Rabu, 29 November 2017

PERCIKAN HIKMAH DARI HADIS QUDSI

 Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mawaizh fi Al-Ahadis Al-Qudsiyyah meriwayatkan hadis Qudsi: 
Allah SWT berfirman: 
“Wahai anak Adam! 
Kepada siapakah kalian akan mengadukan Aku padahal tak ada siapa pun seperti-Ku tempat kalian mengadu? Sampai kapankah kalian melupakan-Ku padahal Aku tak pernah memperkenankan seperti itu? Sampai kapankah kalian kufur kepada-Ku padahal Aku tak pernah berbuat zalim kepada hamba-hamba-Ku?

Sampai kapankah kalian mengingkari nikmat-Ku? Sampai kapankah kalian meremehkan Kitab-Ku, padahal Aku tak pernah membebanimu dengan sesuatu pun di luar kemampuan kalian? Sampai kapankah kalian terus menjauh dari-Ku? Sampai kapankah kalian ingkar kepada-Ku padahal kalian tak mempunyai tuhan selain Aku?
Jika kalian sakit adakah dokter selain-Ku yang bisa menyembuhkan kalian? Kalian telah mengeluhkan-Ku dan marah pada ketentuan-Ku, padahal Aku yang telah menurunkan hujan deras kepadamu, namun justru kalian berkata, ‘Kita diberi hujan karena bintang ini!’ Jika demikian, sebenarnya kalian telah kufur kepada-Ku dan justru percaya kepada bintang itu. Akulah yang telah menurunkan rahmat kepada kalian dengan ketentuan, ukuran, hitungan, dan pembagian yang jelas.
Jika salah seorang kalian mendapat makanan untuk bekal selama tiga hari, lalu berkata, ‘Aku sedang sial, tak beruntung’, berarti dia telah mengingkari nikmat-Ku. Siapa yang tidak membayarkan zakat hartanya, berarti telah menyepelekan kitab-Ku. Dan, jika dia telah mengetahui bahwa waktu shalat telah tiba, namun dia tidak meluangkan waktu untuk shalat, berarti dia telah melupakan Aku.”

MENCARI 'AIN, LAM, DAN MIM

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya ilmu dan adab dapat menambahkan kemulian orang yang mulia dan dapat meningkatkan derajat budak sejajar dengan para raja.”

Ibn al-Mubarak pernah ditanya, “Jika Allah mewahyukan kepadamu bahwa kamu adalah orang yang akan mengalami kesusahan hidup, maka apa yang kamu lakukan?” Ia menjawab, “Saya akan mencari ilmu. Wahai saudaraku, orang yang ingin hidup mulia di dunia dan akhirat, maka hendaknya ia tidak merasa malas dalam mencari ilmu. Orang yang malas mencari ilmu, tidak akan pernah meraih keinginannya.”
Dalam syair disebutkan:
“Seandainya ilmu dapat diraih dengan angan-angan semata 
Maka, tidak akan ada orang bodoh di bumi ini.
Bersungguh-sungguhlah dalam mencari ilmu, jangan malas dan jangan menjadi orang bodoh 
Penyesalan yang dalam hanya akan dialami oleh orang yang malas mencari ilmu.”

Ahli hikmah menyatakan bahwa ilmu itu terdiri dari tiga huruf: ‘Ain, Lam, dan Mim. Derivasi huruf ‘Ain berasal dari ‘Illiyin (tempat yang mulia); huruf Lam dari al-Luthf (kasih sayang); dan huruf Mim dari al-Mulk (kerajaan).
Huruf ‘Ain akan menarik pemiliknya untuk menduduki tempat mulia; huruf Lam akan menjadikan pemiliknya mendapat kasih sayang di dunia dan akhirat; dan huruf Mim akan membuat pemiliknya menjadi penguasa. Allah Swt. akan memberikan kepada orang alim kemulian yang menjadi berkah dari huruf ‘Ain; memberikan kasih sayang sebagai berkah dari hurud Lam, dan memberikan mahabbah sebagai berkah huruf Mim.
Dalam syair disebutkan:
“Hidupnya hati itu dengan ilmu, karena itu perhatikanlah ilmu 
Matinya hati itu dengan kebodohan, karena itu jauhilah kebodohan
Sebaik-baik bekal adalah takwa, karena itu perbanyaklah bekal takwa 
Hanya ini nasihatku padamu, camkanlah nasihat itu!”

---Kitab Munyatul Wa’izhin, Syeikh Al-Ankawari

Selasa, 28 November 2017

SELAWAT NABI, RUKUN DAN SYARAT DOA TERKABUL

Imam Al-Qasthalani dalam kitab Masalik Al-Hanfa mengatakan, “Sebagian ulama berkata: ‘Jika harapan-harapanmu sukar terpenuhi, maka perbanyaklah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.”
Al-‘Arif billah Sayyid Muhammad bin Umar Al-Qashri mengatakan, “Membaca selawat atas Nabi Muhammad SAW adalah sebuah keharusan bagi para salik di awal perjalanan spiritualnya, dan terus-menerus membaca selawat baik siang maupun malam. Selawat dapat menjadi penolongnya selama menempuh perjalanan spiritual dan meraih kedekatan kepada Allah SWT dibandingkan dengan macam dzikir yang lain.Selawat juga merupakan kunci untuk membuka pintu hidayah menuju Allah SWT. Sebab Nabi Muhammad SAW adalah perantara (washilah) antara kita dengan Allah; penunjuk jalan bagi kita menuju kepada-Nya; orang yang memperkenalkan kita kepada-Nya.
Maka, bergantung kepada perantara adalah lebih utama daripada langsung kepada dzat yang dituju. Karena, perantara adalah faktor utama bagi kita untuk bisa berhubungan dengan Tuhan yang Mahaagung dan Mahakuasa; kunci utama untuk masuk ke tempat-tempat yang berada di dekat dengan-Nya. Nabi Muhammad SAW adalah perantara (washilah) antara makhluk dan Tuhan.”
Menurut Imam Al-Qasthalani, “Ketahuilah, tak mungkin mampu mencontoh perbuatan dan akhlak Nabi kecuali dengan usaha keras, tidak mungkin mau berusaha dengan keras kecuali sangat cinta kepada Nabi, dan tidak mungkin cinta mati kepada Nabi kecuali dengan cara memperbanyak bacaan selawat. Sebab, barangsiapa yang suka pada sesuatu, maka dia akan sering menyebut-nyebutnya.
Karena itu, bagi seorang salik, ia mesti memulai jalan spiritualnya dengan memperbanyak bacaan selawat atas Nabi Muhammad SAW. Mengingat bacaan selawat menyimpan keajaiban-keajaiban luar biasa dalam rangka pembersihan jiwa dan penerangan batin, di samping masih banyak lagi rahasia-rahasia dan faedah-faedah yang tidak mungkin dihitung oleh angka dan bilangan.
Seorang salik, perlu memiliki hati yang ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah ketika membaca selawat atas Nabi sehingga dia mampu memetik buah selawat dan barokahnya yang bertebaran. Selawat di sepanjang jalan mencari Tuhan bagaikan lampu penerang yang dapat menjadi hidayah yang diperlukan. Barangsiapa yang menghiasi kalbunya dengan lampu shalawat, maka dia akan mampu melihat segala hakikay tauhid berkat cahaya terang selawat tersebut.”
Rasulullah SAW bersabda, “Semua doa tertolak, kecuali dia membaca selawat untuk Muhammad dan keluarganya,” Hadis ini diriwayakan oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Awsath, dan dari Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, ia berkata: “Setiap doa pasti terhalangi oleh sebuah tabir antara pemohon doa dan Allah. Kecuali orang itu membaca selawat, maka tabir tersebut akan terbakar, dan doa itu akan menembusnya. Jika orang itu tidak membaca selawat, maka doanya akan terpental.”
Dalam kitab Asy-Syifa dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: “Jika di antara kalian ada yang mengharapkan sesuatu dari Allah, maka hendaklah memulai doanya dengan puja dan puji kepada-Nya, disusul dengan membaca selawat atas nabi-Nya, baru kemudian menyampaikan hajatnya (harapan). Hal yang demikian ini lebih berpeluang besar untuk terkabulkan.”
Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Husaini r.a. berkata, “Ibnu ‘Atha berkata, ‘Doa memiliki rukun-rukun tertentu, sayap-sayap, sebab-sebab, dan waktu-waktu khusus. Jika memenuhi rukun-rukunnya maka doa itu akan menjadi kuat. Jika memiliki sayap-sayap maka ia akan terbang ke langit. Jika tepat waktunya maka ia akan berjalan terus. Dan jika memenuhi sebab-sebab maka doa itu akan terkabulkan.
Rukun-rukun doa adalah hati yang khusyuk, konsentrasi, lembut, pasrah diri, bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada faktor apa pun (selain Allah). Sayap-sayap doa adalah ketulusan dan kejujuran. Waktu berdoa adalah di malam hari. Sebab-sebabnya adalah membaca selawat atas Nabi Muhammad SAW.”

--As-Safinah Al-Qadiriyah Li Asy-Syaikh ‘Abd Qadir Al-Jailani Al-Hasani

DUNIA MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Dalam kitab KimiyaAs-Sa'adah, Imam Al-Ghazali menjelaskan:
"Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi para musafir dalam perjalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan.
Dengan bantuan perangkat indriawinya, manusia harus memperoleh pengetahuan tentang ciptaan Allah dan, melalui perenungan terhadap semua ciptaan-Nya itu, ia akan mengenal Allah.

Pandangan manusia mengenai Tuhannya akan menentukan nasibnya di masa depan. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke dunia tanah dan air. Selama indranya masih berfungsi, ia akan menetap di alam ini. Jika semuanya telah sirna dan yang tertinggal hanya sifat-sifat esensinya, berarti ia telah pergi ke “alam lain”.
Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal penting, yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecintaan kepada sesuatu selain Allah. Sementara itu, jasad hanyalah hewan tunggangan bagi jiwa, yang kelak akan musnah. Setelah kehancuran jasad, jiwa akan abadi. Kendati demikian, jiwa harus merawat jasad layaknya seorang pedagang yang selalu merawat unta tunggangannya.
Tetapi jika ia menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi untanya, tentu rombongan kafilah akan meninggalkannya dan ia akan mati sendirian di padang pasir.
Untuk bertahan dan berkembang, jasad hanya membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Tetapi nafsu jasmani yang tertanam dalam dirinya untuk memenuhi ke¬butuhan itu cenderung memberontak mela¬wan nalar yang tumbuhnya lebih lambat ke¬timbang nafsu. Karenanya, nafsu jasmani harus dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang diajarkan oleh para nabi.

Lalu, berkenaan dengan dunia yang kita tempati ini, ia terbagi ke dalam tiga kelompok utama, yaitu hewan, tumbuhan, dan mineral. Produk ketiganya terus-menerus dibutuhkan manusia, yang kemudian memunculkan tiga bidang profesi utama, yaitu para pembuat pakaian, tukang bangunan, dan pekerja tambang. Tentu saja ketiga bidang kerja utama itu menurunkan profesi-profesi lain yang lebih khusus, seperti penjahit, tukang batu, tukang besi, dan lain-lain. Semua pekerja dalam berbagai bidang itu saling terkait satu sama lain.
Tidak ada seorang pun yang terlepas dari yang lain. Keadaan ini melahirkan sistem hubungan perdagangan yang pada gilirannya sering kali memunculkan kebencian, iri hati, cemburu, dan penyakit jiwa lainnya. Ujung-ujungnya, timbul pertengkaran dan perselisihan, yang memunculkan kebutuhan terhadap kekuasaan politik dan sipil serta pengetahuan tentang hukum.
Begitulah, berbagai bidang profesi, perdagangan, jasa, dan lain-lain bermunculan di dunia ini yang semakin memperumit keadaan dan menimbulkan kekacauan sosial. Apa pasal?
Karena manusia lupa bahwa kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga, yaitu pakaian, makanan, dan tempat tinggal, yang semuanya semata-mata dibutuhkan agar jasad dapat menjadi tunggangan yang layak bagi jiwa dalam perjalanannya ke alam berikutnya. Mereka terjerumus dalam kesalahan yang sama seperti peziarah ke Mekah yang, karena melupakan tujuan ziarah, menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi hewan tunggangannya.
Seseorang pasti akan terpikat dan disibukkan oleh dunia – yang menurut Rasulullah daya pikatnya lebih kuat daripada sihir Harut dan Marut – kecuali jika ia mengawasi dan mengendalikan nafsunya dengan ketat."

---Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah

ENAM KEGAGALAN MENGENAL ALLAH

Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah menjelaskan tentang 6 aspek kegagalan manusia dalam mengenal Allah. Bahkan, menurutnya, meski pernyataan Al-Quran telah sangat jelas, namun masih banyak orang yang karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut.Diantara beberapa penyebab kebodohan dan kegagalan mereka adalah:
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan dan pemikiran, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada yang menyebutnya dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan bermanfaat sedikit pun.
Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah begitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.
Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beribadah atau tidak.” Pikiran mereka itu seperti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, "Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."
Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, tetapi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah berfirman, “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.”
Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya.” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

Kelima, kelompok orang yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras.
Meski Alquran mengatakan: “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.” (Q. 53: 39).
Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya.
Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi – manusia paling mulia – pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.

---Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah.

Sabtu, 25 November 2017

ENAM TANDA DITERIMANYA TOBAT



Menurut Imam Nawawi Al-Bantani, seorang ahli hikmah pernah ditanya: “Jika ada seorang hamba bertobat, apakah dia bisa mengetahui bahwa tobatnya itu diterima atau tidak?“

Dia menjawab: “Aku tidak bisa menghukuminya, hanya saja tobat yang diterima itu memiliki tanda-tanda, yaitu:
1) Tidak merasa dirinya terpelihara dari kemaksiatan;
2) Hatinya merasa bahwa kegembiraan itu jauh, sedang kesedihan itu dekat;
3) Senang berdekatan dengan orang-orang yang berbuat baik, sekaligus menjauhi orang-orang yang berbuat buruk;
4) Memandang harta miliknya yang sedikit terasa banyak dan memandang amal akhiratnya yang banyak terasa sedikit;
5) Sibuk dengan ketaatan kepada Allah dan tidak menyibukkan diri dalam mengais rezeki yang telah dijamin oleh Allah;
6) Selalu memelihara lisannya, sering bertafakkur, serta mencemaskan dan menyesali dosa yang pernah dikerjakannya.”

Berkaitan dengan 6 perkara tersebut, Rasulullah saw. bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ حِفْظُ اللِّسَانِ
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah menjaga lisan.”

إِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ ذُنُوْبًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ كَلَامًا فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ
“Sesungguhnya orang yang paling banyak dosanya pada hari Kiamat nanti adalah orang yang paling banyak bicaranya dalam hal yang tiada guna.” (HR. Ibnu Nashr)

التَّفَكُّرُ فِى عَظِمَةِ اللهِ وَجَنَّتِهِ وَنَارِهِ سَاعَةً خَيرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Bertafakkur sejenak tentang keagungan Allah serta tentang surga dan neraka-Nya itu lebih baik dari pada shalat malam.”

تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلَا تَفَكَّرُا فِى ذَاتِ اللهِ فَتَهْلِكُوْا
“Bertafakkurlah kalian tentang ciptaan Allah dan janganlah sekali-kali bertafakkur tentang Dzat Allah, sebab kalian akan celaka.”

---Imam Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nashaihul Ibad

Senin, 20 November 2017

PENUHI HATI DENGAN CINTA & DZIKIR

Hati yang kering dan rapuh, maka siramilahlah dengan ketaatan dan dzikrullah. Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah lidahmu basah dengan mengingat Allah." (HR At-Tirmudzi)

Jika hati telah diisi dengan rasa cinta kepada Allah dan selalu berdzikir kepada Allah, maka ia akan menyadari bahwa Allah akan selalu melihat dan mengawasinya. Keadaan dan kesadaran semacam ini akan membantu kita untuk selalu taat kepada-Nya dan membuat kita takut bermaksiat kepada-Nya.
Haris Al-Muhasibi mengatakan:
"Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi rasa cinta pada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi perasaan itu, maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan.sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur."

Seseorang bertanya,."Lalu bagaimana bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Dan, bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju anggota badan?"
Beliau menjawab, "Yakni ketika hati menjadi wadah bagi kerisauan, kegalauan dan kesedihan, rasa lemah dan sangat membutuhkan, penyesalan, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya, dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci pada apa yang Allah benci.
Jika ia menyikapi Allah dalam keadaan hati semacam ini, anggota badan akan ikut bergerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan seperti ini akan terwujus jika relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah."
Disarikan dari Syarah Kitab Tajul-'Arus Syekh Ibnu Atha'illah, oleh Syekh Muhammad Najdat.

RAHASIA BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Janganlah memilih untuk menarik kenikmatan-kenikmatan dan menolak setiap musibah. Jika memang kenikmatan itu telah menjadi milikmu, engkau pasti akan berusaha menariknya atau menghindarinya. Begitu juga dengan musibah, musibah itu merupakan suatu keadaan yang dapat menimpamu, yang jika telah menjadi bagianmu, maka ia akan menuntunmu, baik ketika engkau menghendakinya atau engkau berusaha untuk menghilangkannya dengan berdoa, bersabar atau menguatkan diri pada apa yang menjadi kerelaan dan keridhaan Allah.
Tetapi, serahkan saja semuanya kepada Allah, sebab ketentuan-Nya akan berlaku kepada dirimu. Jika terdapat kenikmatan dalam dirimu, maka berusahalah untuk bersyukur. Dan, jika engkau mendapat musibah, maka berusahalah untuk bersabar dan tetap bersabar!
Atau, boleh juga dengan berusaha untuk menyusuaikan diri, berusaha menikmati, menghilangkan diri di dalamnya, sesuai dengan kadar kemampuan dirimu. Lalu, tetaplah berjalan di atas jalan Allah SWT, dimana engkau diperintahkan untuk mentaati-Nya agar engkau sampai kepada Dzat Yang Maha Tinggi.
Pada saat itulah engkau akan menempati kedudukan orang-orang terdahulu dari golongan shiddiqqin, syuhada, dan shalihin. Serta agar engkau juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang yang sudah mendahului engkau di sisi Sang Maha Penguasa dan melihat kedekatan mereka kepada-Nya.Mereka adalah orang-orang yang telah menemukan semua bentuk kesenangan, kegembiraan, rasa aman, kemuliaan dan kenikmatan di sisi Allah SWT.
Tinggalkanlah setiap musibah yang mendatangimu! Pergilah jauh meninggalkan jalannya! Jangan hanya terpaku dan takut menghadapi kedatangan dan kedekatannya. Ingatlah bahwa panas api musibah itu tidak lebih panas daripada api Neraka Jahannam.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sebaik-baik manusia, sebaik-baik manusia yang dipangku oleh bumi dan dinaungi oleh langit, Rasulullah, Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya Neraka Jahannam itu berkata kepada seorang Mukmin; ‘Hai Orang Mukmin, lewatlah engkau di atasku, Sungguh, nyala apiku telah padam dengan cahayamu!”(HR Thabrani)
Maka, tidaklah cahaya seorang Mukmin yang membuat padam kobaran api Neraka Jahannam itu, kecuali hanyalah cahaya yang telah mendampinginya di kehidupan dunia, yang diperuntukkan bagi orang yang melewati kehidupan dan cobaan hidup di dunia.
Jadi, padamkanlah kobaran api Neraka Jahannam dengan menggunakan cahaya ini! Dan, temukanlah dinginnya kesabaranmu, keserasian dan keindahan ketaatanmu kepada Sang Maha Penguasa, serta gerakkanlah apa yang terdapat dalam dirimu!
Musibah itu datang kepadamu bukan untuk membinasakanmu. Tetapi, musibah itu datang untuk memberimu cobaan dan ujian kepadamu serta menunjukkan kebenaran keimananmu dan memperkokoh tali imanmu. Batin musibah itu akan memberi kegembiraan kepada Tuhanmu dengan rasa bangga-Nya kepadamu.
Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji engkau agar engkau mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara engkau, dan agar Kami menyatakan (baik-buruknya) hal ihwalmu.”(QS Muhammad: 31)


--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib.

MEMBUKA TABIR CAHAYA ILAHI

Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 72). Adapun yang dimaksudkan dengan buta di dunia adalah buta hati, sebagaimana firman Allah SWT, “Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Penyebab kebutaan kalbu adalah karena adanya hijab-hijab yang gelap (al-hujub azh-zhulmaniyah), lalai dan lupa karena jauhnya diri dari menepati janji pada Allah saat di Alam Arwah. Adapun sebabnya lalai adalah kebodohan seseorang terhadap masalah hakikat Ilahiah.
Kebodohan ini timbul karena kalbu dikuasai oleh sifat-sifat tercela, seperti sombong, dendam, dengki, kikir, ‘ujub, ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), bohong dan sifat-sifat tercela lainnya. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke derajat yang paling rendah.
Sedangkan cara menghilangkan sifat-sifat yang tercela tersebut adalah dengan membersihkan cermin kalbu dengan alat pembersih tauhid, ilmu dan amal; serta berjuang dengan sekuat tenaga, baik lahir maupun batin. Semua itu akan menghasilkan hidupnya kalbu dengan cahaya tauhid dan sifat-sifatnya.
Jika seorang manusia telah berhasil menghidupkan kalbunya, maka ia akan ingat pada Negeri Asalnya (Alam Lahut). Setelah ingat ia akan rindu pulang dan ingin sampai ke negerinya yang hakiki. Maka, ia akan sampai dengan pertolongan Allah.
Selanjutnya, setelah penghalang kegelapan (tabir) tadi hilang, maka yang tersisa adalah penghalang-penghalang atau tabir cahaya (al-hujub an-nuraniah).
Dan, pada saat itu ia sudah bashirah, ia yang mampu melihat dengan penglihatan ruh dan menerima cahaya dari cahaya Asma Ash-Shifat (nama-nama sifat). Secara bertahap, penghalang-penghalang cahaya itu akan sirna dengan sendirinya dan dia akan diterangi dengan cahaya Dzat.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar,


PESAN IMAM ABU HASAN ASY-SYADZILI

Menurut Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili, jika Allah hendak memuliakan seorang hamba dalam gerakan dan diamnya sekalipun, maka Allah akan angkat dia menjadi orang yang suka beribadah kepada-Nya. Allah tutup dari kepuasan dirinya sendiri, Dia jadikan hamba itu asyik di dalam ibadahnya, kepuasan dirinya tertutup kecuali sebatas dan secukupnya saja untuk dirinya, bahkan sang hamba tidak akan melirik kepuasan dirinya seolah ia sibuk dalam keterasingan.
Jika Allah hendak menghinakan seorang hamba dalam gerak dan diamnya maka Allah luapkan kepuasan dirinya, Dia tutup pintu ibadahnya sehingga asyik di dalam syahwatnya, sedankan ibadahnya kepada Allah menjadi sesuatu yang asing, meskipun secara lahiriah sang hamba terlihat mengerjakannya.
Ibadah adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, menolak syahwat dan kehendak, maka barang siapa mampu mencapai derajat kesucian kalbu dari setan, hawa nafsu dan dunia, lalu lalu diiringi dengan banyak ingat untuk beribadah kepada Allah, maka dia telah meraih kebaikan seluruhnya.”
Hamba yang dimuliakan Allah dengan ibadah mendorong hamba untuk menjalankan ketaatan tepat pada waktunya. Hal itu karena, setiap waktu ada nilai ibadah yang harus engkau penuhi dengan mengikuti ketentuan rububiyah. Maka tidak boleh ketaatan itu terlambat dijalankan sebagaimana ketaatan yang dijalankan untuk mengganti ketaatan yang hilang.
Faedah ketaatan dan menjaga kelanggengannya tidak lagi dapat dipungkiri. Pernah suatu ketika Abul Hasan asy-Syadzili ditanya, “Apa yang engkau dapat petik dari ketaatanmu dan apa yang engkau dapat petik dari kemaksiatanmu?” Maka Abul Hasan asy-Syadzili menjawab, “Dari ketaatan aku memetik ilmu yang bertambah, cahaya Ilahi yang terang dan mahabbah. Sedangkan dari kemaksiatan aku memetik kegundahan, kesedihan, takut dan harapan semu.”

--Al-Madrasah Asy-Syadziliyah Al-Haditsah wa Imamuha Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili, karya Syekh Abdul Halim Mahmud

Senin, 13 November 2017

BUKALAH PINTU GAIB DENGAN SHALATMU

“Shalat adalah pembersih kalbu dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.
Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa shalat yang sesungguhnya adalah sesuatu yang menjadi pembersih kalbu dari pengaruh kotoran duniawi dan noda dosa, serta sifat-sifat lain yang menjauhkan pelakukanya dari pandangan kepada Rabb yang Maha Perkasa.
Shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yang tak pernah engkau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia-rahasia Ilahi. Makrifat dan rahasia Ilahi ini diumpamakan dengan harta karun yang tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga ia bisa melihat rahasia-rahasia gaib yang tak pernah dilihatnya.”
Syekh Ibnu Atha’illah juga mengatakan: “Shalat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya-cahaya bersinar.”
Menurut Asy-Syarqawi, munajat bermakna keintiman dan percakapa lembut seorang hamba dengan Rabbnya. Shalat adalah media munajat secara pribadi antara hamba dengan Tuhannya. Dengan munajat ini, Allah menampakkan sifat-sifat-Nya yang indah sebagai rahmat kepada para hamba-Nya dan seluruh ciptaannya di seluruh jagat raya. Melalui munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia makrifat.
Shalat menjadi sarana pertemuan dan pelepas rindu hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, hamba menghadap-Nya dengan sepenuh jiwa-raga, menjumpai-Nya secara lahir dan batin sehingga dalam relung batinya tak ada yang tersimpan selain diri-Nya. Dengan shalat juga, Allah akan membersihkan seorang hamba dengan memberinya kemampuan syuhud (kesaksian) dan mencurahkan karunia dan kebaikan-Nya. Inilah pembersihan jiwa-raga yang paling tinggi. Semakin seorang hamba mendekati-Nya, maka Allah pun akan semakin lebih mendekatinya lagi.
Di dalam shalat, ruang kalbu menjadi luas, sehingga bisa menerima rahasia-rahasia yang berlimpah. Lalu, cahaya-cahaya pun bersinar terang. Jika cahaya menyinari kalbu, maka ia akan menjadi lapang dan terbuka menerima berbagai ilmu dan makrifat. Inilah buah dari munajat dan pembersihan yang disebut oleh Syekh Ibnu Atha’illah di atas. Semuanya adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa yang dituntut dari hamba adalah mendirikan shalat secara sungguh-sungguh, bukan sekadar melaksanakan tanpa makna.
Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan: “Allah mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangan (shalat). Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahala-Nya.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Selasa, 07 November 2017

