Minggu, 17 September 2017

MAKNA BERGANTUNG KEPADA ALLAH


"Mengapa Ustaz selalu posting tentang zuhud? Mengapa selalu kita disuruh untuk membenci dunia? Bukankah kita harus seimbang dunia-akhirat? Bukankah ini sama saja mengajak umat menjadi malas? Tasawuf bisa merusak mental generasi!" ujar salah seorang sahabat melalui pesan teks di selularku 6 bulan lalu.
"Bu, yang saya jelaskan itu bab hati. Agar manusia tetap menggantungkan harapan tetap kepada Allah. Kerja dan usaha tetap harus dilakukan, tapi iringi dengan tawakal," jawabku.
Saya faham protes yang dia layangkan itu. Saya tahu persis bahwa dia adalah pekerja keras, memiliki karier yang bagus, dan berpendidikan tinggi. Dia bahkan pernah mengatakan, "Imam Al-Ghazali harus bertanggungjawab atas kemunduran Islam," tegasnya.
Saya sebenarnya tak mau berdebat panjang tentang tema ini melalui SMS. Tapi, pesannya menjadi semacam teror. "Tasawuf bisa jadi racun bagi masyarakat!" katanya lagi.
"Silakan fahami baik-baik makna hikmah dari setiap tulisan di Tasawuf Underground. Itu buat bahan renungan hati. Bagi saya, tasawuf bisa jadi motivasi kerja yang dahsyat, bisa jadi semangat, berpikir positif dan selalu tawakal dalam keadaan apa pun. Mendekat kepada Allah itu tidak perlu menunggu sebab. Tidak perlu menunggu musibah datang baru kita bertawakal. Tidak perlu menunggu bencana kita baru mendekat kepada Allah," kataku mengakhiri dialog panjang.
Setelah beberapa bulan berikutnya, dia mulai SMS berbeda. "Ustaz, suami saya selingkuh. Sudah 2 minggu nggak pulang ke rumah," katanya.
Dia telpon sambil menangis. Saya hanya bisa berucap "Sabar...sabar. Bicara baik-baik dengan suami ya," jawabku.
Kehidupan ekonominya mulai goyah. Anak pertamanya tergoda narkotika. Dan, anak keduanya terkena asma. Rumah tangga di ujung tanduk hanya dalam beberapa bulan berselang. Kini, pekerjaannya pun terancam hilang. Galau dan sedih jadi menu hariannya.
Kadang kerja keras dan perhitungan matematis manusia bukan menjadi ukuran. Meskipun rencana sudah disusun masak, tapi keberhasilan usaha tetap saja bukan wewenang manusia. Itulah mengapa sikap tawakal itu harus disertai sejak awal melangkah.
"Ustazzz. Saya..." katanya melalui SMS.
"Sudahlah, silakan baca dan fahami saja tulisan-tulisan saya di Tasawuf Underground. Insya Allah bermanfaat," jawabku.
Dua minggu berikutnya, dia menelpon dengan suara lirih. Dia bercerita apa yang terjadi. Neraka keluarganya semakin membara.
"Bergantung kepada Allah itu syarat penghambaan. Berusaha dan bekerja itu wajib. Tapi, gantungkan semua harapanmu hanya kepada Allah. Berharap kepada makhluk hanya membuatmu kecewa dan semakin terpuruk. Letakkan dunia itu di tangan, jangan di hatimu!" jawabku tegas.
Keberkahan hidup itu memang tak bisa dihitung dengan logika manusia. Ia menjadi aliran darah dan gerak nafas kita, namun kita tak menyadarinya. Tuhan selalu hadir mengawasi, memelihara dan memberi rezeki kepada kita, tapi kita selalu buta. Kita selalu terpaku pada sebab-akibat, seolah-olah sebab dirimu bisa mengatur urut-duduk takdir.
"Terima kasih, Ustaz. Maafkan perkataanku tempo dulu. Saya sekarang baru faham," katanya dengan isak tangis di ujung telpon.
Kadang musibah dan cobaan hidup bisa datang kapan saja di luar nalar. Dalam hitungan hari ditenggelamkan, lalu dalam hitungan hari pula kita belajar berenang ke tepian. Alhamdulillah, kesadaran ruhani keluarga ini mulai pulih. Suaminya kembali ke pangkuannya. Dia mulai bisa move on.a
"Pada tiap hembusan nafasmu yang berdzikir dan berharap kepada Allah, akan selalu ada berkah dan rahmat. Maka, maknai penghambaanmu dengan sikap tawakal dan berharaplah kepada-Nya dalam setiap keadaan," kataku.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar