Selasa, 23 Oktober 2018

PENUHI HATI DENGAN CINTA & DZIKR

Hati yang kering dan rapuh, maka siramilahlah dengan ketaatan dan dzikrullah. Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah lidahmu basah dengan mengingat Allah." (HR At-Tirmudzi)

Jika hati telah diisi dengan rasa cinta kepada Allah dan selalu berdzikir kepada Allah, maka ia akan menyadari bahwa Allah akan selalu melihat dan mengawasinya. Keadaan dan kesadaran semacam ini akan membantu kita untuk selalu taat kepada-Nya dan membuat kita takut bermaksiat kepada-Nya.

Haris Al-Muhasibi mengatakan:
"Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi rasa cinta pada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi perasaan itu, maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan.sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur."

Seseorang bertanya,."Lalu bagaimana bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Dan, bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota badan?"

Beliau menjawab, "Yakni ketika hati menjadi wadah bagi kerisauan, kegalauan dan kesedihan, rasa lemah dan sangat membutuhkan, penyesalan, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya, dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci pada apa yang Allah benci.

Jika ia menyikapi Allah dalam keadaan hati semacam ini, anggota badan akan ikut bergerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan seperti ini akan terwujus jika relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah."

Disarikan dari Syarah Kitab Tajul-'Arus Syekh Ibnu Atha'illah, oleh Syekh Muhammad Najdat.

Minggu, 21 Oktober 2018

MAMAHAMI REZEKI DAN TUNTUTAN NAFSU

Imam Al-Ghazali mengatakan: “Untuk mengatasi kendala rezeki, sebenarnya engkau cukup bertawakal dengan sebenar-benarnya, yakni engkau pasrahkan kepada Allah dalam urusan sumber rezeki dan kebutuhanmu, dalam semua keadaan.”
Menurutnya, ada dua alasan mengapa kita harus bertawakal kepada Allah:

1) ”Agar engkau bisa berkonsentrasi penuh beribadah dan berbuat kebaikan lainnya. Sebab, orang yang tidak bertawakal (berserahdiri) pasti lahir dan batinyya lebih sibuk pada urusan mencari rezeki dan kebutuhan dunia lainnya daripada beribadah kepada Allah. Ia menggunakan tubuhnya untuk bekera sepanjang hari untuk memperoleh nafkah, namun hati dan pikirannya selalu memikirkan rezeki dengan rasa was-was. Padahal, ibadah itu membutuhkan konsentrasi hati dan tubuh, sementara konsentrasi itu tak bakal terwujud kecuali pada orang-orang yang memasrahkan diri secara total.

2) Meninggakkan sikap tawakal itu membahayakan iman kita. Bukankah Allah telah menyertakan rezeki kepada makhluk-Nya? “Dan bertawakallah kepada Allah yang Maha Hidup kekal, yang tidak akan mati.” (QS Al-Furqan: 58). “Dan hanya kepada Allah kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman,” (QS Al-Maidah: 23)

Maka, barangsiapa yang tidak memahami ayat  ini berarti tidak merasa cukup dengan janji Allah, tidak tenang dengan jaminannya, dan tidak puas dengan pembagian rezeki-Nya. Lalu, ia lalai untuk menjalankan perintah-Nya, lupa janji ancaman-Nya. Maka, lihatlah bagaimana jadinya orang ini, ujian apa yang bakal dijalani akibat perbuatan semacam ini.

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abdullah bin Umar r.a., “Bagaimana jika engkau tinggal di tengah-tengah kaum yang suka menimbun harta mereka selama setahun karena kurang percaya dan kurang bergantung kepada Allah?”

Hasan Al-Bashri mengatakan, “Allah SWT melaknat kaum yang tidak percaya dengan janji-Nya dalam soal rezeki.”

Diriwayatkan bahwa ada seorang penggali kubur telah bertobat dengan karena sebab Abu Yaziid al-Busthami. Abu Yazid lalu menanyakan keadaannya, dan penggali kubur itu menjawab, “Aku telah menggali seribu liang lahat dan aku tidak pernah melihat wajah mereka menghadap kiblat, kecuali dua orang lelaki.”
Abu Yazid kemudian berkata, “Sungguh kasihan mereka. Wajah mereka dipalingkan dari arah kiblat lantaran meragukan rezeki dari-Nya.”