BEKAL RUHANI PARA PEMBURU MAKRIFAT

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Wahai kaumku! Kalian harus berusaha mencapai titik komitmen yang kokoh dalam beribadah kepada Allah. Sebab, Dia mendatangi mereka yang berdiri dengan taat di hadapan-Nya.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ketika seorang hamba berdiri berlama-lama di hadirat Tuhannya, dan dengan penuh kepatuhan melaksanakan shalatnya, maka dosa-dosanya jatuh berguguran, persis seperti daun-daun kering yang rontok dari pepohonan pada hari ketika angin bertiup sangat kencang. Dan, ketika seorang hamba bersikap tulus dan taat kepada Tuhannya, maka dosa-dosanya berguguran dan dibersihkan dari dirinya, baik dari luar (zahir) maupun dari dalam (bathin). Kalbunya akan dipenuhi dengan cahaya, dan wujud terdalam (sirr) menjadi suci dan tenang.”
Kalian harus selalu di jalan kebenaran dalam kehidupan pribadi kalian. Kalian harus fasih dalam kehidupan sosialmu!

Jika kalian menempuh jalan kebenaran di dunia, maka kalian akan berada di jalur yang benar di akhirat.
Kalian harus berterus-terang kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Kalian harus memohon kepada-Nya atas nama sesama kalian, sebab Dia akan menerima perantaraan kalian untuk memberi berkah kepada makhluk-makhluk-Nya yang hendak diberkahi-Nya.

Setelah memberikan izin-Nya dan mengeluarkan perintah-Nya maka Dia akan mengabulkan permohonan kalian, sebagai hadiah kemuliaan/keajaiban (karamah) kepada kalian, untuk memberikan bukti yang kasat mata tentang kedudukan yang kalian tempati (maqam) dalam pandangan-Nya.
Kalian harus benar-benar menjaga hubungan dengan-Nya. Harus fasih dalam memberi penjelasan/pelajaran kepada makhluk-makhluk-Nya. Kalian harus menjadi guru (mu’alim) dan pendidik (mu’abbid) yang baik.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berprilaku baik di sisi-Mu dalam situasi dan kondisi apa pun, dan berprilaku baik pula bersama orang-orang yang shaleh di antara hamba-hamba-Mu.
Berikanlah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan pula di akhirat nanti, serta jagalah kami dari siksa api neraka.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Jala Al-Khawathir.

Minggu, 05 November 2017

MENANGKAP CAHAYA ILAHI


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu memberi nasehat: “Butalah terhadap segala hal selain Allah. Tutuplah matamu terhadap sesuatu pun dari hal-hal tersebut. Jika engkau melihat sesuatu pun dari hal itu, maka karunia dan kedekatan Allah Azza wa Jalla akan tertutup bagimu.
Jadi, tutuplah segala hal dengan kesadaranmu akan keesaan Allah dan dengan kefanaan dirimu. Maka akan tampak oleh mata batinmu hal Allah Azza wa Jalla, dan engkau akan melihatnya dengan kedua mata batinmu ketika hal tersebut tersinari oleh cahaya kalbumu, cahaya imanmu, dan cahaya keteguhan keyakinanmu.

Pada saat itu cahaya ruhanimu akan mewujud pada lahiriahmu, seperti cahaya sebuah pelita di malam pekat yang mencuat melalui lubang-lubangya, hingga sisi-sisi luar rumah menjadi tercerahkan oleh cahaya dari dalam. Lalu, diri dan anggota tubuhmu akan merasa ridha dengan janji Allah dan karunia-Nya.
Maka, kasihanilah diri kita. Jangan berbuat aniaya terhadapnya. Jangan campakkan ia ke dalam gelap ketidakpedulian dan kebodohanmu, agar ia tak melihat ciptaan, daya, perolehan, sarana dan tak tertumpu pada hal-hal semacam itu. Sebab, jika engkau melakukan hal itu, maka segala hal akan tertutup bagimu dan karunia Allah akan tertutup pula bagimu karena kesyirikanmu.
Jika engkau telah menyadari keesaan-Nya, telah engkau lihat karunia-Nya, engkau hanya berharap kepada-Nya dan telah kaubutakan dirimu terhadap segala sesuatu selain-Nya, maka Dia akan membuatmu dekat dengan Diri-Nya, Dia akan mengasihimu, menjagamu, memberimu makan, minumu dan merawatmu. Dia juga akan membuat bahagia, menganugerahi karunia-karunia, menolong seluruh masalahmu, menjadikan dirimu sebagai penguasa atas dirimu sendiri dan membuatmu fana hingga engkau tak akan melihat kemiskinanmu ataupun kekayaanmu.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab As-Suluk wa At-Tawassul ila Manazil Al-Muluk

AJARAN IKHLAS DARI SULTHANUL-AWLIY

A
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
"Wahai saudaraku, hidupmu jangan seperti pasar, yang jika waktunya habis tak seorang pun tinggal di sana. Ketika malam tiba, tak seorang pun berkenan tinggal di sana. Oleh karena itu, bermujahadalah engkau agar tidak akan seperti berjual beli di pasar; kecuali sesuatu yang bermanfaat buat akhirat kelak. Sebab Allah selalu mengawasimu. Tauhidkanlah Allah dan beramallah dengan ikhlas semata karena Dia.
Wahai saudaraku, sesungguhnya Allah jua yang memberi rezeki buatmu. Janganlah bersifat kikir terhadap sesama. Pakailah akalmu, bersopan santunlah di hadapan Allah dan di hadapan makhluk-Nya. Janganlah engkau menganiaya sesama dan jangan mencuri hak-hak mereka. Pandai-pandailah menempatkan diri di sisi-Nya.

