Jumat, 06 Januari 2017

MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH

“Jika engkau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, jangan kau lalai terhadap Dzat yang menggenggam nasibmu.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa jika kita mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepada kita, juga tidak pernah bosan menyesatkan, menggoda dan memerangi diri kita, maka kita jangan pernah lupa terhadap Dzat yang menggenggam ubun-ubun kita. Ingatlah bahwa setan tak akan berhenti menjerumuskan kita ke lembah kesesatan.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa setiap manusia memiliki setan yang menaruh belalainya di hati manusia. Jika manusia lupa berdzikir kepada Allah, setan akan membisikinya. Sebaliknya, jika manusia berdzikir, maka setan akan mundur dan menutup diri. Maka, jangan lupa kepada Dzat yang menentukan nasibmu, yaitu Allah. Jangan kau lupa untuk berlindung kepada-Nya, karena Dialah yang akan mencukupi dan melindungimu.
Barangsiapa yang memiliki sifat-sifat keimanan, ubudiyyah, tawakal dan selalu berlindung kepada Allah, pasti Allah akan menolongnya dalam mengalahkan musuhnya.
Dzu Nun Al-Mishri mengatakan, “Jika setan bisa melihatmu dari tempat yang tak bisa engkau lihat, Allah pasti bisa melihat setan itu dari tempat yang setan pun tak mampu melihat-Nya. Maka, mintalah pertolongan Allah atas gangguan setan.”
Abu Said Al-Khudri r.a. meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Iblis berkata kepada Tuhannya: ‘Demi keagungan dan kebesaran-Mu, aku tidak akan berhenti menggoda anak Adam selama ruh mereka masih dalam jasad mereka.’ Maka, Allah berfirman kepada Iblis: ‘Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka meminta ampunan kepada-Ku.’”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

UJIAN MENURUT SYEKH ABDUL QADIR AL JAELANI


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Bagi seorang Mukmin, telah ditetapkan bahwa Allah tidak mengujinya dengan sesuatu pun melainkan demi kemaslahatan, baik kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, hingga dia ridha dengan cobaan, sabar dalam menyikapinya dan tidak bersikap ragu kepada Tuhannya, Allah menyibukannya dengan pelbagai cobaan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan pernah memberi azab kekasih-Nya, tetapi Dia pasti akan mengujinya.”

Kepada orang yang senantiasa disibukkan oleh dunia, sadarilah jika engkau telah menyombongkan diri dalam setiap kesempatan. Engkau hanya berbicara dengan lisanmu, tetapi tidak dengan kalbumu.

Engkau telah berpaling dari Allah dan firman-Nya. Engkau juga telah berpaling dari Nabi-Nya dan para pengikutnya yang berada di atas kebenaran;para khalifah dan penerima wasiatnya. Engkau menentang Allah dan takdir-Nya.

Engkau merasa puas dengan pemberian manusia daripada karunia Allah dan anugerah-Nya. Tidak ada ucapan yang didengar bagimu di sisi Allah dan di sisi para hamba-Nya yang salih, kecuali kau bertobat, memurnikan diri dengan tobat, dan bersikap teguh di atasnya.

 Selanjutnya engkau pun menerima takdir dan qadha-Nya dalam anugerah ataupun bencana yang menimpamu, dalam hal yang memuliakan ataupun menghinakanmu, dalam kekayaan ataupun kefakiran, dalam kesehatan ataupun sakit, dan dalam apa yang kau sukai ataupun yang kau benci.

Hendaklah engkau mengikuti hingga kau diikuti, melayani hingga kau dilayani. Terimalah berbagai keutamaan dan takdir, hingga dia mengikuti dan melayanimu. Rendahkanlah dirimu kepadanya agar dia pun merendahkan diri untukmu.

 Dengarlah syair berikut:
Sebagaimana engkau memperlakukan, demikianlah engkau diperlakukan sebagaimana keadaanmu, begitulah engkau dipimpin.

Amalmu adalah pekerjamu. Allah tak akan menzalimi hamba-Nya; tak membalas yang sedikit dengan yang banyak. Kebaikan tak dapat disebut sebagai keburukan. Kebenaran juga tak dapat disebut sebagai dusta.

Jika kau melayani, engkau akan dilayani. Jika kau mengikuti, engkau akan diikuti. Maka, layanilah Allah dan jangan disibukkan dengan pelayananmu kepada para penguasa, yang tidak mampu memberikan mudarat ataupun manfaat kepadamu. Apakah mereka memberimu sesuatu? Apakah mereka memberimu apa yang menjadi hakmu?

Ataukah mereka mampu membagi untukmu sesuatu yang tidak dibagikan oleh Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat disandarkan kepada mereka. Jika engkau mengatakan bahwa sesungguhnya pemberian mereka bersumber dari mereka sendiri, berarti kau telah kafir.

Bukankah kau mengetahui bahwa mereka tidak mampu memberi ataupun menolak; tidak memberi manfaat atau mudarat; tidak dapat mendahulukan ataupun mengakhirkan sesuatu, kecuali atas kehendak Allah?”

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman

Kamis, 05 Januari 2017

JAGA HATI, JANGAN SAMPAI SAKIT


“Orang yang hatinya sakit tidak akan bisa mengenakan baju ketakwaan. Jika hatimu terbebas dari segala penyakitnafsu dan syahwat, engkau dapat memikul beban takwa. Orang yang tidak merasakan manisnya taat, berarti hatinya sedang sakit akibat syahwat. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut syahwat sebagai penyakit. Dia berfirman, “Orang yang di dalam hatinya ada penyakit pastilah menginginkannya.” (QS Al-Ahzab [33]: 32)
-- Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Taj Al-‘Arus
Muhammad Najdat menjelaskan, ada dua cara untuk mengobati hati yang sakit. Pertama, mempergunakan sesuatu yang bermanfaat dan memberi kita kemaslahatan, yakni ketaatan kepada Allah. Kedua, menghindari segala sesuatu yang membahayakan dan merusak diri kita, yaitu pengingkaran dan kemaksiatan.
Jika engkau melakukan dosa, lalu engkau segera bertobat dan menyesali atas semua dosa, maka itu akan menjadi sebab tersambungnya dirimu kepada Allah. Namun, jika engkau melakukan ketaatan disertai dengan ujub, bangga diri, dan sombong, itu bisa menjadi sebab terputusnya dirimu dari Allah.
Sebagaimana juga tubuh, hati juga dapat terserang penyakit. Penyakit hati adalah segala sesuatu yang dapat merusak pandangan dan kehendak. Pandangan rusak karena berbagai hal yang syubhat sehingga ia tidak dapat melihat kebenaran atau melihatnya dalam keadaan berbeda. Sedangkan kehendaknya sakit karena membenci kebenaran yang bermanfaat dan mencintai kebatilan yang membahayakan dirinya.”

–Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Taj al-‘Arus, syarah oleh Dr. Muhammad Najdat