Seorang sahabat saya menuturkan bahwa dalam mimpinya dia melihat seorang yang saleh, dan kemudian bertanya kepadanya, “Apakah engkau selamat karena imanmu?” Orang saleh itu menjawab, “Iman hanya menyelamatkan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Dia memperbaiki kita dengan anugerah-Nya dan tidak menyiksa kita walau sebenarnya kita memang pantas untuk disiksa. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”

--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali

TANPA CINTA, SEGALANYA TAK BERNILAI

Jika engkau bukan seorang pencinta,
maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan
dihitung Pada Hari Perhitungan nanti.
Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya.

Burung-burung Kesadaran telah turun dari langit
dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari.
Mereka merupakan bintang-bintang di langit
agama yang dikirim dari langit ke bumi.
Demikian pentingnya penyatuan dengan Allah
dan betapa menderitanya Keterpisahan dengan-Nya.

Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting
dalam dzikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan.
Lihatlah pepohonan ini! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan kebahagiaan
Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan?
Sang lili berbisik pada kuncup: "Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana nikmatnya Kebaikan."

Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban "YA" dalam pertanyaan:
"Bukankah Aku ini Rabbmu?"

--Maulana Jalaluddin Rumi

Jumat, 19 Oktober 2018

MAHAR CINTA UNTUK KEKASIH
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Dalam Hadis Qudsi Allah SWT berfirman, ‘Dustalah pengakuan seseorang yang mencintai-Ku, namun tatkala malam menghampiri ia malah tidur mengabaikan Aku.”

Jika engkau menjadi bagian dari orang-orang yang mencintai Allah, maka engkau akan merasa tersiksa oleh tidurmu, kecuali tidur yang tidak disengaja. Orang yang mencintai itu lelah, dan yang dicintai selalu tenang. Orang yang mencintai adalah pencari, sedangkan yang dicintai adalah yang dicari.
Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman kepada malaikat Jibril: “Wahai Jibril, tidurkanlah si Fulan dan bangunkanlah ia!”

Firman ini memiliki dua pengetian:
 Pertama, Dia berfirman “Bangunkanlah fulan yang mencintai dan tidurkanlah fulan yang dicintai. Orang yang mengakui mencintai-Ku harus Aku berikan tantangan dan menempatkannya pada posisi seharusnya agar ‘dedaunan’ yang tumbuh di dalam hatinya menjadi berguguran. Bangunkanlah dia agar jelas bukti pengakuannya serta terwujud rasa cintanya.

Dan, tidurkanlah ia, karena dia adalah orang yang dicintai yang telah lama mengalami kelelahan. Tidak ada satu pun yang tersisa baginya untuk selain diri-Ku. Aku mengambil cintanya untuk-Ku. Pengakuannya terbukti, begitu juga dengan keterangannya dan pelaksanaannya terhadap janji-Ku.

Tobatnya menghampiri-Ku, begitu juga dengan penunaiannya terhadap janji-Ku. Ia adalah tamu. Seorang tamu tidak diminta untuk melayani dan bekerja. Tidurkanlah dirinya pada meja makan karunia-Ku, serta tenangkanlah dirinya dengan kedekatan kepada-Ku. Kasih sayangnya sungguh benar. Maka, lenyaplah seluruh beban dirinya!”

 Kedua, Dia berfirman, “Tidurkanlah fulan, karena ia menginginkan ridha makhluk melalui ibadahnya kepada-Ku. Bangunkanlah fulan, karena ia mendapatkan ridha-Ku dengan cara beribadah kepada-Ku. Tidurkanlah fulan, karena Aku membenci suaranya. Bangunkanlah fulan, karena Aku ingin mendengar suaranya.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khathir

Senin, 15 Oktober 2018

ALLAH DI ANTARA LISAN DAN HATI

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Jika ada seseorang bertanya: “Bagaimanakah aku harus mengeluarkan cinta dunia dari hatiku?” Maka jawabannya adalah: “Hendaklah memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya.”

Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukim atau seorang munafik? Apakah engkau seorang yang bertauhid atau seorang musyrik?

Dunia adalah fitnah yang menyibukkan, kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata untuk bagian akhirat. Jika seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, maka jadilah akhirat untuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.

Setidaknya ada dua cara untuk bersyukur: 1) Memohon pertolongan dengan nikmat itu agar kita dapat berbuat taat dan menjadi pelipur lara bagi orang yang fakir di dunia; 2) Mengakui karena nikmat itu, mengakui kepada Maha Pemberi dan bersyukur kepada Dzat yang Menurunkannya, yakni Allah Azza wa Jalla.

