Kamis, 15 September 2016

NASIHAT RUHANI UNTUK SAHABAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Kunci surga adalah ucapan La ilâha illa Allâh, Muhammadur-Rasûlullâh. Sedangkan esok, kunci surga adalah kefanaan dari dirimu, orang lain, dan segala sesuatu selain Allah, dan dengan selalu menjaga batas-batas syariat.
Kedekatan kepada Allah adalah surga bagi manusia, sedangkan jauh dari Allah adalah neraka untuk mereka. Alangkah indah keadaan seorang Mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat.
Di dunia dia tidak berkeluh-kesah atas keadaaan yang dia alami, setalah dia memahami bahwa Allah meridhainya, dimana pun dia berada cukuplah bagiannya dan ridha dengan bagian itu. Kemanapun dia menghadapkan wajahnya, dia memandang dengan cahaya Allah. Setiap isyaratnya adalah kepada-Nya. Setiap kebergantungan adalah kepada-Nya. Setiap tawakalnya adalah hanya kepada-Nya.
Berhati-hatilah, jika ada seorang di antara engkau merasa bergembira berlebihan karena telah melakukan ketaatan, karena boleh jadi ada rasa takjub ketika dilihat orang lain atau berharap pujiannya. Barangsiapa di antaramu ingin menyembah Allah, hendaklah memisahkan diri dari makhluk. Sebab, perhatian makhluk pada amal-amal mereka dapat merusaknya. Nabi SAW bersabda, “Engkau mesti ber-uzlah, sebab uzlah adalah ibadah dan bentuk kesungguhan orang-orang shaleh sebelum kalian.”
Engkau mesti beriman, lalu yaqin dan fana dalam wujud Allah, bukan dalam dirimu atau orang lain. Dan, tetaplah menjaga batas-batas syariat dan meridhai Rasulullah SAW. Tidak ada karamah bagi orang yang mengatakan sesuatu selain hal ini. Karena, inilah yang terjadi dalam berbagai shuhuf dan lawh kalam Allah Azza wa Jalla.
Engkau harus selalu bersama Allah; memutuskan diri untuk selalu dengan-Nya; dan bergantung kepada-Nya. Hal demikian akan mencukupkan dirimu dengan pertolongan (ma’unah) di dunia dan akhirat. Dia akan menjagamu dalam kematian dan kehidupan, menjagamu dalam setiap keadaan. Engkau harus memisahkan yang hitam dari yang putih!”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahmani--

Kamis, 01 September 2016

TAHAPAN RUHANI SEORANG HAMBA

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani mengatakan tentang sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis Qudsi: “Barangsiapa yang disibukkan berdzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Menurut Syekh, hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya seorang Mukmin itu jika dia menginginkan Allah swt, maka Allah akan menyucikan dan memilihnya. Semua keadaan akan dijalaninya dengan pertolongan Allah SWT. Dan, Allah juga akan memberikan ujian kepadanya dengan berbagai macam ujian dan cobaan. Maka, orang tersebut akan menjadi miskin setelah dia kaya. Dia terpaksa meminta rezeki kepada makhluk ketika semua usahanya sudah buntu.
Kemudian, Allah akan menjaganya untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepada mereka. Allah swt kemudian akan menjaganya untuk tidak berutang kepada mereka dan memaksanya untuk berusaha, memberikan kemudahan dan kelonggaran dalam usaha tersebut.
Akhirnya, seorang hamba tadi dapat makan dengan usahanya sendiri, sedangkan hal tersebut adalah sunnah. Allah pun akan memberikan kesulitan kepadanya dan memberikan petunjuk kepadanya untuk meminta kepada makhluk. Lalu, Allah akan memerintahkan kepadanya untuk meminta dengan perintah batin (yang tersembunyi), yakni Allah akan mengajarkan dan memberitahukan kepadanya, dan menjadikan ibadah dalam perintah tersebut, dan kemaksiatan dalam meninggalkannya.
Agar dengan hal tersebut, hawa nafsunya menjadi hilang dan nafsunya akan terbalik. Inilah yang dinamakan keadaan riyadhah. Maka, seorang hamba yang meminta tadi adalah karena keterpaksaan, bukan sebagai bentuk menyekutukan Allah.
Kemudian, Allah akan menjaganya lagi untuk tidak meminta kepada mereka dan memaksanya untuk berutang kepadanya dengan perintah yang keras, yakni hamba tadi tidak mungkin meninggalkannya, sebagaimana perintah untuk meminta sebelumnya.
Lalu, Allah akan memindahkannya lagi dan memutuskan semua hubungannya dengan sesama makhluk dan interaksi dengan mereka. Akhirnya, Allah menjadikan rezekinya hanya ketika dia meminta kepada Allah saja. Hamba tadi akan selalu meminta yang dia butuhkan kepada Allah, kemudian Allah juga akan memberikan yang diminta tersebut, dan tidak akan memutuskannya, meskipun dia tidak meminta dan berpaling dari pemintaan tersebut.
Allah akan memindah keadaan hamba tadi dari meminta dengan lisan menuju meminta dengan hati. Maka hamba tadi akan meminta semua yang ia butuhkan dengan hatinya, dan Allah akan memberikan kepadanya yang dia minta tersebut sehingga jika hamba tadi meminta dengan lisannya, Allah tidak akan memberikan yang dia minta tersebut atau dia meminta kepada makhluk, dan mereka juga tidak akan memberikannya. Allah akan mencukupkan sesuatu bagi dirinya agar dia tidak meminta secara keseluruhan, baik secara lahir maupun batin.
Lalu, Allah juga akan memanggilnya dengan semua yang menjadi kemaslahatannya dan apa saja yang mencukupi kebutuhannya berupa pakaian, makanan, minuman, dan semua kebutuhan manusia yang tidak pernah terlintas dalam hatinya, dan tidak pernah ada dalam dirinya. Pada saat itulah Allah akan melindungi dirinya. Inilah yang dimaksud firman Allah:
“Sesungguhnya Pelindungku adalah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an), dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Q.S. Al-A’raaf: 196).

Maka akan menjadi nyatalah firman Allah dalam hadits Qudsi, “Barangsiapa yang disibukkan oleh dzikir kepada-Ku dan jauh dari meminta kepada-Ku, Aku akan memberikan sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang yang meminta.”
Ini adalah keadaan fana, yaitu keadaan yang menjadi tujuan akhir para wali dan abdal. Terkadang terdapat dalam diri mereka takwin (penambahan karunia dari Allah swt). Semua yang mereka butuhkan adalah dengan seizin Allah, sebagaimana firman Allah swt dalam sebagian kitab-Nya, “Wahai anak Adam, Aku adalah Allah swt yang tidak ada tuhan selain Aku. Jika Aku mengatakan kepada sesuatu, ‘Jadilah!’ maka jadilah ia. Taatlah kepada-Ku, maka Aku akan menjadikan dirimu jika mengatakan kepada sesuatu, ‘jadilah!’ maka jadilah ia.”
---Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul-Ghaib---