Wahai saudaraku, dengan ekspresi wajah yang bagaimanakah kelak engkau berjumpa dengan Allah jika dirimu saat ini selalu menentangnya. Jika setiap kebutuhan dan hajatmu engkau sampaikan kepada sesama manusia dan engkau berserah diri kepadanya; bukan kepada Allah.
Wahai saudaraku, seandainya engkau mampu memberi terhadap sesamamu tanpa menghendaki sesuatu imbalan, maka lakukanlah. Jadіlah pelayan tanpa mencari pelayan. Perhatikan kesufian dan kesiapan mereka di hadapan Allah. Jika Islam tidak ada dalam jiwamu, bagaimana mungkin iman bisa tumbuh dalam hatimu. Jika keyakinan tidak engkau miliki, berarti dirimu

tidak mempunyai kebaikan. Itu berarti engkau jauh sekali dari-Nya. Inilah derajat yang tumbuh dalam jiwa.
Tetapi jika Islam murni, maka murnilah penghambaanmu kepada-Nya. Maka menjadilah engkau orang yang berserah diri kcpada-Nya dengan segala keberadaanmu. Engkau akan menjaga syariat-Nya secara ikhlas. Serahkan jiwamu menurut kewajiban. Perbaikilah adab bersama-Nya dan dengan makhluk-Nya. Jangan engkau menganiaya diri sendiri atau orang lain. Karena perbuatan aniaya itu membutakan hati, menggelapkan mata dan menggelapkan catatan amal. Janganlah engkau menolong orang yang suka menganiaya orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا اُظْلِمَ مَنْ لَمْ يَجِدْ نَاصِرًا غَيْرَ الْحَقِّ عَزَّ وَجَلَّ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: لَاَنْصُرَنَّكَ وَلَوْبَعْدَ حِيْنٍ. 
Apabila orang yang teraniaya itu tidak menjumpai penolong selain Allah Azza wa Jalla, maka Allah berkata tentu Aku beri pertolongan padamu walaupun sudah berlalu.
Bersabarlah engkau, sebab sabar itu suatu jalan untuk mendapatkan pertolongan Allah dan mengangkat kemuliaan.

Wahai Allah, kami mohon kepada-Mu agar sabar bersama-Mu. Kami mohon taqwa, bebas dari semua keberadaan ini, sibuk bersama-Mu.
Wahai hamba Allah, tenanglah bersama-Nya, karena tenang bersama-Nya itu nikmat. Tiada penguasa, tiada yang kaya, dan tiada yang mulia kecuali Allah SWT.
Wahai orang munafik, sampai kapankah kamu riya' dan munafik kepada-Nya? Celakalah kamu, kenapa tidak malu kepada-Nya dan tidak уakin akan bertemu dengan-Nya? Waktu ini kamu beramal karena-Nya tetapi dalam batinmu tidak demikian. Bertaubatlah dan bersihkan niatmu karena-Nya, sesungguhnya tidak akan makan sesuap pun atau berjalan selangkah kecuali dengan niat yang ikhlas.

Ketauhilah, bahwa makhluk dan Khalik tidak bisa disamakan, dunia dan akhirat tidak akan pernah bisa dipadukan. tidak bisa dilukiskan tapi keberadaan makhluk bisa dilukiskan dalam jiwa. Jika kamu dekat dengan Allah maka bebaskan hatimu dari dunia dan akhirat. Selama dalam hatimu masih ada sesuatu selain Allah Swt. maka kamu tidak akan bisa melihat kehadiran-Nya. Selama hatimu masih suka terhadap dunia, maka kamu tidak akan bisa melihat akhirat, kamu tidak akan bisa mendekati pintu-Nya selagi hatimu masih bercabang. Wahai hamba Allah, kelihatannya kamu sibuk dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui. maka kosongkanlah nafsu dari hatimu tentu kebaikan akan menyelimutimu, jika nafsu itu telah keluar maka datanglah kejernihan.
Allah SWT berfiman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Al- Ra'd (13) : 11)
Wahai saudaraku, pikirkanlah kalam Allah di atas tadi. Setiap kalimat yang keluar dari mulutku dan kusampaikan kepada mereka bukan berarti aku membutuhkan mereka. Aku tidak butuh mereka, tetapi aku hanya butuh kepada Allah.