Seorang ulama pernah berkata: “Segala sesuatu yang dapat menyibukkanmu dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukkan yang dapat melupakanmu untuk berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Jika shalat, puasa, haji dan seluruh amal baik telah memalingkanmu dari Allah, maka itu juga akan menjadi bencana. Maka perbaikilah ibadahmu. Jika nikmat yang diberikan Allah telah menyibukkanmu untuk mengingat Allah, maka nikmat itu juga akan mencelakakanmu.

Engkau boleh jadi sedang berdusta, bahkan saat engkau sedang mengerjakan shalat. Engkau mengucapkan, “Allahu Akbar!” tetapi engkau berdusta, karena dalam hatimu masih ada tuhan lain selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu maka berarti ia adalah tuhan. Segala sesuatu yang engkau takuti dan kau harapkan adalah tuhan bagimu. Hatimu tidak selaras dengan lisanmu. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Maka, hendaklah engkau mengucapkan “Allahu Akbar” seribu kali dalam hati dan mengucapkan sekali dengan lisan. Maka, tidakkah engkau merasa malu ketika engkau mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah dalam hatimu?”

---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani

BERKACA PADA SEEKOR NGENGAT

Menurut Imam Al-Ghazali, perjalanan manusia di dunia bisa dibagi menjadi empat tahap, yakni: indrawi, eskperimental, instingtif dan rasional. Tahap pertama, ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama.

Tahap kedua, ia seperti seekor anjing, bila sudah sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul.

Tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba, dengan instingnya ia segera kabur saat melihat macan atau srigala, musuh alaminya. Tapi, mereka tak akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran badan keduanya lebih besar.

Tahap keempat, ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu sehingga mampu—hingga batas tertentu—meramalkan dan mempersiapkan masa depannya. Tahapannya ditempuh seperti seorang yang berjalan di atas tanah, lalu seperti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, lalu ia mulai terbiasa dengan hakikat perjalanan, hingga tahapan akhir ia seperti orang yang mampu berjalan di atas air.

Kemudian, ketika keempat tahapan ini berhasil dilalui, ada tahapan kelima yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang terbang melintasi udara.

Imam Al-Ghazali mau mengatakan bahwa manusia bisa berada bermacam tahapan, mulai dari tahapan hewan hingga tahapan malakut (sifat kemalaikatan). Atau sebaliknya, ia tak mampu menempuh keempat tahapan normal, tetap terjatuh pada tahapan yang lebih rendah dari hewan. Hanya manusia yang bisa mengubah tingkatannya dari tahapan pertama hingga keempat atau mungkin sampai kelima. Ini yang tidak bisa ditempuh oleh kekuatan malaikat dan hewan.

Bila menggunakan rumusan Imam Al-Ghazali, tahapan kita bisa jadi pada tahapan pertama dan kedua. Di tahap ini arus bolak-balik, bimbang, ragu, coba-coba dan pikiran nyeleneh sering terjadi. Iman mereka kadang terombang-ambing oleh ombak, kadang pasang, kadang surut. Mereka tak punya keyakinan yang kokoh terhadap Hari Akhir, karena itu sewaktu-waktu bisa menolak akhirat sama sekali ketika nafsu indrawi menguasainya.

Fenomena ini bisa kita jumpai dengan cara mereka memahami masalah akhirat. Mereka menganggap neraka hanya sebagai akal-akalan para teolog atau rekayasa ulama. Mereka mungkin percaya sedikit, tapi kepercayaannya tertutupi oleh pandangan yang selalu melihat sesuatu secara empirik hingga ia sering terkelabui. Orang jenis ini sangat sombong dan angkuh.

Menurut Imam Ghazali, jika menghadapi orang jenis ini, cobalah tanyakan padanya, “Apakah Anda benar-benar yakin bahwa 124.000 nabi dan wali memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah, apakah hanya Anda yang benar?”

Jika jawabannya, “Ya, aku yakin,” berarti tidak perlu diteruskan lagi. Itu berarti pikiran dan hatinya telah membatu. Dia tidak akan percaya hisab, pengadilan akhirat, pahala-siksa dan surga-neraka. Tetapi, bia ia menjawab bahwa kehidupan akhirat itu mungkin ada mungkin tidak ada atau ia masih ragu untuk memutuskan karena masih mengandung misteri, maka sebaiknya, katakan padanya, “Selesaikan saja keraguan Anda!”

---Disarikan dari Kimiya As-Sa’adah, Imam Al-Ghazali.