan memberikan budak ini, sedangkan Anda semuanya mempunyai hak atas budak itu dan juga atas penghormatanku. Budak ini tidak dapat dibagi-bagi di antara Anda sekalian.” Jumlah mereka sebanyak delapanpuluh orang. Akhirnya Jabalah memerintahkan agar didtangkan seorang budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridndya itu.”
Dikatakn : “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu Bakrah kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah seorang wanita. Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya dan berdiri di belakang pintu, seraya berkata : “Menjauhlah dari pintu dan suruhlah salah seorang budakmu untuk mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang wanita Arab, dan budakku telah meninggal dua hari yang lalu!”
Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan kepada budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.” Wanita itu berseru : “Subhanallah, Anda menghinaku?” Mendengar tanggapan wanita itu, Ubaydullah menyuruh budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu wanita itu berkata : “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda dimaafkan.” Ubaydullah berkata lagi, “ Ambilkan tigapuluh ribu untuknya!.” Saat itulah si wanita membanting daun pintu rumahnya dan berteriak : “Anda benar-benar memalukan!>” Tatepai Ubaydullah berhasil memberikan kepadanya uang tigapuluh ribu dirham itu, yang juga diterimanya. Sorenya, jumlah pelamarnya telah menjadi berlipat ganda.
Dikatakan : “Kedermawanan hati berarti bertindak pada saat munculnya instik yang pertama.”
Saya mendengar salah seorang murid Abul hasan al-Busyanjy – semoga Allah merahmatinya – menuturkan : “Abul Hasan al-Busyanjy sedang berada di dalam toilet. Ia memanggil salah seorang muridndya dan memerintahkan : “Ambillah baju ini dariku dan berikan kepaa si Fulan!” Seseorang bertanya kepadanya : “Tidak dapatkah Anda menunggu sampai Anda keluar dari toilet?” Ia menjawab : “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran dan batal memberikan baju ini.”
Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya : “Pernahkah Anda melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda sendiri?” Ia menjawab tegas : “Ya.” Pernah kami berhenti di apdang pasir di rumah seorang wanita. Suaminya pulang, dan ia berkata kepadanya : “Engkau punya banyak tamu.” Maka suaminya itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya, dan memberitahukan, “Ini untuk Anda semua.”. Keesokan hari ia mengambil seekor unta lagi dan mengatakan : “Ini untuk Anda.” Kami berkeberatan : “Tapi unta yang Anda sembelih kemarin itu baru kami makan sedikit saja. “Ia menjawab : “Saya tidak pernah meninggalkan daging basi kepada tamu-tamu saya.”
Kami tinggal di rumah orang itu selam dua atau tiga hari lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus melakukan hal yang sama. Ketika hendak berangkat meneruskan pejalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya dan berkata kepada isterinya : “Mintakan maaf untuk kami kepada suami Anda!>” Lalu kami berangkat meneruskan perjalanan. Pada tengah hari tiba-tiba ada teriakan seseorang di belakang kami: “Berhenti wahai gerombolan orang jahat! Kalian semua mau membayar keramah-tamahanku? Lalu ia memaksa kami kembali dan mengatakan : “Anda mengambilnya kembali, atau saya tusuk Anda dengan tommbak saya ini!.” Uang itu kami ambil kembali dan kami pun terus melanjutkan perjalanan. Kemudian orang itu bersyair :
Jika kau ambil kembali pahala
Karena apa yang telah kuberikan,
Maka biarlah kehinaan
Bagi peraihnya.
Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke rumah salah seorang sahabtnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu dan pintu rumah dikunci. Ia berkata : “Orang ini seorang Sufi, tapi mengunci rumahnya? Hancurkan saja kuncinya?” Maka meraka pun membongkar kunci rumah itu. Diperintahkannya agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di rumah itu untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami rumah itu.
Ketika si empunya rumah datang, ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk rumah itu, dan ia masih mempunyai pakaian. Dilemparkannya pakaian itu sambil berucap : “Wahai para sahabt, ini juga bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!” Suaminya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau lebih suka menderita seperti ini?” Si istri menjawab : “Diamah!” Bagi seorang syeikh seperti itu, yang menghormati kita dengan memperlakukan kita penuh keakraban dan yang melaksanakan urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita sesuatu yang dapat kita hinakan.”