Dia Maha Mengetahui kebenaranku, karena Dia Maha Tahu atas segala yang gaib, segala yang tidak diketahui oleh makhluk ciptaan-Nya. Beramal dengan ikhlas adalah amal kebaikan yang dilakukan semata-mata karena Allah, semata-mata mengharap ridha-Nya. Ikhlas merupakan ruh amal. Sedangkan amal kebaikan yang tidak disertai dengan niat ikhlas, jelas akan ditolak oleh Allah.
Allah SWT berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Dan mereka tidak diperintah, kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan ikhlas dalam menjalankan Agama. (QS Al- Bayyinah (98) : 5)
Rasulullah Saw. bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الْعَمَلِ اِلاَّ مَاكَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتَغِىَ بِهِ وَجْهَهُ
Allah tidak menerima amal, melainkan amalnya yang ikhlas mencari keridhaan Allah (HR. Ibnu Majah)
Wahai saudaraku, ikhlas adalah dasar suatu amalan. Amalan yang tidak disertai dengan hati yang ikhlas akan sia-sia. Percayalah kepada Allah dan taatilah segala perintah-Nya. Jauhilah segala apa yang dilarang-Nya dan janganlah kamu durhaka kepada-Nya. Cintailah sesuatu karena Allah, bencilah orang yang selalu menentang-Nya.

Wahai saudaraku, syukurlah atas semua pemberian-Nya. Mohonlah pertolongan kepada-Nya di saat mengalami kesulitan dan pujilah Dia di saat mengalami kegembiraan. Cintailah sesama manusia sebab mereka itu makhluk Allah. Ikhlas kepada Allah dalam beribadah adalah menyembah-Nya dengan tanpa mengharap sesuatu dari selain-Nya. Kalau kamu menyembah Allah dengan tujuan untuk memperoleh pahala atau sebab takut karena siksa-Nya, maka ibadah yang seperti itu tidak dinamakan ikhlas.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk mengabdi kepada Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al An،âm (6) :162)

Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اَعْطَى لِلّٰهِ تَعٰلَى وَمَنَعَ لِلّٰهِ تَعَالٰى وَاَحَبَّ لِلَّهِ تَعَالَى وَاَبْغَضَ لِلَّهِ تَعَلَى وَاَنْكَحَ لِلَّهِ تَعَالَى فَقَوِاسْتَكْمَلَ اِيْمَانَهُ.
Barangsiapa yang memberimu karena Allah Та 'ala, mencegah karena Allah Та 'ala. Mencintai karena Allah Та 'ala, benci karena Allah ta 'ala, dan menikahkan karena Allah Та 'ala, maka ia telah menyempurnakan imannya. (HR. Abu Dawud)
Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab r.a. berkata tentang amalan yang ikhlas sebagai berikut:
اَفْضَلُ الاَعْمَالِ اَدَاءُ مَافْتَرَضَ اللهُ تَعَالَى وَالْورَعُ عَمَّا حَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَصِدْقُ النِّيَّةَ فِيْمَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى.
Amalan yang paling utama adalah menunaikan ара yang telah difardhukan oleh Allah Та 'ala dan melakukan wara' (menjaga diri) dari sesuatu yang diharamkan Allah Та 'ala, serta membenarkan niat dalam beribadah kepada Allah ta 'ala.

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

DZIKIR MAUT DARI RASULULLAH & SAHABAT


Ad-Dahhak meriwayatkan, "Suatu ketika seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling zuhud?" Beliau menjawab, "Orang yang tidak melupakan kuburan dan kerusakan jasad, meninggalkan perhiasan dunia yang berlebihan, lebih memilih hal yang kekal daripada yang fana, tidak menganggap esok hari sebagai miliknya, dan menganggap dirinya termasuk ahli kubur." (Kitab Az-Zuhud, Imam Ibn Hanbal)

Sayyidina Ali r.a. ditanya seseorang, mengapa dia tinggal di dekat kuburan, lalu dia menjawab,"Aku mendapati mereka (ahli kubur) sebagai tetangga yang paling baik. Sesungguhnya kudapati mereka sebagai tetangga yang jujur, yang menahan lidah mereka dan menyampaikan peringatan tentang akhirat."
Rasulullah SAW bersabda, "Tak pernah aku melihat pemandangan yang lebih menakutkan daripada kuburan." (HR At-Tirmudzi dan Ibn Majah)
Umar bin Khattab r.a. menuturkan, "Suatu ketika kami pergi ke pekuburan bersama Rasulullah SAW. Aku berada paling dekat dengannya. Beliau duduk di dekat sebuah kuburan dan menangis. Aku menangis melihatnya, demikian juga krang yang lain.
"Mengapa kalian menangis?" tanya Rasul.
"Kami menangis karena kau menangis," jawab kami.
Beliau lalu menjawab, "Ini adalah kuburan ibuku, Aminah binti Wahab. Aku meminta izin kepada Rabbku untuk mengunjunginya dan Dia mengizinkan aku. Lalu, aku meminta izin-Nya untuk memohonkan ampunan untuknya, tetapi Dia menolak permintaanku. Maka, aku merasakan derita kesedihan seorang anak."(HR Muslim dan Al-Hakim)

Ketika berhenti di dekat sebuah kuburan, Usman bin Affan r.a. biasa menangis sampai janggutnya basah. Dia ditanya tentang hal ini, "Mengapa kau tak menangis ketika menyebut surga dan neraka, tetapi kau menangis ketika berhenti dekat kuburan?"
Dia menjawab, "Suatu ketika aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,'Sesungguhnya kuburan adalah tahap pertama akhirat. Jika penghuninya selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih mudah. Tetapi, jika dia tisak selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih sukar." (HR At-Tirmidzi dan Ibn Majah)
--Imam Al-Ghazali, Dzikr Maut wa Ma Ba'dahu, kitab Ihya Ulumuddin.