Bisyr ibnul Harits mengatakan : “Menaruh perhatian kepada seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”
Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin Ubadah jatuh sakit, sahabt-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia bertanya tentang mereka. Dikatakan kepadanya : “Mereka malu karena hutang-hutangnya kepada Anda. “Ia berteriak : “Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang saudara mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu mengirim seorang utusan untuk mempermaklumkan bahwa barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan orang-orang yang datang mengunjunginya.
Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far, “Anda memberi cukup banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika ditentang meskipun sedikit.” Ia menjawab, “Aku memberikan hartaku, tapi aku menggerutu dengan nalarku.”
Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far pergi menengok salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kebun kurma suatu kaum dimana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke dalam kebun itu dan mendatanginya. Budak itu lalu meemparkan sepotong roti, dan anjing itu memakannya. Ia melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti pada anjing itu, yang terus lahap memakannya.
Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu, bertanya kepada si budak : “Wahai budak, berapa banyak makanan yang engkau terima tiap hari?” Ia menjawab : “Seperti yang anda saksikan adi.” Abdullah bertanya, “Lantas mengapa engkau berikan makananmu pada anjing itu, bukannya engkau makan sendiri.?” Si budak menjelaskan : “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu telh datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.” Abdullah bertanya lagi : “Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak menjawab : “Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku telah dicela orang karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.” Maka ia lalu membeli kebun kurma itu, sekaligus dengan budak itu dan alat-alat kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu kepadanya.”
Diceritakan bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabtnya itu. Si sahabat bertanya kepadanya : “Ada apa?” Laki-laki itu menjawab : “Aku punya hutang sebanyak empat ratus dirham yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu lalu mengambil uang empatratus dirham dan memberikannya kepada sahabatnya. Setelah itu ia masuk ke dalam sambil menangis. Istrinya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau tidak mengjukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan susah?” Suaminya menjawab : “Aku menangis karena kau tidak melihat kondisi yang menimpanya sehingga terpaksa mengungkapkannya kepadaku.”
Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan : “Apabila salah seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku, hendaklah menyampaikannya melalui pesan tertulis, sebab aku tidak suka melihat hinanya wajah seseoarng yang sangat membutuhkan.”
Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat gara-gara terhadap Abdullah bin Abbas. IA membawa orang-orang tekemuka di kota dan mengatakan kepada mereka bahwa Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya untuk makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah Abdullah, dan pekarangan rumahnya pun penuh dengan kehadiran mereka. Abdullah bertanya : “Ada apa ini?” Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Dengan segera Abdullah menyuruh orang untuk membeli buah-buahan dan roti serta memasak makanan. Semunaya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua makanan telah habis dimakan, ia bertanya kepada para wakilnya, : “Apakah mungkin bagiku untuk menyediakan makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab : “Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan : “Jika demikian, biarlah semua orang ini menjadi tamuku setiap hari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy menuturkan : “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang berwudhu di pekarangannya, seorang laki-laki datang meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa sesuatu pun, karenanya ia lalu berkata : “Tunggu sampai aku selesai!” Orang itu pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata kepada orang itu : “Ambillah botol minyak wangi ini dan pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi. Abu Sahl menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah pergi jauh; kemudian ia berteriak : “Ada orang mencuri botol minyak wangi!” Orang-orang pun mengejar “si pencuri” tetapi tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat demikian hanya karena  keluarganya sering mengecamnya atas tindakannya yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.
Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada seorang laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya jubah milik beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika hendak pergi mengajar. Suatu delegasi ulama-ulama terkenal yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap bidang  ilmu datang dari Persia. Delegasi tersebut mencakup pra fuqaha tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan panglima tentara, yakni Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk menyambut kedatangan mereka. Beliau mengenakan pakaian perang di balik jubah wanita yang dipakainya, lalu menaiki kendaraannya. Sang Panglima berkata : “Ia mengejekku di hdapan seluruh penduduk kota, dengan berkendaraan memakai jubah wanita!” Tetapi Abu Sahl kemudian berdebat dengan seluruh anggota delegasi terssebut, dan berhasil memenangkannya.
Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy – semoga Allah merahmatinya – mengabarkan bahwa Syeikh Abu Sahl tidak pernah memberikan sedekah kepada siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan hartanya ia lempar ke tanah agar diambil orang yang membutuhkannya, dan berkata : “Dunia ini bagiku kecil nilainya dibanding kau melihat ke arahnya, sementara tanganku di atas tangan seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “ Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Hr. Muslim dan Tirmidzi).
Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah seorang yang murah hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya. Beliau mengatakan : “Aku tidak punya sesuatu pun untuk kuberikan kepadamu. Laporkan kepada Hakim, dengan tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu dirham, untuk ku akui, sehingga hakim itu menahanku. Sebab keluargaku pasti tidak membiarkan diriku ditahan.” Si penyair itu pun menuruti perintahnya dan ia tidak dapat berbuat banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh ribu dirham agar ia keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun keluar setelah ditunaikan hutangnya.
Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu sebanyak lima puluh ribu dirham dan limaraus dinar. Beliau menyuruh orang  itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu. Orang itu pun lalu mencari kuli. Kemudain al-Hasan memberikan kepadanya selendangnya, sambil berkata :”Upah kuli itu, kutanggung juga.” Ketika seorng wanita meminta makok madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang membawa sekantong kulit penuh madu kepada wanita tersebut. Seseorang mengkritik atas tindakannya itu, dan dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan kebutuhannya, dan aku memberi sesuai dengan kesenanganku.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku Shalat Subuh di masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah seorang yang berhutang kepada kepadaku. Seusai menunaikan shalat, seseorang meletakkan satu stel pakaian dan sepasang ssandal di hadapan setiap orang yang ada di masjid itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya :Apa ini?” Orang-orang menjawa :Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah, dan beliau menyruh hal ini dilakukan kepada seluruh jamaah masjid.”. Aku berkata : “Akan tetapi aku orang luar. Aku datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang berhutang kepadaku.” Mereka berkata : “Hadiah ini untuk semua yang hadir.”
Diceritakan, bahwa menjelang wafat, asy-Syafi’y r,a, memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan aku!” Namun orang yang dimaksud tidak ada di sana. Ketika ia datang kepadanya dikatakan tentang pesan asy-Syafi’y tersebut. Maka ia minta untuk melihat pembukuan asy-Syafi’y, dan ia menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak tujuh puluh ribu dirham. Orang itu kemudian menyelesesaikan huang itu dan berkaa : “Inilah tugasku memandikan beliau.”
Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y kembali ke Mekkah dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar. Seseorang mengatakan kepada beliau : Anda harus membeli budak wanita dengan uang itu.” Mendengar itu, beliau lalu memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan menumpahkan dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang datang ke kemah, beliau memberinya segenggam uang. Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan mengibas-ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang tertingggal.
Dikisahka, bahwa as-Sary pergi kelaut pada hari raya, dan bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya melihat sekilas saja kepadanya. Seseorang berkaa : “Itu orang penting.” Ia menjawab : “Aku tahu siapa dia, tetapi telah dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim berjumpa, maka seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua :sembilan puluh persen untuk orang yang lebih bergembira di antara mereka berdua. Aku ingin agar ia memperoleh bagian yang lebih banyak.
Diceritakan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada beliau : “Apa yang membuat Anda menangis?” Beliau menjawab : “Tidak seorang pun tamu yang datang kepadaku selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah menghinaku.”
Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a. mengatakan : “Zakat atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di dalamnya untuk tamu.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs. Adz-Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan, karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga dikatakan demikian, karena si tamu seorang mulia dengan sendirinya juga seorang yang mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada empat perbuatan yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia seorang prnguasa : “Berdiri dari tempat duduknya untuk ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang ulama yang pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa berdosa jika di antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan hal itu bagi mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika orang itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak membantunya. Ketika ditanya tentang hal ini, Abdullah menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan mereka
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan jiwa dengan tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari yang sangat dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan sebagian dari pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku bertanya kepadanya : “Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka. Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka, kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kedermawanan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”